Nathaniel tidak menjawab. Ia hanya diam, seolah sedang memikirkan sesuatu.
Eleanor menutup lemari dengan sedikit keras. "Dengar, Nathaniel. Aku tidak punya alasan untuk menjelaskan semuanya padamu. Lagipula, kau sendiri bilang pernikahan kita ini hanya formalitas, kan? Jadi, kenapa kau bertingkah seolah kau peduli?" Nathaniel masih diam. Namun, ada sesuatu di sorot matanya yang membuat Eleanor merasa aneh. "Aku tidak suka melihat istriku berbicara dengan pria lain, apalagi jika itu mantannya," kata Nathaniel akhirnya dengan suara datar. Eleanor terbelalak. "Jadi kau mengaku kalau kau cemburu?" Nathaniel mendekat perlahan, berdiri di depan Eleanor dengan tatapan tajamnya. "Jika iya, lalu kenapa?" Eleanor menahan napas sejenak. Ia tidak tahu harus menjawab apa. "Aku..." Ia menggigit bibirnya, merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Nathaniel menatapnyaSiang itu, Eleanor melangkah keluar dari rumah dengan mengenakan pakaian kasual yang nyaman—blus putih longgar dan celana jeans. Rambutnya ia biarkan terurai dengan sedikit gelombang alami. Ia tak ingin berdandan terlalu berlebihan, toh ini hanya pertemuan santai dengan Hazel. Saat ia hendak masuk ke dalam mobil, suara Nathaniel menghentikannya. "Jangan pulang terlalu malam," ucap pria itu dengan nada datar. Eleanor mendengus kecil. "Aku sudah cukup dewasa untuk tahu kapan harus pulang." Nathaniel hanya menatapnya sekilas sebelum kembali fokus pada ponselnya. "Kalau kau membuat masalah, aku tak akan repot-repot menjemputmu." Eleanor menatapnya tajam. "Siapa juga yang mau kau jemput?" Nathaniel tak menjawab, hanya menaikkan sebelah alisnya dengan ekspresi seolah-olah mengatakan kita lihat saja nanti. Eleanor menghela napas panjang, lalu masuk ke dalam mobil dan pergi. Sesampainya
Pagi itu, Eleanor bangun sedikit lebih siang dari biasanya. Ia mengerjap pelan, lalu menoleh ke samping—tempat tidur sebelahnya sudah kosong. Nathaniel pasti sudah bangun sejak lama.Ia mengerang pelan, lalu menarik selimutnya lebih erat. Rasanya masih malas untuk bangun, tapi ketika mencium aroma kopi dari luar kamar, ia akhirnya menyerah. Dengan enggan, Eleanor bangkit dan berjalan ke luar kamar.Begitu sampai di ruang makan, ia menemukan Nathaniel duduk santai dengan secangkir kopi di tangannya. Ia masih mengenakan pakaian kerja yang rapi, terlihat seperti selalu siap menghadapi hari.“Kau bangun siang,” komentar Nathaniel tanpa melihatnya.Eleanor mendengus sambil duduk. “Aku butuh istirahat yang cukup setelah menemani seseorang berbelanja semalaman.”Nathaniel mengangkat alis. “Bukankah kau yang berbelanja? Aku hanya menemanimu.”Eleanor meliriknya tajam. “Dan kau yang membayar.”Nathaniel hanya tersenyum kecil sebe
Pagi hari di rumah mereka terasa lebih sunyi dari biasanya. Eleanor duduk di meja makan, mengaduk-aduk sarapannya tanpa niat untuk benar-benar memakannya. Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan dengan Edgar semalam. Nathaniel yang duduk di seberangnya meliriknya sekilas. “Kau kenapa?” tanyanya akhirnya. Eleanor tersentak dari lamunannya. “Hah?” “Kau bengong dari tadi,” Nathaniel meletakkan cangkir kopinya. “Ada yang mengganggumu?” Eleanor menggeleng cepat. “Tidak ada.” Nathaniel menatapnya lebih lama, jelas tidak percaya. Tapi ia tidak memaksanya bicara. Eleanor tahu Nathaniel cukup peka untuk menyadari ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Tapi ia juga tahu bahwa pria itu tidak akan bertanya lebih jauh jika ia tidak mau membicarakannya. Setelah sarapan, Eleanor bergegas bersiap untuk bekerja. Ia mengenakan pakaian kerja seperti biasa dan mengambil tasnya. Namun, saat akan kel
Setelah hari yang panjang, Eleanor duduk di sofa dengan secangkir teh hangat di tangannya. Matanya menatap ke luar jendela, menikmati pemandangan kota yang mulai dipenuhi cahaya lampu. Suasana di rumah terasa tenang, hanya ada suara jam dinding yang berdetak pelan. Nathaniel keluar dari kamar dengan pakaian santai, kaus hitam dan celana panjang. Ia baru saja selesai mandi, rambutnya masih sedikit basah. Ia berjalan ke dapur tanpa berkata apa-apa, lalu menuangkan segelas air dan meminumnya dalam sekali teguk. Eleanor meliriknya sekilas. "Kau terlihat seperti baru pulang dari latihan tinju." Nathaniel menaikkan alisnya. "Kenapa?" "Rambutmu berantakan, dan kau terlihat lebih santai dari biasanya." Eleanor menyeruput tehnya. "Jarang sekali melihatmu tidak mengenakan setelan jas." Nathaniel berjalan mendekat dan duduk di sofa yang sama, tapi menjaga jarak. "Aku juga manusia. Aku tidak akan memakai jas saat di ruma
Eleanor menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun hitam elegan yang membalut tubuhnya terlihat sempurna, dengan potongan sederhana namun anggun. Rambutnya ia biarkan tergerai dengan sedikit gelombang di ujungnya. Riasan wajahnya juga lebih rapi dari biasanya—tidak terlalu mencolok, tapi cukup untuk menunjukkan kesan profesional dan berkelas. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah keluar dari kamar. Begitu tiba di lantai bawah, ia menemukan Nathaniel yang sudah siap dengan setelan jas hitamnya, berdiri di dekat pintu dengan ponsel di tangannya. Saat mendengar langkahnya, Nathaniel mengangkat kepala. Matanya sempat terpaku beberapa detik sebelum ia akhirnya berbicara dengan nada datar seperti biasa. “Kau sudah siap?” Eleanor mengangguk. “Ya.” Nathaniel tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya mengulurkan tangan ke arahnya. Eleanor menatap tangan itu sesaat sebelum akhirnya meletakkan tangannya di atas tangan Nathaniel.
Eleanor meletakkan gelasnya di meja, berusaha menenangkan pikirannya. Pertemuan dengan mantannya tadi benar-benar mengacaukan suasana hatinya. Meskipun ia mencoba terlihat tenang, ada perasaan tidak nyaman yang terus mengganggunya. Nathaniel, yang berdiri di sampingnya, tetap diam. Ia tidak menanyakan lebih lanjut tentang pria tadi, tapi tatapan matanya cukup menunjukkan bahwa ia menyadari perubahan ekspresi Eleanor. "Kau mau keluar sebentar?" tanya Nathaniel akhirnya. Eleanor meliriknya, lalu mengangguk pelan. "Ya, mungkin udara segar akan membantu." Tanpa banyak bicara, Nathaniel menggenggam pergelangan tangannya dengan lembut dan membawanya keluar ke balkon yang sepi. Angin malam berembus pelan, membawa kesejukan yang sedikit meredakan kegelisahan di dada Eleanor. Ia bersandar di pagar, menghela napas panjang. "Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya lagi." Nathaniel berdiri di sampingnya
Pagi itu, sinar matahari yang masuk melalui celah tirai membuat Eleanor menggeliat pelan di tempat tidurnya. Matanya masih terasa berat, tapi perlahan ia mulai tersadar dari tidurnya. Ia menatap langit-langit kamar untuk beberapa saat sebelum akhirnya teringat kejadian tadi malam. Ia tertidur di bahu Nathaniel. Seketika wajahnya memanas. Eleanor langsung bangun dan duduk di tepi tempat tidur, menepuk pipinya sendiri pelan. Kenapa ia sampai ketiduran seperti itu? Dan lebih parahnya, ia menyebut nama Nathaniel dalam tidur. Apa pria itu mendengarnya? Eleanor menggelengkan kepalanya cepat. Tidak, tidak mungkin Nathaniel mendengar. Kalau iya, pasti tadi malam ia akan mengejeknya habis-habisan. Ia menarik napas dalam, mencoba mengembalikan kesadarannya sepenuhnya. Setelah itu, ia beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi untuk bersiap-siap. Sementara itu, di
Malam semakin larut ketika Eleanor akhirnya pulang. Sesuai dugaannya, Nathaniel masih terjaga saat ia tiba di rumah. Pria itu berdiri di ruang tamu, tampak santai dengan satu tangan di saku celana dan segelas minuman di tangan satunya."Kau pulang tepat waktu," ucapnya pelan, matanya menatap Eleanor dengan intens.Eleanor melepaskan mantelnya dan meletakkannya di gantungan dekat pintu. Ia melirik Nathaniel sekilas sebelum berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air. "Kau menungguku?" tanyanya tanpa menoleh.Nathaniel tidak langsung menjawab. Ia berjalan mendekat, bersandar pada meja dapur sambil memperhatikannya. "Hanya memastikan kau tidak pulang terlalu malam."Eleanor meneguk airnya sebelum berbalik menatap Nathaniel. "Kenapa?"Tatapan Nathaniel sedikit berubah, seolah mempertimbangkan sesuatu. Namun, bukannya menjawab, ia justru berujar, "Kau terlihat menikmati pertemuan tadi."Eleanor mengangkat alis. "Kau mengawasiku?
Eleanor berjalan menuju kamarnya dengan langkah cepat, tapi pikirannya masih berkecamuk. Pertanyaan Nathaniel tadi terus terngiang di kepalanya. Apa kau mulai merasa nyaman denganku? Ia mendesah pelan, berusaha menepis perasaan aneh yang mulai muncul dalam dirinya. Ini tidak boleh terjadi. Ia tidak boleh lengah. Namun, bayangan tatapan serius Nathaniel dan nada suaranya yang berbeda dari biasanya tetap melekat dalam benaknya. Setelah berganti pakaian dan bersiap untuk pergi, Eleanor turun kembali ke ruang tamu. Nathaniel masih di sana, berdiri dengan kemeja putihnya yang sudah tertata rapi, siap untuk berangkat ke kantor. Saat pria itu melihatnya, ia mengangkat alis. "Kau mau ke butik hari ini?" Eleanor mengangguk. "Ya, ada beberapa hal yang harus aku urus." Nathaniel menatapnya sesaat sebelum akhirnya berkata, "Aku bisa mengantarmu." Eleanor terkejut, lalu buru-bu
Setelah perjalanan yang terasa lebih lama dari seharusnya, mobil akhirnya berhenti di depan butik Eleanor. Wanita itu buru-buru membuka pintu dan keluar, seolah ingin segera menjauh dari aura mengganggu yang ditimbulkan oleh kehadiran Nathaniel di sisinya. Nathaniel menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. "Aku jemput nanti?" Eleanor menoleh sekilas, mencoba mencari alasan untuk menolak, tapi pada akhirnya hanya mengangguk kecil. "Terserah." Nathaniel tersenyum tipis mendengar jawaban itu. "Baiklah, sampai nanti." Tanpa menunggu lebih lama, Eleanor segera masuk ke dalam butiknya. Ia merasa perlu menenangkan pikirannya sebelum emosinya semakin kacau. Namun, begitu ia melangkah masuk, seorang pegawainya, Lisa, langsung menyambut dengan tatapan penuh selidik. "Kak Eleanor... tadi aku lihat bos besar nganterin kakak?" tanyanya dengan nada penasaran. Eleanor menghela napas panjang. "Jangan
Pagi di apartemen terasa lebih tenang dari biasanya. Eleanor terbangun sedikit lebih awal dari alarmnya, matanya masih setengah terpejam saat ia menyadari suasana di sekelilingnya. Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat bahwa ini bukan kamarnya di rumah lama, melainkan apartemen tempat ia tinggal bersama Nathaniel.Ia menghela napas pelan sebelum turun dari tempat tidur. Setelah mencuci muka dan mengganti pakaian, Eleanor keluar dari kamar, sedikit terkejut saat melihat Nathaniel sudah berada di dapur, mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku.Pria itu sedang menuangkan kopi ke dalam cangkirnya sendiri, lalu melirik sekilas ke arah Eleanor. “Pagi.”Eleanor berjalan mendekat. “Kau bangun lebih awal.”Nathaniel menyesap kopinya sebelum menjawab. “Aku memang selalu bangun pagi.”Eleanor mengangguk pelan. Ia sempat melirik meja makan dan menemukan satu cangkir tambahan di sana. “Kau buatkan kopi untukku juga?”
Malam semakin larut, tetapi Eleanor masih belum bisa tidur. Pikirannya terus berputar, mengingat bagaimana Nathaniel mulai berubah. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu, dalam caranya berbicara, yang terasa berbeda.Ia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit dengan napas pelan. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya, dan itu membuatnya frustrasi.“Apa aku terlalu banyak berpikir?” gumamnya pelan.Namun, meskipun ia mencoba mengabaikannya, kenyataan bahwa Nathaniel tidak lagi terasa seperti pria dingin yang dulu ia kenal tetap menghantuinya.Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari pintu kamarnya. Eleanor menoleh, sedikit terkejut.“Eleanor,” suara Nathaniel terdengar dari luar. “Kau masih bangun?”Eleanor ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Iya, ada apa?”Nathaniel tidak langsung menjawab. Ada jeda singkat sebelum akhirnya ia berkata, “Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.”
Pagi datang dengan sinar matahari yang perlahan menerobos tirai kamar. Eleanor menggerakkan tubuhnya sedikit, matanya masih setengah terpejam. Ia merasa hangat, lebih nyaman dari biasanya.Saat kesadarannya kembali sepenuhnya, ia menyadari sesuatu—ada lengan kuat yang melingkar di pinggangnya.Jantungnya langsung berdetak lebih cepat. Dengan hati-hati, ia menoleh dan menemukan dirinya berada dalam pelukan Nathaniel.Lelaki itu masih tertidur, napasnya teratur, dan wajahnya tampak lebih tenang dari biasanya. Biasanya, Nathaniel selalu menjaga jarak darinya. Tapi sekarang…Eleanor menelan ludah, tidak yakin harus berbuat apa. Ia mencoba bergerak pelan agar tidak membangunkannya, tetapi saat ia sedikit bergeser, cengkeraman lengan Nathaniel justru mengerat."Jangan gerak," suara Nathaniel terdengar, serak dan dalam.Eleanor membeku. "Kau sudah bangun?"Nathaniel tidak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang sebelum akhi
Eleanor masih terdiam di tempatnya, merasakan hembusan angin malam yang menyapu wajahnya. Perkataan Nathaniel barusan membuatnya kehilangan kata-kata. Ia tidak menyangka pria itu akan mengatakannya secara langsung seperti itu.Nathaniel tetap berdiri di hadapannya, menunggu reaksi. Tapi Eleanor hanya mengalihkan pandangan, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba tidak teratur."Apa kau selalu mengatakan hal seperti itu kepada semua wanita?" tanya Eleanor akhirnya, berusaha terdengar santai.Nathaniel menatapnya tanpa ekspresi. "Tidak."Jawaban singkat itu justru semakin mengganggunya. Eleanor berdeham pelan, mencoba mengembalikan kontrol atas emosinya. Ia tidak boleh terbawa suasana."Kau terlalu percaya diri, Nathaniel," katanya, berusaha tersenyum sinis. "Aku tidak merasa terganggu."Nathaniel tidak langsung membalas. Ia hanya mengamati Eleanor dengan mata tajamnya, seolah membaca setiap kebohongan kecil dalam kata
Keesokan harinya, Eleanor berdiri di depan cermin, memastikan penampilannya sebelum pergi. Gaun sederhana berwarna navy yang ia pilih terasa nyaman, dan riasannya cukup natural, tidak terlalu mencolok.Nathaniel yang baru keluar dari kamar mandi sempat meliriknya sekilas. "Kau terlihat baik-baik saja," komentarnya singkat.Eleanor menoleh. "Memangnya aku terlihat buruk sebelumnya?" tanyanya, sedikit mengangkat alis.Nathaniel hanya mengangkat bahu, tak ingin memperpanjang pembicaraan. "Ayo berangkat."Di perjalanan menuju kediaman keluarga Nathaniel, suasana di dalam mobil terasa lebih tenang dari yang ia bayangkan. Nathaniel tidak banyak bicara, hanya sesekali melirik ke luar jendela, sementara Eleanor berusaha menenangkan pikirannya.Begitu mereka tiba, pintu besar rumah keluarga Nathaniel sudah terbuka lebar, menyambut kedatangan mereka. Beberapa pelayan berlalu-lalang, menyiapkan hidangan di ruang makan."Eleanor!" Suara hang
Eleanor masih berdiri di samping Nathaniel, memperhatikan interaksi pria itu dengan Vivian. Meskipun ekspresi Nathaniel tetap datar, Eleanor bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya. Seperti ada sejarah yang belum ia ketahui.Vivian tersenyum tipis, lalu mengambil segelas sampanye dari pelayan yang lewat. "Jadi, bagaimana kehidupan pernikahanmu, Nathaniel?"Nada suaranya terdengar terlalu santai, seolah-olah ia sedang menunggu jawaban yang menarik.Nathaniel tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Vivian beberapa detik sebelum berkata, "Cukup baik."Vivian mengangkat alis. "Hanya 'cukup baik'?"Eleanor merasakan Vivian sedang mencoba memancing sesuatu. Ia bisa saja diam dan membiarkan Nathaniel menangani ini, tapi tiba-tiba ia merasa tidak ingin membiarkan wanita itu berpikir bahwa dirinya bisa meremehkan mereka.Ia tersenyum manis dan meraih lengan Nathaniel dengan santai. "Mungkin bagi Nathaniel itu 'cukup
Pagi itu, Eleanor duduk di meja makan, menyeruput kopinya dengan pelan. Matahari pagi masuk melalui jendela besar, menciptakan bayangan lembut di sekeliling ruangan. Namun, pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata Nathaniel tadi malam."Karena kamu adalah istriku."Kalimat itu sederhana, tapi entah kenapa, ada sesuatu di dalamnya yang terasa lebih dari sekadar pernyataan biasa.Nathaniel duduk di seberangnya, menikmati sarapannya seperti biasa. Tatapan Eleanor sesekali melirik pria itu, tapi ia tidak mengatakan apa-apa."Aku akan menjemputmu pukul tujuh malam," ujar Nathaniel tiba-tiba tanpa menoleh.Eleanor meletakkan cangkir kopinya dan menatapnya. "Aku belum bilang aku setuju untuk datang."Nathaniel akhirnya mengangkat kepalanya, menatap Eleanor dengan santai. "Aku tahu kamu akan datang."Eleanor mendengus. "Kenapa kamu terdengar begitu yakin?"Nathaniel menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tetap tena