Fumie membangunkan Hikaru yang masih tertidur lelap.
"Hikaru, ayo bangun. Sekarang hari pertama kamu sekolah. Ayo, jangan sampai terlambat. Mau di hukum sama ibu guru?" Fumie menyibak gorden agar sinar matahari memasuki kamar dan membangunkan Hikaru.
"Apa ma? Emangnya udah jam berapa?" Hikaru mengubah posisinya menjadi duduk, matanya masih terasa berat ingin melanjutkan tidur lagi.
"Udah jam lima. Emangnya kamu gak alarm?"
Hikaru menggeleng pelan. "Nanti tidurku terganggu ma."
"Hikaru, kamu sekolahnya yang pinter ya? Jangan nakal dan melanggar aturan. Karena sekolah kamu itu menerapkan sisitem poin ketertiban. Kalau sampai mama tau kamu melanggar, hm mungkin ayah bakal lebih marah sama kamu. Faham kan Hikaru?"
Dengan hati yang merasa terganggu, Hikaru sanggup dan mengangguk. Baiklah jika itu memang untuk kebaikannya.
"Sana mandi. Biar makin cantik."
"Iya mamaku sayang," Hikaru melangkah malas menuju kama
Bel istirahat berbunyi, kelas 1 pun berhamburan keluar. Kantin yang sangat dekat menjadi tempat pertama bagi siswa untuk nongkrong."Gak ke kantin?" tanya Aiko menenteng bekalnya. "Sekalian beli jajan. Masa aku makan snadwich aja, gak kenyang."Hikaru mengangguk. "Yuk ke kantin. Aku juga bawa bekal, kita makan bareng-bareng disana."Memiliki teman baru se-dekat ini sangat menyenangkan. Apalagi Aiko, Hikaru merasa beruntung duduk bersama Aiko.Selama perjalanan menuju kantin, tatapan para siswa hanya tertuju pada Hikaru.Merasa di tatap seperti itu, Hikaru risih dan merasa aneh."Mereka kenapa sih ngeliatin aku gitu amat?""Karena mereka tau kamu Hikaru. Apalagi kamu anak presiden di negara Jepang ini," jawab Aiko tenang."Hikaru! Boleh gak aku temenan sama kamu?"Hika
Hari ini, seorang wanita paruh baya itu menaiki mobil yang di antarkan oleh supir. Karena tujuannya kali ini adalah rumah keluarga Aoi atau Rotschild. Ia sangat merindukan Aoi, ingin melihat seberapa besar cucunya itu sekarang.'Apa kabarmu Aoi disana? Apakah kamu sudah menikah atau belum? Nenek harap kamu tidak berpacaran. Tetaplah menjadi Aoi yang pintar yang nenek kenal saat kamu masih kecil dulu,' batin Eva. Kenangan masa kecil Aoi masih ia ingat sampai saat ini, bagaimana pintarnya Aoi belajar menggambar, menulis sampai membaca dengan cepat tanpa perlu menunggu waktu yang lama."Pak, di percepat lagi. Aku tak sabar ingin bertemu cucuku Aoi. Pasti dia akan senang dengan kedatanganku," ucap omah Eva. Hatinya tak sabar ingin memeluk Aoi, melepas rindu yang begitu lama setelah bertahun-tahun tak bertemu. Tinggal di kota yang sangat jauh membuat jarak sebagai benteng pemisah antara dirinya dengan Aoi."Baik, tapi saya tidak akan mengebut. Karena mau
Di dalam restoran, suasananya lebih hening tak ada yang mau angkat bicara. Hikaru sangat lahap memakan takoyaki. Aoi duduk di sebelah Hikaru meskipun kursi yang di sebelah omah Eva masih kosong."Hikaru, mulai sekarang selalu bersama dengan mama ya?" akhirnya Aoi memberanikan diru angkat suara.Hikaru menatap sang mama. "Iya ma. Biar aku gak kenapa-napa.""Di makan yang banyak ya? Biar kenyang," Aoi mengusap surai Hikaru dengan sayang.'Aku kira Aoi bakalan perhatian. Tapi lebih memilih Hikaru daripada aku. Padahal Hikaru gak mempermasalahkan soal tadi,' batin omah Eva.***Jam 7 malam, saatnya berkumpul keluarga. Amschel juga baru pulang, Makoto sudah duduk di sebelah Aoi dan memangku Hikaru."Aoi, itu siapa?" tanya Makoto melirik omah Eva merasa asing dan tak pernah melihatnya."Oh, itu omah Eva nenekku yang tinggalnya jauh banget dari kota ini," jawab Aoi malas, wajahnya datar.Omah Eva yang me
Hikaru sangat fokus melihat acara televisi yang menampilkan beberapa orang yang berpetualang di sebuah gunung ternama."Ayah, itu mereka ngapain disana? Kok tasnya besar banget, apa itu gak berat?" tanya Hikaru penasaran."Mereka itu mau ke puncak Hikaru, kamu mau juga?" justru omah Eva yang menjawabnya.Makoto hanya diam. Puncak? Itu sangat berbahaya bagi Hikaru, terutama suhunya yang sangat dingin ketika malam hari."Jangan kesana ya? Ada hantunya. Memangnya mau Hikaru di tangkap hantu?" sengaja Makoto menakut-nakuti Hikaru agar anaknya itu tidak meminta pergi ke puncak juga.Hikaru mengerucutkan bibirnya. "Kenapa gak boleh? Gak ada hantu. Kenapa harus takut sama hantu? Kita kan punya Tuhan bisa berdoa."Ada-ada saja alasan Hikaru, ini semua karena jawaban dari omah Eva yang seperti mengajak Hikaru agar ke puncak."Aku mau ke puncak ayah. Ayo, kita kesana," Hikaru menarik-narik kemeja sang ayah. Tatapan memohon
Dalam helikopter, Hikaru mengobrol lebih banyak dengan sang mama. Berbeda dengan omah yang kesal karena tak bisa duduk dengan Hikaru."Ma, nanti disana ada lampunya kan?" Hikaru takut gelap, apalagi itu di alam bebas."Ada kok. Kamu jangan jauh-jauh dari mama ya? Kalau kenapa-napa mama yang khawatir sama kamu. Itu alam bebas, kalau misalnya nanti ada binatang buasnya gimana? Kayak Harimau, Macan atau Beruang. Tau kan sayang?"Hikaru menggeleng takut. "Ih serem banget ma. Mereka kan gigit, suka makan manusia.""Kalau suka makan manusia dinamakan apa?" Aoi bertanya pada Hikaru, penasaran sejauh mana pengetahuan anaknya itu tentang Ilmu Pengetahuan Alam."Em-apa ya?" Hikaru mencoba berpikir, sangat sulit menemukan jawabannya."Karnivora. Hewan pemakan daging," jawab Aoi. "Kamu kurang baca bukunya nak. Pulang sekolah baca materi dari guru bentar aja. Terus kamu boleh istirahat," Aoi tak ingin memaksa Hikaru, apalagi menjadi pintar yang terpenting Hikaru sen
Di hari Minggu, akhirnya Hikaru bisa beristirahat di rumah. Acara puncak-nya sudah selesai, sangat melelahkan.Omah Eva memasuki kamar Hikaru. "Hikaru capek?"Hikaru yang tadinya rebahan pun mengubah posisinya menjadi duduk. "Gak kok. Lebih nyaman di rumah daripada di tenda kayak kemarin.""Besok kamu sekolah?"Hikaru mengangguk. "Iya dong. Aku kangen banget belajar apalagi ke kantin, disana banyak makanan loh. Omah gak mau nyobain?"Omah Eva menggeleng. "Gak usah Hikaru, makan disini aja udah cukup. Kamu gak nyiapin pelajarannya buat besok?""Nanti aja omah. Aku masih capek banget. Kan aku belajarnya pas malem, jadi sekarang aku boleh main dulu," Hikaru beranjak dari duduknya, tapi langkahnya berhenti ketika omah Eva mengatakan..."Mau gak belajar sama omah? Kamu pasti tambah pinter di sekolah nanti," bujuk omah Eva, sebenarnya ini hanya berlaku untuk Hikaru saja. Sangat penting."Belajar?" Hikaru mengernyit heran. "Emangnya
Hikaru baru sadar setelah Aoi mengolesi minyak telon di bagian pelipis dan memijatnya perlahan."Syukurlah kamu udah sadar nak. Bagaimana? Apa ada yang sakit?"Hikaru ingin duduk, Aoi membantunya menjadikan bantal sebagai sandarannya.Hikaru menunjuk keningnya. "Disini ma, pusing banget. Laper," belajar dengan serius membuat tenaganya terkuras."Kamu belajar cuman boleh sama ayah dan mama. Kalau soal matematika, biar ayah yang ngerjain kamu tinggal liat aja dan fahami caranya. Mama ambilin sarapan buat kamu ya? Jangan kemana-mana kalau masih pusing," Aoi pergi mengambilkan sarapan untuk Hikaru, dirinya belakangan saja asalkan Hikaru makan duluan."Tapi kan kalau akau belajar itu bisa punya semuanya kata omah," gumam Hikaru lirih.Di meja makan, hanya ada Makoto dan Amschel entahlah mamanya itu kemana."Kamu mau sarapan? Aku temenin," Makoto tersenyum riang. "Atau aku suapin deh."Aoi me
"Udah selesai. Sekarang ganti baju ya? Terus kamu istirahat, pasti capek habis sekolah," ucap Aoi membereskan kotak P3K mengembalikan ke asalnya.Di kamar, akhirnya Hikaru bisa tidur dengan nyenyak.Sedangkan omah Eva, ia mengendap-endap masuk ke dalam rumah setelah memastikan tak ada Aoi atau karin.Langkahnya berhasil sampai di kamar yang sudah di sediakan Aoi. Kamarnya yang cukup luas, nuansa putih tulang dan bunga anggrek di dekat jendela.Omah Eva menghela nafas lega. Akhirnya ia tak ketauan juga, pasti Hikaru sudah mengadukannya."Kenapa sih kalau Hikaru sama aku selalu aja ada masalah," ia mendudukkan dirinya di meja rias. Menatap pantulan dirinya yang sudah terlihat semakin tua."Omah hanya ingin melihatmu terus Aoi, dan Hikaru. Omah gak ada maksud jahat buat nyelakain Hikaru. Semua itu hanya kebetulan," ucap omah Eva, sayangnya kata-katanya itu tak di ketahui Aoi. Cucunya tak akan mudah percaya la
"Idaman darimana ma? Pasti dia udah punya pacar," tuding Aoi menunjuk wajah Takeru yang sedang bannga itu. "Pacar siapa? Gak ada kok. Aku masih lajang," ungkap Takeru jujur. Sejak dulu ia hanya menyukai Aoi namun tidak berani karena kemarahan wanita itu yang sama saja dengan letusan gunung berapi. Karin tersenyum senang. "Takeru lajang karena dia cinta sama kamu nak. Makannya daridulu gak mau pacaran sama wanita manapun. Betul kan Takeru?" Karin berkedip melempar kode, Takeru terpaksa mengangguk. Aoi berdecak kesal. "Udahlah ma. Aku pulang aja. Bete lama-lama disini," Aoi melangkah pergi. Satu oksigen dengan Takeru membuatnya tidak nyaman sekaligus darahnya bisa mendidih dan tinggi. ***Hikaru mengeluh sedikit pusing. Ia baru saja sadar dari pingsan-nya. Takeru langsung menghampirinya. "Apa ada yang sakit?" Takeru sangat khawatir. Hikaru sakit membuat hatinya tidak tenang. Karin yang melihat interaksi antara Takeru dan Hikaru hanya tersenyuum. Sangat cocok sekali menjadi figur a
Pagi ini Aoi dibuat cemberut lagi, bagaimana tidak? Ayahnya memakai mobil terbang demi mengatasi kemacetan kota Jepang yang semakin meningkat dari tahun-tahun akhir. "Ayah, tapi kan kalau aku pakai mobil sport yang itu lama. Aku lebih suka-""Sstt, jangan membantah. Pokoknya ayah harus pakai mobil terbang itu. Karena sekarang ada rapat penting, ayah gak mau telat," Amschel menyela ucapan Aoi. Ada saja alasannya. "Ayah gak adil," Aoi mengerucutkan bibirnya. Hikaru yang melihat sang mama terkikik geli dengan wajah imut itu. "Mama jangan marah. Lagipula hari ini aku gak ada tugas piket kok."Aoi selalu mengantarkan Hikaru ke sekolah sangat pagi sekali, bahkan jam 6 tepat sudah sampai di sekolah. Semua itu Aoi lakukan hanya demi menghindari si Takeru yang biasanya mengantarkan Aiko setiap harinya sejak kemarin. Mengingat itu kepalanya mengepul. Takeru, pria yang pandai menggombal sekaligus tukang rayu itu berhasil mengambil hati kedua orang tuanya sekaligus Hikaru. Entah apa tujuannya,
"Ayo ma!" Aoi berseru, ia sudah siap dengan tampilannya yang sederhana. Hanya makan dengan seseorang yang entah itu siapa tapi mentraktirnya. Karin tersenyum. Betapa cantiknya Aoi sekarang seperti peri yang siap menyihir perhatian Takeru malam ini. ***Setelah menempuh beberapa menit perjalanan, akhirnya sampai juga di kafe. Karin berpamitan pada Aoi karena harus membantu Amschel di kantornya yang tengah lembur. Aoi merasa tak keberatan. "Semoga kamu suka ya? Mama pergi dulu. Ajak dia ngobrol."Aoi mengangguk. "Siap ma."Aoi ingin tau siapa seseorang yang begitu baik mengajaknya makan gratis? Apakah laki-laki atau perempuan?"Kapan ya dia datang?" Aoi menunggu dengan tidak sabar. Jika mamanya sudah menyuruhnya untuk berkenalan dengan seseorang, pasti baik. Tapi pikirannya melayang pada sosok Takeru, raut wajah Aoi berbubah cemberut. Ia harap bukan pria haus uang itu. Amschel telah mengantarkan Takeru di kafe yang sama dimana Aoi sekarang menunggu. Amchel melihat kafe yang tidak t
Hari ini Hikaru kembali ke sekolah, diantarkan oleh Aoi langsung karena ia tak mau Takeru terlibat lagi dan berpura-pura baik dengan anaknya itu. Aoi telah berjanji pada Hikaru akan mengantar dan menjemputnya pulang dengan mobil terbang saja daripada manual yang nantinya pasti bertemu Takeru lagi. "Nanti jangan keluar gerbang dulu ya? Biar mama aja yang kesana duluan," pesan Aoi pada Hikaru saat berada di dalam mobil terbang itu. Hanya membutuhkan beberapa menit saja sudah sampai di sekolah dasar sakura yang tak begitu jauh. Hikaru mengangguk patuh. "Iya ma. Aku akan nunggu di kelas aja," Hikaru tau pasti mamanya itu tak ingin ia bersama om baik, padahal ia lebih berharap bisa bertemu pria itu lagi. Namun sifat possessif mamanya begitu kuat.Hanya membutuhkan 10 menit perjalanan akhirnya sampai juga. Aoi mengecup kening Hikaru dan memberikan 1000 ¥en pada anaknya itu untuk uang jajannya. "Aiko jam segini udah nyampe belum?"Hikaru menggeleng. "Biasanya jam setengah tujuh ma. Bentar
Hari ini, Karin meminta Aoi untuk bersiap lebih awal. Aoi sempat tidak mau tapi setelah mamanya bilang akan diberikan soal harta warisan yang masih belum ada keputusan itu membuat semangat Aoi bangkit kembali. Ya, setelah Makoto tidak ada sekarang harta warisan itu tengah berada di ombang-ambing tidak ada penentuan siapa pemilik keseluruhan kekayaan Amschel Rotschild dengan segala asetnya yang mempunyai cabang dimana-mana. Aoi berharap itu hanya untuk dirinya, bukan dibagikan kepada orang asing dan bukan siapa-siapanya apalagi tidak termasuk anggota keluarganya. Aoi sangat menolak tegas hal itu jika terjadi. "Ma, aku udah siap," Aoi menghampiri mamanya yang sibuk mengetik pesan entah dengan siapa. Yang membuatnya heran, mamanya itu tersenyum! Siapa?"Ayo. Ayah udah di kantor duluan. Hikaru juga ada disana."Sepertinya sangat penting, bahkan hari Senin ini Hikaru tidak masuk sekolah. Aoi hanya berpikir pembagian harta ini pasti hanya untuk Hikaru. Kalau memang begitu, Aoi tak akan mem
Mengobrol di dalam rumah lebih tepatnya ruang tamu. Hanya ada Karin, Hikaru, Takeru dan Aiko saja tapi Aoi lebih memilih mendekam di kamarnya menghindari Takeru. "Hikaru, aku gak bisa lama-lama disini nanti mama nyariin aku," ujar Aiko membuka obrolan. Tapi ia ingin berlama-lama dengan Hikaru, hanya bermain saja. Lain halnya dengan Takeru, sebenarnya ia ingin menyusul langkah Aoi namun ragu ketika wanita itu memasuki kamarnya. 'Ada apa dengan dia? Kenapa tidak mau ikut berbincang disini?' batin Takeru penuh tanda tanya. Aoi sangat menghindarinya sejak pertama kali bertemu beberapa minggu yang lalu, hanya karena satu model perusahaan wanita itu menjauhinya tanpa sebab. "Baiklah, itu terserah kamu aja Aiko. Kita main boneka dulu yuk. Sebentar aja," Hikaru memohon dan Aiko pun setuju. Hanya ada Karin dan Tekeru di ruang tamu. Sedangkan Aoi menguping pembicaraan mamanya dengan pria menyebalkan itu dibalik pintu kamarnya. "Dimana suami Aoi ya?" tanya Takeru penasaran, hanya ingin tau
Sudah larut malam, Aoi sulit memejamkan matanya. Pikirannya terlintas tentang Takeru yang memiliki kedekatan dengan Hikaru. Aoi menatap Hikaru yang tidur di sampingnya. Iya, anaknya itu meminta tidur bersama karena tidak ada teman. Sama seperti dirinya yang tidak ada Makoto yang selalu di sisinya. "Mama hanya takut kamu meminta seorang ayah nanti. Padahal ayah kita masih ada disini. Dalam hati," Aoi berbicara sendiri, suaranya tidak mengganggu tidur nyenyak Hikaru. "Jangan meminta mama untuk menikahi om baik itu. Mama masih mencintai ayah dengan baik. Berjanji akan selalu setia sampai akhir hayat mama," Aoi memejamkan matanya, perasaanya mendadak tidak tenang. Ia terkalu berpikir keras, tentu saja karena Hikaru menyukai Takeru karena sikap baiknya. ***"Tau gak omah? Aku kemarin diantar sama-""Itu makan dulu Hikaru, jangan berbicara. Tidak baik," Aoi menyela dengan cepat, jangan sampai Hikaru menceritakan Takeru kepada mama, bisa-bisanya ia kembali dekat dengan Takeru dan menjadi
Ryou menambah kecepatan mobilnya. Di jembatan, kaki Aoi siap mengayunkan untuk terjun dari atas jembatan yang memiliki ketinggian tak main-main, bahkan air di bawahnya mengalir dengan derasnya sehingga jika ia melompat mungkin jasadnya tidak akan pernah di temukan. Satu..Dua..Tiga.."NONA AOI!!" Ryou menarik tangan Aoi dengan sigap ia menggendongnya. "Nona jangan bunuh diri seperti ini. Nyonya mencari-cari dengan cemas bahkan Tuan Amschel pun mengkhawatirkan nona."Aoi menangis sesenggukan. "Aku gak mau pulang. Gak mau," Aoi menggeleng pelan, ia tak ingin bertemu mama lalu di perkenalkan lagi dengan pria itu. Tidak, jangan sampai ada perjodohan lagi. Aoi lelah dengan semua itu. "Nona Aoi, mari kita pulang. Jangan keluar tanpa ada yang menemani nona. Apalagi tadi, nona hampir saja melakukan bunuh diri," Ryou sangat cemas. Entah apa yang akan Amschel lakukan jika dirinya gagal menjaga Aoi, mungkin nyawa juga taruhannya. "Nona, tolong pulang. Karena tuan Amschel sangat mempercayaka
Setelah kematian Makoto dan omah Ema, Aoi mencoba lebih kuat dan tegar meskipun sedikit tidak rela. "Hari ini kamu mau ikut ke kantor?" tanya Karin pada Aoi, daripada anaknya itu sendirian di rumah dan kembali bersedih. Aoi mengangguk malas. "Ikut ma."Hikaru sudah berangkat beberapa menit yang lalu bersama Amschel. "Jadi model majalah mama ya? Kamu pasti terlihat cantik," Karin akan memberikan yang terbaik untuk Aoi apalagi dari penampilan. "Ma, aku gak bisa banyak gaya," keluh Aoi sedikit cemberut, bahkan foto saja hanya sekali jika ingin memiliki kenangan. Kenangan, kalimat itu mengingatkannya akan Makoto dan omah Ema. Karin yang memperhatikan Aoi mulai melamun pun meraih tangannnya. "Aoi, jangan di pikirkan lagi. Mama gak mau kamu stress terus jatuh sakit," ucap Karin sangat khawatir. Aoi tersenyum hambar. "Hikaru aja kuat masa aku gak? Hehe, ayo ma kita berangkat ke kantor. Aku mau jadi model majalah mama," dengan wajah cerianya Aoi berusaha untuk bahagia hari ini meskipun