Hari ini Aoi selesai membereskan tempat tidurnya. Bangun lebih awal sangat baik, apalagi ia harus jalan kaki ke sekolah.
Pintu kamarnya di ketuk.
"Nona Aoi, sarapan di bawah sudah siap. Semua anggota keluarga Rotschild berkumpul lengkap," bu Idah sang pembantu yang bekerja 6 tahun lamanya sangat beruntung di terima kerja di keluarga besar Rotschild.
Aoi meletakkan ponselnya di meja nakas, perutnya juga lapar ingin makan."Iya. Tunggu sebentar," Aoi beranjak dari duduknya, berjalan menuju meja makan. Pasti semua keluarganya sudah berkumpul, menunggunya datang.
Di meja makan, design mejanya memanjang seperti di istana kerajaan. Sangat sanggup mengajak satu kampung untuk makan.
Aoi menuruni tangga. Bunyi sepatunya menarik atensi semua keluarga Rotschild. Pandangannya pun menyorot Aoi.
Karin menatap Aoi yang berjalan dengan pelan seperti putri raja, anak tunggalnya itu benar-benar anggun."Aoi. Udah bangun sayang?" tanya Karin tersenyum senang.
Aoi mengangguk. "Iya ma," Aoi memandangi keluarganya, dari Ayah, mama, omah, dan pria asing? Siapa dia? Kenapa harus bergabung makan disini?
"Ma. Dia siapa? Kok makan bareng sama kita?" tanya Aoi menunjukkan ketidaksukaannya. Pasti pria itu ingin membocorkan identitas keluarganya. Apalagi selama ini ia mati-matian menutupi identitas dirinya sendiri di tempat umum atau publik.
Karin melirik Makoto yang duduk di sebelahnya."Dia itu calon suamimu sayang. Jadi lulus sekolah nanti, kalian langsung nikah aja. Kalau pertunangan dulu, yang ada kalian tidak tambah dekat. Iya kan yah?"
Amschel mengangguk. "Apa yang di katakan mama benar. Ayo perkenalkan dirimu," karena pilihannya sendiri tidak salah, Makoto sederajat dengan Aoi baik status sosial atau pun keelokan wajahnya. Keduanya sangat cocok menurur Amschel menjadi pasangan suami-istri.
'Tampilannya aja kuno banget. Pakai kacamata. Bukan anak sekolah. Masa om-om sih? Aku ini masih sekolah! Meskipun udah lulus, melanjutkan ke pendidikan tinggi itu penting. Apa ayah gak mau ada penerusnya?' Aoi menggerutu dalam hati. Dan ia tidak akan membiarkan segala hartanya jatuh ke tangan pria itu. Enak saja huh.
"Makoto Anekawa. Panggil saja Mako," Makoto memperkenalkan diri. Suaranya yang berat dan cool itu membuat Aoi menatapnya tak berkedip, kagum dengan gaya bicaranya. 'Bahkan aku sekali bicara saja kamu sudah jatuh cinta,' batin Makoto dalam hatinya, sudut bibirnya tertarik ke atas. Terlalu percaya diri.
"Dia ini keturunan Jepang. Pintar, dan perusahannya ada dimana-mana. Jadi ayah tidak salah memilihkan calon suami yang mapan untukmu Aoi," tutur Amschel, menambahi nilai lebih untuk Makoto agar Aoi bisa menerima perjodohan ini sesuai rencananya.
"Perkenalkan dirimu Aoi. Agar dia tau siapa calon istrinya," titah Amschel tegas. Di keluarga ini, hanya dia yang berkuasa. Tidak ada tutur kata yang lembut, tatapan yang tajam. Ciri khas Amschel Rotschild.
"Namaku Aoi Mianami Rotschild," satu hal lagi, Aoi menutupi nama belakangnya. Publik tidak boleh mengetahuinya. Misterius dan menyendiri dari keramaian, Aoi tak suka dengan dua hal itu yang bisa menimbulkan pertanyaan lebih.
"Perkenalan bisa di lanjutkan setelah makan. Dan Makoto akan mengantarkanmu ke sekolah. Tidak ada penolakan," seakan Amschel menebak pikiran Aoi. Karena ia percaya Makoto akan mengantarkan Aoi sampai ke sekolah dan memastikannya masuk ke dalam kelas tanpa ada niat jahat seperti bolos.
'Huh, berangkat ke sekolah sama om-om? Gimana sama semua temenku? Apa yang bakalan mereka katakan nanti?' batin Aoi bertanya-tanya. Pasti hal yang tidak-tidak. Ia tak mau ia menjadi bahan gosip hangat SMA Sakura, sangat mengganggu dan tak nyaman namanya di sebut dengan hal tidak baik.
Selesai makan, Amschel menitipkan Aoi kepada Makoto.
"Antarkan dia dengan selamat. Jangan sampai teelambat, jadi ngebut saja," ucap Amschel di setujui Makoto. Itulah mengapa ia memilih Makoto sebagai pendamping Aoi.
Aoi mendelik tak percaya. Mengebut? Gila, ini taruhannya nyawa! Aoi lebih baik jalan kaki saja daripada di antarkan Makoto. Tak apa kakinya pegal, sekolah jauh bukan berarti berangkat
Amschel mengeluarkan selembar check bernilai 20 juta. Seperti biasa uang bulanan untuk Aoi entah habis atau kurang ia akan memberikan lebih.
"Ini, uang bulanan kamu. Kalau habis, bisa pinjam black card ayah. Hati-hati," Amschel beranjak pergi. Mengurusi kantornya, apalagi menjadi direktur utama yang super sibuk.
***
Di dalam mobil, sangat hening dan sepi. Aoi bosan, ia membaca novel digital di ponselnya dan terganyut mengikuti alurnya.
"Nama sekolahmu apa?" tanya Makoto akhirnya berbicara setelah sekian lamanya terdiam. Rasanya bingung memulai darimana, selama ini ia tak pernah berbicara pada wanita jika itu tidak penting.
"SMA Sakura," jawab Aoi super dingin. Rasanya ingin segera pergi dari hadapan Makoto. Ia tak nyaman. Seharusnya duduk di belakang daripada bersebelahan dengan Makoto.
"Oh," jawab Makoto cuek, bahkan tanpa ekspresi. Masih belum mengenal Aoi. Ia tak tau harus menanyakan hal apa yang tidak terlalu penting.
'Oh doang? Cuek banget sih. Ini calon suamiku? Bisa mati berdiri nih. Tanya lagi kek, atau apa gitu,' batin Aoi kesal. Sifat cueknya itu membuat Aoi tak suka. Bagaimana setelah meninak nanti? Apa akan sama? Lebih baik kabur saja.
Masih kurang 5 menit lagi akan sampai di sekolah SMA Sakura.
"Nanti pulang aku jemput. Ini perintah dari Tuan Amschel," ucap Makoto lagi. Sekedar mengingatkan Aoi agar cewek itu tidak perlu repot jalan kaki sesuai yang Amschel ceritakan tadi pagi.
Aoi tidak bisa bebas. Makoto baru memasuki hidupnya, semuanya pasti akan terlibat dengan pria om-om itu.
"Jadi gak bisa shopping lagi kan. Huh, menyebalkan," gumam Aoi lirih. Tapi Makoto mendengarnya meskipun terdengar seperti bisikan.
"Shopping? Dimana? Nanti saya akan mengantarkan kamu," dengan senang hati Makoto menemani Aoi. Sebelum itu harus melapor Tuan Amschel agar nantinya ia tak di marahi membawa Aoi pergi tanp seizin-nya.
"Eh? Gak kok. Pulang aja," lain di ucap lain di pikiran. Shopping dengan Makoto? Yang ada dirinya tidak bisa menanyakan kualitas produk mana bagus atau cocoknya. Untuk soal barang berkualitas, Aoi selalu menanyakannya pada Haruka.
Akhirnya sampai juga di SMA Sakura. Aoi bisa terbebas dari Makoto, dirinya merasa ada dalam penjara bawah tanah.
Aoi tidak bisa membuka pintu mobil. Di kunci. Makoto menyebalkan. Apa pria om-om itu sengaja akan menjebak dirinya dalam mobil berduaan?
"Silahkan," Makoto membuka pintu mobil yang terkunci. Bibirnya tersenyum karena wajah kesal Aoi yang tak bisa membuka pintu mobil, sengaja ia kunci agar Aoi tak lompat dari mobil karena ingin berangkat sendiri. Ah pikirannya terlampau jauh.
"Bebas juga dari dia. Sangat membosankan," Aoi mempercepat langkahnya ke kelas. Karena terlalu terburu-buru ia menabrak seseorang. Nasibnya bertambah sial setelah satu mobil dengan Makoto sekarang menabrak orang. Pasti berakhir dirinya yang di marahi.
Dahi Aoi terasa sakit karena membentur dada bidang di depannya. Sispack, itulah yang Aoi pikirkan. Sangat idamannya.
"Aduh. Jalan kok gak liat-liat sih?" Aoi mengusap dahinya. Ia berani menatap cowok tampan di hadapannya, rambut coklat dan mata sipit dengan hidung mancung dan bibir seksinya. Ha? Apa baru saja ia memuji cowok itu? Dan yang ia kagumi adalah Makoto sekaligus Ryuji, cowok yang tak pernah akur dengannya.
"Lo lagi?" Aoi menunjuk Makoto dengan tatapan tajamnya. Ayolah, sehari saja tak bertemu dengan Makoto hidupnya akan jauh lebih tenang.
Makoto masih belum pergi. Memantau gerak-gerik Aoi sampai cewek itu benar-benar masuk ke kelas sesuai nasehat Amschel.
"Berani sekali menabrak Aoi. Tidak tau siapa dia," Makoto keluar dari mobilnya. Kalau sampai Aoi lecet, Tuan Amschel marah besar.
"Hei kamu! Jangan sakiti Aoi. Dia adalah putri dari-aww" Makoto meringis kesakitan. Kakinya di injak Aoi. Jangan sampai Makoto membocorkan siapa dirinya, nama belakang Rotschild sengaja Aoi tak memakainya di sekolahan.
"Tidak apa-apa. Ya kan sayang? Dia pacarku. Ryuji," sengaja Aoi berakting mempunyai pacar, agar perjodohan ini di cancel saja. Lagipula tak terbesit sama sekali untuk menikah muda. Untuk apa? Keturunan? Tidak, Aoi masib ingin melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Harus menggapai cita-citanya.
Makoto terkejut. "Pacar? Yakin ini pacarmu? Dari kalangan apa? Keluarga apa? Nama perusahaannya?" tanya Makoto beruntun. Seketika hatinya ada rasa cemburu dan tak rela Aoi memiliki kekasih. Lalu dirinya ini sebagai apa kalau bukan calon suami?
Ryuji yang tak terima di klaim sebagai pacar pun tak suka. Berpacaran? Ia sama sekali tak terbesit untuk menjalin hubungan dengan perempuan manapun, yang paling penting adalah belajar.
"Gue buk-" ucapannya tersela saat Aoi langsung mendekapnya. Jantungnya sudah berdetak cepat, Aoi sangat berani. Memeluknya tanpa ragu? Kalau sampai bu Dora melihat, sudah habis ia di hukum.
Aoi memeluk Ryuji. "Sayang, udah. Ayo masuk ke kelas. Pagi-pagi udah ngambek aja," Aoi mulai berakting layaknya kekasih sungguhan padahal ini setingan demi perjodohannya dengan Makoto di batalkan.
Beberapa siswa yang lewat pun melihat kejadian itu. Mengejutakan. Ryuji ketua basket sekaligus Duta Mr. Handsome tahun ini mempunyai pacar?
"Yah, jadi gak bisa deketin Ryuji lagi," ucapan lesu itu terlontar dari salah satu cewek berkuncir kuda. Harapannya seolah pupus ketika Ryuji sudah memiliki pacar.
"Gak cocok ah. Aoi cewek tomboy. Ketua beladiri lagi," rasa tak rela ketika Aoi menjadi pilihan Ryuji, cewek itu terkenal cuek juga galak mungkin karena gelar ketua Kick Boxer yang berturut-turut di pegang oleh Aoi.
Sahutan dari para siswi itu membuat Makoto sulit mempercayainya. Ia tau Aoi hanya berakting.
"Aku masih tidak percaya jika itu pacarnya Aoi," Makoto memandangi Aoi dan Ryuji berjalan beriringan. Ia tak mudah di bohongi, semua ini harus di telusuri agar tau siapa sebenarnya cowok itu.
***
Di kelas, Haruka dan Fumie bertanya-tanya tentang hubungannya dengan Ryuji.
"Sejak kapan kamu pacaran sama Ryuji? Kemarin aja tabrakan. Dan dia cuek ke kamu," ucap Haruka masih heran. Masih tak percaya dengan gosip miring yang sudah tersebar cepat di SMA Sakura. Biasa, ulah para penggosip kepo.
Aoi tidak tau harus menjawab apa. Terpaksa ia harus jujur. Toh sudah di ketahui semua orang untuk apa dirinya berbohong?
"E-itu. Soalnya-" Aoi tampak berpikir, haruskah ia jujur? Bagaimana kalau ayah dan mamanya tau ia berpacaran di sekolah. Tidak, jangan sampai Ryuji menjadi target utama ayahnya pasti akan melakukan berbagai cara untuk menyingkirkan Ryuji
"Cepetan elah," Fumie tak sabaran. Rasa penasarannya sudah setinggi langit, baru kali ini Aoi berani dekat dengan cowok dan itu pun sudah berpacaran.
"Aku mau di nikahin sama om-om," jawabnya sendu, matanya menunduk. Kenapa hidupnya harus diatur? Ia sudah besar dan bisa menentukan pilihannya sendiri.
"Seriusan? Wah, pasti ganteng. Matanya sipit, putih, tinggi. Idaman banget tau," sepertinya Fumie menyukai Makoto. Ah tapi Aoi tidak yakin Fumie akan betah dengan pria super cuek itu.
"Terus aja puji dia. Gak ada menariknya sama sekali," gerutu Aoi kesal. Ada secuil perasaan cemburu ketika Fumie memuji Makoto. Tak suka Makoto menjadi perhatian Fumie, karena yang pertama di kenal pria itu hanyalah dirinya. Apa? Pikirannya terlalu percaya diri, Aoi menggeleng menepis hal itu.
"Kaya gak?" tanya Haruka yang gila uang. Lumayan untuk berbelanja. Karena kriteria cowok idamannya selain tampan juga mapan dalam harta.
"Gak tau. Males aku ngurusin dia," Aoi menelungkupkan kepalanya. Lebih baik tidur daripada menggosipkan Makoto. Pikirannya sangat lelah menghadapi semua ini. Perjodohan, dan itu akan membuat masa depannya buruk karena tak mencintai Makoto.
Di kelas 12 Ips 1 dimana jamkos selalu berlaku bagi kelas itu. Apalagi guru Sosiologi yang kadang tidak masuk, sibuk mengurusi Gerakan Literasi antarsekolah.
"Bro, beneran pacaran sama Aoi?" tanya Taiga menggoda Ryuji. Tangannya memegang satu buku tulis untuk di jadikan kipas, sangat gerah. Musim kemarau, panas yang terik dan cahayanya menerobos memasuki celah jendela.
"Gak lah. Dianya aja yang mau pacaran sama gue.," jawab Ryuji kesal, wajahnya berubah masam. Padahal Aoi tak pernah akur dengan dirinya dengan seenaknya mengklaim pacar.
Syougo terkekeh. "Aoi cantik loh. Jago beladiri lagi. Lo tau kan Semika? Itu partnernya Aoi kalau di gym," jelas Syougo menceritakan aktifitas Aoi di sekolah.
"Bukannya sama Semio ya? Mereka kan kakak adik," Taiga heran. Semika dan Semio selalu latihan bersama di gym.
"Jadi gimana? Lo terima Aoi? Kalau gak mau, buat gue aja deh," Syougo menggoda Ryuji. Selain tomboy, sifat pemberani Aoi di sukainya dan para murid SMA Sakura.
"Enak aja. Jangan, lo itu cowok gak bener. Yang ada bikin anak orang nangis," sungut Ryuji kesal. Syougo di cap sebagai playboy, meskipun hanya berganti kekasih sehari saja.
"Pertahankan dia. Aoi emang tomboy, gue yakin hatinya baik," ucap Taiga bertopang dagu. Semilir dari kipas angin membuatnya pelan-pelan mengantuk.
Ryuji terdiam. Apakah harus menerimanya? Karena hatinya tak bisa mencintai secara langsung, apalagi untuk Aoi yang sebagai musuhnya sekaligus membuat hari-harinya kesal karena tak bisa berdamai.
***
Jangan bosen ya sama cerita TMOO. Eps awal emang biasa aja, pertengahan sampai ending luar biasa.
See you next time.
Thank you for reading
Di ruang kantor guru, Makoto berbincang dengan kepala sekolah bahwa dirinya ingin menjadi guru di SMA Sakura ini."Apakah anda memiliki pengalaman mengajar sebelumnya?" tanya Pak Daiji Sato selaku kepala sekolah SMA Sakura.Makoto menggeleng. "Tapi saya pernah menjadi dosen di Universitas Sakura. Untuk mengajar, jangan di ragukan lagi. Saya sudah berpengalaman selama lima tahun," jawab Makoto tegas. Universitas Sakura adalah kampus paling elite di kota Cherry Blossom ini. Tidak akan mudah orang bisa lolos seleksi dari kampus terbesar nomor satu di Jepang itu.Pak Daiji Sato mengangguk. "Baik. Anda di terima mengajar disini. Mulai besok, anda menjadi guru pelajaran Bahasa Jepang."Makoto tersenyum penuh arti. Dengan begini, ia bisa mengawasi Aoi dan pacarnya itu.'Lihat saja kamu. Gak akan pernah lolos. Aku akan melaporkanmu kepada Tuan Amschel karena berani berpacaran,' mungkin dirinya keterlaluan. Tapi lebih baik di k
Hari ini Aoi mengecek kembali jadwal pelajarannya.Aoi tersenyum simpul. Akhirnya lengkap semuanya."Kalau begini gak bisa di hukum lagi," Aoi juga selesai memasukkan kaos olahraga. Jam pertama pelajaran Penjas.Aoi menyampirkan tasnya di bahu. Menuruni anak tangga, bergabung sarapan pagi dengan semua anggota keluarga Rotschild.Karin menyiapkan roti selai stroberi, kesukaan Aoi."Sayang. Kamu sarapan yang banyak ya. Kalau perlu, habis 3 roti," ucap Karin perhatian. Ia tau hari ini Aoi olahraga. Dan Aoi harus kuat.Tuan Amschel mengangguk. "Di habisin. Gak ada alasan kenyang apalagi pahit. Roti saja manis, apalagi mama kamu," godanya membuat Karin tersipu."Apa sih yah. Ada Aoi kok gombal," Karin malu-malu kucing. Amschel susah di tebak, kadang bisa romantis tiba-tiba.Aoi menghela nafasnya. "Ma, satu roti aja cukup. Aoi gak mau gendut, nanti semua pakaian Aoi gak muat," keluhnya
Ryuji SakumaRyuji memejamkan matanya sejenak. Malam yang sangat dingin. Jendela kamarnya ia buka agar bisa menatap lebih dekat dengan ribuan bintang.Ucapan Syougo itu membuatnya kepikiran. Apalagi Aoi semakin dekat dengan pak Makoto."Gue kenapa sih? Selalu aja mikirin dia," Ryuji mengacak rambutnya frustasi."Kenapa perasaan gue gak rela kalau Aoi deket sama pak Makoto?" tanya Ryuji pada dirinya sendiri.Ryuji menggeleng. "Paling cuman kepikiran doang,"Ryuji mengambil note dan menyobeknya. Menuliskan kata-kata manis untuk Aoi.Kalau kamu tanya aku lagi ngapain. Jelas lagi dumika.Gak tau ya dumika itu apa? Duduk mikirin kamu. Gombal ya aku? Di simpen ya bunganya?Ryuji SakumaRyuji menempelkan itu di bunga mawar yang siap ia berikan kepada Aoi esoknya."Ya. Gue mulai suka sama Aoi. Selamat, lo berhasil buat hati gue sepenuhnya milik lo Aoi," Ryuji tersenyum. Ia benar-benar gila karena Aoi. Kenapa
Makoto bangun jam 4 subuh. Berkutat di dapur setelah sholat, Himarin melarangnya memasak."Aku pingin masak buat Aoi ma," ucap Makoto memelas. Ternyata masak tak semudah yang ia pikirkan.Dan Makoto memilih nasi goreng karena paling mudah. Tapi bumbunya ia tidak tau."Udah, mama aja yang masak. Ntar keasinan lagi, mending kamu nyapu rumah dulu ya. Sana," ujar Himarin lembut.Makoto menggeleng. "Mama masak nasi goreng kok enak? Bumbunya apa sih ma?" tanya Makoto kepo."Kalau itu rahasia. Udah sana nyapu, kalau mama yang masak pasti nagih mau lagi," ucap Himarin bangga. Hanya kali ini Makoto mau ke dapur, sebelumnya tak mau karena terciprat minyak goreng yang panas."Apa di goreng sama minyak juga ma?"Anaknya ini terlalu banyak tanya. Tapi lucu, Himarin suka itu."Iya. Nanti kamu kecipratan lagi mau? Panas loh," sengaja Himarin bohong, Makoto masak dapur sudah bukan lagi dapur, tap
"Aoi. Aku pinjem catatan Kimia ya? Besok janji deh aku balikin," pinta Haruka saat Aoi baru saja memasuki kelas.Aoi mengangguk. Memberikan buku tulis Kimia-nya."Tapi, besok balikinnya pagi-pagi aja. Pr dari bu Ima kan harus selesai besok juga," ucap Aoi, sekaligus mengingatkan Haruka yang mudah lupa.Haruka mulai menyalin catatan Aoi. Fumie mengomeli Haruka karena tidak berbagi."Ngomong dong daritadi. Kalau diem mana aku peka," gerutu Haruka kesal.Fumie mengernyit. Kenapa Haruka jadi curhat begini? Apa sudah mempunya gebetan? Hanya Bumi yang tau.Tak lama kemudian bu Beta datang. Pelajaran Fisika pun di mulai.***Haruka dan Fumie sudah berusaha mengajak Aoi ke perpustakaan. Tapi Aoi tidak mau."Kenapa? Padahal bau novel baru itu naikin mood Aoi.
Bel pulang berbunyi, Aoi sangat bosan berada di UKS sendirian.Akhirnya pulang juga, saat dirinya turun dari ranjang sebuah uluran tangan besar membuat Aoi tau siapa. Makoto lagi."Apa kondisimu sudah lebih baik?" tanya Makoto khawatir.Aoi mengangguk. Ia terlalu kejam mengabaikan Makoto, pria itu sudah berbuat banyak demi melindunginya."Ambilkan tasku di kelas," titah Aoi, rasanya senang juga tinggal duduk manis dan menyuruh Makoto."Biar aku suruh temanmu saja," Makoto mengirimkan pesan ke adiknya itu.Makoto menatap Aoi. "Masih sakit? Apa perlu kita ke rumah sakit saja? Sepertinya kondisimu sangat parah ya," ujar Makoto kasihan.Aoi berdecak kesal. Kenapa Makoto berlebihan? Memangnya ia sakit hati yang perlu di perikaakan ke dokter? Eh? Tidak akan pernah."Kenapa sih
Aoi tidak bisa tidur. Entah kenapa pikirannya bermasalah, selalu ada Makoto yang menjadi bayang-bayangnya."Kenapa mikirin dia sih? Bikin orang susah tidur aja," teriak Aoi frustasi. Untung saja kamarnya kedap suara, kalau tidak orang tuanya pasti khawatir.Entah kenapa tubuhnya panas, mulai bersin-bersin dan pusing."Pasti gara-gara kehujanan," Aoi menarik selimut sebatas dada, mencoba tidur meskipun sangat sulit.***Makoto sudah lebih sehat dari sebelumnya. Saatnya bersemangat menjemput Aoi.Saat sampai di rumah, Karin mengatakan Aoi sedang sakit. Tentu saja dirinya siaga jika calon istrinya itu sakit.Aoi tidur dengan wajah damainya. Makoto saja yang melihat itu terasa adem."Kalau tidur aja kayak putri salju yang nunggu pangerannya datang. Sekarang udah ada disini loh. Yakin gak mau bangun?" Makoto mengajak Aoi bicara, entah cewek judes itu dengar atau tidak.Aoi meras
Makoto tersenyum, akhirnya habis juga bubur buatannya. Aoi sangat doyan."Kamu istirahat sekarang. Biar besok bisa sekolah lagi," Makoto membenarkan rambut Aoi yang lupa di sisir.Aoi mengangguk. "Ya udah, sana pulang," usir Aoi ketus.Makoto menoleh, menatap Aoi. "Yakin nih? Masa gak kangen?""Gak! Mimpi aja dulu," Aoi masuk ke dalam rumah, biarkan saja Makoto berdiri sendirian disana.'Duh tambah gemes deh,' senang? Iya, apalagi menemani Aoi sakit. Sifat galaknya tidak pernah hilang.***Aoi sudah siap dengan seragamnya. Akhirnya ia bisa bersekolah lagi setelah dua hari di rumah saja.Saat ia berjalan menuju meja makan, tidak ada siapapun."Ma! Mama!" Aoi berteriak memanggil mamanya. Tumben banget sepi."Jam berapa sih?" Aoi menatap arloji di tangannya, masih jam 6."Orangnya gak ada, tapi makanannya ada. Aneh," Aoi duduk dan mengambil roti. 
"Idaman darimana ma? Pasti dia udah punya pacar," tuding Aoi menunjuk wajah Takeru yang sedang bannga itu. "Pacar siapa? Gak ada kok. Aku masih lajang," ungkap Takeru jujur. Sejak dulu ia hanya menyukai Aoi namun tidak berani karena kemarahan wanita itu yang sama saja dengan letusan gunung berapi. Karin tersenyum senang. "Takeru lajang karena dia cinta sama kamu nak. Makannya daridulu gak mau pacaran sama wanita manapun. Betul kan Takeru?" Karin berkedip melempar kode, Takeru terpaksa mengangguk. Aoi berdecak kesal. "Udahlah ma. Aku pulang aja. Bete lama-lama disini," Aoi melangkah pergi. Satu oksigen dengan Takeru membuatnya tidak nyaman sekaligus darahnya bisa mendidih dan tinggi. ***Hikaru mengeluh sedikit pusing. Ia baru saja sadar dari pingsan-nya. Takeru langsung menghampirinya. "Apa ada yang sakit?" Takeru sangat khawatir. Hikaru sakit membuat hatinya tidak tenang. Karin yang melihat interaksi antara Takeru dan Hikaru hanya tersenyuum. Sangat cocok sekali menjadi figur a
Pagi ini Aoi dibuat cemberut lagi, bagaimana tidak? Ayahnya memakai mobil terbang demi mengatasi kemacetan kota Jepang yang semakin meningkat dari tahun-tahun akhir. "Ayah, tapi kan kalau aku pakai mobil sport yang itu lama. Aku lebih suka-""Sstt, jangan membantah. Pokoknya ayah harus pakai mobil terbang itu. Karena sekarang ada rapat penting, ayah gak mau telat," Amschel menyela ucapan Aoi. Ada saja alasannya. "Ayah gak adil," Aoi mengerucutkan bibirnya. Hikaru yang melihat sang mama terkikik geli dengan wajah imut itu. "Mama jangan marah. Lagipula hari ini aku gak ada tugas piket kok."Aoi selalu mengantarkan Hikaru ke sekolah sangat pagi sekali, bahkan jam 6 tepat sudah sampai di sekolah. Semua itu Aoi lakukan hanya demi menghindari si Takeru yang biasanya mengantarkan Aiko setiap harinya sejak kemarin. Mengingat itu kepalanya mengepul. Takeru, pria yang pandai menggombal sekaligus tukang rayu itu berhasil mengambil hati kedua orang tuanya sekaligus Hikaru. Entah apa tujuannya,
"Ayo ma!" Aoi berseru, ia sudah siap dengan tampilannya yang sederhana. Hanya makan dengan seseorang yang entah itu siapa tapi mentraktirnya. Karin tersenyum. Betapa cantiknya Aoi sekarang seperti peri yang siap menyihir perhatian Takeru malam ini. ***Setelah menempuh beberapa menit perjalanan, akhirnya sampai juga di kafe. Karin berpamitan pada Aoi karena harus membantu Amschel di kantornya yang tengah lembur. Aoi merasa tak keberatan. "Semoga kamu suka ya? Mama pergi dulu. Ajak dia ngobrol."Aoi mengangguk. "Siap ma."Aoi ingin tau siapa seseorang yang begitu baik mengajaknya makan gratis? Apakah laki-laki atau perempuan?"Kapan ya dia datang?" Aoi menunggu dengan tidak sabar. Jika mamanya sudah menyuruhnya untuk berkenalan dengan seseorang, pasti baik. Tapi pikirannya melayang pada sosok Takeru, raut wajah Aoi berbubah cemberut. Ia harap bukan pria haus uang itu. Amschel telah mengantarkan Takeru di kafe yang sama dimana Aoi sekarang menunggu. Amchel melihat kafe yang tidak t
Hari ini Hikaru kembali ke sekolah, diantarkan oleh Aoi langsung karena ia tak mau Takeru terlibat lagi dan berpura-pura baik dengan anaknya itu. Aoi telah berjanji pada Hikaru akan mengantar dan menjemputnya pulang dengan mobil terbang saja daripada manual yang nantinya pasti bertemu Takeru lagi. "Nanti jangan keluar gerbang dulu ya? Biar mama aja yang kesana duluan," pesan Aoi pada Hikaru saat berada di dalam mobil terbang itu. Hanya membutuhkan beberapa menit saja sudah sampai di sekolah dasar sakura yang tak begitu jauh. Hikaru mengangguk patuh. "Iya ma. Aku akan nunggu di kelas aja," Hikaru tau pasti mamanya itu tak ingin ia bersama om baik, padahal ia lebih berharap bisa bertemu pria itu lagi. Namun sifat possessif mamanya begitu kuat.Hanya membutuhkan 10 menit perjalanan akhirnya sampai juga. Aoi mengecup kening Hikaru dan memberikan 1000 ¥en pada anaknya itu untuk uang jajannya. "Aiko jam segini udah nyampe belum?"Hikaru menggeleng. "Biasanya jam setengah tujuh ma. Bentar
Hari ini, Karin meminta Aoi untuk bersiap lebih awal. Aoi sempat tidak mau tapi setelah mamanya bilang akan diberikan soal harta warisan yang masih belum ada keputusan itu membuat semangat Aoi bangkit kembali. Ya, setelah Makoto tidak ada sekarang harta warisan itu tengah berada di ombang-ambing tidak ada penentuan siapa pemilik keseluruhan kekayaan Amschel Rotschild dengan segala asetnya yang mempunyai cabang dimana-mana. Aoi berharap itu hanya untuk dirinya, bukan dibagikan kepada orang asing dan bukan siapa-siapanya apalagi tidak termasuk anggota keluarganya. Aoi sangat menolak tegas hal itu jika terjadi. "Ma, aku udah siap," Aoi menghampiri mamanya yang sibuk mengetik pesan entah dengan siapa. Yang membuatnya heran, mamanya itu tersenyum! Siapa?"Ayo. Ayah udah di kantor duluan. Hikaru juga ada disana."Sepertinya sangat penting, bahkan hari Senin ini Hikaru tidak masuk sekolah. Aoi hanya berpikir pembagian harta ini pasti hanya untuk Hikaru. Kalau memang begitu, Aoi tak akan mem
Mengobrol di dalam rumah lebih tepatnya ruang tamu. Hanya ada Karin, Hikaru, Takeru dan Aiko saja tapi Aoi lebih memilih mendekam di kamarnya menghindari Takeru. "Hikaru, aku gak bisa lama-lama disini nanti mama nyariin aku," ujar Aiko membuka obrolan. Tapi ia ingin berlama-lama dengan Hikaru, hanya bermain saja. Lain halnya dengan Takeru, sebenarnya ia ingin menyusul langkah Aoi namun ragu ketika wanita itu memasuki kamarnya. 'Ada apa dengan dia? Kenapa tidak mau ikut berbincang disini?' batin Takeru penuh tanda tanya. Aoi sangat menghindarinya sejak pertama kali bertemu beberapa minggu yang lalu, hanya karena satu model perusahaan wanita itu menjauhinya tanpa sebab. "Baiklah, itu terserah kamu aja Aiko. Kita main boneka dulu yuk. Sebentar aja," Hikaru memohon dan Aiko pun setuju. Hanya ada Karin dan Tekeru di ruang tamu. Sedangkan Aoi menguping pembicaraan mamanya dengan pria menyebalkan itu dibalik pintu kamarnya. "Dimana suami Aoi ya?" tanya Takeru penasaran, hanya ingin tau
Sudah larut malam, Aoi sulit memejamkan matanya. Pikirannya terlintas tentang Takeru yang memiliki kedekatan dengan Hikaru. Aoi menatap Hikaru yang tidur di sampingnya. Iya, anaknya itu meminta tidur bersama karena tidak ada teman. Sama seperti dirinya yang tidak ada Makoto yang selalu di sisinya. "Mama hanya takut kamu meminta seorang ayah nanti. Padahal ayah kita masih ada disini. Dalam hati," Aoi berbicara sendiri, suaranya tidak mengganggu tidur nyenyak Hikaru. "Jangan meminta mama untuk menikahi om baik itu. Mama masih mencintai ayah dengan baik. Berjanji akan selalu setia sampai akhir hayat mama," Aoi memejamkan matanya, perasaanya mendadak tidak tenang. Ia terkalu berpikir keras, tentu saja karena Hikaru menyukai Takeru karena sikap baiknya. ***"Tau gak omah? Aku kemarin diantar sama-""Itu makan dulu Hikaru, jangan berbicara. Tidak baik," Aoi menyela dengan cepat, jangan sampai Hikaru menceritakan Takeru kepada mama, bisa-bisanya ia kembali dekat dengan Takeru dan menjadi
Ryou menambah kecepatan mobilnya. Di jembatan, kaki Aoi siap mengayunkan untuk terjun dari atas jembatan yang memiliki ketinggian tak main-main, bahkan air di bawahnya mengalir dengan derasnya sehingga jika ia melompat mungkin jasadnya tidak akan pernah di temukan. Satu..Dua..Tiga.."NONA AOI!!" Ryou menarik tangan Aoi dengan sigap ia menggendongnya. "Nona jangan bunuh diri seperti ini. Nyonya mencari-cari dengan cemas bahkan Tuan Amschel pun mengkhawatirkan nona."Aoi menangis sesenggukan. "Aku gak mau pulang. Gak mau," Aoi menggeleng pelan, ia tak ingin bertemu mama lalu di perkenalkan lagi dengan pria itu. Tidak, jangan sampai ada perjodohan lagi. Aoi lelah dengan semua itu. "Nona Aoi, mari kita pulang. Jangan keluar tanpa ada yang menemani nona. Apalagi tadi, nona hampir saja melakukan bunuh diri," Ryou sangat cemas. Entah apa yang akan Amschel lakukan jika dirinya gagal menjaga Aoi, mungkin nyawa juga taruhannya. "Nona, tolong pulang. Karena tuan Amschel sangat mempercayaka
Setelah kematian Makoto dan omah Ema, Aoi mencoba lebih kuat dan tegar meskipun sedikit tidak rela. "Hari ini kamu mau ikut ke kantor?" tanya Karin pada Aoi, daripada anaknya itu sendirian di rumah dan kembali bersedih. Aoi mengangguk malas. "Ikut ma."Hikaru sudah berangkat beberapa menit yang lalu bersama Amschel. "Jadi model majalah mama ya? Kamu pasti terlihat cantik," Karin akan memberikan yang terbaik untuk Aoi apalagi dari penampilan. "Ma, aku gak bisa banyak gaya," keluh Aoi sedikit cemberut, bahkan foto saja hanya sekali jika ingin memiliki kenangan. Kenangan, kalimat itu mengingatkannya akan Makoto dan omah Ema. Karin yang memperhatikan Aoi mulai melamun pun meraih tangannnya. "Aoi, jangan di pikirkan lagi. Mama gak mau kamu stress terus jatuh sakit," ucap Karin sangat khawatir. Aoi tersenyum hambar. "Hikaru aja kuat masa aku gak? Hehe, ayo ma kita berangkat ke kantor. Aku mau jadi model majalah mama," dengan wajah cerianya Aoi berusaha untuk bahagia hari ini meskipun