Hari ini Aoi mengecek kembali jadwal pelajarannya.
Aoi tersenyum simpul. Akhirnya lengkap semuanya.
"Kalau begini gak bisa di hukum lagi," Aoi juga selesai memasukkan kaos olahraga. Jam pertama pelajaran Penjas.
Aoi menyampirkan tasnya di bahu. Menuruni anak tangga, bergabung sarapan pagi dengan semua anggota keluarga Rotschild.
Karin menyiapkan roti selai stroberi, kesukaan Aoi.
"Sayang. Kamu sarapan yang banyak ya. Kalau perlu, habis 3 roti," ucap Karin perhatian. Ia tau hari ini Aoi olahraga. Dan Aoi harus kuat.
Tuan Amschel mengangguk. "Di habisin. Gak ada alasan kenyang apalagi pahit. Roti saja manis, apalagi mama kamu," godanya membuat Karin tersipu.
"Apa sih yah. Ada Aoi kok gombal," Karin malu-malu kucing. Amschel susah di tebak, kadang bisa romantis tiba-tiba.
Aoi menghela nafasnya. "Ma, satu roti aja cukup. Aoi gak mau gendut, nanti semua pakaian Aoi gak muat," keluhnya memelas. Ayolah, mana mau seorang perempuan mengidamkan tubuh gemuk? Apalagi dirinya.
"Nanti Ayah belikan. Mau berapa pakaian? Sekalian ambil semuanya di mall," ucap Amschel santai. Bukan sombong, Aoi jika belanja tidak setengah-setengah. Justru menghabiskan hampir setengah juta black card miliknya.
Aoi menggeleng. "Aoi gak suka gendut," ucapnya tak mau tau.
"Kalau kamu hamil anaknya Makoto juga gendut sayang," tambah Karin menggoda Aoi.
"Mama!" Aoi merajuk. Kenapa harus membahas Makoto? Ck, menyebalkan. Apalagi hamil dari pria itu. Aoi tidak mau.
Karin terkekeh. "Di habisin. Kalau kurang, mama ambilin lagi."
Mamanya begitu baik. Aoi beruntung memiliki orang tua yang masih lengkap dan harmonis. Meskipun kadang berselisih, tapi ayahnya bisa mengatasi hal itu dengan baik. Mamanya mudah di luluhkan hanya dengan sekotak donat dan es krim.
Aoi merasa ganjil. Kemana pria itu? Biasanya sudah ada disini mengantarkannya ke sekolah. Tidak mungkin bersembunyi di kolong meja. Ah, Aoi jadi geli memikirkan itu. Sudut bibirnya tersenyum membentuk sabit. Aish, kenapa harus memikirkan dia?
Karin menatap Aoi heran. "Kenapa kok senyum-senyum? Rotinya lucu ya?" tanya Karin dengan polosnya.
"Kamu habis bahas Makoto. Jadi Aoi senyum-senyum," jawab Amschel. Menebak pikiran Aoi itu mudah. Apapun yang Aoi pikirkan, ia tau. Amschel melakukan ini karena tidak ingin sedikit pun Aoi sedih. Putri satu-satunya itu harus bahagia.
Karin mengangguk faham. "Oh, karena Makoto. Oh ya, mama lupa gak nelpon dia. Biar bisa ngaterin kamu ke sekolah sayang," Karin beranjak dari kursinya. Ia tidak memiliki ponsel, Amschel tidak memperbolehkan hal itu. Karin mengerti, Amschel mudah cemburu dengan temannya yang berlawan jenis.
Karin sibuk menelpon Makoto. Aoi diam-diam mengirimkan pesan pada Ryuji. Meminta cowok itu menjemputnya di depan gang. Pesan terbaca, Ryuji mau setelah ia paksa karena alasan Makoto lagi.
"Yah. Aoi berangkat dulu ya? Mau berangkat sama temen. Udah nunggu lama."
Saat Aoi mulai beranjak dari duduknya. Amschel mencegahnya.
"Teman? Cowok apa cewek?" tanya Amschel mengintrogasi dengan nada dingin.
"Ayah kenapa sih? Lagian Aoi juga pingin lebih deket dengan temen Aoi," Aoi mengalihkan pembicaraan. Ayahnya selalu mengawasinya, dia sudah besar dan bisa sendiri.
Amschel menggeleng. "Ma! Apa Makoto sudah dalam perjalanan kesini?"
Karin menutup teleponnya. Berbalik menatap Amschel. "Iya. Lima menit lagi Makoto akan sampai."
Aoi menghentakkan kakinya kesal. Kenapa sih harus Makoto lagi? Apa tiada hari tanpa pria itu tidak bisa?
"Tapi yah-" belum selesai Aoi berbicara, Amschel memberikan uang saku dengan selembar check seperti biasa. Sama, uang bulanan Aoi, 20 juta.
Aoi terdiam. Kalau sudah ada uang, ia tidak bisa menolaknya. Ah, dasar dirinya memang mata duitan.
'Ok. Sekarang aku mau berangkat bareng dengan dia. Kalau bukan karen uang, aku tidak sudi,' batin Aoi kesal. Ia mengambil lembar check itu.
"Giliran di kasih duit diem. Anak siapa sih?" tanya Amschel gemas, mencubit pipi Aoi yang gembul itu.
"Ayah! Jangan cubit pipi Aoi! Sakit tau," ia tidak gendut, tapi pipinya saja yang tembam.
"Permisi. Saya ingin masuk menjemput Aoi," ucap Makoto karena terhalangi dua penjaga di pintu masuk. Setelah ia melapor pada security masih ada penjaga lagi di pintu masuk. Beginilah keamanan mansion kediaman Rotschild.
"Tunjukkan identitasmu," tagih salah satu penjaga. Karena Makoto termasuk orang asing.
Makoto menghela nafasnya. Baiklah, mereka tidak tau dirinya siapa.
Makoto menunjukkan kartu indentitas khusus keluarga Anekawa. Meskipun tulisannya berbahasa Jepang, tapi logo kucing emas sangat jelas.
Dua penjaga itu seketika pucat pasi melihat Makoto.
"Maafkan kami Tuan. Silahkan masuk."
Dua penjaga itu mempersilahkan Makoto masuk.
"Saya siap mengantarkan Aoi. Hei kamu, ayo jangan melamun."
Aoi tersadar. "Iya bawel. Yah, ma Aoi berangkat," Aoi berpamitan dan salim.
"Jaga Aoi baik-baik," Amschel mempercayakan Aoi pada Makoto.
"Iya Tuan."
Makoto berjalan lebih dulu. Aoi ingin mengacak-acak rambut rapi itu.
'Udah tua juga masih gaya. Gak ganteng!' sayangnya kata-kata itu Aoi ucapkan dalam hatinya. Kalau suatu saat Aoi sampai jatuh cinta pada Makoto, kata-kata itu akan ia tarik.
Saat sampai di sekolah, Aoi menyuruh Makoto agar berhenti di luar sekolah saja.
Tapi Makoto tak menggubrisnya, malah memarkirkan mobilnya di halaman sekolah.
'Tau aja berangkat sama Ryuji,' batin Aoi kesal. Ia sempat melihat Ryuji, lebih tepatnya berpapasan di jalan. Ryuji menunggunya, hati Aoi sedikit kasihan. Apalagi cuaca di pagi ini sangat terik.
Aoi segera menuju kelasnya.
Saat sampai di kelas, semuanya sudah berganti kaos olahraga. Karena peraturan disini tidal memperbolehkan siswanya memakai olahraga dari rumah.
Haruka menggeleng miris. "Aoi kenapa telat? Kan udah tau jam pertama olahraga. Kamu kayak gak tau pak Sasuke aja," omel Haruka.
"Kita anterin kamu ke toilet. Ayo cepet," seru Fumie tak sabaran.
"Iya-iya sabar," Aoi mengambil kaos olahraganya di tas.
Berlari kecil, adalah hal utama agar tidak telat ke lapangan SMA Sakura. Bisa gawat di marahi pak Sasuke.
Setelah beberapa menit, akhirnya Aoi memakai kaos olahraga.
"Langsung ke lapangan aja. Haruka jangan lelet dong kalau lari ah! Sini," Fumie menarik tangan Haruka. Cewek itu memang sedikit gendut, berbeda dengan dirinya dan Aoi yang proposional.
Di lapangan, pak Sasuke membimbing pemanasan seperti biasanya.
"Oh ya. Setelah ini lari 6 kali bagi yang putri. Dan 7 kali untuk putra. Di mulai dari sekarang!" pak Sasuke meniup peluitnya.
Haruka, Fumie dan Aoi berlari mengelilingi lapangan.
Sampai di kelima putaran, kepala Aoi pusing, pandangannya pun mengabur. Tubuhnya limbung, semuanya dengan cepat menggelap. Teriakan Haruka yang ia dengar terkahir kalinya.
"Aoi! Bangun! Fumie, panggil pak Sasuke!"
Fumie mengangguk.
Makoto yang dari kejauhan mengawasi Aoi pun berlari cepat.
Pak Sasuke yang akan menggendong Aoi tidak di perbolehkan Makoto.
"Tidak perlu. Ini tanggung jawab saya. Anda tidak perlu ikut campur," tolak Makoto halus dan tegas.
Pak Sasuke mengerti. Ia tau Makoto yang sebenarnya siapa.
"Baiklah. Bawa dia ke UKS."
Makoto menggendong Aoi ala bridal style.
"Astaga Aoi di gendong guru itu lagi!"
"Mereka pacaran ya?"
"Cocok aja sih."
Di kelas 12 Ips 1, kabar Aoi yang pingsan dan di gendong guru bahasa Jepang sudah tersebar luas.
"Lo gak cemburu Aoi sama pak Makoto?" tanya Syougo meletakkan pulpennya. Sangat melelahkan mencatat materi sejarah.
"Gak," Ryuji menggeleng. 'Gue cemburu!' teriak Ryuji dalam hati. Nanti mulut Syougo ember dan bilang ke Aoi.
"Masa sih?" tanya Taiga curiga.
Ryuji menatap keduanya datar. "Emang wajah gue gak meyakinkan gitu?" tanyanya ketus.
"Gak," jawab Syougo dan Taiga kompak.
"Terserah! Gue gak mood!" Ryuji memilih tidur.
"Katanya pacar pura-pura. Tapi kok cemburu sekarang," sindir Syougo.
"Jangan-jangan udah suka ya sama Aoi?" Taiga menoel pipi Ryuji.
"Gak lah!" Ryuji merajuk.
Syougo terkekeh. "Cemburu."
"Ciee yang suka sama Aoi," goda Taiga.
Ryuji tak peduli. Lebih baik tidur saja.
***
Ryuji ngambek nih. Cemburu dan khawatir sama Aoi.
Ryuji bakalan suka gak sama Aoi?
Atau cuman sekedar suka aja?
Sampai jumpa di bab selanjutnya...
Ryuji SakumaRyuji memejamkan matanya sejenak. Malam yang sangat dingin. Jendela kamarnya ia buka agar bisa menatap lebih dekat dengan ribuan bintang.Ucapan Syougo itu membuatnya kepikiran. Apalagi Aoi semakin dekat dengan pak Makoto."Gue kenapa sih? Selalu aja mikirin dia," Ryuji mengacak rambutnya frustasi."Kenapa perasaan gue gak rela kalau Aoi deket sama pak Makoto?" tanya Ryuji pada dirinya sendiri.Ryuji menggeleng. "Paling cuman kepikiran doang,"Ryuji mengambil note dan menyobeknya. Menuliskan kata-kata manis untuk Aoi.Kalau kamu tanya aku lagi ngapain. Jelas lagi dumika.Gak tau ya dumika itu apa? Duduk mikirin kamu. Gombal ya aku? Di simpen ya bunganya?Ryuji SakumaRyuji menempelkan itu di bunga mawar yang siap ia berikan kepada Aoi esoknya."Ya. Gue mulai suka sama Aoi. Selamat, lo berhasil buat hati gue sepenuhnya milik lo Aoi," Ryuji tersenyum. Ia benar-benar gila karena Aoi. Kenapa
Makoto bangun jam 4 subuh. Berkutat di dapur setelah sholat, Himarin melarangnya memasak."Aku pingin masak buat Aoi ma," ucap Makoto memelas. Ternyata masak tak semudah yang ia pikirkan.Dan Makoto memilih nasi goreng karena paling mudah. Tapi bumbunya ia tidak tau."Udah, mama aja yang masak. Ntar keasinan lagi, mending kamu nyapu rumah dulu ya. Sana," ujar Himarin lembut.Makoto menggeleng. "Mama masak nasi goreng kok enak? Bumbunya apa sih ma?" tanya Makoto kepo."Kalau itu rahasia. Udah sana nyapu, kalau mama yang masak pasti nagih mau lagi," ucap Himarin bangga. Hanya kali ini Makoto mau ke dapur, sebelumnya tak mau karena terciprat minyak goreng yang panas."Apa di goreng sama minyak juga ma?"Anaknya ini terlalu banyak tanya. Tapi lucu, Himarin suka itu."Iya. Nanti kamu kecipratan lagi mau? Panas loh," sengaja Himarin bohong, Makoto masak dapur sudah bukan lagi dapur, tap
"Aoi. Aku pinjem catatan Kimia ya? Besok janji deh aku balikin," pinta Haruka saat Aoi baru saja memasuki kelas.Aoi mengangguk. Memberikan buku tulis Kimia-nya."Tapi, besok balikinnya pagi-pagi aja. Pr dari bu Ima kan harus selesai besok juga," ucap Aoi, sekaligus mengingatkan Haruka yang mudah lupa.Haruka mulai menyalin catatan Aoi. Fumie mengomeli Haruka karena tidak berbagi."Ngomong dong daritadi. Kalau diem mana aku peka," gerutu Haruka kesal.Fumie mengernyit. Kenapa Haruka jadi curhat begini? Apa sudah mempunya gebetan? Hanya Bumi yang tau.Tak lama kemudian bu Beta datang. Pelajaran Fisika pun di mulai.***Haruka dan Fumie sudah berusaha mengajak Aoi ke perpustakaan. Tapi Aoi tidak mau."Kenapa? Padahal bau novel baru itu naikin mood Aoi.
Bel pulang berbunyi, Aoi sangat bosan berada di UKS sendirian.Akhirnya pulang juga, saat dirinya turun dari ranjang sebuah uluran tangan besar membuat Aoi tau siapa. Makoto lagi."Apa kondisimu sudah lebih baik?" tanya Makoto khawatir.Aoi mengangguk. Ia terlalu kejam mengabaikan Makoto, pria itu sudah berbuat banyak demi melindunginya."Ambilkan tasku di kelas," titah Aoi, rasanya senang juga tinggal duduk manis dan menyuruh Makoto."Biar aku suruh temanmu saja," Makoto mengirimkan pesan ke adiknya itu.Makoto menatap Aoi. "Masih sakit? Apa perlu kita ke rumah sakit saja? Sepertinya kondisimu sangat parah ya," ujar Makoto kasihan.Aoi berdecak kesal. Kenapa Makoto berlebihan? Memangnya ia sakit hati yang perlu di perikaakan ke dokter? Eh? Tidak akan pernah."Kenapa sih
Aoi tidak bisa tidur. Entah kenapa pikirannya bermasalah, selalu ada Makoto yang menjadi bayang-bayangnya."Kenapa mikirin dia sih? Bikin orang susah tidur aja," teriak Aoi frustasi. Untung saja kamarnya kedap suara, kalau tidak orang tuanya pasti khawatir.Entah kenapa tubuhnya panas, mulai bersin-bersin dan pusing."Pasti gara-gara kehujanan," Aoi menarik selimut sebatas dada, mencoba tidur meskipun sangat sulit.***Makoto sudah lebih sehat dari sebelumnya. Saatnya bersemangat menjemput Aoi.Saat sampai di rumah, Karin mengatakan Aoi sedang sakit. Tentu saja dirinya siaga jika calon istrinya itu sakit.Aoi tidur dengan wajah damainya. Makoto saja yang melihat itu terasa adem."Kalau tidur aja kayak putri salju yang nunggu pangerannya datang. Sekarang udah ada disini loh. Yakin gak mau bangun?" Makoto mengajak Aoi bicara, entah cewek judes itu dengar atau tidak.Aoi meras
Makoto tersenyum, akhirnya habis juga bubur buatannya. Aoi sangat doyan."Kamu istirahat sekarang. Biar besok bisa sekolah lagi," Makoto membenarkan rambut Aoi yang lupa di sisir.Aoi mengangguk. "Ya udah, sana pulang," usir Aoi ketus.Makoto menoleh, menatap Aoi. "Yakin nih? Masa gak kangen?""Gak! Mimpi aja dulu," Aoi masuk ke dalam rumah, biarkan saja Makoto berdiri sendirian disana.'Duh tambah gemes deh,' senang? Iya, apalagi menemani Aoi sakit. Sifat galaknya tidak pernah hilang.***Aoi sudah siap dengan seragamnya. Akhirnya ia bisa bersekolah lagi setelah dua hari di rumah saja.Saat ia berjalan menuju meja makan, tidak ada siapapun."Ma! Mama!" Aoi berteriak memanggil mamanya. Tumben banget sepi."Jam berapa sih?" Aoi menatap arloji di tangannya, masih jam 6."Orangnya gak ada, tapi makanannya ada. Aneh," Aoi duduk dan mengambil roti. 
Taiga melempar kertas dan tepat mengenai Ryuji yang tengah melamun.Ryuji menoleh. "Apa sih? Ganggu aja," ketusnya membuang kertas itu sembarangan."Jangan ngelamun. Perhatikan penjelasan pak Jiro. Mau maju di depan tapi gak bisa?"Ryuji mengangguk. "Iya-iya dasar cerewet," Ryuji menatap pak Jiro yang menjelaskan aljabar.***Saat bel istirahat berbunyi, Ryuji melangkah menuju kelas 12 Ipa 1."Aoi, ada Ryuji. Sana, kayaknya ngajak istirahat bareng," Haruka bisik-bisik, takut Fumie bangun.Aoi menutup buku Fisikanya. Akhirnya setelah dua hari tidak bertemu Ryuji, kalau saja tidak ada Makoto pasti waktunya hanya untuk Ryuji.Aoi menghampiri Ryuji. "Jadi kangen gak masuk dua hari," Aoi tersenyum kikuk."Sakit ya?" Ryuji mengecek dahi Aoi, normal.
"Jelas itu urusan saya Aoi!" tegas Makoto marah. Langkah Aoi berhenti, menoleh menatap Makoto. "Silahkan hukum saya sekarang kalau memang anda benar pak Makoto," pungkas Aoi berani, apa Makoto sengaja membuat peraturan sendiri? "Ok," Makoto mengangguk. "Beridiri disitu dengan satu kaki selama pelajaran saya," Makoto mendekat, membisikkan sesuatu yang membuat Aoi diam tak berkutik. "Dan itu, sampai pelajaran saya selesai!" Aoi melangkah sesuai perintah Makoto, mengangkat satu kaki sampai pelajaran bahasa Jepang selesai. "Pak Makoto killer juga ya?" "Aku kira dia sabar loh. Tapi pas Aoi di anterin Ryuji ke kelas, udah marah gitu aja. Kan aneh ya?" Aoi juga berpikir seperti itu. Kenapa Makoto bisa se-marah itu dan tega menghukumnya? Selama dua jam itu lah, kaki Aoi pegal. Aoi berusaha menyeimbangi tubuhnya, tapi... Bruk! Dengan sigap Makoto menangkap Aoi yang limbung. "
"Idaman darimana ma? Pasti dia udah punya pacar," tuding Aoi menunjuk wajah Takeru yang sedang bannga itu. "Pacar siapa? Gak ada kok. Aku masih lajang," ungkap Takeru jujur. Sejak dulu ia hanya menyukai Aoi namun tidak berani karena kemarahan wanita itu yang sama saja dengan letusan gunung berapi. Karin tersenyum senang. "Takeru lajang karena dia cinta sama kamu nak. Makannya daridulu gak mau pacaran sama wanita manapun. Betul kan Takeru?" Karin berkedip melempar kode, Takeru terpaksa mengangguk. Aoi berdecak kesal. "Udahlah ma. Aku pulang aja. Bete lama-lama disini," Aoi melangkah pergi. Satu oksigen dengan Takeru membuatnya tidak nyaman sekaligus darahnya bisa mendidih dan tinggi. ***Hikaru mengeluh sedikit pusing. Ia baru saja sadar dari pingsan-nya. Takeru langsung menghampirinya. "Apa ada yang sakit?" Takeru sangat khawatir. Hikaru sakit membuat hatinya tidak tenang. Karin yang melihat interaksi antara Takeru dan Hikaru hanya tersenyuum. Sangat cocok sekali menjadi figur a
Pagi ini Aoi dibuat cemberut lagi, bagaimana tidak? Ayahnya memakai mobil terbang demi mengatasi kemacetan kota Jepang yang semakin meningkat dari tahun-tahun akhir. "Ayah, tapi kan kalau aku pakai mobil sport yang itu lama. Aku lebih suka-""Sstt, jangan membantah. Pokoknya ayah harus pakai mobil terbang itu. Karena sekarang ada rapat penting, ayah gak mau telat," Amschel menyela ucapan Aoi. Ada saja alasannya. "Ayah gak adil," Aoi mengerucutkan bibirnya. Hikaru yang melihat sang mama terkikik geli dengan wajah imut itu. "Mama jangan marah. Lagipula hari ini aku gak ada tugas piket kok."Aoi selalu mengantarkan Hikaru ke sekolah sangat pagi sekali, bahkan jam 6 tepat sudah sampai di sekolah. Semua itu Aoi lakukan hanya demi menghindari si Takeru yang biasanya mengantarkan Aiko setiap harinya sejak kemarin. Mengingat itu kepalanya mengepul. Takeru, pria yang pandai menggombal sekaligus tukang rayu itu berhasil mengambil hati kedua orang tuanya sekaligus Hikaru. Entah apa tujuannya,
"Ayo ma!" Aoi berseru, ia sudah siap dengan tampilannya yang sederhana. Hanya makan dengan seseorang yang entah itu siapa tapi mentraktirnya. Karin tersenyum. Betapa cantiknya Aoi sekarang seperti peri yang siap menyihir perhatian Takeru malam ini. ***Setelah menempuh beberapa menit perjalanan, akhirnya sampai juga di kafe. Karin berpamitan pada Aoi karena harus membantu Amschel di kantornya yang tengah lembur. Aoi merasa tak keberatan. "Semoga kamu suka ya? Mama pergi dulu. Ajak dia ngobrol."Aoi mengangguk. "Siap ma."Aoi ingin tau siapa seseorang yang begitu baik mengajaknya makan gratis? Apakah laki-laki atau perempuan?"Kapan ya dia datang?" Aoi menunggu dengan tidak sabar. Jika mamanya sudah menyuruhnya untuk berkenalan dengan seseorang, pasti baik. Tapi pikirannya melayang pada sosok Takeru, raut wajah Aoi berbubah cemberut. Ia harap bukan pria haus uang itu. Amschel telah mengantarkan Takeru di kafe yang sama dimana Aoi sekarang menunggu. Amchel melihat kafe yang tidak t
Hari ini Hikaru kembali ke sekolah, diantarkan oleh Aoi langsung karena ia tak mau Takeru terlibat lagi dan berpura-pura baik dengan anaknya itu. Aoi telah berjanji pada Hikaru akan mengantar dan menjemputnya pulang dengan mobil terbang saja daripada manual yang nantinya pasti bertemu Takeru lagi. "Nanti jangan keluar gerbang dulu ya? Biar mama aja yang kesana duluan," pesan Aoi pada Hikaru saat berada di dalam mobil terbang itu. Hanya membutuhkan beberapa menit saja sudah sampai di sekolah dasar sakura yang tak begitu jauh. Hikaru mengangguk patuh. "Iya ma. Aku akan nunggu di kelas aja," Hikaru tau pasti mamanya itu tak ingin ia bersama om baik, padahal ia lebih berharap bisa bertemu pria itu lagi. Namun sifat possessif mamanya begitu kuat.Hanya membutuhkan 10 menit perjalanan akhirnya sampai juga. Aoi mengecup kening Hikaru dan memberikan 1000 ¥en pada anaknya itu untuk uang jajannya. "Aiko jam segini udah nyampe belum?"Hikaru menggeleng. "Biasanya jam setengah tujuh ma. Bentar
Hari ini, Karin meminta Aoi untuk bersiap lebih awal. Aoi sempat tidak mau tapi setelah mamanya bilang akan diberikan soal harta warisan yang masih belum ada keputusan itu membuat semangat Aoi bangkit kembali. Ya, setelah Makoto tidak ada sekarang harta warisan itu tengah berada di ombang-ambing tidak ada penentuan siapa pemilik keseluruhan kekayaan Amschel Rotschild dengan segala asetnya yang mempunyai cabang dimana-mana. Aoi berharap itu hanya untuk dirinya, bukan dibagikan kepada orang asing dan bukan siapa-siapanya apalagi tidak termasuk anggota keluarganya. Aoi sangat menolak tegas hal itu jika terjadi. "Ma, aku udah siap," Aoi menghampiri mamanya yang sibuk mengetik pesan entah dengan siapa. Yang membuatnya heran, mamanya itu tersenyum! Siapa?"Ayo. Ayah udah di kantor duluan. Hikaru juga ada disana."Sepertinya sangat penting, bahkan hari Senin ini Hikaru tidak masuk sekolah. Aoi hanya berpikir pembagian harta ini pasti hanya untuk Hikaru. Kalau memang begitu, Aoi tak akan mem
Mengobrol di dalam rumah lebih tepatnya ruang tamu. Hanya ada Karin, Hikaru, Takeru dan Aiko saja tapi Aoi lebih memilih mendekam di kamarnya menghindari Takeru. "Hikaru, aku gak bisa lama-lama disini nanti mama nyariin aku," ujar Aiko membuka obrolan. Tapi ia ingin berlama-lama dengan Hikaru, hanya bermain saja. Lain halnya dengan Takeru, sebenarnya ia ingin menyusul langkah Aoi namun ragu ketika wanita itu memasuki kamarnya. 'Ada apa dengan dia? Kenapa tidak mau ikut berbincang disini?' batin Takeru penuh tanda tanya. Aoi sangat menghindarinya sejak pertama kali bertemu beberapa minggu yang lalu, hanya karena satu model perusahaan wanita itu menjauhinya tanpa sebab. "Baiklah, itu terserah kamu aja Aiko. Kita main boneka dulu yuk. Sebentar aja," Hikaru memohon dan Aiko pun setuju. Hanya ada Karin dan Tekeru di ruang tamu. Sedangkan Aoi menguping pembicaraan mamanya dengan pria menyebalkan itu dibalik pintu kamarnya. "Dimana suami Aoi ya?" tanya Takeru penasaran, hanya ingin tau
Sudah larut malam, Aoi sulit memejamkan matanya. Pikirannya terlintas tentang Takeru yang memiliki kedekatan dengan Hikaru. Aoi menatap Hikaru yang tidur di sampingnya. Iya, anaknya itu meminta tidur bersama karena tidak ada teman. Sama seperti dirinya yang tidak ada Makoto yang selalu di sisinya. "Mama hanya takut kamu meminta seorang ayah nanti. Padahal ayah kita masih ada disini. Dalam hati," Aoi berbicara sendiri, suaranya tidak mengganggu tidur nyenyak Hikaru. "Jangan meminta mama untuk menikahi om baik itu. Mama masih mencintai ayah dengan baik. Berjanji akan selalu setia sampai akhir hayat mama," Aoi memejamkan matanya, perasaanya mendadak tidak tenang. Ia terkalu berpikir keras, tentu saja karena Hikaru menyukai Takeru karena sikap baiknya. ***"Tau gak omah? Aku kemarin diantar sama-""Itu makan dulu Hikaru, jangan berbicara. Tidak baik," Aoi menyela dengan cepat, jangan sampai Hikaru menceritakan Takeru kepada mama, bisa-bisanya ia kembali dekat dengan Takeru dan menjadi
Ryou menambah kecepatan mobilnya. Di jembatan, kaki Aoi siap mengayunkan untuk terjun dari atas jembatan yang memiliki ketinggian tak main-main, bahkan air di bawahnya mengalir dengan derasnya sehingga jika ia melompat mungkin jasadnya tidak akan pernah di temukan. Satu..Dua..Tiga.."NONA AOI!!" Ryou menarik tangan Aoi dengan sigap ia menggendongnya. "Nona jangan bunuh diri seperti ini. Nyonya mencari-cari dengan cemas bahkan Tuan Amschel pun mengkhawatirkan nona."Aoi menangis sesenggukan. "Aku gak mau pulang. Gak mau," Aoi menggeleng pelan, ia tak ingin bertemu mama lalu di perkenalkan lagi dengan pria itu. Tidak, jangan sampai ada perjodohan lagi. Aoi lelah dengan semua itu. "Nona Aoi, mari kita pulang. Jangan keluar tanpa ada yang menemani nona. Apalagi tadi, nona hampir saja melakukan bunuh diri," Ryou sangat cemas. Entah apa yang akan Amschel lakukan jika dirinya gagal menjaga Aoi, mungkin nyawa juga taruhannya. "Nona, tolong pulang. Karena tuan Amschel sangat mempercayaka
Setelah kematian Makoto dan omah Ema, Aoi mencoba lebih kuat dan tegar meskipun sedikit tidak rela. "Hari ini kamu mau ikut ke kantor?" tanya Karin pada Aoi, daripada anaknya itu sendirian di rumah dan kembali bersedih. Aoi mengangguk malas. "Ikut ma."Hikaru sudah berangkat beberapa menit yang lalu bersama Amschel. "Jadi model majalah mama ya? Kamu pasti terlihat cantik," Karin akan memberikan yang terbaik untuk Aoi apalagi dari penampilan. "Ma, aku gak bisa banyak gaya," keluh Aoi sedikit cemberut, bahkan foto saja hanya sekali jika ingin memiliki kenangan. Kenangan, kalimat itu mengingatkannya akan Makoto dan omah Ema. Karin yang memperhatikan Aoi mulai melamun pun meraih tangannnya. "Aoi, jangan di pikirkan lagi. Mama gak mau kamu stress terus jatuh sakit," ucap Karin sangat khawatir. Aoi tersenyum hambar. "Hikaru aja kuat masa aku gak? Hehe, ayo ma kita berangkat ke kantor. Aku mau jadi model majalah mama," dengan wajah cerianya Aoi berusaha untuk bahagia hari ini meskipun