Bayu mengetuk-ngetuk meja kerjanya dengan ujung jari, seperti memahat kesunyian dengan ritme gelisah yang tak menentu.
Pikirannya berputar seperti badai, terjebak dalam pusaran kata-kata Jihan semalam—kalimat itu menggema, menusuk relung yang tak ingin ia akui keberadaannya.
"Aku masih suci. Tak ada yang pernah menyentuhku."
Ia mendengus kasar, seolah ingin mengusir bayangan suara lembut yang kini memerangkap logikanya.
"Untuk apa juga aku memikirkannya," gumamnya seraya mengembuskan napas yang terasa berat seperti membawa beban dosa.
"Rafi, kemari," perintahnya, suaranya dingin seperti malam tanpa bulan.
Tak butuh waktu lama, pintu ruangannya terbuka, dan Rafi muncul dengan langkah ragu yang terlatih.
"Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanyanya dengan hormat, tatapannya terpaku pada ekspresi sang bos yang seperti patung marmer, dingin namun penuh arti.
Bayu mengangkat kepala, menatapnya dengan sorot mata tajam, seperti elang yang mengintai mangsa.
"Jihan tidak mengatakan apa pun kan, pada teman-teman kantornya?" Ada nada cemas di balik ketegasan itu, sekelebat kerentanan yang ingin ia tutupi.
Rafi menggelengkan kepala. "Tidak, Pak. Jihan tampak biasa saja dan mengerjakan pekerjaannya seperti biasa."
Bayu menyipitkan mata, tatapannya menusuk, mencoba menembus keyakinan yang diucapkan Rafi. "Apa kamu yakin?" desaknya, seperti hakim yang menuntut kejujuran terdakwa.
"Yakin, Pak. Sesuai permintaan Anda, saya selalu memantau Jihan dan memastikan dia tidak mengatakan apa pun pada siapa pun, termasuk sahabatnya sendiri—Meta."
Bayu terdiam sesaat, menelan ludahnya yang terasa pahit, seperti mencicipi racun dari ragu yang menggerogoti dirinya.
Kata-kata Nadya kembali menghantui pikirannya. Jihan wanita yang bisa dipercaya untuk memberi mereka seorang anak.
"Kalau begitu, cari tahu lebih banyak tentang Jihan. Saya tidak terlalu mengenal wanita itu sebelumnya," perintahnya, suaranya dingin namun penuh otoritas, seperti embun beku yang menggigit di pagi hari.
"Baik, Pak. Saya akan mencari informasinya dengan cepat," jawab Rafi sebelum keluar dengan langkah yang nyaris tanpa suara.
Bayu kembali menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya, yang terasa seperti singgasana isolasi.
Matanya sesekali melirik ke arah kaca besar yang sengaja ia buka, membiarkan pandangannya menyapu ruang kantor hingga sosok Jihan terlihat samar di kejauhan.
"Beraninya kau membocorkan rahasia ini, Jihan," desisnya pelan, namun tajam seperti pisau yang berkilau di bawah sinar matahari. "Bukan hanya kamu yang akan kuhancurkan, tetapi adikmu juga."
Tatapannya membara dengan intensitas yang mengancam, sementara bayangan Jihan terpantul di kaca, seolah menjadi simbol dari rahasia gelap yang harus tetap tersembunyi.
Bayu mengeratkan rahangnya, sumpah yang ia gumamkan seperti mantera kelam yang menggema di dalam hatinya.
Sumpah, demi apa pun, tidak akan ada satu orang pun yang tahu tentang pernikahan ini.
Jihan adalah pion di papan catur hidupnya, dan Bayu bertekad untuk menjaga permainan tetap di tangannya—sampai ia mendapatkan apa yang diinginkannya.
"Jihan?" suara Meta melayang, menghampiri Jihan yang tengah tenggelam dalam dunia kerja yang sunyi. Jemarinya bergerak lincah di atas keyboard, seperti memainkan simfoni kecil yang hanya ia dengar.
Jihan menoleh perlahan, alisnya sedikit terangkat. "Ada apa, Meta?" tanyanya, suaranya datar, namun mengandung kehangatan yang selalu menyertainya.
Meta mendekat, membawa aroma penasaran yang begitu khas. "Kamu sadar nggak sih, dari tadi Pak Bayu kayak lagi lihatin kamu," ujarnya, dengan nada setengah berbisik namun sarat dengan intrik.
Jihan mengalihkan pandangannya, menoleh ke arah ruang kerja Bayu. Sosok pria itu berdiri di balik dinding kaca, matanya tajam menembus jarak seperti seorang penjaga yang enggan melepas pandangan. Kening Jihan berkerut ringan sebelum ia kembali menatap Meta.
"Mungkin dia lagi gabut, Meta. Biarin aja," jawabnya ringan, seolah enggan memberikan tempat bagi kekhawatiran untuk bersarang.
Namun, ada sesuatu di balik matanya—sekelebat rasa tidak nyaman yang segera ia tekan dalam-dalam.
Meta tersenyum penuh arti, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit, seperti seseorang yang baru saja menemukan rahasia yang terlalu menarik untuk disimpan sendiri.
"Dia suka kali, sama kamu," celetuknya, nadanya penuh canda namun menusuk seperti jarum kecil yang menyentuh permukaan kulit.
"Hus! Dia sudah punya istri, Meta. Kamu ini, ngarang aja," balas Jihan, mengibas ringan ucapannya seolah mengusir lalat pengganggu.
Tatapannya mendadak lebih serius, meminta Meta untuk kembali ke meja kerjanya dengan isyarat kecil.
Meta hanya tertawa, tawanya renyah seperti denting kaca di tengah hening. Ia berbalik, matanya mendapati Rafi berdiri di dekat mereka, mengamati dari kejauhan seperti bayangan yang tak pernah absen.
Meta menyeringai kecil, menantangnya dengan nada setengah main-main, "Ngapain kamu di situ? Mau jadi mata-mata kami, supaya naik gaji?"
Rafi mendesah pelan, memutar bola matanya dengan kejemuan yang disengaja. Tanpa kata, ia berbalik, langkahnya ringan namun tegas, meninggalkan dua wanita yang masih sibuk dengan dunia kecil mereka.
Meta menyeringai kecil menatap kepergian Rafi, sebelum mengangkat bahu dengan gaya tak peduli. Sementara Jihan hanya menggeleng-gelengkan kepala, senyumnya samar namun penuh arti.
"Kalau kalian nggak saling menyindir sehari aja, kayaknya dunia bakal runtuh," gumamnya pelan, matanya kembali menatap layar komputer, berusaha mengabaikan kenyataan bahwa di sudut pandangnya, sosok Bayu masih tak berhenti memandanginya dari kejauhan.
**
Waktu sudah merambat pelan menuju angka tujuh malam, membungkus langit dengan selimut gelap yang bertabur bintang kecil, samar-samar tertutupi awan.
Langkah Jihan terdengar nyaris tanpa suara di koridor rumah sakit, hanya diselingi detak jarum jam di dinding yang terasa lebih lambat dari biasanya.
Kabar bahwa Bastian sudah siuman memburu langkahnya, membawa rasa lega bercampur kecemasan yang menyesakkan dadanya.
“Kak?” suara lirih Bastian menyambutnya begitu ia masuk ke kamar rumah sakit itu, seperti angin kecil yang menerobos ruang sunyi.
Jihan tersenyum lembut, meski matanya tak bisa menyembunyikan lelah yang mengendap di sana.
“Syukurlah kamu sudah siuman, Bas. Kakak khawatir sama kamu,” ucapnya, suaranya seperti belaian hangat di tengah dinginnya malam.
Bastian menatap Jihan dengan mata yang berkaca-kaca, seperti mencoba mencari jawaban yang telah lama ingin ia ketahui. “Kenapa Kakak mengorbankan diri Kakak buat aku?”
Jihan menelan ludahnya dengan susah payah, tenggorokannya terasa kering, seolah menolak untuk menjawab.
“Dari mana kamu tahu soal ini, Bas? Siapa yang memberitahumu?” tanyanya, nada suaranya penuh kehati-hatian, seperti seseorang yang berjalan di atas pecahan kaca.
“Meskipun aku sudah tidak berdaya, tapi aku masih bisa mendengar,” bisik Bastian, suaranya pecah oleh emosi yang ditahan.
“Aku tahu Kakak mengorbankan diri menjadi istri kedua Pak Bayu dan meminta Kakak melahirkan anak untuk mereka.”
Jihan tertegun, seakan kata-kata itu menghantamnya seperti gelombang besar yang tak bisa ia hindari.
Tangannya perlahan menggenggam tangan Bastian, erat, seperti memindahkan kekuatan yang tersisa dalam dirinya ke adiknya.
“Jangan khawatir, Bas. Tidak apa-apa,” ucapnya dengan senyum getir yang dipaksakan.
“Kakak akan melakukan apa pun untuk kamu, asal kamu sehat. Kakak hanya punya kamu, Bas. Jadi, tolong mengerti kondisi Kakak.”
Air mata Bastian tak bisa lagi terbendung, mengalir deras seperti hujan yang tumpah di musim kemarau.
Tatapannya penuh luka dan cinta, menatap sang kakak yang kini ia sadari telah mengorbankan segalanya. “Aku tidak akan mengecewakan Kakak. Aku janji,” bisiknya, suara itu gemetar namun penuh tekad.
Jihan mengangguk perlahan, bibirnya melengkungkan senyum kecil yang membawa secercah harapan. “Good,” gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua ini akan berakhir baik-baik saja.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Getaran ponselnya membuyarkan momen tersebut. Dengan cepat ia merogoh sakunya, membaca pesan yang baru masuk di layar.
Nadya: Jihan. Sebaiknya kamu dan Mas Bayu segera bermalam bersama. Jangan mengulur waktu kalau kamu memang tidak berniat ingin memiliki suamiku.
Nadya membuka matanya perlahan, membiarkan bayangan kamar yang temaram masuk ke dalam pandangannya.Namun, detik berikutnya, dadanya terhempas oleh keterkejutan. Di sisinya, Bayu terbaring dengan napas yang teratur, wajahnya yang tenang seolah menolak semua badai yang tengah mengamuk di antara mereka.“Mas? Kenapa kamu ada di sini?” Nadya bertanya dengan nada terkejut, matanya membulat seperti bulan purnama di langit gelap.Bayu, yang kini terjaga, hanya tersenyum kecil tanpa membuka mata sepenuhnya. Dengan gerakan yang perlahan, ia melingkarkan tangannya di perut Nadya, membawa aroma lavender yang menguar dari tubuhnya ke dalam paru-parunya.Napasnya terhembus panjang, seperti seorang pelaut yang menemukan daratan setelah berlayar di lautan badai.“Kenapa memangnya, hm?” suaranya serak, berat seperti embusan angin malam yang membawa dingin. “Kenapa kamu terlihat kaget begitu tahu aku tidur di sini?”Nadya, meski terkejut, segera mengatur dirinya. Ia menyingkirkan tangan Bayu dengan l
“Maaf, Mbak. Pak Bayu sendiri yang menolak untuk menginap di rumah saya,” kilah Jihan dengan nada yang terdengar hati-hati, seperti berjalan di atas tali yang rapuh.Nadya menggerutu pelan, matanya memandang kosong ke arah pakaian Bayu yang telah ia pilih. “Pokoknya aku tidak mau. Malam ini kalian harus tidur bersama. Kalau Mas Bayu tidak mau, paksa saja.”Nada suaranya berubah lebih dingin, dan senyum sinis muncul di wajahnya, seperti bulan sabit yang tajam.“Pria itu seperti kucing yang melihat ikan, Jihan. Tidak akan peduli siapa yang sedang menggodanya. Akan dia sentuh jika wanita itu menggoda. Jadi, kamu harus menjadi penggoda handal agar Mas Bayu menyentuhmu. Paham?!”Di seberang sana, Jihan terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang, pasrah dengan perintah yang diberikan.“Paham, Mbak. Saya akan menggodanya seperti yang Mbak minta,” jawabnya dengan suara yang terdengar lelah namun tanpa daya untuk menolak.Nadya menutup panggilan itu dengan gerakan cepat, seperti m
Bayu meneguk wine dengan gerakan terburu-buru, seolah cairan merah gelap itu adalah obat penawar bagi luka batin yang tak terlihat.Di sofa ruang tengah yang remang-remang, ia duduk dengan tubuh yang mulai terasa berat, mencoba menenggelamkan dirinya dalam gelombang mabuk sebelum keberanian palsu merasuki raganya.“Kenapa Nadya bisa merelakanku berbagi dengan wanita lain,” gumamnya pelan, seperti berbicara kepada hantu masa lalunya yang tak kunjung pergi. Ia menggelengkan kepala, dan kembali membiarkan wine mengalir melewati tenggorokannya.“Aku tidak bisa bercinta dengan wanita mana pun selain Nadya,” ucapnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih berat, penuh sesal.Kata-katanya seperti riak kecil di tengah lautan sunyi, sementara kesadarannya perlahan tenggelam, meskipun wine yang ia teguk baru seteguk-dua teguk.Di kamar yang diterangi lampu temaram, Jihan berdiri di depan cermin besar yang memantulkan seluruh tubuhnya.Napasnya terdengar berat, hampir seperti hembusan angin yang m
Jihan membuka matanya perlahan, merasakan tubuhnya seperti serpihan kaca yang baru saja dihantam oleh palu raksasa.Rasa sakit itu merayap, menyelinap dari ujung kaki hingga ke pangkal lehernya, membangunkannya dari mimpi yang penuh absurditas.Ia menoleh ke samping, napasnya terhenti sejenak. Bayu terbaring di sana, wajahnya tertidur dengan tenang seperti patung dewa yang terbuat dari marmer.Jihan menelan ludah dengan berat. Wajah itu, dengan garis-garis tajam dan lembut yang bercampur seperti lukisan maestro, masih mampu membuatnya terkesiap.Kenapa pria ini bisa tetap tampan bahkan saat tidur? pikirnya, rasa berdosa menggumpal di dadanya.Ia menggelengkan kepala dengan tergesa, mencoba mengusir pikiran itu seperti lalat yang hinggap di makanan.“Apa yang kamu pikirkan, Jihan? Dia milik orang lain,” bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tercekik oleh rasa bersalah.Ia bangkit dari tempat tidur, tapi langkah pertamanya terhenti oleh rasa ngilu yang menggigit pangkal pahanya
Ia meraih tasnya dengan gerakan cepat, langkahnya menuju pintu terkesan tergesa. Namun, tubuhnya mengkhianati amarahnya.Langkah-langkah itu tertatih, pangkal pahanya masih terasa ngilu, seperti luka yang baru saja tersayat. Tapi, Jihan meneguhkan dirinya.‘Tidak peduli seberapa sakit, aku harus tetap pergi ke kantor,’ pikirnya, menahan desah pelan yang hampir lolos dari bibirnya.Di sepanjang perjalanan, kecemasannya bertambah. Ia berharap tidak ada yang curiga dengan cara jalannya. Pikiran tentang tatapan rekan-rekannya di kantor membuat pipinya mulai memanas.‘Mau ditaruh di mana mukaku jika ada yang menyadarinya?’Bayangan mereka yang berbisik-bisik di belakangnya, membicarakan sesuatu yang seharusnya tidak mereka ketahui, membuat perutnya terasa melilit. Ia menggeleng pelan, mencoba menyingkirkan pikiran itu.Sementara itu, di ruang kerja Bayu, suasana tampak lebih tenang, tapi hanya di permukaan. Arkan melangkah masuk dengan dokumen di tangannya, ekspresinya serius seperti biasa
Jihan menoleh ke arah Meta, lalu melirik ke kaca yang mengarah ke ruang kerja Bayu. Ia menahan napas sejenak, lalu melepaskannya dalam tawa kecil yang dibuat-buat.“Mungkin lagi rekap tahunan, Met. Dia lagi nyari karyawannya yang teladan,” jawab Jihan dengan nada ringan, meski dalam hatinya terasa seperti ada duri yang menusuk.Meta tertawa mendengar jawabannya. “Nggak ada, Jihan,” ucapnya, tapi kemudian ia mengerutkan keningnya. Matanya menatap Jihan dengan cermat, seperti sedang mencoba mencari sesuatu yang tidak beres. “Jihan? Are you okay? Kenapa muka kamu pucat banget? Kayak orang kelelahan. Kamu sakit?” tanyanya, nada suaranya berubah menjadi cemas.Jihan menghela napas pelan, mencoba menenangkan dirinya. Ia meraih kaca kecil dari tasnya dan memandang pantulan wajahnya.Memang benar, wajahnya sedikit pucat, dan matanya tampak sayu, seolah beban dunia menggantung di sana. Namun, ia segera menguasai dirinya, memasang senyum yang cukup meyakinkan.“Nggak apa-apa kok. Aku baik-baik
“Lagi pula, aku sedang mens,” timpal Nadya, suaranya kini datar, seperti debur ombak yang kehilangan gairah. “Jadi, kamu tidak bisa menyentuhku sampai lima hari ke depan.”“Baiklah,” jawab Bayu akhirnya, suaranya serak seperti ranting yang patah. “Aku akan bermalam di rumah Jihan sampai dia hamil. Tapi, kamu oke, kan?”Nadya terkekeh pelan, tetapi tawa itu kosong, seperti bayangan yang tak memiliki tubuh. “Jika demi masa depan kita, aku baik-baik saja kok, Mas. Justru yang aku khawatirkan saat ini adalah orang tuamu. Mereka akan bertanya-tanya karena pernikahan kita sudah memasuki tiga tahun. Tolonglah bantu aku, Mas.”Bayu menatap kosong ke depan, membayangkan wajah istrinya yang menanggung beban seperti batu besar yang terikat di dadanya.Ia merasa dadanya sesak, bukan karena amarah, tetapi karena kasihan yang menyesak, merayap dalam setiap serat hatinya.Nadya, perempuan yang ia cintai, kini hanya menjadi bayangan dirinya sendiri—patah, rapuh, dan tak berdaya setelah mengetahui ken
Jihan terdiam, tubuhnya terasa kaku. Pertanyaan itu menggema di ruang kecil itu, menyisakan keheningan yang lebih menusuk daripada jawaban apa pun.Ia melirik kalender di meja kerja Bayu, jarinya perlahan mengarah pada tanggal-tanggal yang sudah ia hafal di luar kepala. Dengan gerakan pelan, ia menggeleng.“Minggu depan seharusnya saya datang bulan,” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan. “Jadi, minggu ini tidak masuk dalam masa subur.”“What?” Bayu terdengar terkejut, suaranya melengking dengan nada yang mengiris, seperti kaca yang retak tiba-tiba.“Kenapa tidak bilang kalau kamu tidak sedang dalam masa subur, Jihan? Kamu sengaja, ya? Kamu ingin menggoda saya, huh?”Mata Jihan menyipit, dan untuk sesaat, ia merasa dadanya mendidih. Amarah yang selama ini ia pendam mulai menyembul ke permukaan, seperti lava yang tak mampu lagi ditahan gunung berapi.“Jangan menuduh saya seperti itu ya, Pak!” suaranya meletup, keras dan tajam. “Saya masih punya harga diri meski sudah Anda beli dengan b
Jihan memandangnya dengan alis yang sedikit terangkat, matanya memancarkan keheranan yang tidak dapat disembunyikan.Namun, ia menggelengkan kepalanya perlahan, menolak pernyataan pria itu. “It’s okay, Pak. Saya mengerti. Tidak perlu meminta maaf. Justru saya yang seharusnya meminta maaf karena sudah lancang—”“Kamu benar, Jihan,” potong Bayu tiba-tiba, nada suaranya lebih dalam, hampir seperti gumaman yang keluar dari relung hatinya. “Jadi, tidak perlu meminta maaf.”Kalimat itu menggantung di udara, membebani ruang di antara mereka dengan makna yang sulit dijelaskan.Bayu menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, suaranya terdengar lebih rapuh dibanding sebelumnya. “Saya membutuhkanmu, Jihan. Seharusnya saya memperlakukanmu dengan baik. Bukan malah menghinamu seperti tadi.”Kata-kata itu membuat Jihan menelan ludah, suaranya tertahan di tenggorokannya. Mata cokelatnya menatap Bayu dengan kebingungan yang tak dapat disembunyikan.Sikap pria itu malam ini begitu berbeda, begitu l
“Apa iya, dia udah punya pacar tapi nggak mau ngasih tahu aku?” lanjut Meta, mencoba menebak dengan nada bercanda, meskipun matanya penuh tanda tanya.Bastian hanya mengangkat bahu pelan. Dalam hati, ia bergumam, ‘Kak Jihan pasti akan kasih tahu Kak Meta suatu saat nanti, setelah dia siap.’ Tapi, kapan? Itu pertanyaan yang bahkan ia sendiri tidak tahu jawabannya.Sementara itu, di dalam toilet, Jihan duduk di atas closet dengan punggung bersandar pada dinding yang dingin.Ia memandang layar ponselnya dengan napas tertahan, seperti seorang prajurit yang menunggu serangan berikutnya.Bayu: Kalau begitu saya ke rumah sakit juga.Matanya membola, seakan pesan itu adalah ledakan kecil yang memecah ketenangannya.Dengan tergesa, ia mengetik balasan, jemarinya hampir terpeleset karena keringat dingin yang mulai membasahi tangannya.Jihan: Jangan! Di sini ada Meta. Dia belum tahu apa pun!Bayu menaikkan alisnya saat membaca pesan itu, wajahnya yang biasanya dingin tampak melunak sesaat.Ada s
“Sudah, sudah,” Jihan mendelik sambil berusaha menyembunyikan rona tipis yang perlahan muncul di pipinya. “Kamu kebanyakan nonton drama. Bayu itu ya … sama sekali nggak begitu.”Meta mengusap lengannya yang dipukul, berpura-pura meringis. “Terserah kamu, deh,” gumamnya dengan tawa kecil yang tak bisa ditahan.Waktu terus berlalu, hingga jarum jam akhirnya menyentuh angka lima sore. Langit di luar mulai memerah seperti pipi seorang pemalu, memberikan tanda bahwa malam akan segera mengambil alih.Jihan dan Meta kini sudah tiba di rumah sakit, di mana aroma antiseptik yang menusuk bercampur dengan suasana tenang yang hampir mencekam.“Hi, Bas,” sapa Meta ceria, suaranya membawa kehangatan di tengah dinginnya udara ruangan. “Selamat ya, operasinya berjalan lancar. Katanya kamu sudah bisa pulang dalam waktu dekat!”Bastian, yang duduk di ranjang dengan wajah yang mulai memulih, tersenyum lebar seperti mentari pagi yang baru saja terbit.“Terima kasih, Kak. Terima kasih juga udah mau jenguk
Jihan terdiam, tubuhnya terasa kaku. Pertanyaan itu menggema di ruang kecil itu, menyisakan keheningan yang lebih menusuk daripada jawaban apa pun.Ia melirik kalender di meja kerja Bayu, jarinya perlahan mengarah pada tanggal-tanggal yang sudah ia hafal di luar kepala. Dengan gerakan pelan, ia menggeleng.“Minggu depan seharusnya saya datang bulan,” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan. “Jadi, minggu ini tidak masuk dalam masa subur.”“What?” Bayu terdengar terkejut, suaranya melengking dengan nada yang mengiris, seperti kaca yang retak tiba-tiba.“Kenapa tidak bilang kalau kamu tidak sedang dalam masa subur, Jihan? Kamu sengaja, ya? Kamu ingin menggoda saya, huh?”Mata Jihan menyipit, dan untuk sesaat, ia merasa dadanya mendidih. Amarah yang selama ini ia pendam mulai menyembul ke permukaan, seperti lava yang tak mampu lagi ditahan gunung berapi.“Jangan menuduh saya seperti itu ya, Pak!” suaranya meletup, keras dan tajam. “Saya masih punya harga diri meski sudah Anda beli dengan b
“Lagi pula, aku sedang mens,” timpal Nadya, suaranya kini datar, seperti debur ombak yang kehilangan gairah. “Jadi, kamu tidak bisa menyentuhku sampai lima hari ke depan.”“Baiklah,” jawab Bayu akhirnya, suaranya serak seperti ranting yang patah. “Aku akan bermalam di rumah Jihan sampai dia hamil. Tapi, kamu oke, kan?”Nadya terkekeh pelan, tetapi tawa itu kosong, seperti bayangan yang tak memiliki tubuh. “Jika demi masa depan kita, aku baik-baik saja kok, Mas. Justru yang aku khawatirkan saat ini adalah orang tuamu. Mereka akan bertanya-tanya karena pernikahan kita sudah memasuki tiga tahun. Tolonglah bantu aku, Mas.”Bayu menatap kosong ke depan, membayangkan wajah istrinya yang menanggung beban seperti batu besar yang terikat di dadanya.Ia merasa dadanya sesak, bukan karena amarah, tetapi karena kasihan yang menyesak, merayap dalam setiap serat hatinya.Nadya, perempuan yang ia cintai, kini hanya menjadi bayangan dirinya sendiri—patah, rapuh, dan tak berdaya setelah mengetahui ken
Jihan menoleh ke arah Meta, lalu melirik ke kaca yang mengarah ke ruang kerja Bayu. Ia menahan napas sejenak, lalu melepaskannya dalam tawa kecil yang dibuat-buat.“Mungkin lagi rekap tahunan, Met. Dia lagi nyari karyawannya yang teladan,” jawab Jihan dengan nada ringan, meski dalam hatinya terasa seperti ada duri yang menusuk.Meta tertawa mendengar jawabannya. “Nggak ada, Jihan,” ucapnya, tapi kemudian ia mengerutkan keningnya. Matanya menatap Jihan dengan cermat, seperti sedang mencoba mencari sesuatu yang tidak beres. “Jihan? Are you okay? Kenapa muka kamu pucat banget? Kayak orang kelelahan. Kamu sakit?” tanyanya, nada suaranya berubah menjadi cemas.Jihan menghela napas pelan, mencoba menenangkan dirinya. Ia meraih kaca kecil dari tasnya dan memandang pantulan wajahnya.Memang benar, wajahnya sedikit pucat, dan matanya tampak sayu, seolah beban dunia menggantung di sana. Namun, ia segera menguasai dirinya, memasang senyum yang cukup meyakinkan.“Nggak apa-apa kok. Aku baik-baik
Ia meraih tasnya dengan gerakan cepat, langkahnya menuju pintu terkesan tergesa. Namun, tubuhnya mengkhianati amarahnya.Langkah-langkah itu tertatih, pangkal pahanya masih terasa ngilu, seperti luka yang baru saja tersayat. Tapi, Jihan meneguhkan dirinya.‘Tidak peduli seberapa sakit, aku harus tetap pergi ke kantor,’ pikirnya, menahan desah pelan yang hampir lolos dari bibirnya.Di sepanjang perjalanan, kecemasannya bertambah. Ia berharap tidak ada yang curiga dengan cara jalannya. Pikiran tentang tatapan rekan-rekannya di kantor membuat pipinya mulai memanas.‘Mau ditaruh di mana mukaku jika ada yang menyadarinya?’Bayangan mereka yang berbisik-bisik di belakangnya, membicarakan sesuatu yang seharusnya tidak mereka ketahui, membuat perutnya terasa melilit. Ia menggeleng pelan, mencoba menyingkirkan pikiran itu.Sementara itu, di ruang kerja Bayu, suasana tampak lebih tenang, tapi hanya di permukaan. Arkan melangkah masuk dengan dokumen di tangannya, ekspresinya serius seperti biasa
Jihan membuka matanya perlahan, merasakan tubuhnya seperti serpihan kaca yang baru saja dihantam oleh palu raksasa.Rasa sakit itu merayap, menyelinap dari ujung kaki hingga ke pangkal lehernya, membangunkannya dari mimpi yang penuh absurditas.Ia menoleh ke samping, napasnya terhenti sejenak. Bayu terbaring di sana, wajahnya tertidur dengan tenang seperti patung dewa yang terbuat dari marmer.Jihan menelan ludah dengan berat. Wajah itu, dengan garis-garis tajam dan lembut yang bercampur seperti lukisan maestro, masih mampu membuatnya terkesiap.Kenapa pria ini bisa tetap tampan bahkan saat tidur? pikirnya, rasa berdosa menggumpal di dadanya.Ia menggelengkan kepala dengan tergesa, mencoba mengusir pikiran itu seperti lalat yang hinggap di makanan.“Apa yang kamu pikirkan, Jihan? Dia milik orang lain,” bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tercekik oleh rasa bersalah.Ia bangkit dari tempat tidur, tapi langkah pertamanya terhenti oleh rasa ngilu yang menggigit pangkal pahanya
Bayu meneguk wine dengan gerakan terburu-buru, seolah cairan merah gelap itu adalah obat penawar bagi luka batin yang tak terlihat.Di sofa ruang tengah yang remang-remang, ia duduk dengan tubuh yang mulai terasa berat, mencoba menenggelamkan dirinya dalam gelombang mabuk sebelum keberanian palsu merasuki raganya.“Kenapa Nadya bisa merelakanku berbagi dengan wanita lain,” gumamnya pelan, seperti berbicara kepada hantu masa lalunya yang tak kunjung pergi. Ia menggelengkan kepala, dan kembali membiarkan wine mengalir melewati tenggorokannya.“Aku tidak bisa bercinta dengan wanita mana pun selain Nadya,” ucapnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih berat, penuh sesal.Kata-katanya seperti riak kecil di tengah lautan sunyi, sementara kesadarannya perlahan tenggelam, meskipun wine yang ia teguk baru seteguk-dua teguk.Di kamar yang diterangi lampu temaram, Jihan berdiri di depan cermin besar yang memantulkan seluruh tubuhnya.Napasnya terdengar berat, hampir seperti hembusan angin yang m