“Gue jadi madu, makanya gue malu untuk mengakuinya. Gue takut kalian juga malu punya temen kayak gue. Gue enggak mau dikatai sama orang-orang yang udah kayak rumah buat gue sendiri.”
Ayesha tertunduk selagi menjelaskan dan membeberkan semua yang dia tutupi belakangan ini. Dan teman-temannya dengan fokus menyimak seraya mengajukan pertanyaan yang bisa dijawabnya.“Jadi, lo beneran hamil?” Lagi-lagi, mereka ingin memastikan kebenaran tentang itu.Di depan rumah Ayesha, mereka semua berkumpul. Yang tadinya di rumah salah satu dari anak Apollo, sekarang mereka pindah ke rumah Ayesha. Dan berhasil merepotkan warung yang ada di dekat rumah Ayesha. Mereka jadi kebanjiran pesanan karena Ayesha tak akan sanggup menyuguhi mereka, jadi dia akan mentraktir mereka. Walau ujungnya, pasti Devan yang bayar.“Iya, beneran.” Ayesha terkekeh pelan, entah kenapa mereka tampaknya tak percaya padanya sama sekali, itu membuatnya geram sekaligus tergelitik.“Gue masuk dulu, ya? Sebentar doang,” pamit Ayesha. “Lama juga enggak apa-apa, kalau lo mau berduaan sama laki lo dulu,“ jawab Inggit. Ayesha mendesis dan hendak memukul gadis itu. Dia kemudian hanya tersenyum seraya masuk ke dalam rumah menyusul Izhar. Dan dia segera ke kamarnya, karena tahu Izhar pasti langsung mandi di kamar mandi yang ada di kamar. Begitu membuka pintu, dia menemukan pria itu. “Hey, kok ke sini?” Izhar menatapi Ayesha dan tersenyum agak canggung. “Itu ... Ay minta maaf karena bawa temen ke sini enggak bilang Aa. Apa lagi banyak cowok,” ucapnya, dia merasa tak enak pada Izhar. Izhar terdiam sejenak. Dia memang terkejut karena ada banyak laki-laki di rumah Ayesha. Namun, melihat ada banyak perempuan juga, dan kelihatannya merasa semua memang temannya. “Aa pikir Aa yang harus minta maaf sama kamu karena datang tiba-tiba, enggak ngabarin kamu dulu. Kamu enggak bawa mereka masuk, enggak apa-apa soal itu. Aa
Izhar bangun lebih dulu, seperti biasanya. Kali ini, ada yang memeluk tubuhnya. Ayesha. Biasanya, dia yang memeluk Ayesha. Perempuan itu merapatkan tubuhnya, serapat-rapatnya dengan sang suami. Bahkan kepalanya merebah tepat di dada Izhar. Membuat Izhar agak pengap. Namun, melihat Ayesha yang lebih manja padanya seperti ini, membuat Izhar menyadari jika Ayesha mungkin semakin nyaman dan merasa aman di dekatnya. Dia tidur sangat pulas malam itu. Pria itu kemudian mengusap rambut Ayesha dari puncak kepalanya dengan halus. Setelah sholat shubuh, seperti biasanya, Ayesha tidur lagi. Sementara Izhar kelaparan karena tak mengisi perutnya sejak semalam. Dia hanya bisa menemukan sereal dan susu. Dia akhirnya memakan apa saja yang ada sebelum mendapatkan makanan yang sesungguhnya. Pria itu memakan sereal sambil menunggu nasi uduk yang dia pesan datang. Begitu nasi uduknya tiba, Izhar segera membangunkan Ayesha untuk sarapan. Ayesha bangun dengan rambutnya yang m
[Ay, maaf tentang kemarin. Gue di luar kendali, serius. Gue rasa gue mabok waktu itu. Gue bener-bener-bener enggak sadar apa yang gue lakuin waktu itu. Gue sadar-sadar waktu gue jatuh di jalan pas gue pulang bawa motor. Gue nanya sana sini, banyak yang bilang gue dorong lo, dan gue sadar itu bukan mimpi gue doang. Ay, gue nyesel, serius.]Ayesha menatapi handphonenya, di mana Argi mengiriminya pesan. Diam-diam dia membacanya, karena ada Izhar di sisinya. Dan Izhar melirik ke arahnya, membuatnya segera menutup handphonenya. Dia kemudian mengulum bibirnya dan tersenyum ke arahnya. Lalu, handphonenya Izhar berdering. Sebuah panggilan masuk dan itu dari Nirmala. Ya, Ayesha juga tahu jika itu berarti waktu mereka telah habis jika Nirmala sudah menelepon. “Hati-hati di jalan,” ucap Ayesha, dia sedikit tak rela pria itu pergi sekarang. “Maaf, Aa harus pergi. Jaga diri kamu, ya! Kalau ada apa-apa, hubungi Aa! Assalamualaikum. ” Izhar kemudian mengecup
Mala menatapi sebuah foto yang baru saja dikirimkan kepadanya. Dengan obrolan sebelumnya yang menunjukkan jika Ayesha pulang beramai-ramai dengan banyak teman-temannya. Ternyata Izhar tak mendapatkan izin Mala begitu saja. Mala tahu ada banyak teman Ayesha yang laki-laki di rumahnya, dia berpikir jika Izhar dia biarkan mengunjungi Ayesha, pria itu akan marah. Namun, apa yang dia dapatkan saat Izhar pulang, pria itu bahkan tampak sangat segar dan semringah. Menandakan jika Ayesha tak mendapatkan masalah sama sekali saat Izhar datang.Kali ini, dia punya sebuah foto yang mungkin berhasil membuat Ayesha dalam masalah kali ini. Mala membukanya lebar dan kemudian memiringkan handphonenya, menunjukkannya pada Izhar yang tengah membaca buku di sebelahnya sambil mengusap perut Nirmala yang lebih buncit dari Ayesha. “Apa?” tanya pria itu seraya memegangi sisi lain handphonenya Nirmala dan melihat lebih dekat. “Hari ini Ayesha pakai baju warna apa?” tany
“Mana dia?!” Izhar membentak saat tak berhasil menemukan siapa pun di rumahnya. “S-siapa?” Bahu Ayesha gemetar, dia masih syok atas kejadian Argi, sekarang Izhar. “Pria yang tadi sedang bersama kamu di luar, memeluk kamu dengan mesra!” sentaknya lagi. Ayesha mengernyitkan dahinya dengan gelagapan. Dia mengulum bibirnya dengan sedikit takut pada Izhar. Lantaran kenapa Izhar bisa tahu jika Argi tadi ada di sini, dan sempat memeluknya? Tapi sungguh, dia tak menikmati pelukan yang menyesakkan itu. “Argi, bukan? Mana pria itu sekarang?!” Izhar bertanya dengan penuh emosi.“Aa salah paham,” jawab Ayesha, berusaha menjelaskannya pada Izhar dengan gelagapan. “Salah paham gimana?! Aa jelas-jelas lihat foto kamu, yang masih menggunakan pakaian yang sama dengan foto itu, dipeluk Argi. Aa ingat betul gimana model rambutnya Argi juga.” Izhar marah. Ayesha terdiam, menahan desiran di jantungnya yang amat tak mengenakan. Sesak, e
Ayesha mendesis pelan, menahan rasa pegal dan ngilu di bahunya yang tadi terkilir saat tangannya tak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri. Dengan wajahnya yang bengkak sehabis menangis, Ayesha menghela nafasnya, dadanya masih terasa sesak seberapa banyak dia berusaha mengeluarkan rasa sesak yang menjerat di dadanya tersebut. Kakinya dengan mandiri dia obati, Tangannya bahkan masih gemetar setelah menghadapi dua kejadian sekaligus. Ayesha menatapi lututnya, hanya berharap besok sendi lututnya tak terasa sakit untuk beraktivitas. Ayesha berusaha membaringkan tubuhnya, agar bisa beristirahat. Sesenggukan, perempuan itu masih berusaha menahan sesak di dadanya setelah apa yang terjadi hari ini. Membaringkan tubuhnya yang terasa lemas, mengistirahatkan tangannya yang terus gemetaran, kakinya yang terasa sakit dan pegal juga. Perempuan itu hanya ingin tidur nyenyak malam itu. Bahkan berharap jika dirinya tak akan bangun esok pagi. Namun, membayangkan dirinya a
Devan memakan pizza yang dia bawa, sambil celingukan di depan ruangan UGD. Yang mana Ayesha tengah diperiksa keadaannya. Sementara Belia tampaknya cemas dan panik, melirik ke arah Devan yang bisa-bisanya masih makan di saat seperti ini dengan lahap dan bahkan menyeruput soda juga. “Adek lo, noh! Lagi di UGD, dan lo asyik makan di sini?!” Belia memukulnya. “Ya gue harus apa?! Masuk, gitu? Bantuin dokternya, gitu? Kan, kagak bisa!” jawab Devan.“Iya, sih. Terus suaminya Ayesha? Lo tahu dia enggak bisa dihubungi, terus lo enggak bakal ngehubungi dia, gitu? Coba telepon lagi!” ujar Belia. Devan mendengus seraya memasukkan potongan pizza yang masih besar ke mulutnya. Dia mengunyahnya dengan lahap, kelihatannya dia memang lapar. Devan mengeluarkan handphonenya hendak menghubungi Izhar, memberitahu keadaan Ayesha yang ditemukan dengan kondisi kritis. Sementara Belia menatapi pria itu. Bahkan dengan mulut yang penuh hingga tulang rahangnya terlihat saat makan, pria itu semakin tampan. Ter
“Devan, ya? Sepupunya Ayesha?” Nirmala menyapanya, dia sebenarnya cukup jarang sekali bertemu dengan Devan. Devan terdiam sejenak dan mengernyitkan dahinya. Karena Nirmala menggunakan cadar, rasanya sulit mengenalinya. Dia tahu jika Nirmala menggunakan cadar. Namun, tak sadar jika itu Nirmala. “Siapa?” tanya Devan balik. “Nirmala, istrinya Izhar,” jawab Nirmala. “Oh ... A Izhar beneran enggak ke sini?” tanya Devan, dia ingin memastikan hal tersebut. “Enggak bisa, A Izhar sibuk soalnya,” jawabnya lagi. Devan menganggukkan kepalanya mengerti. Kemudian, dia teringat akan sesuatu. Dia mungkin bisa menanyakan sesuatu kepada Nirmala. Mengingat Nirmala lebih punya banyak waktu dengan Ayesha, Izhar pasti mengatakan sesuatu kepadanya lebih banyak ketimbang pada Ayesha. “Oh, iya, ngomong-ngomong, belakangan ini hubungannya Ayesha sama A Izhar gimana?” tanya Devan langsung, dia tak bisa berbasa-basi, memang tak pandai melaku
“Saya enggak bisa tinggal diam. Saya bisa bawa kasus ini ke pengadilan.” Ayesha menyilangkan tangannya, menatapi gadis yang menangis sesenggukan setelah melempar tempat pensil pada Juan hingga menyebabkan pelipis Juan terluka.“Aish... ini cuman masalah anak-anak. Kita enggak harus sampai bawa-bawa ini ke pengadilan, kan? Namanya juga anak-anak,” ucap pria yang kelihatannya ayah dari gadis itu cukup manis untuk membujuk Ayesha yang kini merangkul Juan yang duduk di UKS. “Lagian itu salah anak kamu! Kenapa sampai harus bentak-bentak anak saya. Dia kan, jadi takut. Itu salah satu refleks anak untuk melindungi dirinya sendiri!“ bela ibunya dengan lantang. “Oh...” Ayesha tertawa sinis dan melebarkan matanya dengan kesal. “Ternyata ibu sama anak sama aja. Tukang jual gosip.” “Ayesha!” Izhar menatapi Ayesha dan menyentuh pundaknya, yang langsung ditepis Ayesha. “Apa?! Tukang jual gosip?! Saya enggak sekedar bergosip, itu fakta! Anak yang tu
“Kamu ketemu Arsy sama ibunya?!” Ayesha melebarkan matanya saat Juan mengakuinya. “Juan... Juan tahu mereka karena lihat beberapa kali fotonya. Juan agak curiga, kenapa ayah enggak tinggal sama kita kayak ayah-ayah lainnya. Ternyata ayah punya keluarga lain,” ucap Juan pelan. Terdengar nadanya kecewa. Dia mungkin sudah menahan perasaannya untuk tak menunjukkan jika dia tahu sesuatu di depan bundanya. Namun Ayesha kemudian menghela nafasnya dan mendekati Juan. Tangannya mengusap halus pundak putranya itu. “Maaf, karena membiarkan kamu terlahir sebagai anak madu,” ucap Ayesha lirih. “Bunda enggak perlu minta maaf. Juan enggak pernah malu punya bunda,” jawab Juan cepat, dia tak ingin membuat bundanya yang telah mengorbankan banyak hal untuknya. Ayesha menghela nafasnya. Lagi pula, Juan memang harus tahu tentang ini. Ayesha menatapi putranya yang sudah beranjak dewasa. Dia kemudian memegangi keningnya, mengangkat sedikit rambut putranya
Juan tumbuh dengan pesat. Dia bersekolah di Bogor untuk sekolah dasarnya dan akan pindah ke kota asal ibunya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Juan tumbuh menjadi anak yang aktif. Karena pindah kota lagi, dia bisa dekat dengan ayahnya sekarang. “Arsy juga bakal sekolah di sekolah yang sama,” ucap Izhar tiba-tiba. Ayesha yang sedang menatapi persyaratan yang diperlukan untuk mendaftar lantas menggeser brosur sekolah yang ditunjukkan Izhar untuk Juan bersekolah di sana. “Aa yakin enggak akan masalah?” Ayesha menatapi Izhar dengan tatapan yang masih sama. “Enggak akan, Ay. Justru supaya Juan sama Arsy saling mengenal. Juan belum pernah main sama Arsy sebelumnya. Kamu enggak pernah izinkan Aa bawa Juan pulang. Neneknya kangen sama Juan,” ucap Izhar seraya menghela nafasnya dengan berat. “Itu buat kebaikan Juan. Aku enggak mau, Juan sampai mendengar sesuatu yang buruk dari ibu Aa.” Izhar menghela nafasny
“Ay bakal ikut keluarganya Devan pindah ke luar kota.” “Ay, kamu itu istri Aa. Justru kamu seharusnya itu Aa. Kenapa kamu malah ikut-ikut keluarga Devan?” Izhar merasa tertekan karena mendengar Ayesha akan pergi ke kota lain. Ayesha mengulum senyum dan menatapi Juan yang berada di kursi tingginya. Dia kemudian menyuapi Juan makanannya. Bayi itu terlihat sangat lahap makannya. “Ay kalau enggak sama Devan di sini sendirian. Aa enggak pernah ada sepenuhnya buat Ay, Devan yang malah jadi harus repot sama Ay, meski Ay udah nikah. Jadi, ya mau gimana lagi? Ay di sini atau Ay di sana, kayaknya buat Aa sama aja, kan?” Ayesha tersenyum tipis. Izhar menghela nafasnya. Setelah banyak yang dirinya dan Ayesha lakui, pada akhirnya Ayesha malah ingin pergi. Dia pikir kehadiran Juan akan cukup untuk mengikat Ayesha. Namun sepertinya tidak. Apa lagi dirinya kurang menghadirkan dirinya untuk sosok ibu dari anak laki-lakinya itu. “Juan bakal Ay bawa pa
Izhar tak pernah diizinkan menggendong Juan lagi setelahnya. Ayesha benar-benar mengawasi Juan hingga tak satu pun orang berani menggendong Juan. Bahkan teman-temannya yang ingin bermain dengan Juan dilarang untuk menggendongnya, hanya boleh menyentuhnya saja secara normal. Dan karena Nirmala dan Ayesha mungkin sudah seharusnya tidak berada di atap yang sama, karena mereka benar-benar tak bisa akur, akhirnya Nirmala pulang ke rumah Izhar. Dan pembantu rumah tangga mereka tentunya akan ikut bersama Izhar dan Nirmala. “Emang kamu bisa, rapihin rumah sendiri?” Izhar menghela nafasnya berat. “Devan bakal nyari pembantu buat bantu-bantu Ay di sini. Aa boleh pergi sekarang,” ucap Ayesha, secara tak langsung ingin mengusir Izhar yang sebenarnya memang akan pergi. “Ay, kamu jangan keterusan kayak gini, dong. Ke depannya, Arsy sama Juan bakal tumbuh besar, yang pastinya nanti mereka tahu kalau mereka itu kakak beradik. Jangan sampai Juan sama Arsy nant
“JUAN!” Ayesha memekik keras mendapati Juan yang sudah tergeletak di lantai dengan mulutnya yang terbuka lebar dan menjerit memanggil sang ibu. Ayesha berlari secepatnya untuk meraih Juan. Izhar sendiri segera menaruh Arsy di sofa dan menggendong Juan. Ayesha tanpa pikir panjang langsung merebut Juan dari Izhar. Tampak bagaimana tubuhnya gemetar, seolah merasakan sakit yang sama dengan yang dirasakan putranya. Perempuan itu tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Tangannya memeluk erat Juan yang menangis sejadinya. Sementara Izhar tampak cukup panik sekarang menatapi Ayesha yang membeku, kaget karena putranya baru saja kenapa-napa. Sementara Arsy ikut menangis karena mendengar tangisan Juan, itu membuat Izhar segera menggendong Arsy juga. Karena itu, Nirmala juga bergegas keluar dari kamar mandi dan menatapi Ayesha dan Izhar. Ayesha tampak hampir menangis menatapi putranya yang menangis sangat kencang, sepertinya dia terbentur cukup keras saat jatuh.
Sore itu, Ayesha mengajak Juan bermain di halaman rumah dengan mobil mini pemberian teman-temannya itu. Juan yang sudah mulai bisa merangkak kini tampak bersemangat berada di mobil mini itu sambil menatapi Ayesha. Ayesha tersenyum sambil terkekeh pelan melihat antusiasnya. “Juan kakinya ke sini bisa, enggak? Injak!” ujar Ayesha sambil memintanya untuk menginjak gas yang ada di bawah sana, atau remnya, namun kelihatannya bayi itu belum bisa menanganinya. “Belum bisa? Ya udah, enggak apa-apa. Kita dorong-dorong aja, sama Bunda.” Ayesha kemudian mendorong mobil mini itu dengan sabar di halaman rumahnya. Selama dia bermain bersama Juan, pembantu rumah tangga yang dihadirkan Izhar tengah menyapu dan mengepel bagian teras. Ayesha sangat sibuk bersama Juan, dia mengorbankan semua waktunya untuk pria kecil yang menjadi temannya tidur dan bermain sehari-hari. “Bu Mala masih jalan-jalan keluar ya, Mbak?” tanya pembantu rumah tangga itu. “Oh, k
Ayesha tersenyum menatapi putranya yang semakin gembul. Tubuhnya jauh lebih berat dari pertama kali dia menginjakkan kakinya di dunia. Dan bahkan sekarang sudah mampu untuk duduk, walau kadang masih kehilangan keseimbangannya sendiri. Ayesha terkekeh begitu Juan kembali terbaring dan lantas tertawa riang. Suaranya yang manis melengking itu menyenangkan. “Aduh, Juan jatuh. Bunda tolongin Juan, Bunda!” Ayesha menirukan suara anak kecil dan kemudian membantu Juan bangkit, hingga Juan kembali duduk dan menatap Ayesha dengan bersemangat. Nirmala dan Ayesha masih tinggal bersama, di rumah Ayesha. Namun keduanya kadang berselisih. Kali ini bukan karena Izhar. Karena Ayesha sendiri tampaknya tak begitu berharap lagi pada Izhar. Namun Nirmala tetaplah wanita pencemburu, sementara Ayesha yang cuek bebek pada Izhar justru membuat Izhar harus memberikan perhatian lebih padanya dan membuat Nirmala cemburu. Ayesha keluar dari kamarnya sambil menggendong Juan dan mena
Ayesha bahkan tak bisa beraktivitas bebas sejak ada orang tuanya Nirmala di rumah. Dia jarang turun ke bawah dan bahkan melakukan segala aktivitas di atas. Dia menjemur Juan pun di atas. Izhar kadang kali tak membantunya merawat Juan, mungkin memang benar yang lebih diinginkan Izhar itu anaknya Nirmala ketimbang anaknya. “Juan udah mandi? Kapan mandinya?” Izhar menghampiri Ayesha di balkon rumah. “Udah dari tadi,” balas Ayesha, dia hendak memasukkan Juan lagi ke dalam karena sudah lima menit berjemur, tak perlu lama-lama. “Kenapa enggak nunggu Aa? Bisa sendiri, emang?” tanya Izhar sambil mengusap tangan Juan halus. “Orang udah selesai, berarti bisa. Mungkin habis ini juga Ay harus kerja sendiri, supaya mandiri,” sindir Ayesha, lantaran dia merasa tak cukup mendapatkan perhatian dari Izhar. Izhar menghela nafasnya berat. Ini dia, omong kosong yang akan membuat mereka bertengkar lagi. “Kamu bicara apa sih, Ay? Karena Aa engga