Pernikahan Jihan dan Bayu baru saja digelar dengan keheningan yang nyaris menyakitkan di kediaman Bayu.
Bahkan yang menghadiri pun hanya segelintir orang saja, termasuk Nadya, yang duduk seperti bayangan tak bernyawa di sudut ruangan. Lampu-lampu kristal bergantung di langit-langit tinggi, berkilauan tanpa peduli pada suasana hati yang tertunduk muram.
Dua hari setelah operasi Bastian selesai, Bayu—dengan nada yang tak menerima penolakan—meminta Jihan untuk segera menikah dengannya.
Tak ada waktu untuk mimpi atau pertimbangan; Jihan menyerahkan dirinya seperti bunga layu yang diterbangkan angin ke mana saja ia mau.
“Nadya. Aku antar pulang Jihan ke rumah barunya. Atau kamu mau ikut denganku?” Bayu menghampiri Nadya dengan suara rendah, tapi cukup tajam untuk menembus dinding keheningan di antara mereka.
“Um, aku cukup lelah, Mas. Sebaiknya kamu saja yang mengantar Jihan ke rumah barunya,” jawab Nadya, suaranya hampir tenggelam dalam rasa enggan yang ia coba sembunyikan.
“Baiklah. Aku akan segera pulang begitu mengantar Jihan,” jawab Bayu, lalu mencium kening Nadya seakan itu hanyalah ritual tanpa rasa. Ia kemudian melangkah menuju Jihan, yang duduk kaku dalam kebaya putih, wajahnya dihias riasan sederhana yang kontras dengan sorot matanya yang redup.
“Ayo. Kamu tidak akan tinggal di rumah ini,” katanya, singkat dan tajam, seakan setiap kata adalah perintah tak terelakkan.
Jihan beranjak dari duduknya, langkahnya perlahan seperti boneka yang ditarik tali, mengikuti Bayu keluar dari rumah megah berlantai tiga yang menjulang seperti benteng tak berjiwa.
Sesampainya di rumah sederhana berlantai dua, Bayu membuka pintu dan membawa Jihan masuk. Dindingnya masih polos, aroma cat baru menyelimuti udara, tetapi tak ada hangat yang menyambut di dalam.
“Ini rumah yang akan kamu tinggali dengan Bastian setelah adikmu keluar dari rumah sakit,” ucap Bayu dengan nada yang sedingin angin malam.
Jihan menoleh, matanya menatap wajah Bayu yang berdiri di hadapannya seperti patung batu, keras dan tak tersentuh. “Baik, Pak.”
“Saya tidak akan tinggal di sini setiap hari, termasuk malam ini,” katanya lagi, tanpa ekspresi, seolah rumah ini hanyalah titik di peta yang harus ia kunjungi sesekali. “Saya akan menghubungimu jika akan kemari.”
Jihan mengangguk, menelan ludah yang terasa seperti bara. “Baik, Pak.” Tidak ada Bayu di sini, bukankah itu lebih baik?
Dia akan menjalani tugasnya sebagai ibu pengganti untuk anak Bayu dan Nadya, sebuah peran yang terasa lebih seperti hukuman daripada panggilan. Dan setelah semuanya selesai, dia akan pergi, menjauh, seolah dirinya hanyalah bayangan yang memudar di bawah mentari sore.
Merelakan rahimnya menjadi tempat tumbuhnya makhluk kecil dari seorang pria beristri adalah pergulatan batin yang hampir tak tertahankan.
Namun, Jihan harus menelan kenyataan pahit itu. Demi adiknya—satu-satunya keluarga yang tersisa—ia menyingkirkan semua rasa jijik dan kepedihan yang membuncah di dadanya.
Bayu, dengan langkah yang penuh keangkuhan, merogoh sesuatu dari saku celana hitamnya. Sebuah cincin pernikahan mengkilap muncul di antara jemarinya. Tanpa basa-basi, ia menarik tangan kiri Jihan, kasar namun terukur.
“Walaupun pernikahan ini rahasia, tapi kamu tetap sah sebagai istri saya di mata agama,” suaranya dingin, setiap kata seperti belati yang memotong sisa harga diri Jihan.
“Jadi, jangan menganggap bahwa kamu bukan seorang istri,” tambahnya dengan nada yang terdengar lebih seperti ancaman daripada penghiburan.
Jihan hanya mampu mengangguk. Diam menjadi satu-satunya perisai yang ia miliki dalam percakapan yang penuh dominasi ini.
“Kamu tidak memiliki kekasih, kan?” tanya Bayu, matanya menyelidik seperti hakim yang sedang mengadili terdakwa.
Jihan menggeleng pelan. “Tidak, Pak. Saya tidak memiliki kekasih, Anda tenang saja.”
Bayu tersenyum tipis, lebih mirip seringai. “Good! Karena saya tidak mau berurusan dengan pria yang dekat denganmu. Apalagi sampai benih saya tercampur dengan pria lain.”
Jihan terkejut mendengar kalimat itu. Rasanya seperti tamparan di wajahnya. Ia mengerutkan kening, tatapan matanya berubah tajam meski tubuhnya masih kaku. “Apa maksud Anda bicara seperti itu? Anda pikir saya wanita murahan?” tanyanya dengan suara yang dipenuhi ketegasan dan sedikit getar emosi.
Bayu hanya mengangkat bahu, santai dan acuh tak acuh. “Tidak ada yang tahu, kan?”
Wajah Jihan memerah, bukan karena malu, tetapi karena amarah yang mulai mendidih. “Kalau memang tidak tahu, sebaiknya jangan menuduh sembarangan, Pak! Saya ini masih suci, murni, belum pernah melakukan hubungan seperti itu!”
Bayu menyunggingkan senyum sinis, senyum yang penuh keraguan dan sarkasme. Tatapannya menusuk, seolah ia sedang menikmati melihat Jihan berjuang mempertahankan martabatnya.
“Kita lihat saja nanti, Jihan."
Bayu mengetuk-ngetuk meja kerjanya dengan ujung jari, seperti memahat kesunyian dengan ritme gelisah yang tak menentu.Pikirannya berputar seperti badai, terjebak dalam pusaran kata-kata Jihan semalam—kalimat itu menggema, menusuk relung yang tak ingin ia akui keberadaannya."Aku masih suci. Tak ada yang pernah menyentuhku."Ia mendengus kasar, seolah ingin mengusir bayangan suara lembut yang kini memerangkap logikanya."Untuk apa juga aku memikirkannya," gumamnya seraya mengembuskan napas yang terasa berat seperti membawa beban dosa."Rafi, kemari," perintahnya, suaranya dingin seperti malam tanpa bulan.Tak butuh waktu lama, pintu ruangannya terbuka, dan Rafi muncul dengan langkah ragu yang terlatih."Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanyanya dengan hormat, tatapannya terpaku pada ekspresi sang bos yang seperti patung marmer, dingin namun penuh arti.Bayu mengangkat kepala, menatapnya dengan sorot mata tajam, seperti elang yang mengintai mangsa."Jihan tidak mengatakan apa pun kan, pada
Nadya membuka matanya perlahan, membiarkan bayangan kamar yang temaram masuk ke dalam pandangannya.Namun, detik berikutnya, dadanya terhempas oleh keterkejutan. Di sisinya, Bayu terbaring dengan napas yang teratur, wajahnya yang tenang seolah menolak semua badai yang tengah mengamuk di antara mereka.“Mas? Kenapa kamu ada di sini?” Nadya bertanya dengan nada terkejut, matanya membulat seperti bulan purnama di langit gelap.Bayu, yang kini terjaga, hanya tersenyum kecil tanpa membuka mata sepenuhnya. Dengan gerakan yang perlahan, ia melingkarkan tangannya di perut Nadya, membawa aroma lavender yang menguar dari tubuhnya ke dalam paru-parunya.Napasnya terhembus panjang, seperti seorang pelaut yang menemukan daratan setelah berlayar di lautan badai.“Kenapa memangnya, hm?” suaranya serak, berat seperti embusan angin malam yang membawa dingin. “Kenapa kamu terlihat kaget begitu tahu aku tidur di sini?”Nadya, meski terkejut, segera mengatur dirinya. Ia menyingkirkan tangan Bayu dengan l
“Maaf, Mbak. Pak Bayu sendiri yang menolak untuk menginap di rumah saya,” kilah Jihan dengan nada yang terdengar hati-hati, seperti berjalan di atas tali yang rapuh.Nadya menggerutu pelan, matanya memandang kosong ke arah pakaian Bayu yang telah ia pilih. “Pokoknya aku tidak mau. Malam ini kalian harus tidur bersama. Kalau Mas Bayu tidak mau, paksa saja.”Nada suaranya berubah lebih dingin, dan senyum sinis muncul di wajahnya, seperti bulan sabit yang tajam.“Pria itu seperti kucing yang melihat ikan, Jihan. Tidak akan peduli siapa yang sedang menggodanya. Akan dia sentuh jika wanita itu menggoda. Jadi, kamu harus menjadi penggoda handal agar Mas Bayu menyentuhmu. Paham?!”Di seberang sana, Jihan terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang, pasrah dengan perintah yang diberikan.“Paham, Mbak. Saya akan menggodanya seperti yang Mbak minta,” jawabnya dengan suara yang terdengar lelah namun tanpa daya untuk menolak.Nadya menutup panggilan itu dengan gerakan cepat, seperti m
Bayu meneguk wine dengan gerakan terburu-buru, seolah cairan merah gelap itu adalah obat penawar bagi luka batin yang tak terlihat.Di sofa ruang tengah yang remang-remang, ia duduk dengan tubuh yang mulai terasa berat, mencoba menenggelamkan dirinya dalam gelombang mabuk sebelum keberanian palsu merasuki raganya.“Kenapa Nadya bisa merelakanku berbagi dengan wanita lain,” gumamnya pelan, seperti berbicara kepada hantu masa lalunya yang tak kunjung pergi. Ia menggelengkan kepala, dan kembali membiarkan wine mengalir melewati tenggorokannya.“Aku tidak bisa bercinta dengan wanita mana pun selain Nadya,” ucapnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih berat, penuh sesal.Kata-katanya seperti riak kecil di tengah lautan sunyi, sementara kesadarannya perlahan tenggelam, meskipun wine yang ia teguk baru seteguk-dua teguk.Di kamar yang diterangi lampu temaram, Jihan berdiri di depan cermin besar yang memantulkan seluruh tubuhnya.Napasnya terdengar berat, hampir seperti hembusan angin yang m
Jihan membuka matanya perlahan, merasakan tubuhnya seperti serpihan kaca yang baru saja dihantam oleh palu raksasa.Rasa sakit itu merayap, menyelinap dari ujung kaki hingga ke pangkal lehernya, membangunkannya dari mimpi yang penuh absurditas.Ia menoleh ke samping, napasnya terhenti sejenak. Bayu terbaring di sana, wajahnya tertidur dengan tenang seperti patung dewa yang terbuat dari marmer.Jihan menelan ludah dengan berat. Wajah itu, dengan garis-garis tajam dan lembut yang bercampur seperti lukisan maestro, masih mampu membuatnya terkesiap.Kenapa pria ini bisa tetap tampan bahkan saat tidur? pikirnya, rasa berdosa menggumpal di dadanya.Ia menggelengkan kepala dengan tergesa, mencoba mengusir pikiran itu seperti lalat yang hinggap di makanan.“Apa yang kamu pikirkan, Jihan? Dia milik orang lain,” bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tercekik oleh rasa bersalah.Ia bangkit dari tempat tidur, tapi langkah pertamanya terhenti oleh rasa ngilu yang menggigit pangkal pahanya
Ia meraih tasnya dengan gerakan cepat, langkahnya menuju pintu terkesan tergesa. Namun, tubuhnya mengkhianati amarahnya.Langkah-langkah itu tertatih, pangkal pahanya masih terasa ngilu, seperti luka yang baru saja tersayat. Tapi, Jihan meneguhkan dirinya.‘Tidak peduli seberapa sakit, aku harus tetap pergi ke kantor,’ pikirnya, menahan desah pelan yang hampir lolos dari bibirnya.Di sepanjang perjalanan, kecemasannya bertambah. Ia berharap tidak ada yang curiga dengan cara jalannya. Pikiran tentang tatapan rekan-rekannya di kantor membuat pipinya mulai memanas.‘Mau ditaruh di mana mukaku jika ada yang menyadarinya?’Bayangan mereka yang berbisik-bisik di belakangnya, membicarakan sesuatu yang seharusnya tidak mereka ketahui, membuat perutnya terasa melilit. Ia menggeleng pelan, mencoba menyingkirkan pikiran itu.Sementara itu, di ruang kerja Bayu, suasana tampak lebih tenang, tapi hanya di permukaan. Arkan melangkah masuk dengan dokumen di tangannya, ekspresinya serius seperti biasa
Jihan menoleh ke arah Meta, lalu melirik ke kaca yang mengarah ke ruang kerja Bayu. Ia menahan napas sejenak, lalu melepaskannya dalam tawa kecil yang dibuat-buat.“Mungkin lagi rekap tahunan, Met. Dia lagi nyari karyawannya yang teladan,” jawab Jihan dengan nada ringan, meski dalam hatinya terasa seperti ada duri yang menusuk.Meta tertawa mendengar jawabannya. “Nggak ada, Jihan,” ucapnya, tapi kemudian ia mengerutkan keningnya. Matanya menatap Jihan dengan cermat, seperti sedang mencoba mencari sesuatu yang tidak beres. “Jihan? Are you okay? Kenapa muka kamu pucat banget? Kayak orang kelelahan. Kamu sakit?” tanyanya, nada suaranya berubah menjadi cemas.Jihan menghela napas pelan, mencoba menenangkan dirinya. Ia meraih kaca kecil dari tasnya dan memandang pantulan wajahnya.Memang benar, wajahnya sedikit pucat, dan matanya tampak sayu, seolah beban dunia menggantung di sana. Namun, ia segera menguasai dirinya, memasang senyum yang cukup meyakinkan.“Nggak apa-apa kok. Aku baik-baik
“Lagi pula, aku sedang mens,” timpal Nadya, suaranya kini datar, seperti debur ombak yang kehilangan gairah. “Jadi, kamu tidak bisa menyentuhku sampai lima hari ke depan.”“Baiklah,” jawab Bayu akhirnya, suaranya serak seperti ranting yang patah. “Aku akan bermalam di rumah Jihan sampai dia hamil. Tapi, kamu oke, kan?”Nadya terkekeh pelan, tetapi tawa itu kosong, seperti bayangan yang tak memiliki tubuh. “Jika demi masa depan kita, aku baik-baik saja kok, Mas. Justru yang aku khawatirkan saat ini adalah orang tuamu. Mereka akan bertanya-tanya karena pernikahan kita sudah memasuki tiga tahun. Tolonglah bantu aku, Mas.”Bayu menatap kosong ke depan, membayangkan wajah istrinya yang menanggung beban seperti batu besar yang terikat di dadanya.Ia merasa dadanya sesak, bukan karena amarah, tetapi karena kasihan yang menyesak, merayap dalam setiap serat hatinya.Nadya, perempuan yang ia cintai, kini hanya menjadi bayangan dirinya sendiri—patah, rapuh, dan tak berdaya setelah mengetahui ken
Jihan memandangnya dengan alis yang sedikit terangkat, matanya memancarkan keheranan yang tidak dapat disembunyikan.Namun, ia menggelengkan kepalanya perlahan, menolak pernyataan pria itu. “It’s okay, Pak. Saya mengerti. Tidak perlu meminta maaf. Justru saya yang seharusnya meminta maaf karena sudah lancang—”“Kamu benar, Jihan,” potong Bayu tiba-tiba, nada suaranya lebih dalam, hampir seperti gumaman yang keluar dari relung hatinya. “Jadi, tidak perlu meminta maaf.”Kalimat itu menggantung di udara, membebani ruang di antara mereka dengan makna yang sulit dijelaskan.Bayu menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, suaranya terdengar lebih rapuh dibanding sebelumnya. “Saya membutuhkanmu, Jihan. Seharusnya saya memperlakukanmu dengan baik. Bukan malah menghinamu seperti tadi.”Kata-kata itu membuat Jihan menelan ludah, suaranya tertahan di tenggorokannya. Mata cokelatnya menatap Bayu dengan kebingungan yang tak dapat disembunyikan.Sikap pria itu malam ini begitu berbeda, begitu l
“Apa iya, dia udah punya pacar tapi nggak mau ngasih tahu aku?” lanjut Meta, mencoba menebak dengan nada bercanda, meskipun matanya penuh tanda tanya.Bastian hanya mengangkat bahu pelan. Dalam hati, ia bergumam, ‘Kak Jihan pasti akan kasih tahu Kak Meta suatu saat nanti, setelah dia siap.’ Tapi, kapan? Itu pertanyaan yang bahkan ia sendiri tidak tahu jawabannya.Sementara itu, di dalam toilet, Jihan duduk di atas closet dengan punggung bersandar pada dinding yang dingin.Ia memandang layar ponselnya dengan napas tertahan, seperti seorang prajurit yang menunggu serangan berikutnya.Bayu: Kalau begitu saya ke rumah sakit juga.Matanya membola, seakan pesan itu adalah ledakan kecil yang memecah ketenangannya.Dengan tergesa, ia mengetik balasan, jemarinya hampir terpeleset karena keringat dingin yang mulai membasahi tangannya.Jihan: Jangan! Di sini ada Meta. Dia belum tahu apa pun!Bayu menaikkan alisnya saat membaca pesan itu, wajahnya yang biasanya dingin tampak melunak sesaat.Ada s
“Sudah, sudah,” Jihan mendelik sambil berusaha menyembunyikan rona tipis yang perlahan muncul di pipinya. “Kamu kebanyakan nonton drama. Bayu itu ya … sama sekali nggak begitu.”Meta mengusap lengannya yang dipukul, berpura-pura meringis. “Terserah kamu, deh,” gumamnya dengan tawa kecil yang tak bisa ditahan.Waktu terus berlalu, hingga jarum jam akhirnya menyentuh angka lima sore. Langit di luar mulai memerah seperti pipi seorang pemalu, memberikan tanda bahwa malam akan segera mengambil alih.Jihan dan Meta kini sudah tiba di rumah sakit, di mana aroma antiseptik yang menusuk bercampur dengan suasana tenang yang hampir mencekam.“Hi, Bas,” sapa Meta ceria, suaranya membawa kehangatan di tengah dinginnya udara ruangan. “Selamat ya, operasinya berjalan lancar. Katanya kamu sudah bisa pulang dalam waktu dekat!”Bastian, yang duduk di ranjang dengan wajah yang mulai memulih, tersenyum lebar seperti mentari pagi yang baru saja terbit.“Terima kasih, Kak. Terima kasih juga udah mau jenguk
Jihan terdiam, tubuhnya terasa kaku. Pertanyaan itu menggema di ruang kecil itu, menyisakan keheningan yang lebih menusuk daripada jawaban apa pun.Ia melirik kalender di meja kerja Bayu, jarinya perlahan mengarah pada tanggal-tanggal yang sudah ia hafal di luar kepala. Dengan gerakan pelan, ia menggeleng.“Minggu depan seharusnya saya datang bulan,” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan. “Jadi, minggu ini tidak masuk dalam masa subur.”“What?” Bayu terdengar terkejut, suaranya melengking dengan nada yang mengiris, seperti kaca yang retak tiba-tiba.“Kenapa tidak bilang kalau kamu tidak sedang dalam masa subur, Jihan? Kamu sengaja, ya? Kamu ingin menggoda saya, huh?”Mata Jihan menyipit, dan untuk sesaat, ia merasa dadanya mendidih. Amarah yang selama ini ia pendam mulai menyembul ke permukaan, seperti lava yang tak mampu lagi ditahan gunung berapi.“Jangan menuduh saya seperti itu ya, Pak!” suaranya meletup, keras dan tajam. “Saya masih punya harga diri meski sudah Anda beli dengan b
“Lagi pula, aku sedang mens,” timpal Nadya, suaranya kini datar, seperti debur ombak yang kehilangan gairah. “Jadi, kamu tidak bisa menyentuhku sampai lima hari ke depan.”“Baiklah,” jawab Bayu akhirnya, suaranya serak seperti ranting yang patah. “Aku akan bermalam di rumah Jihan sampai dia hamil. Tapi, kamu oke, kan?”Nadya terkekeh pelan, tetapi tawa itu kosong, seperti bayangan yang tak memiliki tubuh. “Jika demi masa depan kita, aku baik-baik saja kok, Mas. Justru yang aku khawatirkan saat ini adalah orang tuamu. Mereka akan bertanya-tanya karena pernikahan kita sudah memasuki tiga tahun. Tolonglah bantu aku, Mas.”Bayu menatap kosong ke depan, membayangkan wajah istrinya yang menanggung beban seperti batu besar yang terikat di dadanya.Ia merasa dadanya sesak, bukan karena amarah, tetapi karena kasihan yang menyesak, merayap dalam setiap serat hatinya.Nadya, perempuan yang ia cintai, kini hanya menjadi bayangan dirinya sendiri—patah, rapuh, dan tak berdaya setelah mengetahui ken
Jihan menoleh ke arah Meta, lalu melirik ke kaca yang mengarah ke ruang kerja Bayu. Ia menahan napas sejenak, lalu melepaskannya dalam tawa kecil yang dibuat-buat.“Mungkin lagi rekap tahunan, Met. Dia lagi nyari karyawannya yang teladan,” jawab Jihan dengan nada ringan, meski dalam hatinya terasa seperti ada duri yang menusuk.Meta tertawa mendengar jawabannya. “Nggak ada, Jihan,” ucapnya, tapi kemudian ia mengerutkan keningnya. Matanya menatap Jihan dengan cermat, seperti sedang mencoba mencari sesuatu yang tidak beres. “Jihan? Are you okay? Kenapa muka kamu pucat banget? Kayak orang kelelahan. Kamu sakit?” tanyanya, nada suaranya berubah menjadi cemas.Jihan menghela napas pelan, mencoba menenangkan dirinya. Ia meraih kaca kecil dari tasnya dan memandang pantulan wajahnya.Memang benar, wajahnya sedikit pucat, dan matanya tampak sayu, seolah beban dunia menggantung di sana. Namun, ia segera menguasai dirinya, memasang senyum yang cukup meyakinkan.“Nggak apa-apa kok. Aku baik-baik
Ia meraih tasnya dengan gerakan cepat, langkahnya menuju pintu terkesan tergesa. Namun, tubuhnya mengkhianati amarahnya.Langkah-langkah itu tertatih, pangkal pahanya masih terasa ngilu, seperti luka yang baru saja tersayat. Tapi, Jihan meneguhkan dirinya.‘Tidak peduli seberapa sakit, aku harus tetap pergi ke kantor,’ pikirnya, menahan desah pelan yang hampir lolos dari bibirnya.Di sepanjang perjalanan, kecemasannya bertambah. Ia berharap tidak ada yang curiga dengan cara jalannya. Pikiran tentang tatapan rekan-rekannya di kantor membuat pipinya mulai memanas.‘Mau ditaruh di mana mukaku jika ada yang menyadarinya?’Bayangan mereka yang berbisik-bisik di belakangnya, membicarakan sesuatu yang seharusnya tidak mereka ketahui, membuat perutnya terasa melilit. Ia menggeleng pelan, mencoba menyingkirkan pikiran itu.Sementara itu, di ruang kerja Bayu, suasana tampak lebih tenang, tapi hanya di permukaan. Arkan melangkah masuk dengan dokumen di tangannya, ekspresinya serius seperti biasa
Jihan membuka matanya perlahan, merasakan tubuhnya seperti serpihan kaca yang baru saja dihantam oleh palu raksasa.Rasa sakit itu merayap, menyelinap dari ujung kaki hingga ke pangkal lehernya, membangunkannya dari mimpi yang penuh absurditas.Ia menoleh ke samping, napasnya terhenti sejenak. Bayu terbaring di sana, wajahnya tertidur dengan tenang seperti patung dewa yang terbuat dari marmer.Jihan menelan ludah dengan berat. Wajah itu, dengan garis-garis tajam dan lembut yang bercampur seperti lukisan maestro, masih mampu membuatnya terkesiap.Kenapa pria ini bisa tetap tampan bahkan saat tidur? pikirnya, rasa berdosa menggumpal di dadanya.Ia menggelengkan kepala dengan tergesa, mencoba mengusir pikiran itu seperti lalat yang hinggap di makanan.“Apa yang kamu pikirkan, Jihan? Dia milik orang lain,” bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tercekik oleh rasa bersalah.Ia bangkit dari tempat tidur, tapi langkah pertamanya terhenti oleh rasa ngilu yang menggigit pangkal pahanya
Bayu meneguk wine dengan gerakan terburu-buru, seolah cairan merah gelap itu adalah obat penawar bagi luka batin yang tak terlihat.Di sofa ruang tengah yang remang-remang, ia duduk dengan tubuh yang mulai terasa berat, mencoba menenggelamkan dirinya dalam gelombang mabuk sebelum keberanian palsu merasuki raganya.“Kenapa Nadya bisa merelakanku berbagi dengan wanita lain,” gumamnya pelan, seperti berbicara kepada hantu masa lalunya yang tak kunjung pergi. Ia menggelengkan kepala, dan kembali membiarkan wine mengalir melewati tenggorokannya.“Aku tidak bisa bercinta dengan wanita mana pun selain Nadya,” ucapnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih berat, penuh sesal.Kata-katanya seperti riak kecil di tengah lautan sunyi, sementara kesadarannya perlahan tenggelam, meskipun wine yang ia teguk baru seteguk-dua teguk.Di kamar yang diterangi lampu temaram, Jihan berdiri di depan cermin besar yang memantulkan seluruh tubuhnya.Napasnya terdengar berat, hampir seperti hembusan angin yang m