Setelah kejadian itu, niatnya Ayesha tak akan lagi berhubungan dengan Argi sama sekali. Namun, jika hanya sekedar berbalas pesan mungkin tak masalah. Dengan catatan dia harus menghapus pesan dan menyembunyikan kotak pesan dari Argi agar barang kali Izhar akan mengecek handphonenya, dia tak akan kena masalah. Izhar sendiri niatnya bertanya langsung pada Devan. Bagaimana hubungan Argi dan Ayesha di masa lalu, berapa lama mereka bersama, untuk mendapatkan lebih banyak informasi yang menjadi tolak ukur seberapa erat hubungan Ayesha dan Argi sekarang. Izhar menemui Devan di sebuah GOR khusus badminton yang disediakan salah satu orang tua anak yang Devan latih. Orang tua yang menitipkan anaknya pada Devan, mereka semua orang berada. Jelas, Devan tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk membuka relasi yang lebih besar lagi. “Kenapa, A?” Devan berlari pelan keluar GOR dan menemui Izhar. “Kamu sama Ayesha waktu SMA juga satu sekolah, kan?” Izhar berusaha memulainya. “Iya, tapi beda ke
“Kamu sakit?” Pertanyaan yang sebelumnya dilontarkan Devan juga dilontarkan Izhar. Ayesha menggelengkan kepalanya lagi sebagai jawaban. Dia hanya merasa lelah, lebih lelah dari biasanya. Mungkin faktor kehamilannya, yang membuatnya tampak tak bersemangat sama sekali. “Kamu masih marah sama Aa, Ay?” tanya Izhar lagi. “Enggak, kok.” Ayesha menghela nafasnya panjang, yang justru membuat Izhar berpikir dia kesal. “Terus kamu kenapa? Muka kamu suram kayak gitu itu kenapa?” tanya Izhar masih baik-baik. “Enggak ada. Cuman capek aja,” jawab Ayesha. Izhar tak mengerti maksudnya. Namun, karena Ayesha mengatakan dirinya lelah, yang bisa dia lakukan hanya diam, tak bertanya lagi. Ayesha mungkin butuh sedikit waktu untuk tak diganggu sekarang. Padahal mereka jarang bertemu, dan sekalinya bertemu Izhar harus memaklumi keadaan Ayesha yang mungkin sedang tak mendukung untuk melakukan hal yang menyenangkan bersama. Izhar ingin bertanya, mungkin Ayesha mau bermain ke luar. Sayangnya, saat ingin
“Gue enggak peduli lo mandang gue serendah apa, gue juga enggak peduli kalau lo semisal dendam karena mungkin sempat merasa gue manfaatkan waktu kita deket lagi dan lo mau nyebarin fakta ini ke Apollo, silakan! Gue juga lebih baik left kalau kelamaan hiatus.”Ayesha menghela nafasnya, sedikit lega karena mengutarakan isi hatinya walau gelisah juga dengan pandangan orang lain mengenai dirinya. Meski Argi berusaha membuat suasana senyaman mungkin dengan Ayesha, duduk dan memesan minuman untuknya juga, Ayesha masih tak nyaman. Argi pribadi merasa bersalah karena harus mengetahui hal yang menjadi privasi Ayesha. Toh, sebenarnya Ayesha sudah menjauhinya lebih dulu, dan mereka memang tidak ada hubungan apa-apa yang menyebabkan dirinya perlu ikut campur urusan Ayesha. Namun, dia terlanjur tahu. “Maaf kalau mungkin bikin lo enggak nyaman karena tahu tentang hal yang udah lo sembunyiin serapi mungkin. Gue pribadi juga mikir, emang gue siapa lo, berhak tahu tentang ini. But ... jujur, gue tad
“Lo enggak paham bahasa, apa gimana?” Devan berjalan mendekati Ayesha dengan emosi. “Ini enggak yang kayak lo pikirin! Gue sama dia cuman enggak sengaja ketemu di supermarket, terus dia nawarin tumpangan.” Ayesha berusaha menjelaskannya pada Devan, agar Devan tak mengadu pada Izhar, mengingat Devan lebih pro pada Izhar selama ini ketimbang padanya. Devan menatapi Ayesha dan melirik Argi yang menaruh barang belanjaannya Ayesha di bawah. “Bisa enggak, sih, lo tuh, jangan jadi murahan? Malu gue lihatnya.” Devan menatap Ayesha serius. Mendengar kata murahan dari Devan berhasil membuat Ayesha mengernyitkan dahinya. Ayesha terdiam seketika. Kata yang berhasil menyakiti hatinya, terucap dari sosok kakak laki-lakinya. Argi menatapi Ayesha, dia merasa iba pada Ayesha yang mungkin lebih sering dikatai Devan. “Lo! Lo bisa enggak sih, enggak usah deketin Ayesha lagi? Dia yang udah lo buang, enggak usah lo ambil lagi!” sentak Devan pada Argi.
Devan menaruh keresek berisikan makanan yang baru saja Ayesha inginkan. Dia agak melemparkannya, dan kemudian bersedekap sambil menatap tajam ke arah Ayesha. “Gue enggak minta lo beliin gue dimsum,” ucap Ayesha, dengan nada sedikit marah. “Makan aja! Bukannya lo dari tadi lihat video tentang dimsun sambil ngomong dimsum setiap lewat sebagai kode ke gue buat beliin lo dimsum?“ Devan mendecak pelan.Ayesha menghela nafasnya, berusaha tak gengsi dan untuk menyantap dimsum yang sudah dia inginkan dari tadi. Bagaimana pun, Devan masih cukup pengertian dan perhatian padanya. Belum lagi, Devan secara inisiatif membelikannya minuman kesukaannya. “Makasih,” ucap Ayesha agak dingin. “Sama-sama.” Devan duduk di depan Ayesha dan membuka handphonenya seolah tak ada yang terjadi sebelumnya. Ayesha menatapi Devan yang kelihatannya sudah tak lagi marah. Dia membuka kereseknya dan membuka kotak berisikan dimsum tersebut. Dia memakannya secara perlahan, menikmati makanan yang sedang dia idam-idamk
“Apa yang bikin kamu tergerak pakai lingerie? Aa tahu, kamu biasa pakai baju yang menang terbuka. Tapi kamu tergerak buat pakai lingerie pas ada Aa, rasanya kayak beda aja.” Izhar berbaring di sisinya Ayesha. Sebenarnya dia sudah mengantuk sehabis perang tadi. Namun tak ingin untuk segera tidur, lantaran Ayesha juga belum tidur. Dia selalu menunggu Ayesha tidur lebih dulu, agar Ayesha tak merasa seperti hanya untuk digunakan semata. “Ay juga enggak tahu, cuman kayak ada dorongan aja, dari diri Ay buat pakai,“ jawab Ayesha. “Kamu beneran enggak mau apa-apa? Enggak ada niat terselubung minta dibeliin apa-apa, gitu?” “Hah ... Enggak ada. Ay cuman mikir, apa yang bisa Ay kasih buat Aa, tapi enggak ada apa-apa. Aa udah kasih semuanya ke Ay. Devan bilang coba hargai Aa. Aa udah kerja keras Senin sampai Jumat, punya hari libur Sabtu sama Minggu doang, tapi pasti punya waktu buat Ay atau Teh Mala. Sebagai istri, apa yang bisa Ay lakukan buat nyenengin Aa? Dan sialnya, Ay malah kepikiran p
Ayesha kembali berbelanja Minggu itu. Kali ini dirinya membeli beberapa buah-buahan dan bahan masakan yang sekiranya bisa dia masak. Dia akan belajar masak lantaran rasanya mulai enek untuk membeli masakan yang biasa dia beli. Dia mulai bosan dengan menu yang sama. Saat Ayesha hendak menimbang buah-buahan yang sudah dia bungkus, matanya menangkap sosok Argi yang juga tengah berada di sana lagi. Entah kenapa rasanya sangat canggung sekarang. “Hai,” sapa Ayesha dengan pandangannya yang tak tertuju pada Argi sama sekali. “Hai,” sapa balik Argi seraya tersenyum kecil menatapi Ayesha. “Lo belanja lagi?” Ayesha sebenarnya tak ingin berbasa-basi dengannya, namun rasanya tak enak tentang terakhir kali, jadi dirinya berusaha untuk bersikap tak canggung. “Mm, kurang lebih. Lebih tepatnya menunggu lo di sini. Kayaknya lo sering belanja di hari Minggu, di waktu-waktu seperti ini.” Argi menebak kebiasaan Ayesha. “Enggak juga, baru minggu kemarin dan minggu ini,” jawab Ayesha seadanya. Argi
“Lalu, lo tinggal di rumah lo sendiri padahal lo udah nikah? Suami lo ... yang selama ini ngasih lo duit, bukan Devan?” tanya Argi lagi, dia melanjutkan bertanya setelah Ayesha puas makan. “Mm, kayak gitu. Gue enggak mau tinggal sama istri pertamanya dan kayaknya istri pertamanya juga demikian. Kita lumayan enggak akur dan kadang akur, sih. Cuman kalau akur, gue banyak sakit hati. Tapi kayaknya dia juga. Kalau ngomong enggak pernah nyantai, sewot mulu bawaannya kalau sama gue. Makanya, setelah ada insiden, gue minggat.” Ayesha tersenyum saat menceritakannya. Dia tak lagi keberatan untuk membuka semuanya. Toh, melihat bagaimana Argi tak berusaha menghakiminya sama sekali, rasanya lebih melegakan. Ketimbang Devan, ternyata Argi pendengar yang lebih baik baginya. “Oh, gitu. Lo sendiri, pada akhirnya enggak jadi gugurin kandungan lo karena terpaksa, ya? Lo enggak bener-bener punya alasan buat mempertahankan kehamilan lo?” tanya Argi. Ayesha terdia
“Saya enggak bisa tinggal diam. Saya bisa bawa kasus ini ke pengadilan.” Ayesha menyilangkan tangannya, menatapi gadis yang menangis sesenggukan setelah melempar tempat pensil pada Juan hingga menyebabkan pelipis Juan terluka.“Aish... ini cuman masalah anak-anak. Kita enggak harus sampai bawa-bawa ini ke pengadilan, kan? Namanya juga anak-anak,” ucap pria yang kelihatannya ayah dari gadis itu cukup manis untuk membujuk Ayesha yang kini merangkul Juan yang duduk di UKS. “Lagian itu salah anak kamu! Kenapa sampai harus bentak-bentak anak saya. Dia kan, jadi takut. Itu salah satu refleks anak untuk melindungi dirinya sendiri!“ bela ibunya dengan lantang. “Oh...” Ayesha tertawa sinis dan melebarkan matanya dengan kesal. “Ternyata ibu sama anak sama aja. Tukang jual gosip.” “Ayesha!” Izhar menatapi Ayesha dan menyentuh pundaknya, yang langsung ditepis Ayesha. “Apa?! Tukang jual gosip?! Saya enggak sekedar bergosip, itu fakta! Anak yang tu
“Kamu ketemu Arsy sama ibunya?!” Ayesha melebarkan matanya saat Juan mengakuinya. “Juan... Juan tahu mereka karena lihat beberapa kali fotonya. Juan agak curiga, kenapa ayah enggak tinggal sama kita kayak ayah-ayah lainnya. Ternyata ayah punya keluarga lain,” ucap Juan pelan. Terdengar nadanya kecewa. Dia mungkin sudah menahan perasaannya untuk tak menunjukkan jika dia tahu sesuatu di depan bundanya. Namun Ayesha kemudian menghela nafasnya dan mendekati Juan. Tangannya mengusap halus pundak putranya itu. “Maaf, karena membiarkan kamu terlahir sebagai anak madu,” ucap Ayesha lirih. “Bunda enggak perlu minta maaf. Juan enggak pernah malu punya bunda,” jawab Juan cepat, dia tak ingin membuat bundanya yang telah mengorbankan banyak hal untuknya. Ayesha menghela nafasnya. Lagi pula, Juan memang harus tahu tentang ini. Ayesha menatapi putranya yang sudah beranjak dewasa. Dia kemudian memegangi keningnya, mengangkat sedikit rambut putranya
Juan tumbuh dengan pesat. Dia bersekolah di Bogor untuk sekolah dasarnya dan akan pindah ke kota asal ibunya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Juan tumbuh menjadi anak yang aktif. Karena pindah kota lagi, dia bisa dekat dengan ayahnya sekarang. “Arsy juga bakal sekolah di sekolah yang sama,” ucap Izhar tiba-tiba. Ayesha yang sedang menatapi persyaratan yang diperlukan untuk mendaftar lantas menggeser brosur sekolah yang ditunjukkan Izhar untuk Juan bersekolah di sana. “Aa yakin enggak akan masalah?” Ayesha menatapi Izhar dengan tatapan yang masih sama. “Enggak akan, Ay. Justru supaya Juan sama Arsy saling mengenal. Juan belum pernah main sama Arsy sebelumnya. Kamu enggak pernah izinkan Aa bawa Juan pulang. Neneknya kangen sama Juan,” ucap Izhar seraya menghela nafasnya dengan berat. “Itu buat kebaikan Juan. Aku enggak mau, Juan sampai mendengar sesuatu yang buruk dari ibu Aa.” Izhar menghela nafasny
“Ay bakal ikut keluarganya Devan pindah ke luar kota.” “Ay, kamu itu istri Aa. Justru kamu seharusnya itu Aa. Kenapa kamu malah ikut-ikut keluarga Devan?” Izhar merasa tertekan karena mendengar Ayesha akan pergi ke kota lain. Ayesha mengulum senyum dan menatapi Juan yang berada di kursi tingginya. Dia kemudian menyuapi Juan makanannya. Bayi itu terlihat sangat lahap makannya. “Ay kalau enggak sama Devan di sini sendirian. Aa enggak pernah ada sepenuhnya buat Ay, Devan yang malah jadi harus repot sama Ay, meski Ay udah nikah. Jadi, ya mau gimana lagi? Ay di sini atau Ay di sana, kayaknya buat Aa sama aja, kan?” Ayesha tersenyum tipis. Izhar menghela nafasnya. Setelah banyak yang dirinya dan Ayesha lakui, pada akhirnya Ayesha malah ingin pergi. Dia pikir kehadiran Juan akan cukup untuk mengikat Ayesha. Namun sepertinya tidak. Apa lagi dirinya kurang menghadirkan dirinya untuk sosok ibu dari anak laki-lakinya itu. “Juan bakal Ay bawa pa
Izhar tak pernah diizinkan menggendong Juan lagi setelahnya. Ayesha benar-benar mengawasi Juan hingga tak satu pun orang berani menggendong Juan. Bahkan teman-temannya yang ingin bermain dengan Juan dilarang untuk menggendongnya, hanya boleh menyentuhnya saja secara normal. Dan karena Nirmala dan Ayesha mungkin sudah seharusnya tidak berada di atap yang sama, karena mereka benar-benar tak bisa akur, akhirnya Nirmala pulang ke rumah Izhar. Dan pembantu rumah tangga mereka tentunya akan ikut bersama Izhar dan Nirmala. “Emang kamu bisa, rapihin rumah sendiri?” Izhar menghela nafasnya berat. “Devan bakal nyari pembantu buat bantu-bantu Ay di sini. Aa boleh pergi sekarang,” ucap Ayesha, secara tak langsung ingin mengusir Izhar yang sebenarnya memang akan pergi. “Ay, kamu jangan keterusan kayak gini, dong. Ke depannya, Arsy sama Juan bakal tumbuh besar, yang pastinya nanti mereka tahu kalau mereka itu kakak beradik. Jangan sampai Juan sama Arsy nant
“JUAN!” Ayesha memekik keras mendapati Juan yang sudah tergeletak di lantai dengan mulutnya yang terbuka lebar dan menjerit memanggil sang ibu. Ayesha berlari secepatnya untuk meraih Juan. Izhar sendiri segera menaruh Arsy di sofa dan menggendong Juan. Ayesha tanpa pikir panjang langsung merebut Juan dari Izhar. Tampak bagaimana tubuhnya gemetar, seolah merasakan sakit yang sama dengan yang dirasakan putranya. Perempuan itu tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Tangannya memeluk erat Juan yang menangis sejadinya. Sementara Izhar tampak cukup panik sekarang menatapi Ayesha yang membeku, kaget karena putranya baru saja kenapa-napa. Sementara Arsy ikut menangis karena mendengar tangisan Juan, itu membuat Izhar segera menggendong Arsy juga. Karena itu, Nirmala juga bergegas keluar dari kamar mandi dan menatapi Ayesha dan Izhar. Ayesha tampak hampir menangis menatapi putranya yang menangis sangat kencang, sepertinya dia terbentur cukup keras saat jatuh.
Sore itu, Ayesha mengajak Juan bermain di halaman rumah dengan mobil mini pemberian teman-temannya itu. Juan yang sudah mulai bisa merangkak kini tampak bersemangat berada di mobil mini itu sambil menatapi Ayesha. Ayesha tersenyum sambil terkekeh pelan melihat antusiasnya. “Juan kakinya ke sini bisa, enggak? Injak!” ujar Ayesha sambil memintanya untuk menginjak gas yang ada di bawah sana, atau remnya, namun kelihatannya bayi itu belum bisa menanganinya. “Belum bisa? Ya udah, enggak apa-apa. Kita dorong-dorong aja, sama Bunda.” Ayesha kemudian mendorong mobil mini itu dengan sabar di halaman rumahnya. Selama dia bermain bersama Juan, pembantu rumah tangga yang dihadirkan Izhar tengah menyapu dan mengepel bagian teras. Ayesha sangat sibuk bersama Juan, dia mengorbankan semua waktunya untuk pria kecil yang menjadi temannya tidur dan bermain sehari-hari. “Bu Mala masih jalan-jalan keluar ya, Mbak?” tanya pembantu rumah tangga itu. “Oh, k
Ayesha tersenyum menatapi putranya yang semakin gembul. Tubuhnya jauh lebih berat dari pertama kali dia menginjakkan kakinya di dunia. Dan bahkan sekarang sudah mampu untuk duduk, walau kadang masih kehilangan keseimbangannya sendiri. Ayesha terkekeh begitu Juan kembali terbaring dan lantas tertawa riang. Suaranya yang manis melengking itu menyenangkan. “Aduh, Juan jatuh. Bunda tolongin Juan, Bunda!” Ayesha menirukan suara anak kecil dan kemudian membantu Juan bangkit, hingga Juan kembali duduk dan menatap Ayesha dengan bersemangat. Nirmala dan Ayesha masih tinggal bersama, di rumah Ayesha. Namun keduanya kadang berselisih. Kali ini bukan karena Izhar. Karena Ayesha sendiri tampaknya tak begitu berharap lagi pada Izhar. Namun Nirmala tetaplah wanita pencemburu, sementara Ayesha yang cuek bebek pada Izhar justru membuat Izhar harus memberikan perhatian lebih padanya dan membuat Nirmala cemburu. Ayesha keluar dari kamarnya sambil menggendong Juan dan mena
Ayesha bahkan tak bisa beraktivitas bebas sejak ada orang tuanya Nirmala di rumah. Dia jarang turun ke bawah dan bahkan melakukan segala aktivitas di atas. Dia menjemur Juan pun di atas. Izhar kadang kali tak membantunya merawat Juan, mungkin memang benar yang lebih diinginkan Izhar itu anaknya Nirmala ketimbang anaknya. “Juan udah mandi? Kapan mandinya?” Izhar menghampiri Ayesha di balkon rumah. “Udah dari tadi,” balas Ayesha, dia hendak memasukkan Juan lagi ke dalam karena sudah lima menit berjemur, tak perlu lama-lama. “Kenapa enggak nunggu Aa? Bisa sendiri, emang?” tanya Izhar sambil mengusap tangan Juan halus. “Orang udah selesai, berarti bisa. Mungkin habis ini juga Ay harus kerja sendiri, supaya mandiri,” sindir Ayesha, lantaran dia merasa tak cukup mendapatkan perhatian dari Izhar. Izhar menghela nafasnya berat. Ini dia, omong kosong yang akan membuat mereka bertengkar lagi. “Kamu bicara apa sih, Ay? Karena Aa engga