“A Izhar!” Devan berlari kecil setelah turun dari motornya untuk menemui Izhar. “Gimana?” Izhar tampak cemas setengah mati pada Ayesha, dia kemudian menatapi beberapa orang yang mengikuti Devan di belakangnya, yang kelihatannya sadar jika terjadi sesuatu dan siaga. “A Izhar sebelumnya berantem sama Ayesha enggak, sebelum Ayesha masuk rumah sakit?” tanya Devan, dia ingin mengkonfirmasi kemungkinan terbesar yang terjadi sekarang, antara Ayesha bersama dengan Argi secara aman, atau justru sebaliknya. “Ya, kami sempat berantem.” Izhar tak tahu bagaimana Devan tahu, namun dia menjawabnya dengan jujur dan sesuai fakta. “Apa Ayesha jatuh?” tanya Devan lagi. “Enggak, saya enggak akan menggunakan kekerasan, apa pun masalahnya,” jawab Izhar. “Ck! Kayaknya Ayesha jujur kalau dia diserang Argi,” terang Devan seraya menatap ke arah teman-temannya yang menunggu kelanjutan apa yang harus mereka lakukan. “Kamu tahu tentang itu? Apa Ayesha terluka?” tanya Izhar balik. “Ya. Saya ketemu Teh Nirm
“Rrgghhh!!” Ayesha mengeram kuat dan berpegangan sekuatnya pada kusen pintu. Sementara Argi menarik Ayesha dan dia juga panik karena kejahatannya akan diketahui orang yang berada di penginapan itu. Dia buru-buru menarik Ayesha agar Ayesha masuk. Namun pegangan Ayesha pada kusen pintu cukup kuat dan Ayesha berusaha memberontak terus. Argi yang tak bisa berpikir jernih karena ketakutan akhirnya malah membanting pintu dan langsung mundur. Itu membuat Ayesha menjerit sekeras-kerasnya karena jemarinya masih ada di pintu. Namun karena itu juga, pintu terbuka lebar dan Ayesha keluar seraya menahan sakit di jemarinya. Air matanya meleleh seketika. Beberapa kamar di penginapan itu terbuka. Mendengar jerit Ayesha membuat mereka tentunya tahu ada yang tak beres dengan tetangganya itu. Dan mereka segera menghampiri Ayesha yang terhuyung di depan kamarnya seraya menatapi jemarinya. “Hey, kenapa?” Para orang dewasa itu segera mendekati Ayesha yang menangis
Devan bersama yang lainnya terus mengejar Argi. Raungan motor mereka saling bersahutan di jalanan. Argi menoleh ke belakang, dia kaget setengah mati karena di belakangnya ada Devan dan beberapa temannya yang lain. Itu tentu membuatnya semakin panik. Devan menyamakan posisinya dengan Argi. Hingga kedua mereka hanya selisih beberapa jarak lagi sekarang. Devan melirik ke arah Argi yang berusaha menghindar. “Berhenti lo!” “Lo kenapa, anjir?!” Argi tahu, kemungkinan Ayesha menghubungi Devan tadi namun berusaha menyangkal. “Ke pinggir enggak lo?!” Devan semakin menaikkan suaranya. Karena Argi malah semakin melajukan motornya, Devan berusaha menyerempet Argi. Dan salah satu teman Devan menyeimbangkan kelajuannya juga sehingga Argi dikepung kanan-kiri. Argi menoleh ke kanan dan ke kiri lalu berusaha untuk semakin mengebut. Sayangnya, Devan dan temannya itu semakin nekat juga. Dan begitu Argi semakin terpepet, Argi harus berhenti ka
Ayesha tiba di rumah bersama Izhar tengah malam. Sementara Devan dan yang lainnya melepaskan Argi untuk malam itu lantaran kelihatannya Argi sendiri cukup bonyok setelah dipukul Devan dan Jeremy. Mereka juga singgah di rumah Ayesha dan dijamu langsung oleh Izhar, lantaran Ayesha harus beristirahat dan mengistirahatkan dirinya sendiri. “Gimana Ayesha?” tanya Devan saat Izhar keluar lagi sambil membawakan camilan. “Jari-jarinya bengkak, beberapa sampai berdarah. Enggak ada yang serius, kok,” jawab Izhar. “A Izhar masuk lagi aja, Devan yang di sini. Temani Ayesha,” ujar Devan. Izhar menganggukkan kepalanya dan kembali ke kamar Ayesha. Yang mana Ayesha sudah terbaring di kamarnya dan telah berganti pakaian. Bahkan untuk berganti perlu bantuan Izhar. Sebenarnya dia bisa sendiri, jika memaksakan. Namun karena ada Izhar, maka Izhar yang turun tangan membantu. “Udah makan belum?” tanya Izhar. “Belum, tadi beli sosis bakar tapi engg
Pagi itu, Ayesha sarapan disuapi Izhar. Dia terlalu takut untuk menggunakan tangannya sendiri yang terluka. Karena disuapi Izhar, dia makan dengan lahap. Izhar juga turut makan selama menyuapi Ayesha. “Devan nanti bakal datang sama orang tuanya, katanya. Terus, Aa juga ngabarin Ibu sama Nirmala. Mungkin mereka bakal datang sebentar lagi,” ucap Izhar. “Ngapain?” tanya Ayesha, terdengar tak senang dengan kabar kedatangan mertuanya itu. “Jenguk kamu, apa lagi? Sementara, kayaknya Aa harus tinggal di sini untuk mengawasi kamu. Dan kalau-kalau om sama bibi kamu enggak bisa rawat kamu di sini, Ibu sama Nirmala bakal tinggal di sini buat ngerawat kamu,” jelas Izhar. Ayesha menghela nafasnya berat. “Ay enggak apa-apa, serius. Ay enggak usah dijagain.” “Makan aja enggak bisa. Kamu mau gimana kalau enggak ada siapa-siapa yang jaga kamu? Aa harus kerja, cuman bisa temani kamu di weekend,” jelas Izhar. “Lusa juga pasti tangan Ay udah b
Di rumah, Izhar merapikan rumah Ayesha tersebut. Semula ibunya enggan membantu, sementara Nirmala bagaimana pun juga tak tega jika harus melihat Izhar melakukan pekerjaan rumah sendirian, dia segera membantunya. Namun akhirnya, ibunya juga turut andil. Tak lama setelah rumah lebih rapi dan bersih, Devan datang bersama orang tuanya. Mereka berbincang-bincang sejenak mengenai kondisinya Ayesha, ketika Ayesha sendiri hanya asyik duduk menonton televisi di lantai atas. “Siapa sih, yang nyelakain Ayesha? Kok, bisa?” Bibi Diana tampaknya keheranan sendiri. “Wajar, dong! Kelakuannya Ayesha aja kayak gitu, enggak heran kalau banyak yang enggak suka sama dia.” Mayang bersikap sinis langsung di depan bibi Ayesha tersebut. Devan mengangkat kedua alisnya. Dia menatapi Nirmala yang duduk di sebelah Izhar. Dia yakin perempuan itu yang telah mematik api hingga timbul api di antara orang sekitar Ayesha. “Senakal-nakalnya Ayesha, Ayesha itu selalu be
“Nyuci baju, nyuci piring, nyapu, ngepel, semua pekerjaan rumah Ibu sama Nirmala yang kerjain. Sementara yang punya rumah, enak-enakan di kamar. Tiduran, tidur, nonton ... aduh, bersama punya tuan putri.” Ayesha menghela nafasnya berat mendengarkan keluhan mertuanya sepanjang hari saat suaminya tengah bekerja. Dirinya hanya menatapi televisi yang dipindahkan ke kamarnya, tanpa bisa mengganti saluran sama sekali. Untuk makan pun, dia lebih baik menunggu Izhar pulang dari pada meminta mertuanya atau bahkan Nirmala untuk menyuapinya. Begitu terdengar suara Izhar mengucap salam, tentu Ayesha langsung tersenyum dan mengangkat kepalanya. Akhirnya dia bisa makan. Dan dia menunggu Izhar dengan sabar. Kelihatannya, ibu mertuanya menahannya dan berbicara padanya, mengeluarkan keluh kesahnya.“Hah ... Bibi lebih baik, sih.” Ayesha mendecak pelan.Dan pria yang ditunggunya akhirnya datang. Izhar memasuki kamar sambil tersenyum melihat Ayesha yang hanya dudu
Ayesha membuka dan menutup jemarinya secara perlahan. Sudah tak terasa berdenyut atau sakit, dia bisa menggunakan tangannya lagi. Dia menatapi tangannya, masih teringat akan Argi yang membanting pintu di tangannya dan membuatnya agak takut berdiri lama-lama dekat pintu. Perempuan hamil itu tengah berjemur di pagi hari di teras rumah. Dan Devan datang pagi itu, dengan membawakan makanan tentunya, dari ibunya untuk keponakannya. “Wey, ngapain, tuh?!” Devan memasuki halaman dan langsung duduk di sebelah Ayesha. “Jemur, punggung gue sakit mulu belakangan ini,” jawab Ayesha seraya memegangi pinggangnya dan menegakkan punggungnya yang sedang dia jemur di bawah sinar matahari. “Wajar itu, kandungan lo udah masuk lima bulan. Sebentar lagi lo melahirkan dong, ya?” “Masih lama, anjir! Empat bulanan lagi,” sahut Ayesha agak sewot. “Deket itu, waktu enggak akan kerasa Ay. Nah, nyokap gue bawain lo rendang, kesukaan lo.” Devan menyodork
“Saya enggak bisa tinggal diam. Saya bisa bawa kasus ini ke pengadilan.” Ayesha menyilangkan tangannya, menatapi gadis yang menangis sesenggukan setelah melempar tempat pensil pada Juan hingga menyebabkan pelipis Juan terluka.“Aish... ini cuman masalah anak-anak. Kita enggak harus sampai bawa-bawa ini ke pengadilan, kan? Namanya juga anak-anak,” ucap pria yang kelihatannya ayah dari gadis itu cukup manis untuk membujuk Ayesha yang kini merangkul Juan yang duduk di UKS. “Lagian itu salah anak kamu! Kenapa sampai harus bentak-bentak anak saya. Dia kan, jadi takut. Itu salah satu refleks anak untuk melindungi dirinya sendiri!“ bela ibunya dengan lantang. “Oh...” Ayesha tertawa sinis dan melebarkan matanya dengan kesal. “Ternyata ibu sama anak sama aja. Tukang jual gosip.” “Ayesha!” Izhar menatapi Ayesha dan menyentuh pundaknya, yang langsung ditepis Ayesha. “Apa?! Tukang jual gosip?! Saya enggak sekedar bergosip, itu fakta! Anak yang tu
“Kamu ketemu Arsy sama ibunya?!” Ayesha melebarkan matanya saat Juan mengakuinya. “Juan... Juan tahu mereka karena lihat beberapa kali fotonya. Juan agak curiga, kenapa ayah enggak tinggal sama kita kayak ayah-ayah lainnya. Ternyata ayah punya keluarga lain,” ucap Juan pelan. Terdengar nadanya kecewa. Dia mungkin sudah menahan perasaannya untuk tak menunjukkan jika dia tahu sesuatu di depan bundanya. Namun Ayesha kemudian menghela nafasnya dan mendekati Juan. Tangannya mengusap halus pundak putranya itu. “Maaf, karena membiarkan kamu terlahir sebagai anak madu,” ucap Ayesha lirih. “Bunda enggak perlu minta maaf. Juan enggak pernah malu punya bunda,” jawab Juan cepat, dia tak ingin membuat bundanya yang telah mengorbankan banyak hal untuknya. Ayesha menghela nafasnya. Lagi pula, Juan memang harus tahu tentang ini. Ayesha menatapi putranya yang sudah beranjak dewasa. Dia kemudian memegangi keningnya, mengangkat sedikit rambut putranya
Juan tumbuh dengan pesat. Dia bersekolah di Bogor untuk sekolah dasarnya dan akan pindah ke kota asal ibunya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Juan tumbuh menjadi anak yang aktif. Karena pindah kota lagi, dia bisa dekat dengan ayahnya sekarang. “Arsy juga bakal sekolah di sekolah yang sama,” ucap Izhar tiba-tiba. Ayesha yang sedang menatapi persyaratan yang diperlukan untuk mendaftar lantas menggeser brosur sekolah yang ditunjukkan Izhar untuk Juan bersekolah di sana. “Aa yakin enggak akan masalah?” Ayesha menatapi Izhar dengan tatapan yang masih sama. “Enggak akan, Ay. Justru supaya Juan sama Arsy saling mengenal. Juan belum pernah main sama Arsy sebelumnya. Kamu enggak pernah izinkan Aa bawa Juan pulang. Neneknya kangen sama Juan,” ucap Izhar seraya menghela nafasnya dengan berat. “Itu buat kebaikan Juan. Aku enggak mau, Juan sampai mendengar sesuatu yang buruk dari ibu Aa.” Izhar menghela nafasny
“Ay bakal ikut keluarganya Devan pindah ke luar kota.” “Ay, kamu itu istri Aa. Justru kamu seharusnya itu Aa. Kenapa kamu malah ikut-ikut keluarga Devan?” Izhar merasa tertekan karena mendengar Ayesha akan pergi ke kota lain. Ayesha mengulum senyum dan menatapi Juan yang berada di kursi tingginya. Dia kemudian menyuapi Juan makanannya. Bayi itu terlihat sangat lahap makannya. “Ay kalau enggak sama Devan di sini sendirian. Aa enggak pernah ada sepenuhnya buat Ay, Devan yang malah jadi harus repot sama Ay, meski Ay udah nikah. Jadi, ya mau gimana lagi? Ay di sini atau Ay di sana, kayaknya buat Aa sama aja, kan?” Ayesha tersenyum tipis. Izhar menghela nafasnya. Setelah banyak yang dirinya dan Ayesha lakui, pada akhirnya Ayesha malah ingin pergi. Dia pikir kehadiran Juan akan cukup untuk mengikat Ayesha. Namun sepertinya tidak. Apa lagi dirinya kurang menghadirkan dirinya untuk sosok ibu dari anak laki-lakinya itu. “Juan bakal Ay bawa pa
Izhar tak pernah diizinkan menggendong Juan lagi setelahnya. Ayesha benar-benar mengawasi Juan hingga tak satu pun orang berani menggendong Juan. Bahkan teman-temannya yang ingin bermain dengan Juan dilarang untuk menggendongnya, hanya boleh menyentuhnya saja secara normal. Dan karena Nirmala dan Ayesha mungkin sudah seharusnya tidak berada di atap yang sama, karena mereka benar-benar tak bisa akur, akhirnya Nirmala pulang ke rumah Izhar. Dan pembantu rumah tangga mereka tentunya akan ikut bersama Izhar dan Nirmala. “Emang kamu bisa, rapihin rumah sendiri?” Izhar menghela nafasnya berat. “Devan bakal nyari pembantu buat bantu-bantu Ay di sini. Aa boleh pergi sekarang,” ucap Ayesha, secara tak langsung ingin mengusir Izhar yang sebenarnya memang akan pergi. “Ay, kamu jangan keterusan kayak gini, dong. Ke depannya, Arsy sama Juan bakal tumbuh besar, yang pastinya nanti mereka tahu kalau mereka itu kakak beradik. Jangan sampai Juan sama Arsy nant
“JUAN!” Ayesha memekik keras mendapati Juan yang sudah tergeletak di lantai dengan mulutnya yang terbuka lebar dan menjerit memanggil sang ibu. Ayesha berlari secepatnya untuk meraih Juan. Izhar sendiri segera menaruh Arsy di sofa dan menggendong Juan. Ayesha tanpa pikir panjang langsung merebut Juan dari Izhar. Tampak bagaimana tubuhnya gemetar, seolah merasakan sakit yang sama dengan yang dirasakan putranya. Perempuan itu tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Tangannya memeluk erat Juan yang menangis sejadinya. Sementara Izhar tampak cukup panik sekarang menatapi Ayesha yang membeku, kaget karena putranya baru saja kenapa-napa. Sementara Arsy ikut menangis karena mendengar tangisan Juan, itu membuat Izhar segera menggendong Arsy juga. Karena itu, Nirmala juga bergegas keluar dari kamar mandi dan menatapi Ayesha dan Izhar. Ayesha tampak hampir menangis menatapi putranya yang menangis sangat kencang, sepertinya dia terbentur cukup keras saat jatuh.
Sore itu, Ayesha mengajak Juan bermain di halaman rumah dengan mobil mini pemberian teman-temannya itu. Juan yang sudah mulai bisa merangkak kini tampak bersemangat berada di mobil mini itu sambil menatapi Ayesha. Ayesha tersenyum sambil terkekeh pelan melihat antusiasnya. “Juan kakinya ke sini bisa, enggak? Injak!” ujar Ayesha sambil memintanya untuk menginjak gas yang ada di bawah sana, atau remnya, namun kelihatannya bayi itu belum bisa menanganinya. “Belum bisa? Ya udah, enggak apa-apa. Kita dorong-dorong aja, sama Bunda.” Ayesha kemudian mendorong mobil mini itu dengan sabar di halaman rumahnya. Selama dia bermain bersama Juan, pembantu rumah tangga yang dihadirkan Izhar tengah menyapu dan mengepel bagian teras. Ayesha sangat sibuk bersama Juan, dia mengorbankan semua waktunya untuk pria kecil yang menjadi temannya tidur dan bermain sehari-hari. “Bu Mala masih jalan-jalan keluar ya, Mbak?” tanya pembantu rumah tangga itu. “Oh, k
Ayesha tersenyum menatapi putranya yang semakin gembul. Tubuhnya jauh lebih berat dari pertama kali dia menginjakkan kakinya di dunia. Dan bahkan sekarang sudah mampu untuk duduk, walau kadang masih kehilangan keseimbangannya sendiri. Ayesha terkekeh begitu Juan kembali terbaring dan lantas tertawa riang. Suaranya yang manis melengking itu menyenangkan. “Aduh, Juan jatuh. Bunda tolongin Juan, Bunda!” Ayesha menirukan suara anak kecil dan kemudian membantu Juan bangkit, hingga Juan kembali duduk dan menatap Ayesha dengan bersemangat. Nirmala dan Ayesha masih tinggal bersama, di rumah Ayesha. Namun keduanya kadang berselisih. Kali ini bukan karena Izhar. Karena Ayesha sendiri tampaknya tak begitu berharap lagi pada Izhar. Namun Nirmala tetaplah wanita pencemburu, sementara Ayesha yang cuek bebek pada Izhar justru membuat Izhar harus memberikan perhatian lebih padanya dan membuat Nirmala cemburu. Ayesha keluar dari kamarnya sambil menggendong Juan dan mena
Ayesha bahkan tak bisa beraktivitas bebas sejak ada orang tuanya Nirmala di rumah. Dia jarang turun ke bawah dan bahkan melakukan segala aktivitas di atas. Dia menjemur Juan pun di atas. Izhar kadang kali tak membantunya merawat Juan, mungkin memang benar yang lebih diinginkan Izhar itu anaknya Nirmala ketimbang anaknya. “Juan udah mandi? Kapan mandinya?” Izhar menghampiri Ayesha di balkon rumah. “Udah dari tadi,” balas Ayesha, dia hendak memasukkan Juan lagi ke dalam karena sudah lima menit berjemur, tak perlu lama-lama. “Kenapa enggak nunggu Aa? Bisa sendiri, emang?” tanya Izhar sambil mengusap tangan Juan halus. “Orang udah selesai, berarti bisa. Mungkin habis ini juga Ay harus kerja sendiri, supaya mandiri,” sindir Ayesha, lantaran dia merasa tak cukup mendapatkan perhatian dari Izhar. Izhar menghela nafasnya berat. Ini dia, omong kosong yang akan membuat mereka bertengkar lagi. “Kamu bicara apa sih, Ay? Karena Aa engga