"Nona...."Yanti mendekat. "Saya mendengar Anda mengatakan sesuatu, apakah Anda butuh bantuan."Eleanor menoleh pada Yanti, "Bayi ini adalah anakku. Dia Kaisar... Putraku yang hilang...."Raut wajah Yanti telah berubah was-was dan prihatin. Ele membungkus Kaisar dengan handuk, lalu Yanti bicara lagi. "Mari, biar saya yang memakaikan baju." Yanti cepat-cepat mengambil alih Astakara dari Eleanor, bayi mungil itu pun berpindah tangan."Itu..."Yanti menatap Ele dengan ekspresi yang sedikit berani, "Anda sebaiknya memeriksakan diri ke pusat kejiwaan.".Ucapan kasar itu membuat Eleanor tertegun. Dia menatap Yanti dengan pandangan rumit, "Kamu menganggap aku gila?""Menurut Nona?" Yanti semakin berani. Sembari mengoleskan bedak bayi pada Astakara dia bicara sambil sesekali melihat pada Ele."Anda mengklaim anak Tuan Effendy dan Nyonya Ashley sebagai putra Anda. Nona, Anda harus mempertahankan akal sehat Anda.""Dia memiliki tanda lahir putraku." Cetus Eleanor. "Bisa saja tanda lahir itu h
Asisten Sultan Winata yang visualnya adalah seorang pria akhir tiga puluhan dengan jas resmi, membukakan pintu ruangan VIP restoran tersebut, "Silakan, Tuan sudah menunggu Anda di dalam."Eleanor mengangguk saja. Dia melangkah masuk, mendapati Sultan Winata duduk dengan tenang di atas kursi kelas satu, berseberangan dengan kursi kosong yang lain. Sementara di atas meja, telah tersedia berbagai makanan mahal yang sepertinya dipesan khusus disana.Eleanor duduk dengan tenang, matanya menatap laki-laki paruh baya itu, sebelum dia membuka mulut bicara, Sultan telah berbicara lebih dulu."Selamat datang, dan maaf sudah mengganggu waktunya, Nak."Eleanor sedikit mengernyit, Sultan menggunakan bahasa panggilan sopan pada seorang anak padanya."Saya pikir permasalahan itu sudah selesai," ungkap Ele lagi."Tidak, saya tidak hendak membicarakan itu. Mari, kita bersantap dulu." Ajak Sultan pula.Ele mengangguk dan tak banyak bicara, menikmati makanan Tyang tersaji, dia makan dengan tenang dan se
"Kami sudah berhasil melakukan pelacakan Nyonya, dan kami berhasil menangkap Orang itu," lapor Idrus Mahesa, salah satu penyelidik kepercayaan Keluarga Bimantara. Laki-laki itu memasang wajah yang sedikit keruh, bibirnya dengan berat hati melanjutkan ketika dilihatnya Dewi mengangkat alis tidak sabar."Dalang dari penculikan bayi Nona Eleanor mengarah pada keluarga Nyonya sendiri."Dewi memicingkan matanya, "Apa maksudmu?""Dalangnya adalah putri Anda sendiri, Nyonya. Ashley Bimantara."Bagai tersambar petir, Dewi terhenyak di tempat. Wajahnya menjadi pias, berusaha memproses informasi yang dia dapatkan."Orang itu berhasil di tangkap karna kerjasama yang baik dengan orang-orang Abimanyu. Untunglah mereka menyerahkan pada kami untuk melakukan investigasi lebih lanjut, dan tidak ikut campur tangan dalam investigasi lelaki itu. Jadi Anda bisa tenang Nona, orang-orang Abimanyu belum mengetahui hal ini.""Apakah kamu sudah melakukan penyelidikan dengan akurat?" Dewi tampak marah dan tidak
Eleanor masuk ke ruang bayi pagi itu dengan pakaian yang sudah lengkap untuk ke kantornya. Disana ada Ira yang tengah memakaikan baju pada Astakara yang terus berceloteh riang.Ele mendekat, bersamaan dengan Ira yang telah selesai memakaikan baju."Nona ingin menggendongnya?" Tanya Ira pula saat dilihatnya Ele hanya terdiam sembari menatap Astakara. Mendengar ucapan Ira, Ele melihat raut muka gadis itu dan merasakan bahwa yang satu ini tidak setajam Yanti.Dia mengangguk. "I really Miss him." Ujar Ele pula. Ira menyerahkan Astakara pada Eleanor yang langsung menggendong bayinya dengan senyum. Di candainya bayi itu dengan kata-kata yang manis, membuat Astakara tertawa seolah mengerti, menampakan gusinya yang belum tumbuh gigi."Tampan sekali," Ele menduselkan hidungnya ke hidung bayi itu, membuatnya terkekeh girang. "Tampan sekali putraku." Ucap Ele dengan haru, sedikit sesak, melihat bayi bermata biru itu menatapnya mengerjab-ngerjab.Ira ada disana, dia tidak menaruh pusing pada ucap
"Kamu dimana?"Sebuah pesan masuk di ponselnya membuat Ele melirik, itu adalah pesan dari Tristan. Beberapa waktu terakhir laki-laki itu kerap mengirimkan pesan sekedar bertanya kabar atau posisinya dimana. Tak jarang juga dia mengajak Ele bertemu meski itu hanya sekedar makan siang bersama, namun Ele telah menolaknya selama ini."Kantor, Mas." Balas Ele pula. Gadis itu kemudian kembali mengalihkan pandangan pada setumpuk naskah hardcopy di atas meja, baru saja hendak melanjutkan pekerjaan ketika Tristan menelpon."Hallo Mas?""Kamu ada waktu tidak? Mas mau ajak kamu ke pesta teman Mas nanti malam.""Mbak Miranti dimana?" Tanya Ele pula sembari memeriksa ejaan naskah yang ada di tangannya."Miranti sedang sakit, dia tidak bisa ikut, supaya Mas tidak terlalu terlihat ngenes, kamu gantikan Miranti ya, tenang kok, kamu tetap Mas perkenalkan sebagai adik Mas. Please."Ele mengeratkan ballpoint di tangannya. Dia sudah bertekad untuk menjaga jarak dari kakak angkatnya itu. Tetapi di lain si
Tristan menatap wajah Ele lekat, "Mas menyadari bahwa perasaan Mas padamu sudah berubah, El."Eleanor mengangkat alis, "Maksudnya bagaimana?""Tristan menarik napas sebentar, "Mas menyayangi kamu bukan lagi sebatas adik, tapi sebagai seorang pria kepada wanitanya."Ele merapatkan bibirnya. Dia berusaha menyusun segenap kemampuannya untuk bicara lagi. "Mas sudah menikah, itu tidak dibenarkan.""Mas tidak lagi punya rasa untuk Miranti.""Kenapa Mas Tristan jadi sekejam ini? Mas yang melamarnya, memintanya untuk mengorbankan hidupnya demi bersama dengan Mas. Lalu Mas sendiri yang hendak mencampakkan dia?""Kami akan berpisah secara baik -baik.""Lalu, kalau Mas berpisah dengan Mbak Miranti, apa yang akan Mas lakukan selanjutnya?""Menikahi kamu."Eleanor tersedak ludahnya sendiri. Dia terhenyak. Dulu, dia pernah menyukai Tristan lebih daripada seorang kakak, namun sekarang, perasaan itu telah lenyap tak bersisa. Bahkan Eleanor tak tahu apakah dia masih bisa mencintai. Satu-satunya yang b
Ashley tahu bahwa dia tidak bisa hanya berdiam diri saja. Jika dia terus membiarkan Eleanor ada disekitar Astakara, Ashley cemas kalau rahasianya akan terbongkar.Sudah terlalu banyak yang dia pertaruhkan, wanita itu tidak ingin kalau rencananya hancur dalam sekejab.Sebuah pikiran melintas di benaknya, perempuan berkulit putih cenderung pucat itu tersenyum lebar.***Ashley masuk ke kamar bayi pagi itu, dia tidak melihat siapapun di sana kecuali Astakara yang masih pulas. Wanita itu mendekat pada Astakara, melihat wajah bayi yang sudah mulai gembil itu dengan pandangan tak biasa. Saat dia membalik, dilihatnya Yanti masuk dengan membawa asi yang telah di hangatkannya dari dapur."Nyonya," sapa Yanti pula dengan pelan."Apakah itu Asi dari wanita itu?" Tanya Ashley pula. Yanti mengangguk, "Benar Nyonya, saya mengambil stok yang ada di kulkas dan memanaskannya." Jawab Yanti, dia mengambil Astakara yang rupanya telah bangun, menangis lumayan keras."Yanti, saya ingin bicara dengan kamu."
Sepanjang malam, Astakara terus menangis dengan keras, membuat Yanti kewalahan menjaganya, padahal di sana juga sudah ada Ira. Keduanya sudah melakukan berbagai cara untuk menenangkan bayi gembil itu, namun seolah tiada artinya. "Kamu lapar? Minum dulu...." Yanti berusaha memberikan susu dari dot yang ada, namun di tepis si bayi dengan marah. Dia menangis terus, membuat seisi kediaman di bikin cemas.Karna sudah tak tahu harus berbuat apa, Ira bergegas menemui Ashley, dia mengetuk-ngetuk pintu kamar Ashley yang kedap suara. Wanita itu keluar. "Ada apa?" Tanyanya dengan alis terangkat."Tuan Kecil menangis terus, Nyonya, kami tidak tahu apa yang salah." Ashley mendengus, "Lalu apa gunanya aku membayar kalian?" Ketusnya. Dengan langkah malas dia berjalan ke kamar Astakara di ikuti Ira.Di sana sudah ada Yanti yang menggendong kewalahan si bayi yang terus memberontak kiri kanan dengan tangisan tidak nyaman.Seharusnya tidak ada yang salah, popoknya masih bersih, dia bahkan sudah minum