Aoi mengerjapkan matanya, kepalanya terasa sakit dan pusing.
"Aww, pusing banget lagi. Kenapa ya?"
Tak seperti biasanya setelah tidur Aoi merasakan sakit kepala. Tapi itu tak berlangsung lama, hanya sebentar saja.
"Mungkin aku belum sarapan jadi pusing gini," Aoi turun dari ranjangnya, langkahnya ke kamar mandi hanya sekedar membasuh muka. Rasanya malas untuk mandi karena airnya yang begitu dingin.
Selesai membasuh wajah, Aoi sarapan sendirian meskipun para bodyguard-nya berdiri menjaga berjejer rapi.
"Kenapa aku selalu sarapan sendirian? Meskipun sekarang ada kalian, tapi masih sama saja tak mau di ajak makan bersama," gerutu Aoi mengomel.
Ryou dan yang lainnya mendengar Aoi berceloteh sendiri hanya tersenyum. Aoi sedang kesal.
"Nona Aoi kalau makan jangan berbicara dulu. Nanti tersedak," ucap Ryou menasehati.
Aoi menoleh melirik Ryou, pria itu selalu saja memberikan perhatian le
Di Fukuoka, Makoto telah selesai merapikan bajunya ke dalam sebuah koper besar. Saatnya pulang setelah beberapa bulan sibuk dengan pekerjaannya.Makoto sangat merindukan istri tercintanya itu."Ayo kita segera pulang. Aoi pasti menunggu kita disana."Karin yang tengah makan sandwich sambil duduk itu pun mengangguk setuju. Karena terburu-buru makan, akhirnya Karin tersedak dan Amschel menyodorkan air mineral yang di ambil di meja."Kamu makan pelan-pelan aja aku sama Makoto pasti nungguin kamu kok," ucap Amschel meletakkan kembali air mineralnya ke meja setelah di teguk habis oleh Karin."Gak mau," Karin menggeleng. "Aku kangen banget sama Aoi. Kenapa gak di ajak sekalian aja?""Kalau Aoi di ajak, siapa yang bakal jagain? Kalau disana kan aman ada bi Idah juga bodyguard dari Makoto," Amschel hanya mau yang terbaik untuk Aoi.Karin menghela nafasnya. "Ayo yah, nanti kita ketinggalan pesawatnya," rasanya Kar
"Namanya menurut aku Hikaru aja mas. Hikaru Rotschild karena ayah berpesan agar nama belakangnya menggunakan nama keluarga. Tapi kalau menurut kamu kurang bagus terserah kamu aja," Aoi hanya pasrah dengan Makoto, nama Hikaru kurang pas menurutnya entah dengan suaminya yang masih anteng memandangi anak pertamanya."Itu aja udah bagus. Aku gak tau apa-apa kalau nama yang bagus buat bayi kita. Pastinya kamu udah menyiapkannya dari dulu kan?"Aoi mengangguk. "Sama Haruka dan Fumie. Mereka yang ngasih aku saran namanya."Merasa di sebut namanya, tiba-tiba Fumie tersedak. Haruka segera menyodorkan jus jeruknya yang masih utuh tak terminum. Fumie meneguknya sampai habis, keterlaluan memang.'Keselek tapi minumanku jadi korbannya,' batin Haruka kesal."Kenapa ya? Apa ada yang gosipin kita Haru?" tanya Fumie dengan alis yang mengernyit."Gosipin kita? Ngapain? Siapa sih yang berani. Gak ada kerjaan lain apa," Haruka mendumel.&
Selama Makoto makan di kantin, beberapa suster yang sedang lewat itu menyapanya ramah tapi senyumannya itu seperti menyukai Makoto pada pandangan pertama awal berjumpa."Pagi pak."Makoto mengangguk. "Pagi juga.""Mari pak.""Iya, silahkan.""Hari ini bapak ganteng banget."Kalau yang ini Makoto tidak menanggapinya, karena itu berakhir menggodanya atau modus saja."Yah di cuekin," suster cantik berambut sebahu itu cemberut dan pergi.Makoto menarik senyumnya. Berhasil. Sudah tau dirinya beristri masih saja di godain."Aku mau pulang. Bosen disini terus, tiap hari makan bubur sama susu. Gak bisa makan apa-apa," keluh Nakura."Tapi kan kamu masih sakit sayang. Nanti juga pasti di izinin pulang. Ayo di makan lagi buburnya," bujuk Ryuji dengan sabar.Mendengar suara yang di kenal itu Makoto mencari sumbernya. Sampai menemukan Nakura dan Ryuji yang hanya berjarak 2 meja dari i
Waktu yang begitu lama, sampai Hikaru menginjak usia 2 tahun. Meskipun belum bisa berjalan dengan tegak dan masih merangkak, tapi Hikaru dengan kesulitannya berbicara. Masih belajar, tapi untuk memanggil Aoi dan Makoto mama dan ayah lancar.Dengan senyum yang mengembang diapit pipi tembemnya, Hikaru merangkak menghampiri Aoi yang duduk mengobrol serius dengan Makoto."Hikaru sayang, sini nak. Kamu jangan jauh-jauh mainnya. Hikaru, sini ayo nenek gendong," Karin berhasil menggapai Hikaru dan menggendongnya, justru menangis dan meronta-ronta. Mungkin ingin turun. Tapi Karin tak ingin Aoi dan Makoto terganggu dengan Hikaru, keduanya membahas soal serius. Entahlah, Karin tak mau ikut campur.Amschel menggeleng heran. "Ma, itu Hikaru nangis pingin turun."Karin mengangguk. Baiklah, kalau Amschel menyuruhnya akan di turuti. Daripada nanti ngambek seharian.Karin menurunkan Hikaru. "Dia kok bisa gendut gitu ya? Padahal kan Aoi kuru
Fumie membangunkan Hikaru yang masih tertidur lelap."Hikaru, ayo bangun. Sekarang hari pertama kamu sekolah. Ayo, jangan sampai terlambat. Mau di hukum sama ibu guru?" Fumie menyibak gorden agar sinar matahari memasuki kamar dan membangunkan Hikaru."Apa ma? Emangnya udah jam berapa?" Hikaru mengubah posisinya menjadi duduk, matanya masih terasa berat ingin melanjutkan tidur lagi."Udah jam lima. Emangnya kamu gak alarm?"Hikaru menggeleng pelan. "Nanti tidurku terganggu ma.""Hikaru, kamu sekolahnya yang pinter ya? Jangan nakal dan melanggar aturan. Karena sekolah kamu itu menerapkan sisitem poin ketertiban. Kalau sampai mama tau kamu melanggar, hm mungkin ayah bakal lebih marah sama kamu. Faham kan Hikaru?"Dengan hati yang merasa terganggu, Hikaru sanggup dan mengangguk. Baiklah jika itu memang untuk kebaikannya."Sana mandi. Biar makin cantik.""Iya mamaku sayang," Hikaru melangkah malas menuju kama
Bel istirahat berbunyi, kelas 1 pun berhamburan keluar. Kantin yang sangat dekat menjadi tempat pertama bagi siswa untuk nongkrong."Gak ke kantin?" tanya Aiko menenteng bekalnya. "Sekalian beli jajan. Masa aku makan snadwich aja, gak kenyang."Hikaru mengangguk. "Yuk ke kantin. Aku juga bawa bekal, kita makan bareng-bareng disana."Memiliki teman baru se-dekat ini sangat menyenangkan. Apalagi Aiko, Hikaru merasa beruntung duduk bersama Aiko.Selama perjalanan menuju kantin, tatapan para siswa hanya tertuju pada Hikaru.Merasa di tatap seperti itu, Hikaru risih dan merasa aneh."Mereka kenapa sih ngeliatin aku gitu amat?""Karena mereka tau kamu Hikaru. Apalagi kamu anak presiden di negara Jepang ini," jawab Aiko tenang."Hikaru! Boleh gak aku temenan sama kamu?"Hika
Hari ini, seorang wanita paruh baya itu menaiki mobil yang di antarkan oleh supir. Karena tujuannya kali ini adalah rumah keluarga Aoi atau Rotschild. Ia sangat merindukan Aoi, ingin melihat seberapa besar cucunya itu sekarang.'Apa kabarmu Aoi disana? Apakah kamu sudah menikah atau belum? Nenek harap kamu tidak berpacaran. Tetaplah menjadi Aoi yang pintar yang nenek kenal saat kamu masih kecil dulu,' batin Eva. Kenangan masa kecil Aoi masih ia ingat sampai saat ini, bagaimana pintarnya Aoi belajar menggambar, menulis sampai membaca dengan cepat tanpa perlu menunggu waktu yang lama."Pak, di percepat lagi. Aku tak sabar ingin bertemu cucuku Aoi. Pasti dia akan senang dengan kedatanganku," ucap omah Eva. Hatinya tak sabar ingin memeluk Aoi, melepas rindu yang begitu lama setelah bertahun-tahun tak bertemu. Tinggal di kota yang sangat jauh membuat jarak sebagai benteng pemisah antara dirinya dengan Aoi."Baik, tapi saya tidak akan mengebut. Karena mau
Di dalam restoran, suasananya lebih hening tak ada yang mau angkat bicara. Hikaru sangat lahap memakan takoyaki. Aoi duduk di sebelah Hikaru meskipun kursi yang di sebelah omah Eva masih kosong."Hikaru, mulai sekarang selalu bersama dengan mama ya?" akhirnya Aoi memberanikan diru angkat suara.Hikaru menatap sang mama. "Iya ma. Biar aku gak kenapa-napa.""Di makan yang banyak ya? Biar kenyang," Aoi mengusap surai Hikaru dengan sayang.'Aku kira Aoi bakalan perhatian. Tapi lebih memilih Hikaru daripada aku. Padahal Hikaru gak mempermasalahkan soal tadi,' batin omah Eva.***Jam 7 malam, saatnya berkumpul keluarga. Amschel juga baru pulang, Makoto sudah duduk di sebelah Aoi dan memangku Hikaru."Aoi, itu siapa?" tanya Makoto melirik omah Eva merasa asing dan tak pernah melihatnya."Oh, itu omah Eva nenekku yang tinggalnya jauh banget dari kota ini," jawab Aoi malas, wajahnya datar.Omah Eva yang me
"Idaman darimana ma? Pasti dia udah punya pacar," tuding Aoi menunjuk wajah Takeru yang sedang bannga itu. "Pacar siapa? Gak ada kok. Aku masih lajang," ungkap Takeru jujur. Sejak dulu ia hanya menyukai Aoi namun tidak berani karena kemarahan wanita itu yang sama saja dengan letusan gunung berapi. Karin tersenyum senang. "Takeru lajang karena dia cinta sama kamu nak. Makannya daridulu gak mau pacaran sama wanita manapun. Betul kan Takeru?" Karin berkedip melempar kode, Takeru terpaksa mengangguk. Aoi berdecak kesal. "Udahlah ma. Aku pulang aja. Bete lama-lama disini," Aoi melangkah pergi. Satu oksigen dengan Takeru membuatnya tidak nyaman sekaligus darahnya bisa mendidih dan tinggi. ***Hikaru mengeluh sedikit pusing. Ia baru saja sadar dari pingsan-nya. Takeru langsung menghampirinya. "Apa ada yang sakit?" Takeru sangat khawatir. Hikaru sakit membuat hatinya tidak tenang. Karin yang melihat interaksi antara Takeru dan Hikaru hanya tersenyuum. Sangat cocok sekali menjadi figur a
Pagi ini Aoi dibuat cemberut lagi, bagaimana tidak? Ayahnya memakai mobil terbang demi mengatasi kemacetan kota Jepang yang semakin meningkat dari tahun-tahun akhir. "Ayah, tapi kan kalau aku pakai mobil sport yang itu lama. Aku lebih suka-""Sstt, jangan membantah. Pokoknya ayah harus pakai mobil terbang itu. Karena sekarang ada rapat penting, ayah gak mau telat," Amschel menyela ucapan Aoi. Ada saja alasannya. "Ayah gak adil," Aoi mengerucutkan bibirnya. Hikaru yang melihat sang mama terkikik geli dengan wajah imut itu. "Mama jangan marah. Lagipula hari ini aku gak ada tugas piket kok."Aoi selalu mengantarkan Hikaru ke sekolah sangat pagi sekali, bahkan jam 6 tepat sudah sampai di sekolah. Semua itu Aoi lakukan hanya demi menghindari si Takeru yang biasanya mengantarkan Aiko setiap harinya sejak kemarin. Mengingat itu kepalanya mengepul. Takeru, pria yang pandai menggombal sekaligus tukang rayu itu berhasil mengambil hati kedua orang tuanya sekaligus Hikaru. Entah apa tujuannya,
"Ayo ma!" Aoi berseru, ia sudah siap dengan tampilannya yang sederhana. Hanya makan dengan seseorang yang entah itu siapa tapi mentraktirnya. Karin tersenyum. Betapa cantiknya Aoi sekarang seperti peri yang siap menyihir perhatian Takeru malam ini. ***Setelah menempuh beberapa menit perjalanan, akhirnya sampai juga di kafe. Karin berpamitan pada Aoi karena harus membantu Amschel di kantornya yang tengah lembur. Aoi merasa tak keberatan. "Semoga kamu suka ya? Mama pergi dulu. Ajak dia ngobrol."Aoi mengangguk. "Siap ma."Aoi ingin tau siapa seseorang yang begitu baik mengajaknya makan gratis? Apakah laki-laki atau perempuan?"Kapan ya dia datang?" Aoi menunggu dengan tidak sabar. Jika mamanya sudah menyuruhnya untuk berkenalan dengan seseorang, pasti baik. Tapi pikirannya melayang pada sosok Takeru, raut wajah Aoi berbubah cemberut. Ia harap bukan pria haus uang itu. Amschel telah mengantarkan Takeru di kafe yang sama dimana Aoi sekarang menunggu. Amchel melihat kafe yang tidak t
Hari ini Hikaru kembali ke sekolah, diantarkan oleh Aoi langsung karena ia tak mau Takeru terlibat lagi dan berpura-pura baik dengan anaknya itu. Aoi telah berjanji pada Hikaru akan mengantar dan menjemputnya pulang dengan mobil terbang saja daripada manual yang nantinya pasti bertemu Takeru lagi. "Nanti jangan keluar gerbang dulu ya? Biar mama aja yang kesana duluan," pesan Aoi pada Hikaru saat berada di dalam mobil terbang itu. Hanya membutuhkan beberapa menit saja sudah sampai di sekolah dasar sakura yang tak begitu jauh. Hikaru mengangguk patuh. "Iya ma. Aku akan nunggu di kelas aja," Hikaru tau pasti mamanya itu tak ingin ia bersama om baik, padahal ia lebih berharap bisa bertemu pria itu lagi. Namun sifat possessif mamanya begitu kuat.Hanya membutuhkan 10 menit perjalanan akhirnya sampai juga. Aoi mengecup kening Hikaru dan memberikan 1000 ¥en pada anaknya itu untuk uang jajannya. "Aiko jam segini udah nyampe belum?"Hikaru menggeleng. "Biasanya jam setengah tujuh ma. Bentar
Hari ini, Karin meminta Aoi untuk bersiap lebih awal. Aoi sempat tidak mau tapi setelah mamanya bilang akan diberikan soal harta warisan yang masih belum ada keputusan itu membuat semangat Aoi bangkit kembali. Ya, setelah Makoto tidak ada sekarang harta warisan itu tengah berada di ombang-ambing tidak ada penentuan siapa pemilik keseluruhan kekayaan Amschel Rotschild dengan segala asetnya yang mempunyai cabang dimana-mana. Aoi berharap itu hanya untuk dirinya, bukan dibagikan kepada orang asing dan bukan siapa-siapanya apalagi tidak termasuk anggota keluarganya. Aoi sangat menolak tegas hal itu jika terjadi. "Ma, aku udah siap," Aoi menghampiri mamanya yang sibuk mengetik pesan entah dengan siapa. Yang membuatnya heran, mamanya itu tersenyum! Siapa?"Ayo. Ayah udah di kantor duluan. Hikaru juga ada disana."Sepertinya sangat penting, bahkan hari Senin ini Hikaru tidak masuk sekolah. Aoi hanya berpikir pembagian harta ini pasti hanya untuk Hikaru. Kalau memang begitu, Aoi tak akan mem
Mengobrol di dalam rumah lebih tepatnya ruang tamu. Hanya ada Karin, Hikaru, Takeru dan Aiko saja tapi Aoi lebih memilih mendekam di kamarnya menghindari Takeru. "Hikaru, aku gak bisa lama-lama disini nanti mama nyariin aku," ujar Aiko membuka obrolan. Tapi ia ingin berlama-lama dengan Hikaru, hanya bermain saja. Lain halnya dengan Takeru, sebenarnya ia ingin menyusul langkah Aoi namun ragu ketika wanita itu memasuki kamarnya. 'Ada apa dengan dia? Kenapa tidak mau ikut berbincang disini?' batin Takeru penuh tanda tanya. Aoi sangat menghindarinya sejak pertama kali bertemu beberapa minggu yang lalu, hanya karena satu model perusahaan wanita itu menjauhinya tanpa sebab. "Baiklah, itu terserah kamu aja Aiko. Kita main boneka dulu yuk. Sebentar aja," Hikaru memohon dan Aiko pun setuju. Hanya ada Karin dan Tekeru di ruang tamu. Sedangkan Aoi menguping pembicaraan mamanya dengan pria menyebalkan itu dibalik pintu kamarnya. "Dimana suami Aoi ya?" tanya Takeru penasaran, hanya ingin tau
Sudah larut malam, Aoi sulit memejamkan matanya. Pikirannya terlintas tentang Takeru yang memiliki kedekatan dengan Hikaru. Aoi menatap Hikaru yang tidur di sampingnya. Iya, anaknya itu meminta tidur bersama karena tidak ada teman. Sama seperti dirinya yang tidak ada Makoto yang selalu di sisinya. "Mama hanya takut kamu meminta seorang ayah nanti. Padahal ayah kita masih ada disini. Dalam hati," Aoi berbicara sendiri, suaranya tidak mengganggu tidur nyenyak Hikaru. "Jangan meminta mama untuk menikahi om baik itu. Mama masih mencintai ayah dengan baik. Berjanji akan selalu setia sampai akhir hayat mama," Aoi memejamkan matanya, perasaanya mendadak tidak tenang. Ia terkalu berpikir keras, tentu saja karena Hikaru menyukai Takeru karena sikap baiknya. ***"Tau gak omah? Aku kemarin diantar sama-""Itu makan dulu Hikaru, jangan berbicara. Tidak baik," Aoi menyela dengan cepat, jangan sampai Hikaru menceritakan Takeru kepada mama, bisa-bisanya ia kembali dekat dengan Takeru dan menjadi
Ryou menambah kecepatan mobilnya. Di jembatan, kaki Aoi siap mengayunkan untuk terjun dari atas jembatan yang memiliki ketinggian tak main-main, bahkan air di bawahnya mengalir dengan derasnya sehingga jika ia melompat mungkin jasadnya tidak akan pernah di temukan. Satu..Dua..Tiga.."NONA AOI!!" Ryou menarik tangan Aoi dengan sigap ia menggendongnya. "Nona jangan bunuh diri seperti ini. Nyonya mencari-cari dengan cemas bahkan Tuan Amschel pun mengkhawatirkan nona."Aoi menangis sesenggukan. "Aku gak mau pulang. Gak mau," Aoi menggeleng pelan, ia tak ingin bertemu mama lalu di perkenalkan lagi dengan pria itu. Tidak, jangan sampai ada perjodohan lagi. Aoi lelah dengan semua itu. "Nona Aoi, mari kita pulang. Jangan keluar tanpa ada yang menemani nona. Apalagi tadi, nona hampir saja melakukan bunuh diri," Ryou sangat cemas. Entah apa yang akan Amschel lakukan jika dirinya gagal menjaga Aoi, mungkin nyawa juga taruhannya. "Nona, tolong pulang. Karena tuan Amschel sangat mempercayaka
Setelah kematian Makoto dan omah Ema, Aoi mencoba lebih kuat dan tegar meskipun sedikit tidak rela. "Hari ini kamu mau ikut ke kantor?" tanya Karin pada Aoi, daripada anaknya itu sendirian di rumah dan kembali bersedih. Aoi mengangguk malas. "Ikut ma."Hikaru sudah berangkat beberapa menit yang lalu bersama Amschel. "Jadi model majalah mama ya? Kamu pasti terlihat cantik," Karin akan memberikan yang terbaik untuk Aoi apalagi dari penampilan. "Ma, aku gak bisa banyak gaya," keluh Aoi sedikit cemberut, bahkan foto saja hanya sekali jika ingin memiliki kenangan. Kenangan, kalimat itu mengingatkannya akan Makoto dan omah Ema. Karin yang memperhatikan Aoi mulai melamun pun meraih tangannnya. "Aoi, jangan di pikirkan lagi. Mama gak mau kamu stress terus jatuh sakit," ucap Karin sangat khawatir. Aoi tersenyum hambar. "Hikaru aja kuat masa aku gak? Hehe, ayo ma kita berangkat ke kantor. Aku mau jadi model majalah mama," dengan wajah cerianya Aoi berusaha untuk bahagia hari ini meskipun