“Devan, ya? Sepupunya Ayesha?” Nirmala menyapanya, dia sebenarnya cukup jarang sekali bertemu dengan Devan.
Devan terdiam sejenak dan mengernyitkan dahinya. Karena Nirmala menggunakan cadar, rasanya sulit mengenalinya. Dia tahu jika Nirmala menggunakan cadar. Namun, tak sadar jika itu Nirmala.“Siapa?” tanya Devan balik.“Nirmala, istrinya Izhar,” jawab Nirmala.“Oh ... A Izhar beneran enggak ke sini?” tanya Devan, dia ingin memastikan hal tersebut.“Enggak bisa, A Izhar sibuk soalnya,” jawabnya lagi.Devan menganggukkan kepalanya mengerti. Kemudian, dia teringat akan sesuatu. Dia mungkin bisa menanyakan sesuatu kepada Nirmala. Mengingat Nirmala lebih punya banyak waktu dengan Ayesha, Izhar pasti mengatakan sesuatu kepadanya lebih banyak ketimbang pada Ayesha.“Oh, iya, ngomong-ngomong, belakangan ini hubungannya Ayesha sama A Izhar gimana?” tanya Devan langsung, dia tak bisa berbasa-basi, memang tak pandai melaku“Dev, sadar, Dev! Ay lagi sakit, ini juga di rumah sakit!” ujar Belia seraya menahan Devan. “Gue enggak tahan sama kelakuan lo lagi, Ay! Cukup sampai di sini. Gue masih baik nganterin lo ke rumah sakit sebelum lo meregang nyawa di rumah. Gue udah bawain baju lo juga. Gue ogah kalau harus jaga lo di sini.” Devan melemparkan tas berisikan pakaian Ayesha itu ke lantai agak kasar. Belia di sana agak gelagapan karena baru kali ini melihat Devan semarah ini. Devan selama ini bisa dikatakan kejam memang pada orang selain Ayesha, dia kadang menciut nyalinya saat ada Ayesha. Namun ternyata kondisi itu bisa berbalik. Di mana Ayesha yang menciut karena Devan. Pria itu mendengus dan kemudian melangkah keluar dengan penuh emosi. Pasien lain di ruangan tersebut ada yang sampai mengangkat kepalanya dari tempat tidurnya dan keluarga pasien lainnya juga tampak berusaha mengintip ke ranjang Ayesha yang agak tertutup tirai di sudut itu. Sementara Belia jadi kebi
Ayesha menatapi Devan yang datang bersama orang tuanya. Itu membuat Ayesha ingin mengatakan sesuatu pada Devan. Dia sangat ingin memberitahu Devan jika Argi berusaha menyerangnya. Namun, dari Devan yang tak berkata apa pun saat itu, kelihatannya Devan memilih menyembunyikannya dari kedua orang tuanya. Dan mereka berdua tak banyak bicara. Ayesha menyetujui tindakan Devan untuk tak membicarakan sesuatu tentang Argi di depan orang tuanya. Yang berarti dirinya juga tak bisa memberitahu Devan jika dirinya dengan Argi saat itu adalah sebuah kesalahpahaman. Devan mungkin menarik ucapannya jika dirinya tak ingin bertemu Ayesha lagi. Toh, dia menunjukkan kalau mereka baik-baik saja di hadapan orang tua Devan. Namun, begitu mereka sedang makan dan Devan duduk di sebelah brankar Ayesha, Ayesha mengetahui adanya kesempatan bicara. “Itu salah paham,” ucap Ayesha pelan, berusaha agar suaranya tak terdengar siapa pun selain dia. “Lo berharap gue percaya itu?
Ayesha mengintip dari balkon atas. Dia menemukan sesuatu yang membuatnya merasa tak nyaman dan gelisah. Argi berada di dekat rumahnya lagi. Walau memang tak benar-benar di dekat rumahnya. Pria itu seolah tengah menunggunya sore itu. Ayesha takut jika pria itu kemari. Devan tak pernah datang lagi untuknya sejak kemarin dia pergi meninggalkannya. Itu membuatnya semakin cemas jika Argi semakin berani padanya di saat tak ada pria di keluarganya yang siaga untuknya. Pilihan yang tepat untuknya sekarang tak berada di rumahnya. Begitu Argi pergi karena menyadari rumahnya terlalu sepi, Ayesha segera mengemas beberapa pakaian ganti. Sesaat, dia merasakan tangannya yang terkilir masih sakit, namun memaksakan dirinya. Ayesha teringat akan penginapan yang letaknya tak begitu jauh. Namun setidaknya, bisa menjadi tempatnya bersembunyi dari Argi sesaat. Ayesha memesan taksi online untuk pergi dan menunggunya dengan sabar di rumah. Begitu mobilnya tiba, Ayesha segera mengunci rumah dan segera perg
Ayesha mendecak pelan menatapi handphonenya yang kehabisan baterai saat di penginapan nanti listrik. Dia telah menunggu dari sore hari, namun listrik tak kunjung menyala. Ayesha pun keluar dari kamarnya dan hendak mendatangi pemilik penginapan jika listriknya belum nyala juga. Perempuan itu menggunakan jaketnya dan keluar. Cuaca belakangan ini berangin, dan anginnya semakin besar di malam hari. Ayesha berjalan sendirian dan bertemu dengan penginap lain yang tampaknya juga kesal karena mati listrik. “Permisi, udah komplain ke Bu Rina?” tanya Ayesha pada penginap lainnya. “Oh, ya, udah. Kamu mau komplain? Enggak perlu komplain lagi, katanya sebentar lagi nyala, kok.” “Oh, begitu. Baik, terima kasih.” Ayesha bersikap ramah padanya. Ayesha hendak kembali ke kamarnya. Namun, dia merasakan perutnya bergemuruh karena lapar. Di sekitar penginapan ada beberapa penjual makanan karena tempat itu juga cukup dekat dari tempat sebuah wisata. Perempuan itu mengurungkan niatnya untuk membeli mak
“A Izhar!” Devan berlari kecil setelah turun dari motornya untuk menemui Izhar. “Gimana?” Izhar tampak cemas setengah mati pada Ayesha, dia kemudian menatapi beberapa orang yang mengikuti Devan di belakangnya, yang kelihatannya sadar jika terjadi sesuatu dan siaga. “A Izhar sebelumnya berantem sama Ayesha enggak, sebelum Ayesha masuk rumah sakit?” tanya Devan, dia ingin mengkonfirmasi kemungkinan terbesar yang terjadi sekarang, antara Ayesha bersama dengan Argi secara aman, atau justru sebaliknya. “Ya, kami sempat berantem.” Izhar tak tahu bagaimana Devan tahu, namun dia menjawabnya dengan jujur dan sesuai fakta. “Apa Ayesha jatuh?” tanya Devan lagi. “Enggak, saya enggak akan menggunakan kekerasan, apa pun masalahnya,” jawab Izhar. “Ck! Kayaknya Ayesha jujur kalau dia diserang Argi,” terang Devan seraya menatap ke arah teman-temannya yang menunggu kelanjutan apa yang harus mereka lakukan. “Kamu tahu tentang itu? Apa Ayesha terluka?” tanya Izhar balik. “Ya. Saya ketemu Teh Nirm
“Rrgghhh!!” Ayesha mengeram kuat dan berpegangan sekuatnya pada kusen pintu. Sementara Argi menarik Ayesha dan dia juga panik karena kejahatannya akan diketahui orang yang berada di penginapan itu. Dia buru-buru menarik Ayesha agar Ayesha masuk. Namun pegangan Ayesha pada kusen pintu cukup kuat dan Ayesha berusaha memberontak terus. Argi yang tak bisa berpikir jernih karena ketakutan akhirnya malah membanting pintu dan langsung mundur. Itu membuat Ayesha menjerit sekeras-kerasnya karena jemarinya masih ada di pintu. Namun karena itu juga, pintu terbuka lebar dan Ayesha keluar seraya menahan sakit di jemarinya. Air matanya meleleh seketika. Beberapa kamar di penginapan itu terbuka. Mendengar jerit Ayesha membuat mereka tentunya tahu ada yang tak beres dengan tetangganya itu. Dan mereka segera menghampiri Ayesha yang terhuyung di depan kamarnya seraya menatapi jemarinya. “Hey, kenapa?” Para orang dewasa itu segera mendekati Ayesha yang menangis
Devan bersama yang lainnya terus mengejar Argi. Raungan motor mereka saling bersahutan di jalanan. Argi menoleh ke belakang, dia kaget setengah mati karena di belakangnya ada Devan dan beberapa temannya yang lain. Itu tentu membuatnya semakin panik. Devan menyamakan posisinya dengan Argi. Hingga kedua mereka hanya selisih beberapa jarak lagi sekarang. Devan melirik ke arah Argi yang berusaha menghindar. “Berhenti lo!” “Lo kenapa, anjir?!” Argi tahu, kemungkinan Ayesha menghubungi Devan tadi namun berusaha menyangkal. “Ke pinggir enggak lo?!” Devan semakin menaikkan suaranya. Karena Argi malah semakin melajukan motornya, Devan berusaha menyerempet Argi. Dan salah satu teman Devan menyeimbangkan kelajuannya juga sehingga Argi dikepung kanan-kiri. Argi menoleh ke kanan dan ke kiri lalu berusaha untuk semakin mengebut. Sayangnya, Devan dan temannya itu semakin nekat juga. Dan begitu Argi semakin terpepet, Argi harus berhenti ka
Ayesha tiba di rumah bersama Izhar tengah malam. Sementara Devan dan yang lainnya melepaskan Argi untuk malam itu lantaran kelihatannya Argi sendiri cukup bonyok setelah dipukul Devan dan Jeremy. Mereka juga singgah di rumah Ayesha dan dijamu langsung oleh Izhar, lantaran Ayesha harus beristirahat dan mengistirahatkan dirinya sendiri. “Gimana Ayesha?” tanya Devan saat Izhar keluar lagi sambil membawakan camilan. “Jari-jarinya bengkak, beberapa sampai berdarah. Enggak ada yang serius, kok,” jawab Izhar. “A Izhar masuk lagi aja, Devan yang di sini. Temani Ayesha,” ujar Devan. Izhar menganggukkan kepalanya dan kembali ke kamar Ayesha. Yang mana Ayesha sudah terbaring di kamarnya dan telah berganti pakaian. Bahkan untuk berganti perlu bantuan Izhar. Sebenarnya dia bisa sendiri, jika memaksakan. Namun karena ada Izhar, maka Izhar yang turun tangan membantu. “Udah makan belum?” tanya Izhar. “Belum, tadi beli sosis bakar tapi engg
“Saya enggak bisa tinggal diam. Saya bisa bawa kasus ini ke pengadilan.” Ayesha menyilangkan tangannya, menatapi gadis yang menangis sesenggukan setelah melempar tempat pensil pada Juan hingga menyebabkan pelipis Juan terluka.“Aish... ini cuman masalah anak-anak. Kita enggak harus sampai bawa-bawa ini ke pengadilan, kan? Namanya juga anak-anak,” ucap pria yang kelihatannya ayah dari gadis itu cukup manis untuk membujuk Ayesha yang kini merangkul Juan yang duduk di UKS. “Lagian itu salah anak kamu! Kenapa sampai harus bentak-bentak anak saya. Dia kan, jadi takut. Itu salah satu refleks anak untuk melindungi dirinya sendiri!“ bela ibunya dengan lantang. “Oh...” Ayesha tertawa sinis dan melebarkan matanya dengan kesal. “Ternyata ibu sama anak sama aja. Tukang jual gosip.” “Ayesha!” Izhar menatapi Ayesha dan menyentuh pundaknya, yang langsung ditepis Ayesha. “Apa?! Tukang jual gosip?! Saya enggak sekedar bergosip, itu fakta! Anak yang tu
“Kamu ketemu Arsy sama ibunya?!” Ayesha melebarkan matanya saat Juan mengakuinya. “Juan... Juan tahu mereka karena lihat beberapa kali fotonya. Juan agak curiga, kenapa ayah enggak tinggal sama kita kayak ayah-ayah lainnya. Ternyata ayah punya keluarga lain,” ucap Juan pelan. Terdengar nadanya kecewa. Dia mungkin sudah menahan perasaannya untuk tak menunjukkan jika dia tahu sesuatu di depan bundanya. Namun Ayesha kemudian menghela nafasnya dan mendekati Juan. Tangannya mengusap halus pundak putranya itu. “Maaf, karena membiarkan kamu terlahir sebagai anak madu,” ucap Ayesha lirih. “Bunda enggak perlu minta maaf. Juan enggak pernah malu punya bunda,” jawab Juan cepat, dia tak ingin membuat bundanya yang telah mengorbankan banyak hal untuknya. Ayesha menghela nafasnya. Lagi pula, Juan memang harus tahu tentang ini. Ayesha menatapi putranya yang sudah beranjak dewasa. Dia kemudian memegangi keningnya, mengangkat sedikit rambut putranya
Juan tumbuh dengan pesat. Dia bersekolah di Bogor untuk sekolah dasarnya dan akan pindah ke kota asal ibunya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Juan tumbuh menjadi anak yang aktif. Karena pindah kota lagi, dia bisa dekat dengan ayahnya sekarang. “Arsy juga bakal sekolah di sekolah yang sama,” ucap Izhar tiba-tiba. Ayesha yang sedang menatapi persyaratan yang diperlukan untuk mendaftar lantas menggeser brosur sekolah yang ditunjukkan Izhar untuk Juan bersekolah di sana. “Aa yakin enggak akan masalah?” Ayesha menatapi Izhar dengan tatapan yang masih sama. “Enggak akan, Ay. Justru supaya Juan sama Arsy saling mengenal. Juan belum pernah main sama Arsy sebelumnya. Kamu enggak pernah izinkan Aa bawa Juan pulang. Neneknya kangen sama Juan,” ucap Izhar seraya menghela nafasnya dengan berat. “Itu buat kebaikan Juan. Aku enggak mau, Juan sampai mendengar sesuatu yang buruk dari ibu Aa.” Izhar menghela nafasny
“Ay bakal ikut keluarganya Devan pindah ke luar kota.” “Ay, kamu itu istri Aa. Justru kamu seharusnya itu Aa. Kenapa kamu malah ikut-ikut keluarga Devan?” Izhar merasa tertekan karena mendengar Ayesha akan pergi ke kota lain. Ayesha mengulum senyum dan menatapi Juan yang berada di kursi tingginya. Dia kemudian menyuapi Juan makanannya. Bayi itu terlihat sangat lahap makannya. “Ay kalau enggak sama Devan di sini sendirian. Aa enggak pernah ada sepenuhnya buat Ay, Devan yang malah jadi harus repot sama Ay, meski Ay udah nikah. Jadi, ya mau gimana lagi? Ay di sini atau Ay di sana, kayaknya buat Aa sama aja, kan?” Ayesha tersenyum tipis. Izhar menghela nafasnya. Setelah banyak yang dirinya dan Ayesha lakui, pada akhirnya Ayesha malah ingin pergi. Dia pikir kehadiran Juan akan cukup untuk mengikat Ayesha. Namun sepertinya tidak. Apa lagi dirinya kurang menghadirkan dirinya untuk sosok ibu dari anak laki-lakinya itu. “Juan bakal Ay bawa pa
Izhar tak pernah diizinkan menggendong Juan lagi setelahnya. Ayesha benar-benar mengawasi Juan hingga tak satu pun orang berani menggendong Juan. Bahkan teman-temannya yang ingin bermain dengan Juan dilarang untuk menggendongnya, hanya boleh menyentuhnya saja secara normal. Dan karena Nirmala dan Ayesha mungkin sudah seharusnya tidak berada di atap yang sama, karena mereka benar-benar tak bisa akur, akhirnya Nirmala pulang ke rumah Izhar. Dan pembantu rumah tangga mereka tentunya akan ikut bersama Izhar dan Nirmala. “Emang kamu bisa, rapihin rumah sendiri?” Izhar menghela nafasnya berat. “Devan bakal nyari pembantu buat bantu-bantu Ay di sini. Aa boleh pergi sekarang,” ucap Ayesha, secara tak langsung ingin mengusir Izhar yang sebenarnya memang akan pergi. “Ay, kamu jangan keterusan kayak gini, dong. Ke depannya, Arsy sama Juan bakal tumbuh besar, yang pastinya nanti mereka tahu kalau mereka itu kakak beradik. Jangan sampai Juan sama Arsy nant
“JUAN!” Ayesha memekik keras mendapati Juan yang sudah tergeletak di lantai dengan mulutnya yang terbuka lebar dan menjerit memanggil sang ibu. Ayesha berlari secepatnya untuk meraih Juan. Izhar sendiri segera menaruh Arsy di sofa dan menggendong Juan. Ayesha tanpa pikir panjang langsung merebut Juan dari Izhar. Tampak bagaimana tubuhnya gemetar, seolah merasakan sakit yang sama dengan yang dirasakan putranya. Perempuan itu tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Tangannya memeluk erat Juan yang menangis sejadinya. Sementara Izhar tampak cukup panik sekarang menatapi Ayesha yang membeku, kaget karena putranya baru saja kenapa-napa. Sementara Arsy ikut menangis karena mendengar tangisan Juan, itu membuat Izhar segera menggendong Arsy juga. Karena itu, Nirmala juga bergegas keluar dari kamar mandi dan menatapi Ayesha dan Izhar. Ayesha tampak hampir menangis menatapi putranya yang menangis sangat kencang, sepertinya dia terbentur cukup keras saat jatuh.
Sore itu, Ayesha mengajak Juan bermain di halaman rumah dengan mobil mini pemberian teman-temannya itu. Juan yang sudah mulai bisa merangkak kini tampak bersemangat berada di mobil mini itu sambil menatapi Ayesha. Ayesha tersenyum sambil terkekeh pelan melihat antusiasnya. “Juan kakinya ke sini bisa, enggak? Injak!” ujar Ayesha sambil memintanya untuk menginjak gas yang ada di bawah sana, atau remnya, namun kelihatannya bayi itu belum bisa menanganinya. “Belum bisa? Ya udah, enggak apa-apa. Kita dorong-dorong aja, sama Bunda.” Ayesha kemudian mendorong mobil mini itu dengan sabar di halaman rumahnya. Selama dia bermain bersama Juan, pembantu rumah tangga yang dihadirkan Izhar tengah menyapu dan mengepel bagian teras. Ayesha sangat sibuk bersama Juan, dia mengorbankan semua waktunya untuk pria kecil yang menjadi temannya tidur dan bermain sehari-hari. “Bu Mala masih jalan-jalan keluar ya, Mbak?” tanya pembantu rumah tangga itu. “Oh, k
Ayesha tersenyum menatapi putranya yang semakin gembul. Tubuhnya jauh lebih berat dari pertama kali dia menginjakkan kakinya di dunia. Dan bahkan sekarang sudah mampu untuk duduk, walau kadang masih kehilangan keseimbangannya sendiri. Ayesha terkekeh begitu Juan kembali terbaring dan lantas tertawa riang. Suaranya yang manis melengking itu menyenangkan. “Aduh, Juan jatuh. Bunda tolongin Juan, Bunda!” Ayesha menirukan suara anak kecil dan kemudian membantu Juan bangkit, hingga Juan kembali duduk dan menatap Ayesha dengan bersemangat. Nirmala dan Ayesha masih tinggal bersama, di rumah Ayesha. Namun keduanya kadang berselisih. Kali ini bukan karena Izhar. Karena Ayesha sendiri tampaknya tak begitu berharap lagi pada Izhar. Namun Nirmala tetaplah wanita pencemburu, sementara Ayesha yang cuek bebek pada Izhar justru membuat Izhar harus memberikan perhatian lebih padanya dan membuat Nirmala cemburu. Ayesha keluar dari kamarnya sambil menggendong Juan dan mena
Ayesha bahkan tak bisa beraktivitas bebas sejak ada orang tuanya Nirmala di rumah. Dia jarang turun ke bawah dan bahkan melakukan segala aktivitas di atas. Dia menjemur Juan pun di atas. Izhar kadang kali tak membantunya merawat Juan, mungkin memang benar yang lebih diinginkan Izhar itu anaknya Nirmala ketimbang anaknya. “Juan udah mandi? Kapan mandinya?” Izhar menghampiri Ayesha di balkon rumah. “Udah dari tadi,” balas Ayesha, dia hendak memasukkan Juan lagi ke dalam karena sudah lima menit berjemur, tak perlu lama-lama. “Kenapa enggak nunggu Aa? Bisa sendiri, emang?” tanya Izhar sambil mengusap tangan Juan halus. “Orang udah selesai, berarti bisa. Mungkin habis ini juga Ay harus kerja sendiri, supaya mandiri,” sindir Ayesha, lantaran dia merasa tak cukup mendapatkan perhatian dari Izhar. Izhar menghela nafasnya berat. Ini dia, omong kosong yang akan membuat mereka bertengkar lagi. “Kamu bicara apa sih, Ay? Karena Aa engga