Bayu meneguk wine dengan gerakan terburu-buru, seolah cairan merah gelap itu adalah obat penawar bagi luka batin yang tak terlihat.
Di sofa ruang tengah yang remang-remang, ia duduk dengan tubuh yang mulai terasa berat, mencoba menenggelamkan dirinya dalam gelombang mabuk sebelum keberanian palsu merasuki raganya.
“Kenapa Nadya bisa merelakanku berbagi dengan wanita lain,” gumamnya pelan, seperti berbicara kepada hantu masa lalunya yang tak kunjung pergi. Ia menggelengkan kepala, dan kembali membiarkan wine mengalir melewati tenggorokannya.
“Aku tidak bisa bercinta dengan wanita mana pun selain Nadya,” ucapnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih berat, penuh sesal.
Kata-katanya seperti riak kecil di tengah lautan sunyi, sementara kesadarannya perlahan tenggelam, meskipun wine yang ia teguk baru seteguk-dua teguk.
Di kamar yang diterangi lampu temaram, Jihan berdiri di depan cermin besar yang memantulkan seluruh tubuhnya.
Napasnya terdengar berat, hampir seperti hembusan angin yang merintih. Satin lingerie yang membalut tubuhnya terasa seperti jaring laba-laba, lembut namun menjerat.
“Siap tidak siap, aku harus siap. Bukankah lebih cepat lebih baik?” bisiknya, suaranya terdengar rapuh, meski ia berusaha memahat keberanian dalam dirinya.
“Aku tidak bisa menolaknya lagi. Bastian sudah dia selamatkan,” ucapnya dengan mata yang perlahan terpejam, berusaha melarikan diri dari bayangan apa yang akan segera terjadi.
Brak!
Suara pintu yang dihantam keras membuat Jihan tersentak. Tubuhnya membeku, pandangan matanya terpaku pada sosok Bayu yang berdiri di ambang pintu.
Matanya yang merah dan sayu menatapnya dengan pandangan yang sulit ditebak. Langkahnya terhuyung, namun ia terus maju, seperti serigala yang mengintai mangsanya.
Bayu menyunggingkan senyum, tetapi senyum itu lebih menyerupai cakar malam yang menyayat ketenangan.
Ia mendekat, setiap langkahnya membuat Jihan semakin menelan ludah, mencoba mengusir rasa takut yang mulai menggerogoti.
“Rupanya kamu sudah menyiapkan semuanya,” bisiknya dengan nada yang mengalir seperti racun, menebar ketidaknyamanan.
Bau alkohol yang tajam menyeruak, memenuhi indra penciuman Jihan, membuatnya meringis. “Anda mabuk, Pak?” tanya Jihan, suaranya terdengar kecil, hampir seperti bayangan suaranya sendiri.
Bayu mengangkat tangannya, ujung jarinya menyusuri garis lembut pipi Jihan, dingin seperti kabut dini hari.
“Jangan memanggilku dengan sebutan itu, Jihan. Aku ini suamimu,” ucapnya dengan suara serak yang lebih menyerupai desah angin malam yang menyentuh dinding kesepian.
Jihan mengerutkan kening, mencoba memahami kata-kata yang meluncur dari mulutnya. Ia baru sadar bahwa mabuk telah membengkokkan logika Bayu, membuat setiap ucapannya terdengar seperti mantra yang mengerikan.
Jihan berdehem pelan, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berlomba dengan ketakutan.
“Kalau begitu, kenapa kamu mabuk? Kamu tidak siap? Bukankah lebih cepat lebih baik? Katanya pengen cepet-cepet pergi dariku,” ucapnya.
Suaranya terdengar seperti bisikan kecil yang dipaksa untuk menjadi keras, namun keberaniannya begitu rapuh, setipis tisu yang hampir robek.
Rahang Bayu mengetat mendengar kata-katanya, seperti kawat baja yang tertarik hingga batas.
Mata gelapnya menyapu tubuh Jihan, dan pandangannya tertahan pada pakaian satin yang membalut tubuh wanita itu.
Baju itu—atau mungkin niat yang tersembunyi di baliknya—membangkitkan bara yang sudah lama membara dalam dirinya.
“Ya. Kamu benar. Lebih cepat lebih baik,” ucap Bayu dengan suara yang rendah namun tajam, seperti pisau yang perlahan menyayat udara.
“Kamu pikir aku nyaman berada di posisi ini?” lanjutnya. Tanpa aba-aba, kedua tangannya meraih lengan Jihan, menggenggamnya dengan tekanan yang cukup untuk membuat wanita itu tersadar betapa tipis jarak antara keberanian dan kehancuran.
Tatapan Bayu menembus langsung ke dalam mata Jihan, intens dan membakar, membuat wanita itu merasa seperti daun kering yang hampir hangus di bawah matahari terik.
Ia berusaha mempertahankan ketenangannya, meski getaran kecil mulai terlihat di tangannya.
“Jangan menatapku seperti itu … Mas,” bisiknya pelan, hampir seperti doa yang terpaksa dikeluarkan. Bibirnya gemetar, tetapi ia memaksa dirinya untuk menanggalkan formalitas.
Senyum seringai muncul di wajah Bayu, seperti bayangan serigala yang menyeringai di balik pepohonan gelap.
Ia mengangkat tangannya, ujung jarinya menyentuh sisi wajah Jihan, mengusapnya dengan sentuhan yang lembut, tetapi di balik kelembutan itu ada ketegangan yang membara.
“Katanya tidak pernah melakukannya dengan siapa pun,” ucapnya dengan nada mencemooh.
“Kenapa kamu tahu bahwa baju ini bisa membangkitkan gairah laki-laki? Dan wangimu ….” Bayu mendekat, menghirup aroma manis vanila yang memancar dari leher Jihan, seperti racun yang perlahan menyusup ke dalam tubuhnya.
“Oh, shiitt!” umpat Bayu sambil menatap wajah Jihan dengan tatapan tajam. “Kamu bohong, kan? Sebenarnya kamu sudah berpengalaman?”
Jihan menggelengkan kepalanya dengan cepat, rambutnya yang halus bergerak seperti riak air.
Padahal, ide gila ini berasal dari Nadya, wanita yang terus mendesaknya untuk memanfaatkan tubuhnya demi mencapai tujuan. Keberanian Jihan saat ini hanyalah bayangan dari paksaan itu.
Tanpa peringatan, Bayu menarik tengkuk Jihan dan mendaratkan ciuman yang begitu brutal di bibirnya.
Hembusan napas mereka bercampur menjadi satu, dan bibir Jihan seolah terbakar oleh sentuhan yang agresif itu.
Giginya menggigit, melumat bibir Jihan dengan hasrat yang liar, seperti badai yang menghantam dinding rapuh.
Jihan, yang awalnya ingin melawan, malah kehilangan kendali. Tangannya terangkat, mengacak-acak rambut Bayu yang kini menjadi medan bagi jemarinya untuk berlabuh.
Ciuman mereka semakin dalam, dan Jihan hanya bisa terhanyut dalam arus yang diciptakan oleh pria di hadapannya, meski rasa takut dan keraguan masih bergelayut di sudut hatinya.
Tubuhnya ambruk di atas tempat tidur, seolah gravitasi telah menggandakan cengkeramannya.
Dalam keadaan setengah sadar, meski satu botol wine telah mengalir melalui nadinya, Bayu masih dapat merasakan desakan liar di bawah sana, seperti gelombang pasang yang tak lagi bisa dibendung.
Dengan gerakan perlahan namun penuh determinasi, Bayu melucuti pakaiannya, menyisakan dirinya dalam bentuk yang paling primal.
Jihan menelan ludah berkali-kali, matanya terpaku pada tubuh atletis yang kini terpampang di depannya.
Otot-otot Bayu seperti ukiran seni yang hidup, memancarkan aura kekuatan dan ketertarikan yang tak bisa diabaikan.
Jihan gemetar. Pikirannya terombang-ambing antara rasa takut dan sesuatu yang tak mampu ia definisikan.
Membayangkan bagaimana tubuhnya akan ditaklukkan oleh pria dengan tubuh berotot ini membuat bulu kuduknya berdiri, seperti angin dingin yang tiba-tiba menusuk kulit.
Bayu, dengan sorot mata yang membara, mulai menjelajahi tubuh Jihan. Jemarinya menyusuri kulit halusnya, seperti petualang yang menemukan harta karun yang telah lama tersembunyi.
Sentuhan itu terasa mendalam, seolah setiap inci kulitnya adalah teka-teki yang ingin ia pecahkan. Jihan hanya bisa pasrah, membiarkan dirinya terperangkap dalam badai hasrat pria itu.
Suaranya terputus-putus, terkadang mendesah pelan, terkadang hanya diam membatu seperti patung yang tak berdaya.
Hingga akhirnya, penyatuan itu terjadi. Bayu mengumpat kasar, frustrasi karena Jihan terasa sulit dijangkau, seperti gerbang yang tertutup rapat dan enggan terbuka.
Namun, saat kebenaran itu muncul, ia membeku. Sebuah kesadaran mengguncangnya—Jihan benar-benar masih perawan.
Mata Bayu menatap wajah Jihan yang memejam erat, seperti seseorang yang mencoba melarikan diri dari rasa sakit yang tak terelakkan.
Tangan wanita itu mencengkeram sprei dengan begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih, menahan gelombang perih dari mahkota yang baru saja direnggut.
Perasaan campur aduk menyapu Bayu—malu, bersalah, dan takjub. ‘Jadi, begini rasanya bercinta dengan wanita yang masih gadis.’
Jihan membuka matanya perlahan, merasakan tubuhnya seperti serpihan kaca yang baru saja dihantam oleh palu raksasa.Rasa sakit itu merayap, menyelinap dari ujung kaki hingga ke pangkal lehernya, membangunkannya dari mimpi yang penuh absurditas.Ia menoleh ke samping, napasnya terhenti sejenak. Bayu terbaring di sana, wajahnya tertidur dengan tenang seperti patung dewa yang terbuat dari marmer.Jihan menelan ludah dengan berat. Wajah itu, dengan garis-garis tajam dan lembut yang bercampur seperti lukisan maestro, masih mampu membuatnya terkesiap.Kenapa pria ini bisa tetap tampan bahkan saat tidur? pikirnya, rasa berdosa menggumpal di dadanya.Ia menggelengkan kepala dengan tergesa, mencoba mengusir pikiran itu seperti lalat yang hinggap di makanan.“Apa yang kamu pikirkan, Jihan? Dia milik orang lain,” bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tercekik oleh rasa bersalah.Ia bangkit dari tempat tidur, tapi langkah pertamanya terhenti oleh rasa ngilu yang menggigit pangkal pahanya
Ia meraih tasnya dengan gerakan cepat, langkahnya menuju pintu terkesan tergesa. Namun, tubuhnya mengkhianati amarahnya.Langkah-langkah itu tertatih, pangkal pahanya masih terasa ngilu, seperti luka yang baru saja tersayat. Tapi, Jihan meneguhkan dirinya.‘Tidak peduli seberapa sakit, aku harus tetap pergi ke kantor,’ pikirnya, menahan desah pelan yang hampir lolos dari bibirnya.Di sepanjang perjalanan, kecemasannya bertambah. Ia berharap tidak ada yang curiga dengan cara jalannya. Pikiran tentang tatapan rekan-rekannya di kantor membuat pipinya mulai memanas.‘Mau ditaruh di mana mukaku jika ada yang menyadarinya?’Bayangan mereka yang berbisik-bisik di belakangnya, membicarakan sesuatu yang seharusnya tidak mereka ketahui, membuat perutnya terasa melilit. Ia menggeleng pelan, mencoba menyingkirkan pikiran itu.Sementara itu, di ruang kerja Bayu, suasana tampak lebih tenang, tapi hanya di permukaan. Arkan melangkah masuk dengan dokumen di tangannya, ekspresinya serius seperti biasa
Jihan menoleh ke arah Meta, lalu melirik ke kaca yang mengarah ke ruang kerja Bayu. Ia menahan napas sejenak, lalu melepaskannya dalam tawa kecil yang dibuat-buat.“Mungkin lagi rekap tahunan, Met. Dia lagi nyari karyawannya yang teladan,” jawab Jihan dengan nada ringan, meski dalam hatinya terasa seperti ada duri yang menusuk.Meta tertawa mendengar jawabannya. “Nggak ada, Jihan,” ucapnya, tapi kemudian ia mengerutkan keningnya. Matanya menatap Jihan dengan cermat, seperti sedang mencoba mencari sesuatu yang tidak beres. “Jihan? Are you okay? Kenapa muka kamu pucat banget? Kayak orang kelelahan. Kamu sakit?” tanyanya, nada suaranya berubah menjadi cemas.Jihan menghela napas pelan, mencoba menenangkan dirinya. Ia meraih kaca kecil dari tasnya dan memandang pantulan wajahnya.Memang benar, wajahnya sedikit pucat, dan matanya tampak sayu, seolah beban dunia menggantung di sana. Namun, ia segera menguasai dirinya, memasang senyum yang cukup meyakinkan.“Nggak apa-apa kok. Aku baik-baik
“Lagi pula, aku sedang mens,” timpal Nadya, suaranya kini datar, seperti debur ombak yang kehilangan gairah. “Jadi, kamu tidak bisa menyentuhku sampai lima hari ke depan.”“Baiklah,” jawab Bayu akhirnya, suaranya serak seperti ranting yang patah. “Aku akan bermalam di rumah Jihan sampai dia hamil. Tapi, kamu oke, kan?”Nadya terkekeh pelan, tetapi tawa itu kosong, seperti bayangan yang tak memiliki tubuh. “Jika demi masa depan kita, aku baik-baik saja kok, Mas. Justru yang aku khawatirkan saat ini adalah orang tuamu. Mereka akan bertanya-tanya karena pernikahan kita sudah memasuki tiga tahun. Tolonglah bantu aku, Mas.”Bayu menatap kosong ke depan, membayangkan wajah istrinya yang menanggung beban seperti batu besar yang terikat di dadanya.Ia merasa dadanya sesak, bukan karena amarah, tetapi karena kasihan yang menyesak, merayap dalam setiap serat hatinya.Nadya, perempuan yang ia cintai, kini hanya menjadi bayangan dirinya sendiri—patah, rapuh, dan tak berdaya setelah mengetahui ken
Jihan terdiam, tubuhnya terasa kaku. Pertanyaan itu menggema di ruang kecil itu, menyisakan keheningan yang lebih menusuk daripada jawaban apa pun.Ia melirik kalender di meja kerja Bayu, jarinya perlahan mengarah pada tanggal-tanggal yang sudah ia hafal di luar kepala. Dengan gerakan pelan, ia menggeleng.“Minggu depan seharusnya saya datang bulan,” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan. “Jadi, minggu ini tidak masuk dalam masa subur.”“What?” Bayu terdengar terkejut, suaranya melengking dengan nada yang mengiris, seperti kaca yang retak tiba-tiba.“Kenapa tidak bilang kalau kamu tidak sedang dalam masa subur, Jihan? Kamu sengaja, ya? Kamu ingin menggoda saya, huh?”Mata Jihan menyipit, dan untuk sesaat, ia merasa dadanya mendidih. Amarah yang selama ini ia pendam mulai menyembul ke permukaan, seperti lava yang tak mampu lagi ditahan gunung berapi.“Jangan menuduh saya seperti itu ya, Pak!” suaranya meletup, keras dan tajam. “Saya masih punya harga diri meski sudah Anda beli dengan b
“Sudah, sudah,” Jihan mendelik sambil berusaha menyembunyikan rona tipis yang perlahan muncul di pipinya. “Kamu kebanyakan nonton drama. Bayu itu ya … sama sekali nggak begitu.”Meta mengusap lengannya yang dipukul, berpura-pura meringis. “Terserah kamu, deh,” gumamnya dengan tawa kecil yang tak bisa ditahan.Waktu terus berlalu, hingga jarum jam akhirnya menyentuh angka lima sore. Langit di luar mulai memerah seperti pipi seorang pemalu, memberikan tanda bahwa malam akan segera mengambil alih.Jihan dan Meta kini sudah tiba di rumah sakit, di mana aroma antiseptik yang menusuk bercampur dengan suasana tenang yang hampir mencekam.“Hi, Bas,” sapa Meta ceria, suaranya membawa kehangatan di tengah dinginnya udara ruangan. “Selamat ya, operasinya berjalan lancar. Katanya kamu sudah bisa pulang dalam waktu dekat!”Bastian, yang duduk di ranjang dengan wajah yang mulai memulih, tersenyum lebar seperti mentari pagi yang baru saja terbit.“Terima kasih, Kak. Terima kasih juga udah mau jenguk
“Apa iya, dia udah punya pacar tapi nggak mau ngasih tahu aku?” lanjut Meta, mencoba menebak dengan nada bercanda, meskipun matanya penuh tanda tanya.Bastian hanya mengangkat bahu pelan. Dalam hati, ia bergumam, ‘Kak Jihan pasti akan kasih tahu Kak Meta suatu saat nanti, setelah dia siap.’ Tapi, kapan? Itu pertanyaan yang bahkan ia sendiri tidak tahu jawabannya.Sementara itu, di dalam toilet, Jihan duduk di atas closet dengan punggung bersandar pada dinding yang dingin.Ia memandang layar ponselnya dengan napas tertahan, seperti seorang prajurit yang menunggu serangan berikutnya.Bayu: Kalau begitu saya ke rumah sakit juga.Matanya membola, seakan pesan itu adalah ledakan kecil yang memecah ketenangannya.Dengan tergesa, ia mengetik balasan, jemarinya hampir terpeleset karena keringat dingin yang mulai membasahi tangannya.Jihan: Jangan! Di sini ada Meta. Dia belum tahu apa pun!Bayu menaikkan alisnya saat membaca pesan itu, wajahnya yang biasanya dingin tampak melunak sesaat.Ada s
Jihan memandangnya dengan alis yang sedikit terangkat, matanya memancarkan keheranan yang tidak dapat disembunyikan.Namun, ia menggelengkan kepalanya perlahan, menolak pernyataan pria itu. “It’s okay, Pak. Saya mengerti. Tidak perlu meminta maaf. Justru saya yang seharusnya meminta maaf karena sudah lancang—”“Kamu benar, Jihan,” potong Bayu tiba-tiba, nada suaranya lebih dalam, hampir seperti gumaman yang keluar dari relung hatinya. “Jadi, tidak perlu meminta maaf.”Kalimat itu menggantung di udara, membebani ruang di antara mereka dengan makna yang sulit dijelaskan.Bayu menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, suaranya terdengar lebih rapuh dibanding sebelumnya. “Saya membutuhkanmu, Jihan. Seharusnya saya memperlakukanmu dengan baik. Bukan malah menghinamu seperti tadi.”Kata-kata itu membuat Jihan menelan ludah, suaranya tertahan di tenggorokannya. Mata cokelatnya menatap Bayu dengan kebingungan yang tak dapat disembunyikan.Sikap pria itu malam ini begitu berbeda, begitu l
Jihan memandangnya dengan alis yang sedikit terangkat, matanya memancarkan keheranan yang tidak dapat disembunyikan.Namun, ia menggelengkan kepalanya perlahan, menolak pernyataan pria itu. “It’s okay, Pak. Saya mengerti. Tidak perlu meminta maaf. Justru saya yang seharusnya meminta maaf karena sudah lancang—”“Kamu benar, Jihan,” potong Bayu tiba-tiba, nada suaranya lebih dalam, hampir seperti gumaman yang keluar dari relung hatinya. “Jadi, tidak perlu meminta maaf.”Kalimat itu menggantung di udara, membebani ruang di antara mereka dengan makna yang sulit dijelaskan.Bayu menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, suaranya terdengar lebih rapuh dibanding sebelumnya. “Saya membutuhkanmu, Jihan. Seharusnya saya memperlakukanmu dengan baik. Bukan malah menghinamu seperti tadi.”Kata-kata itu membuat Jihan menelan ludah, suaranya tertahan di tenggorokannya. Mata cokelatnya menatap Bayu dengan kebingungan yang tak dapat disembunyikan.Sikap pria itu malam ini begitu berbeda, begitu l
“Apa iya, dia udah punya pacar tapi nggak mau ngasih tahu aku?” lanjut Meta, mencoba menebak dengan nada bercanda, meskipun matanya penuh tanda tanya.Bastian hanya mengangkat bahu pelan. Dalam hati, ia bergumam, ‘Kak Jihan pasti akan kasih tahu Kak Meta suatu saat nanti, setelah dia siap.’ Tapi, kapan? Itu pertanyaan yang bahkan ia sendiri tidak tahu jawabannya.Sementara itu, di dalam toilet, Jihan duduk di atas closet dengan punggung bersandar pada dinding yang dingin.Ia memandang layar ponselnya dengan napas tertahan, seperti seorang prajurit yang menunggu serangan berikutnya.Bayu: Kalau begitu saya ke rumah sakit juga.Matanya membola, seakan pesan itu adalah ledakan kecil yang memecah ketenangannya.Dengan tergesa, ia mengetik balasan, jemarinya hampir terpeleset karena keringat dingin yang mulai membasahi tangannya.Jihan: Jangan! Di sini ada Meta. Dia belum tahu apa pun!Bayu menaikkan alisnya saat membaca pesan itu, wajahnya yang biasanya dingin tampak melunak sesaat.Ada s
“Sudah, sudah,” Jihan mendelik sambil berusaha menyembunyikan rona tipis yang perlahan muncul di pipinya. “Kamu kebanyakan nonton drama. Bayu itu ya … sama sekali nggak begitu.”Meta mengusap lengannya yang dipukul, berpura-pura meringis. “Terserah kamu, deh,” gumamnya dengan tawa kecil yang tak bisa ditahan.Waktu terus berlalu, hingga jarum jam akhirnya menyentuh angka lima sore. Langit di luar mulai memerah seperti pipi seorang pemalu, memberikan tanda bahwa malam akan segera mengambil alih.Jihan dan Meta kini sudah tiba di rumah sakit, di mana aroma antiseptik yang menusuk bercampur dengan suasana tenang yang hampir mencekam.“Hi, Bas,” sapa Meta ceria, suaranya membawa kehangatan di tengah dinginnya udara ruangan. “Selamat ya, operasinya berjalan lancar. Katanya kamu sudah bisa pulang dalam waktu dekat!”Bastian, yang duduk di ranjang dengan wajah yang mulai memulih, tersenyum lebar seperti mentari pagi yang baru saja terbit.“Terima kasih, Kak. Terima kasih juga udah mau jenguk
Jihan terdiam, tubuhnya terasa kaku. Pertanyaan itu menggema di ruang kecil itu, menyisakan keheningan yang lebih menusuk daripada jawaban apa pun.Ia melirik kalender di meja kerja Bayu, jarinya perlahan mengarah pada tanggal-tanggal yang sudah ia hafal di luar kepala. Dengan gerakan pelan, ia menggeleng.“Minggu depan seharusnya saya datang bulan,” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan. “Jadi, minggu ini tidak masuk dalam masa subur.”“What?” Bayu terdengar terkejut, suaranya melengking dengan nada yang mengiris, seperti kaca yang retak tiba-tiba.“Kenapa tidak bilang kalau kamu tidak sedang dalam masa subur, Jihan? Kamu sengaja, ya? Kamu ingin menggoda saya, huh?”Mata Jihan menyipit, dan untuk sesaat, ia merasa dadanya mendidih. Amarah yang selama ini ia pendam mulai menyembul ke permukaan, seperti lava yang tak mampu lagi ditahan gunung berapi.“Jangan menuduh saya seperti itu ya, Pak!” suaranya meletup, keras dan tajam. “Saya masih punya harga diri meski sudah Anda beli dengan b
“Lagi pula, aku sedang mens,” timpal Nadya, suaranya kini datar, seperti debur ombak yang kehilangan gairah. “Jadi, kamu tidak bisa menyentuhku sampai lima hari ke depan.”“Baiklah,” jawab Bayu akhirnya, suaranya serak seperti ranting yang patah. “Aku akan bermalam di rumah Jihan sampai dia hamil. Tapi, kamu oke, kan?”Nadya terkekeh pelan, tetapi tawa itu kosong, seperti bayangan yang tak memiliki tubuh. “Jika demi masa depan kita, aku baik-baik saja kok, Mas. Justru yang aku khawatirkan saat ini adalah orang tuamu. Mereka akan bertanya-tanya karena pernikahan kita sudah memasuki tiga tahun. Tolonglah bantu aku, Mas.”Bayu menatap kosong ke depan, membayangkan wajah istrinya yang menanggung beban seperti batu besar yang terikat di dadanya.Ia merasa dadanya sesak, bukan karena amarah, tetapi karena kasihan yang menyesak, merayap dalam setiap serat hatinya.Nadya, perempuan yang ia cintai, kini hanya menjadi bayangan dirinya sendiri—patah, rapuh, dan tak berdaya setelah mengetahui ken
Jihan menoleh ke arah Meta, lalu melirik ke kaca yang mengarah ke ruang kerja Bayu. Ia menahan napas sejenak, lalu melepaskannya dalam tawa kecil yang dibuat-buat.“Mungkin lagi rekap tahunan, Met. Dia lagi nyari karyawannya yang teladan,” jawab Jihan dengan nada ringan, meski dalam hatinya terasa seperti ada duri yang menusuk.Meta tertawa mendengar jawabannya. “Nggak ada, Jihan,” ucapnya, tapi kemudian ia mengerutkan keningnya. Matanya menatap Jihan dengan cermat, seperti sedang mencoba mencari sesuatu yang tidak beres. “Jihan? Are you okay? Kenapa muka kamu pucat banget? Kayak orang kelelahan. Kamu sakit?” tanyanya, nada suaranya berubah menjadi cemas.Jihan menghela napas pelan, mencoba menenangkan dirinya. Ia meraih kaca kecil dari tasnya dan memandang pantulan wajahnya.Memang benar, wajahnya sedikit pucat, dan matanya tampak sayu, seolah beban dunia menggantung di sana. Namun, ia segera menguasai dirinya, memasang senyum yang cukup meyakinkan.“Nggak apa-apa kok. Aku baik-baik
Ia meraih tasnya dengan gerakan cepat, langkahnya menuju pintu terkesan tergesa. Namun, tubuhnya mengkhianati amarahnya.Langkah-langkah itu tertatih, pangkal pahanya masih terasa ngilu, seperti luka yang baru saja tersayat. Tapi, Jihan meneguhkan dirinya.‘Tidak peduli seberapa sakit, aku harus tetap pergi ke kantor,’ pikirnya, menahan desah pelan yang hampir lolos dari bibirnya.Di sepanjang perjalanan, kecemasannya bertambah. Ia berharap tidak ada yang curiga dengan cara jalannya. Pikiran tentang tatapan rekan-rekannya di kantor membuat pipinya mulai memanas.‘Mau ditaruh di mana mukaku jika ada yang menyadarinya?’Bayangan mereka yang berbisik-bisik di belakangnya, membicarakan sesuatu yang seharusnya tidak mereka ketahui, membuat perutnya terasa melilit. Ia menggeleng pelan, mencoba menyingkirkan pikiran itu.Sementara itu, di ruang kerja Bayu, suasana tampak lebih tenang, tapi hanya di permukaan. Arkan melangkah masuk dengan dokumen di tangannya, ekspresinya serius seperti biasa
Jihan membuka matanya perlahan, merasakan tubuhnya seperti serpihan kaca yang baru saja dihantam oleh palu raksasa.Rasa sakit itu merayap, menyelinap dari ujung kaki hingga ke pangkal lehernya, membangunkannya dari mimpi yang penuh absurditas.Ia menoleh ke samping, napasnya terhenti sejenak. Bayu terbaring di sana, wajahnya tertidur dengan tenang seperti patung dewa yang terbuat dari marmer.Jihan menelan ludah dengan berat. Wajah itu, dengan garis-garis tajam dan lembut yang bercampur seperti lukisan maestro, masih mampu membuatnya terkesiap.Kenapa pria ini bisa tetap tampan bahkan saat tidur? pikirnya, rasa berdosa menggumpal di dadanya.Ia menggelengkan kepala dengan tergesa, mencoba mengusir pikiran itu seperti lalat yang hinggap di makanan.“Apa yang kamu pikirkan, Jihan? Dia milik orang lain,” bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tercekik oleh rasa bersalah.Ia bangkit dari tempat tidur, tapi langkah pertamanya terhenti oleh rasa ngilu yang menggigit pangkal pahanya
Bayu meneguk wine dengan gerakan terburu-buru, seolah cairan merah gelap itu adalah obat penawar bagi luka batin yang tak terlihat.Di sofa ruang tengah yang remang-remang, ia duduk dengan tubuh yang mulai terasa berat, mencoba menenggelamkan dirinya dalam gelombang mabuk sebelum keberanian palsu merasuki raganya.“Kenapa Nadya bisa merelakanku berbagi dengan wanita lain,” gumamnya pelan, seperti berbicara kepada hantu masa lalunya yang tak kunjung pergi. Ia menggelengkan kepala, dan kembali membiarkan wine mengalir melewati tenggorokannya.“Aku tidak bisa bercinta dengan wanita mana pun selain Nadya,” ucapnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih berat, penuh sesal.Kata-katanya seperti riak kecil di tengah lautan sunyi, sementara kesadarannya perlahan tenggelam, meskipun wine yang ia teguk baru seteguk-dua teguk.Di kamar yang diterangi lampu temaram, Jihan berdiri di depan cermin besar yang memantulkan seluruh tubuhnya.Napasnya terdengar berat, hampir seperti hembusan angin yang m