Setelah pertemuannya dengan William malam itu, Sylvi pulang dengan mengendarai mobilnya yang sudah selesai diperbaiki sore tadi. Pertemuannya dengan William belum mendapat kesimpulan apa penyebab surat perjanjian itu terjadi.
Di sepanjang perjalanan, beberapa kali dia menginjak pedal rem secara mendadak karena tidak fokus pada pandangannya. Berkali-kali air mata terjatuh tanpa sengaja dari pelupuk mata cantiknya itu hingga membuat pandangannya buram.Hingga saat mobil yang dikendarainya sudah berada di depan gerbang sebuah Cluster Perumahan dimana rumah miliknya berada, Sylvi membelokkan kendaraannya hendak melewati gerbang itu.Ciiiittttt...Sylvi menginjak pedal rem dengan sekuat tenaga saat tiba-tiba sebuah bayangan terlihat di depan mobilnya. Bayangan yang tiba-tiba melintas itu ternyata adalah seorang anak kecil yang hendak berlari ke seberang jalan.Kejadian mendadak itu membuat tubuh Sylvi menegang seketika. Gadis itu turun dari mobilnya dengan tubuh gemetar dan ketakutan. Apa yang telah terjadi? batinnya.Seorang petugas keamanan Cluster berlari ke arahnya dan langsung melihat keadaan anak kecil yang sudah tergeletak di atas aspal."Mba Sylvi...." Panggil petugas keamanan bernama Tono itu. Dia sudah bekerja sebagai petugas keamanan Cluster Maharani selama 5 tahun dan mengenal semua penghuni Cluster."Pak, Pak Tono... Apa yang terjadi? Sebelum berbelok, saya tidak melihat siapapun. Tapi...kok bisa...begini..." sahut Sylvi gugup."Saya hendak membukakan gerbang saat melihat mobil mba Sylvi mau masuk. Saya juga melihat anak ini tiba-tiba berlari ke depan mobil mba Sylvi," ujar Pak Tono yang melihat kejadian itu persis di depan matanya."Saya...saya gak sengaja Pak. Saya gak bermaksud nabrak anak ini," ujar Sylvi semakin gemetar saat melihat darah mengalir keluar dari kepala anak kecil itu."Mba Sylvi, sepertinya kondisinya parah. Kita langsung bawa ke Rumah Sakit saja," usul Pak Tono.Sylvi yang panik tak bisa berpikir dengan cepat. Seluruh tubuhnya gemetar dan berkeringat dingin. Dia takut anak itu tidak bisa bertahan karena benturan yang terjadi sebelumnya sangat keras sekali."I..iya...iya Pak. Tolong bantu saya, Pak," sahut Sylvi."Baik," jawab Pak Tono dan dengan sigap mengangkat tubuh anak itu dan menaikkannya ke mobil Sylvi. Tubuh anak itu di rebahkan di kursi belakang."Pak Tono, apa yang terjadi?" Tanya Susanto rekan Tono. Para petugas keamanan selalu berjaga dua orang selama 12 jam, dan setelahnya akan bergantian dengan rekan mereka lainnya."Susanto, saya akan menemani mba Sylvi ke Rumah Sakit. Kamu berjaga sendiri dulu ya, kami akan segera kembali," sahut Tono sigap pada rekannya yang berusia 5 tahun lebih muda darinya."Baik, Pak," sahut Susanto mantap."Biar saya yang nyetir, mba," ucap Pak Tono yang merasakan kepanikan Sylvi saat melihat wajahnya yang berkeringat.Sylvi hanya menganggukkan kepalanya dan hendak naik ke kursi penumpang saat sebuah teriakan terdengar sangat nyaring."Budiiii...anakku....budiii...dimana kamu nak?"Suara teriakan wanita berusia sekitar 35 tahun itu membuat gerakan Sylvi dan Tono terhenti. Mereka mulai menyadari sepertinya Ibu dari anak yang ditabrak Sylvi sedang mencari keberadaan anaknya.Sylvi berbalik dan melihat wanita itu menghampirinya bersama dua orang pria. Tono memperhatikan ketiga orang itu dan mengenali salah seorang pria yang bertubuh besar."Joko," Panggil Tono pada pria yang dikenal sebagai tukang ojek di lingkungan itu. Joko juga seorang penagih hutang yang bekerja dengan seorang rentenir yang terkenal kejam."Eh Pak Tono. Apa kamu melihat seorang anak kecil berusia 7 tahun? Ibu ini mencari anaknya dari tadi," sahut Joko yang menggunakan baju tanpa lengan dan menampakkan tato macan di lengan kanannya.Sylvi terdiam ketakutan. Dia takut anak yang sedang mereka cari adalah anak yang ditabraknya tadi.Menyadari kondisi anak itu tidak baik-baik saja, Tono langsung membuka pintu mobil bagian belakang dan bertanya, "Apa anak ini yang kalian maksud?""Anakkuuuuu..." teriak wanita itu histeris saat melihat tubuh anaknya terbujur kaku di dalam mobil.Tono segera menjelaskan kejadian yang baru saja dilihatnya dengan hati-hati karena dia tidak ingin semua orang menjadi salah paham."Sebaiknya kita langsung bawa ke Rumah Sakit sekarang," ujar Tono setelah menjelaskan.Wanita yang ternyata adalah Ibunya Budi itu langsung naik ke mobil Sylvi bersama seorang pria yang datang bersamanya. Sementara itu Joko tetap tinggal dengan alasan akan tetap mengojek.Setelah mobil Sylvi bergerak meninggalkan kawasan itu, Joko berlari ke area pemukimannya yang terletak di seberang Cluster Maharani dan memberitahukan kejadian itu kepada semua warga.Sepanjang perjalanan wanita itu menangis tak henti-hentinya. Sylvi terpaku dengan wajah pucat di samping Tono yang sedang mengemudi. Tangannya saling bertautan karena cemas.Tono memahami kondisi Sylvi tapi tak bisa berbuat apa-apa. Dia terus mengemudikan mobil Sylvi hingga sampai di sebuah Rumah Sakit besar terdekat di wilayah itu.Beberapa orang Dokter dan perawat langsung menangani Budi. Hingga beberapa menit kemudian, seorang Dokter menghampiri Sylvi dan wanita yang baru diketahui namanya itu, Nina, Ibunya Budi."Mohon maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun nyawa anak Ibu tidak bisa diselamatkan karena luka di kepalanya sangat parah."Wajah Sylvi semakin menegang setelah mendengar penjelasan Dokter. Sementara itu Nina langsung terkulai lemas dan menangis histeris sekencang-kencangnya.Tono yang baru datang setelah memarkirkan mobil Sylvi di parkiran bawah tanah pun terkejut mendengarnya. Sementara itu pria yang datang bersama Nina langsung menenangkan wanita itu dan memapahnya duduk di kursi ruang tunggu.Tono menatap wajah Sylvi yang pucat dan tak bisa berkata apa-apa hingga beberapa orang warga datang berkerumun."Ada apa, Nina? Apa yang terjadi dengan Budi?" Tanya seorang wanita gemuk yang ternyata adalah tetangga Nina."Bu Jum... Anakku...Budi...meninggal huaaaaa..." sahut Nina dan menangis semakin keras."Apa? Siapa yang melakukannya? Joko bilang Budi tertabrak mobil. Siapa yang sudah menabrak Budi?" Teriak seorang pria lain."Dia...."Nina sontak menunjuk ke arah Sylvi yang memucat dan membuat semua orang yang baru datang merasa geram dan menatap tajam ke arahnya."Tenang dulu. Kalian semua tenang dulu. Kita bicarakan baik-baik. Sebelumnya saya sudah menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Saya akan menjelaskannya lagi pada kalian semua," sahut Tono yang melihat situasi mulai tidak kondusif.Setelah penjelasan Tono berhasil menenangkan semua orang, barulah Sylvi membuka mulutnya yang bungkam sejak tadi karena ketakutan."Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya tidak sengaja menabrak anak Ibu hingga dia meninggal. Dan sebagai permintaan maaf dan belasungkawa, izinkan saya menyerahkan uang sebesar 15 miliar sebagai kompensasi."Semua orang yang mendengar ucapan Sylvi terdiam sambil membelalakkan matanya, termasuk Tono."15 miliar?" desis seorang warga."Saya tahu, uang tidak akan mengembalikan nyawa anak Ibu. Sekalipun saya tidak sengaja melakukannya, tapi saya tetap merasa bertanggungjawab atas kejadian ini. Sekali lagi saya memohon maaf. Saya akan transfer uangnya sekarang juga," lanjut Sylvi saat melihat tatapan tidak percaya dari semua orang.Sylvi merasa ketakutan karena takut di anggap membual dengan menyebutkan nominal itu. Sementara semua orang terkejut dengan angka fantastis itu.Setelah mentransfer uang ke nomer rekening yang diberikan Nina, Sylvi menunjukkan layar ponselnya kepada wanita itu.Semua orang termasuk Tono berdesakan ingin melihat sendiri apa yang terjadi.Transaksi berhasil. Uang sebesar 15 miliar telah ditransfer ke rekening bank atas nama Nina Sunawa.Semua mata membelalak. Bahkan tampak beberapa biji mata hendak keluar dari sarangnya saking takjubnya.Begitu juga dengan Nina. Saat melihat nominal fantastis itu masuk ke rekening bank miliknya, wanita itu berusaha menyembunyikan senyum bahagianya."Haii nona cantik. Gimana kabarmu hari ini?" Tanya James dengan wajah ceria."Gak usah basa-basi. Kau bisa lihat sendiri kabarku seperti apa," sahut Sylvi ketus."Hmm... Hahahaha... Ah.. sungguh disayangkan, kau tidak mengikuti saranku waktu itu. Andai saja kau menuruti permintaan ku, pastinya kau tidak akan babak belur seperti sekarang," sinis James yang membuat Sylvi muak.James pernah menemuinya di rumah tahanan sehari sebelum sidang putusan dibacakan. James meminta gadis itu untuk menjadi kekasihnya, dengan begitu pria berperut buncit itu akan menyelamatkannya dari tuduhan pembunuhan. Sylvi saat itu merasa yakin akan memenangkan perkara tersebut karena ada William. Namun dia tidak menyangka, setelah pertemuannya dengan James Singgih hari itu William pun datang dan mengatakan bahwa dia tidak akan melanjutkan perkara itu lagi dan menolak untuk naik banding. William menyuruh Sylvi untuk mencari pengacara lain tapi tentu saja Sylvi tidak bisa melakukannya karena dia sudah tidak memil
Di sudut lain rumah tahanan itu, ada tempat berolahraga khusus untuk para penjaga. Namun tempat itu sangat jarang digunakan karena para penjaga rumah tahanan lebih memilih untuk bersantai daripada berolahraga.Dhani menyuruh Sylvi datang ke tempat itu setiap sore. Meskipun hanya ada samsak yang sudah kumuh dan beberapa barbel yang sudah lama terbengkalai, namun semua itu masih bisa digunakan."Hari ini, keluarkan semua perasaanmu pada samsak tinju itu. Tanpa menggunakan alat apapun dan sarung tinju, kamu harus bisa mengandalkan kekuatan tangan dan kakimu sendiri," perintah Dhani tanpa menatap Sylvi.Dhani tak berani sedikitpun menatap wajah gadis malang itu lagi karena dia akan merasa sangat sedih. Tapi dia bertekad akan mengajari beberapa gerakan tinju untuk bekal Sylvi membela diri.Melihat Sylvi hanya diam terpaku di depan samsak yang tergantung, Dhani mulai mempermainkan emosi gadis itu."Orang yang sudah merebut perusahaanmu, siapa namanya?" Tanya Dhani santai."James Singgih," s
Keesokan harinya, Dhani sudah berada di tempat olahraga itu menunggu kedatangan Sylvi. Sudah jam 5 sore tapi Sylvi tak kunjung datang.Saat Dhani hendak meninggalkan tempat itu karena dia harus bekerja, sosok gadis yang ditunggunya tampak berjalan terseok-seok ke arahnya."Maaf, aku datang terlambat," ucap Sylvi saat langkahnya terhenti tepat di depan Dhani.Dhani tampak gusar saat mengetahui kondisi gadis malang itu semakin memprihatinkan. Ingin rasanya dia membalas perbuatan orang-orang yang sudah menyiksa Sylvi tanpa ampun. Tapi dia tahu posisinya saat ini, dia tidak berhak untuk ikut campur."Kalau tidak bisa latihan, sebaiknya kamu istirahat saja," ujar Dhani sambil memalingkan wajahnya. Hatinya tercabik-cabik melihat pemandangan di depan matanya namun tidak bisa berbuat apa-apa. "Aku....bisa..." sahut Sylvi sambil berjalan ke arah samsak yang masih berada di tempat yang sama seperti sebelumnya."Ada barbel di sudut sana. Kau bisa belajar mengangkat beban berat untuk menguatkan
Sagi tiba di rumah kontrakan nya tepat jam 7 malam. Setelah menyelesaikan pekerjaannya di rumah tahanan pada jam 6 sore, dia akan berjalan kaki untuk menghemat pengeluaran. Waktu yang dia butuhkan untuk berjalan menuju rumah kontrakan nya adalah 1 jam, tapi dia tidak pernah mengeluh.Siapa tahu dengan berhemat, aku bisa menabung dan membelikan rumah sederhana untuk gadis kecilku, Ziana.Tepat saat dia membuka pintu rumahnya, Sagi dikejutkan dengan kedatangan Dhani yang sudah berdiri di belakangnya."Selamat malam, Pak Sagi," sapa Dhani dengan sopan."Pak Dhani," seru Sagi gembira. Dhani duduk di lantai rumah kontrakan Sagi yang hanya berukuran 3x5 meter itu setelah dipersilahkan oleh tuan rumah. Tidak ada sofa atau kursi, tidak ada hiasan dinding dan ornamen apapun di tembok polos dengan cat yang sudah mengelupas. Diruangan itu hanya ada sebuah kasur tipis yang sudah lusuh di sudut ruangan dan sebuah kipas angin kecil yang sering rusak."Saya bawa dua bungkus nasi goreng. Kita makan
"Tidaaakkkkkk...." teriak Sylvi sekuat tenaga. Dia tidak mau mati di penjara. Dia tidak mau semua usahanya gagal hari ini. Dia tidak mau mati di tangan dua dari tujuh wanita begundal sialan itu.Namun injakan kaki Markijem benar-benar membuatnya sesak dan tak bisa bergerak."Berhenti!!!"Suara Pak Sagi terdengar cukup lantang di telinga Sutiwe dan Markijem. Kaki Sutiwe yang melayang di udara dan hendak mendarat di dada Sylvi pun langsung terhenti dan membuat tubuhnya oleng. Sutiwe terjatuh di samping Sylvi yang masih memegang kaki Markijem yang berat."Kalian mau bunuh orang?" Tanya Sagi berang sambil mendorong tubuh Markijem agar Sylvi bisa terlepas dari injakan kaki wanita kejam itu.Sagi membantu Sylvi bangun dari lantai kamar mandi. Berkali-kali gadis malang itu terbatuk dengan nafas sesak. "Mba Sylvi gak apa-apa?" Tanya Sagi khawatir. Untung saja dia datang tepat waktu. Kalau tidak, bisa-bisa gadis itu sudah tinggal nama malam ini."Heh tukang sapu kerempeng, lu pikir lu siapa?
Sylvi tak dapat menggambarkan perasaannya kali ini. Terkejut sekaligus senang mendengar penjelasan Dhani, tapi dia juga bingung kenapa dia bisa dipindahkan ke sel tahanan baru itu. "Ngomong-ngomong, kamu kerja disini sekarang?" Tanya Sylvi pada Dhani yang kembali melangkah."Ya, baru hari ini. Dan seharian ini aku sibuk mengurus administrasi kepindahanku kesini. Untungnya tadi sore sempat ketemu sama Pak Sagi. Kalau tidak..." sahut Dhani terputus."Kalau tidak apa?" Tanya Sylvi penasaran. "Kalau tidak, kamu udah jadi bakwan jagung hari ini, hihihi..." sahut Dhani terkikik.Sylvi menghentikan langkahnya menyadari keberuntungannya hari ini. Benar, mukjizat itu ada. Dan malaikat penolongku datang tepat waktu. Terima kasih Pak Sagi, terima kasih Dhani. Semoga aku bisa membalas kebaikan kalian suatu saat nanti, gumamnya dalam hati.Melihat Dhani berbelok di ujung koridor, Sylvi berlari mengejar Dhani yang terus berjalan. Dhani berhe
Tepat jam 7 malam Sylvi mengajak Mery untuk makan malam di aula rumah tahanan. Mery yang belum terbiasa merasa enggan bertemu dengan narapidana lainnya di tempat itu."Tidak apa-apa. Kan ada saya, Bu Mery," bujuk Sylvi. Mery akhirnya mengikuti Sylvi yang melangkah lebih dulu. Sebenarnya dia enggan pergi ke aula, tapi karena perutnya lapar karena dia sering lupa makan belakangan ini, mau tidak mau dia mengikuti Sylvi untuk sekedar mengisi perutnya.Untung ada Sylvi, kalau tidak, aku bisa puasa lagi setahun disini, pikirnya.Saat hampir tiba di aula, Sylvi menghentikan langkahnya sambil melihat ke kiri dan ke kanan."Kamu cari siapa?" Tanya Mery bingung. "Mmm...ahh... enggak," sahut Sylvi gugup dan kembali melangkah menuju aula.Tangan Sylvi gemetar saat mengambil nasi, tahu, tempe dan sayur kangkung. Dalam hatinya dia berharap tidak bertemu lagi dengan tujuh wanita begundal itu.Mery mengikuti semua gerakan Syl
Mery seketika bangkit dari kasurnya dan memeluk tubuh kurus Sylvi yang tinggal tulang itu. Semakin erat dia memeluk, semakin dia merasakan penderitaan gadis malang yang kini satu sel dengannya.Dalam hatinya dia berjanji akan mengadukan kemalangan gadis itu pada Kyle, anak majikannya. Mery tahu Kyle mewarisi sifat Ibunya yang telah meninggal dunia. Meskipun perawakannya tampak dingin dan kejam seperti Ayahnya, tapi dia memiliki hati yang lembut. Mery dan Sylvi tidur berpelukan. Seakan memperlakukan Sylvi seperti anaknya sendiri, Mery terus menerus mengelus kepala gadis itu dengan lembut.Sylvi hening dalam pelukan wanita setengah baya yang seusai dengan Mamanya itu. Dia hanyut dalam belaian kasih sayang layaknya seorang Ibu pada Anaknya. Matanya terpejam dalam dekapan cinta yang telah lama hilang dalam sanubari nya.Mereka terbangun di pagi hari yang cerah. Semua narapidana bersiap untuk sarapan.Setelah sarapan keesokan harinya, Mery dipanggil oleh petugas karena ada tamu yang berku
Sesampainya di rumah, Sylvi langsung masuk ke kamarnya tanpa menoleh sedikit pun ke arah Mery yang tersenyum saat membuka pintu.Begitu juga dengan Kyle yang langsung naik ke lantai dua dan menutup pintu kamarnya dengan keras.Mery bergegas menutup pintu setelah terperangah beberapa saat. Sedikit berlari, wanita paruh baya itu menuju ke kamar Sylvi dan mengetuk pintu."Masuk," sahut Sylvi dari dalam kamar dan sudah menduga siapa yang mengetuk pintu kamarnya."Ada apa? Apa kalian bertengkar?" Tanya Mery lembut sambil duduk di samping Sylvi di tepi ranjang."Aku menghabiskan uang 300 juta dan dia menyuruhku membuang semuanya karena itu semua barang murahan, katanya," sungut Sylvi dengan wajah cemberut."Memangnya, berapa banyak belanjaanmu dengan harga 300 juta itu?" Tanya Mery lagi."Banyak. sepuluh set pakaian kerja, tiga pasang sepatu, alat-alat make-up dan sebotol parfum," sahut Sylvi masih kesal."Hihihhii...." Mery terkikik geli mendengar jawaban Sylvi yang polos."Kok Bu Mery mal
"Pak Kahar langsung kembali ke rumah aja, ya," ujar Sylvi sebelum turun dari mobil saat mobil yang dikendarai Kahar itu berhenti di Lobby perusahaan Knight World. "Ee..tapi..." Kahar tak mampu menyelesaikan kalimatnya saat melihat Sylvi sudah menutup pintu dan berlari masuk ke gedung perkantoran mewah itu.Petugas keamanan merangkap supir itu hanya menghela nafas ringan menatap ke arah Sylvi yang terus berlari dengan baju kerja yang baru digantinya di kamar pas pusat perbelanjaan tadi.Setelah memastikan gadis itu masuk ke dalam gedung dengan aman, Kahar mengeluarkan ponsel dari kantong celananya lalu menulis sebuah pesan teks.Tok Tok TokSekretaris CEO mengetuk pintu ruangan Kyle yang sedang mendiskusikan beberapa pekerjaan dengan Bobby."Mr. Kyle, nona Sylvi datang untuk menemui anda," ujarnya setelah mengetuk pintu."Masuk," sahut Bobby yang tahu perihal kedatangan gadis itu.Pintu terbuka dan menampakkan sosok seorang gadis muda yang semakin hari terlihat semakin cantik di mata
Pagi ini, suasana sarapan di meja makan lebih hangat dari sebelumnya.Mery sibuk menyiapkan dua mangkuk sup ayam yang masih panas ke atas meja. Sylvi membuatkan kopi untuk Kyle. Sementara sang Tuan Muda hanya diam memperhatikan kesibukan dua wanita beda generasi itu."Silahkan di makan, Tuan Muda," ucap Mery sambil meletakkan mangkuk sup di depan Kyle."Ini kopinya," ucap Sylvi pula. Gadis itu ikut duduk di kursi dan memulai sarapannya. "Bu Mery, sup ayamnya enak sekali," puji Sylvi setelah menyesap satu sendok sup panas itu perlahan-lahan.Mery tersenyum mendengar pujian itu. Tapi yang membuatnya lebih bahagia adalah saat melihat wajah bahagia gadis yang sudah seperti anaknya sendiri itu.Setelah sarapan nanti, aku akan berikan buku tabunganku pada Sylvi, agar dia bisa membeli pakaian kerja yang baru, pikir Mery masih tersenyum. Sylvi bangkit dari tempat duduk setelah menghabiskan sarapannya."Aku berangkat ya, Bu Mery, K-Kyle," ujarnya sedikit gugup saat menyebut nama Kyle."Kau m
Anugrah Sejati, perusahaan properti milik Sylvi Anugrah itu tetap berjalan seperti biasa selama gadis itu berada di dalam rumah tahanan. Tentu saja dibawah kendali James Singgih yang telah merebut perusahaan itu dengan cara licik. Tanpa bukti, tentu saja Sylvi tidak bisa menggugat dan membuktikan kecurangan yang telah dilakukan si singkong rebus basi itu. "Aku harus bisa menemukan siapa penghianat dalam perusahaanku. Tekadku sudah bulat, siapapun yang telah mencuri atau memalsukan tanda tangan dan stempel perusahaan Anugrah Sejati akan di seret ke meja hijau," ucap Sylvi mantap.Tatapan mata lembut yang biasa terpancar dari mata kecilnya itu, kini tampak berapi-api dan penuh semangat.Ya, Aku harus bangkit dari segala keterpurukanku selama ini. Tawaran Kyle adalah satu-satunya jalan tercepat untuk mewujudkan semua itu, pikirnya."Tapi kan butuh waktu yang tidak sebentar, Vi," ucap Bobby ragu."Tentu saja. Sesuai janji Tuan Muda Kyle, setelah satu tahun perusahaan Anugrah Sejati akan
Tepat jam tujuh malam, Mery sudah menyiapkan hidangan makan malam di atas meja makan. Kyle dan Sylvi duduk bersebrangan di meja makan berukuran besar itu.Tak ada pembicaraan selain suara denting sendok dan piring yang saling bercengkrama selama hampir tiga puluh menit lamanya.Mery memperhatikan mereka berdua dari balik kulkas besar yang terletak di samping kitchen set di dapur."Kenapa mereka berdua diam saja? Memang Tuan Muda tidak suka bicara saat sedang makan, tapi kenapa wajahnya seperti sedang marah besar? Wajah Sylvi juga aneh, tidak biasanya dia cemberut seperti itu. Dari tadi siang dia bahkan tidak bicara sepatah kata pun padaku," gumam Mery dalam hatinya."Apa kau sudah memikirkan ucapanku tadi?" Tanya Kyle tiba-tiba setelah dia menghabiskan makan malamnya.Sylvi yang sejak tadi berusaha mengunyah makanan langsung menghentikan kegiatannya. Tenggorokannya terasa pahit dan lidahnya kelu. Dia mendadak jadi pendiam semenjak bertemu Kyle di kantornya tadi.Lima menit tanpa jawab
Sepanjang perjalanan pulang, Sylvi bungkam tanpa sepatah kata pun keluar dari bibir mungilnya.Mery dan Kahar ternyata menunggunya di tempat parkir sedari tadi. Setelah mendapat pesan dari Bobby, Kahar bergegas mengemudikan kendaraannya dan menghampiri gadis itu tepat di depan lobby perusahaan Knight World itu.Sylvi yang tergesa-gesa meninggalkan perusahaan itu karena kesal dengan tawaran Kyle, baru menyadari bahwa mobil yang dikendarai Kahar sudah berada tepat di hadapannya.Bahkan Mery yang menyapanya saat gadis itu masuk ke dalam mobil tak dihiraukan nya sedikitpun pun."Apa yang dia maksud? Kenapa aku harus menikah dengannya agar perusahaan itu kembali menjadi milikku? Aku bahkan sempat lupa bahwa aku pernah memiliki perusahaan property yang ku bangun dengan jerih payah sendiri selama lima tahun.""Awalnya dia bilang aku harus membayar 700 miliar untuk menembus perusahaan itu. Tapi pada akhirnya, dia malah menawarkan untuk menikah dengannya dengan kompensasi selama satu tahun per
Suasana ruangan CEO itu kini tampak mencekam. Sylvi yang sedang menangis sesenggukan, Kyle yang sedang menatap tajam ke arah gadis yang bersimbah air mata dan Bobby yang panik berada di antara mereka berdua. "Duhhhh..." ucap asisten CEO itu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tiba-tiba Sylvi bangkit dari sofa dan berjalan ke arah pintu keluar."Saya permisi," pamitnya sambil mengusap airmata di wajahnya.Bobby kembali tercengang dengan situasi saat ini. Kyle pun terkejut dengan sikap Sylvi yang tidak masuk akal."Perusahaanmu sekarang sudah jadi milikku. Sekarang kau kembali bekerja di perusahaan itu dan tetap sebagai presiden direktur disana," teriak Kyle kesal.Sontak langkah kaki Sylvi terhenti. Tangannya yang sudah menggenggam gagang pintu terlepas begitu saja saat mendengar teriakan Kyle."Apa?" Tanya Sylvi tak percaya.Kyle menghembuskan nafas kasar dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kebesarannya.Bobby pun terlihat bernafas lega. Melihat Sylvi tak jadi me
Bobby membuka pintu dan mempersilahkan Sylvi untuk masuk."Masuk, Vi," ujar Bobby santai. Karena yakin yang datang adalah Sylvi, asisten CEO Kyle Knight itu mempersilahkan tanpa melihat ke arah orang yang berdiri di depan pintu.Sylvi sedikit terkejut dengan panggilan itu. Sepertinya mereka sudah mulai akrab sekarang, pikirnya.Sementara itu Kyle merasa geram dengan ucapan Bobby yang seakan-akan sangat lemah lembut pada Sylvi dan memanggilnya dengan nama panggilan yang akan terdengar lebih akrab dari sebelumnya."Pintar cari muka," gerutu Kyle dalam hati.Namun kekesalan di hatinya terhenti seketika saat menatap seorang gadis yang tampak berbeda dari Sylvi. Gadis itu seperti seorang wanita karir yang akan menegosiasikan kerja sama dengannya dan tidak seperti Sylvi yang biasa dia lihat sebelumnya. Di belakang pintu yang sudah tertutup, Bobby pun sedang menatap ke arah gadis yang sama dengan mulut menganga dan mata melotot.Dia yakin tadi dia mendengar suara sekretaris menyebut nama Sy
"Kamu harus ke salon," ujar Mery santai.Mery merasa sudah tidak cukup waktu untuk berbelanja alat kosmetik lagi, jadi sebaiknya langusng ke salon saja. Sylvi mau tidak mau mengikuti langkah kaki Mery dengan enggan. Pakaian, sepatu, salon. Semua itu sudah menghabiskan uang sekitar dua puluh lima juta. Memangnya aku bisa dapat pekerjaan apa saat ini?Kalau dulu saat dia memimpin perusahaannya sendiri, dia mematok gajinya hanya lima puluh juta perbulan. Dengan bonus tahunan sebesar apapun, dia akan gunakan untuk menambah aset perusahaannya.Dari sisa uang gaji bulanan yang dia terima, Sylvi bisa menyimpan hampir tiga puluh juta perbulan setelah digunakan untuk biaya hidupnya yang cukup sederhana, biaya perawatan dan keamanan apartemen yang dia tempati, dan juga uang bulanan untuk Marina sebanyak lima juta selama tiga tahun terakhir sebelum dia di penjara.Setelah berbicara dengan beberapa orang pekerja salon, Mery menyuruh Sylvi duduk di s