Hari ini aku menerima balasan pesan dari Farhan untuk menemuinya di kantin sekolah. Kebetulan sekarang tepat di hari minggu, tentunya dia ataupun aku sedang tidak bekerja.
Aku memarkirkan mobil di halaman sekolah yang luas dan rindang, Farhan melambaikan tangannya. Kami akhirnya berjalan bersama menuju tempat yang dulu selalu menjadi favorit siswa ataupun siswi saat ingin menghindar dari mata pelajaran yang tidak disukai. Kantin adalah tempat ternyaman untuk kabur dari kelas.
“Halo bos?“ sapa Farhan, dia tampak gagah memakai pakaian santai. Didalam gendongannya seorang bocah laki-laki berumur sekitar tiga tahunan. Wajahnya sangat mirip dengan Farhan Dinata, “apa mungkin dia itu, “aku berpikir sejenak. Menatap dua sosok beda usia di hadapanku ini.
“Mari bos, silakan duduk! “
“Iya,” jawabku singkat.
Kami pun duduk saling berhadapan, bocah itu duduk di samping Farhan tanpa berhenti menatapku. Rasanya gemas sekali saat melihatnya dari awal bertemu tadi. Anganku tiba-tiba berkelana membayangkan sesuatu yang selama ini sangat diharapkan kedua orang tuaku. Iya, seorang keturunan penerus keluarga kami kelak. Mama dan papa sudah sangat menginginkan cucu. Saat melihat Farhan membawa putranya terbesit keinginan dalam hati untuk memiliki seorang anak, apalagi setampan anaknya Farhan ini. Tapi bagaimana cara mendapatkan buah hati, bahkan kekasih saja belum pernah ada hingga saat ini. Aku jadi tersenyum geli memikirkan sesuatu yang tidak mungkin aku dapatkan dalam waktu dekat. Karena semuanya butuh proses. Butuh calon istri tentunya.
“Hai bos, apa Anda baik-baik saja? “ pertanyaan Farhan membuyarkan lamunanku sesaat.
“Em... iya, aku baik-baik saja, oh ya, dia sangat tampan dan menggemaskan, “ ujarku mengalihkan pembicaraan. Memang sejak melihat bocah ini, aku sudah merasa terpikat oleh wajah lucu dan menggemaskan itu. Pipi tembam dan bibirnya yang mungil sangat cocok dengan kulitnya yang putih.
“Tentu saja bos, siapa dulu ayahnya? “ jawab Farhan sombong.
“Ya... ya... aku percaya padamu Han.“ Jawabku singkat.
“Hay... Boy? siapa namamu? “ aku berdiri setengah membungkuk, mencubit pipi gembul di depanku ini. Bocah itu tersenyum manis sekali, “uh... rasanya ingin aku bawa pulang saja bocah ini, seandainya Farhan mengizinkan. “
“Sayang, di tanya om itu? “ kata Farhan sambil mengelus pipi putranya.
Aku kembali duduk setelah puas menggoda anak Farhan.
“Abian, om. “Dengan suara khas anak kecil.
“Siapa...? “ tanyaku lagi berpura-pura tidak mendengarkan.
“Abian... Om, “jawabnya lagi dengan muka cemberut.
Farhan menatapku, memberi isyarat untuk berhenti menggoda Abian.
“Baiklah... baiklah, om sudah dengar sekarang. Abian, iyakan? “
Abian mengacungkan kedua ibu jarinya ke arahku. Aku pun mengikuti gerakan Abian. Anak laki-laki Farhan sungguh membuat aku gemas dan tertawa berkali-kali dengan semua tingkah lucunya. “Oh... seindah inikah memiliki buah hati, “ aku tersenyum sendiri seperti orang gila. Tiba-tiba saja, teringat perkataan papa yang selalu mendesakku agar segera menikah. Tetapi hingga saat ini aku belum pernah merasakan jatuh cinta, sejak usiaku telah dewasa aku hanya melakukan kegiatan 'Happy Fun atau biasa kami menyebutnya making Love' aktivitas panas tanpa ikatan dan rasa cinta di dalamnya, kepada setiap wanita pemuas nafsu. Hingga belum terpikirkan olehku untuk menjalin hubungan serius.
Farhan dan aku mulai berbincang hangat sambil sesekali mendengar celoteh Abian. Aku memang lelaki angkuh kepada setiap orang dewasa, akan tetapi perangaiku akan berubah hangat saat bersama anak kecil, karena sejak dulu hingga sekarang diriku memang menyukai sosok lucu dan menggemaskan itu. Farhan memang sudah paham dengan karakterku, makanya dia sengaja membawa Abian saat bertemu.
Tanpa terasa hari sudah menjelang siang. Aku dan Farhan akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah.
Farhan menolak keinginanku untuk mengantarkannya pulang, tapi jangan panggil aku Alan kalau diri ini tidak bisa memaksanya.
Aku rebut Abian, kami pun berlari menuju mobilku. Abian juga tidak menolak, bukannya menangis bocah itu malah tertawa sambil memanggil nama ayahnya.
“Ayo ayah, kejar ! “seru Abian dengan suara cadelnya.
“Abian, ayo turun ! “ perintah Farhan. Sambil melambaikan tangannya agar Abian mau berhenti.
Aku berbisik ditelinga Abian, “ suruh ayah naik mobil, biar om Alan antarkan pulang ! “
“Ayah... cepatlah, kejar aku ! “ kata Abian lagi, sambil mengeratkan kedua tangannya pada leherku. Rupanya bocah itu merasa takut saat aku mengajaknya berlari.
Akhirnya terjadilah aksi kejar mengejar diantara kami bertiga.
Aku membawa Abian masuk mobilku, Farhan tampak berlari terengah-engah. Hingga jarak kami tinggal satu meter tiba-tiba tubuh Farhan jatuh tersungkur ke tanah.
Bruk...
“Farhan... .“
“Ayah... .“
Teriakku dan Abian bersamaan. Kami pun berlari turun dari mobil dan menghampiri tubuh Farhan yang sudah tidak sadarkan diri.
“Ayah, “ tangis Abian sambil menarik lengan ayahnya.
“hai, culun, jangan bercanda kamu. “ Ucapku sambil menepuk kedua pipi Farhan bergantian.
“Om, ayah kenapa ? “ tanya Abian cemas. Bocah ini tampak begitu mengkhawatirkan ayahnya. Bahkan tangisnya tidak mau berhenti.
“Om juga tidak tahu Abi. “ jawabku bingung.
“Ayah, hu hu hu Hu. “ Abian menangis didada Farhan sambil menarik-narik bajunya.
“Tunggu Abi, biar om panggil mobil Ambulans. “Aku merogoh saku celana dan mendial nomor di sana.
Setelah tersambung segera kukirim alamat sekolah tempat kami bertemu saat ini.
Abian tidak kunjung berhenti menangis, membuatku semakin cemas saja. Beberapa menit kemudian mobil pun datang. Farhan segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Kebetulan rumah sakit itu juga milik papa.
Aku mengikuti Farhan masuk ke dalam mobil, Abian sudah mulai reda tangisannya. Bocah itu tidak berhenti menatap sang ayah yang sudah pucat pasi.
“Farhan, apa sebenarnya yang terjadi denganmu?” aku bertanya pada tubuh tak sadarkan diri itu.
“Abian, jangan khawatir, ayahmu akan baik-baik saja, “ ucapku sambil mengusap kepala Abian lembut. Rasanya aku juga takut akan terjadi sesuatu buruk pada Farhan.
Sampai di rumah sakit, Farhan segera di larikan ke unit gawat darurat.
“dokter, tolong selamatkan nyawa teman saya! “ kataku sambil mengikuti dokter yang hendak masuk ke ruang pemeriksaan.
“Saya akan berusaha melakukan yang terbaik, tuan. “ Jawab sang dokter sambil berlalu.
Abian duduk di pangkuanku dengan wajah yang lemas dan kusut. Sesaat kemudian bocah itu tertidur pulas, mungkin dia sudah lelah setelah menangisi ayahnya.
Kuamati wajah Abian dalam tidurnya, rambut ikal dan hitam yang dimiliki bocah ini membuatnya semakin terlihat manis, membuatku ingin selalu mengusap kepalanya dan mencium pipi gembul itu. Farhan sangat beruntung memiliki putra seperti Abian.
Seorang perawat keluar menghampiriku dengan memegang ponsel di tangannya.
“Tuan, ini telepon pasien tadi berbunyi. Saya temukan di saku celananya. “ Ucap suster itu sambil menyerahkan ponsel milik Farhan.
“oh, ya, terima kasih Sus, “jawabku kemudian menerimanya.
“Bagaimana keadaan sahabat saya Sus, “ tanyaku sebelum suster itu berlalu.
“Masih dilakukan pemeriksaan tuan, semoga pasien bisa tertolong, “ jawabnya singkat.
Tanpa menunggu lama, suster meninggalkan aku yang semakin di rundung kecemasan mendalam.
Suara ponsel berdering memecahkan kesunyian dalam hatiku. Tertera nama Jamilah di layar berwarna hijau. Tanpa berpikir panjang aku menerima panggilan masuk tersebut.
“Halo, assalamualaikum, kak, “suara seorang wanita terdengar dari seberang sana.
“Ya, halo, “jawabku singkat.
Tidak ada jawaban lagi di sana,
aku rasa wanita itu sedang kebingungan karena bukan pemiliknya yang menjawab telepon.
“Hai, siapa pun kamu, yang sedang menelepon nomor ini, saat ini Farhan berada di rumah sakit.“
“Apa...! “ teriak wanita itu memekakkan gendang pendengaranku. Aku segera menjauhkan ponsel dari telinga kiri.
“Apa yang terjadi dengan Kak Farhan, tuan? “ ucap wanita itu kemudian. Terdengar isak tangis bercampur khawatir dari nada bicaranya. Dugaan sementara mungkin wanita yang sedang menelepon ini adalah istrinya Farhan, sahabatku yang sedang terbaring sakit di dalam sana.
“Halo, tuan apa Anda masih di sana ? “ tanya wanita itu lagi.
“Iya.“
“Tolong kirim alamat rumah sakit itu kepada saya tuan ! “
“Hem... .” jawabku singkat. Segera menutup telepon, kemudian mengirimkan alamat rumah sakit tempat Farhan dirawat saat ini.
Dokter dan beberapa perawat keluar dari ruang UGD, aku berjalan tergesa sambil menggendong tubuh mungil yang masih terlelap dalam pangkuanku saat ini.
“Bagaimana dokter? “tanyaku tidak sabar.
“Tuan, kami sudah berusaha sebaik mungkin, tetapi takdir rupanya berkata lain. “ Jawab sang dokter. Ucapannya itu bagaikan petir di siang hari.
“Apa maksud Anda dok? “ ucapku geram, bukan tidak tahu tapi aku belum bisa mencerna kata-kata dokter dengan baik. Jantungku berdegup kencang tidak beraturan.
“Tuan, sahabat Anda tidak bisa di selamatkan, pasien memiliki riwayat penyakit jantung koroner dan saya rasa itu sudah berlangsung lama, sehingga saat kambuh sudah terlambat untuk mengobatinya. “ Kalimat dokter Haris panjang lebar, beliau menepuk kedua bahuku.
“Ikhlaskan tuan, ini sudah menjadi kehendak Tuhan. “ Lanjut dokter Haris kemudian. Beliau berlalu meninggalkan tubuh ini yang masih terpaku di depan pintu ruang perawatan. Abian masih lelap dalam dekapanku. Rasa iba menyeruak dalam hati ini, “sungguh malang nasibmu Abian , masih sekecil ini harus menjadi yatim. “ Dada ini rasanya sesak, menahan perasaan sedih yang berkecamuk. Semakin lama menatap Abian semakin membuncah nelangsa, baru kali ini merasakan hati yang pilu dan menyayat, kehilangan seseorang yang berharga dalam hidup ini. Bahkan aku belum sempat membalas budi kepada Farhan, “Tuhan secepat itu kau ambil dia dari sisiku. “ Aku memejamkan mata mencari kekuatan lewat doa, semoga Abian dan istri Farhan di beri kekuatan dan kesabaran.
“Tuan, apakah Anda tadi yang menerima panggilan saya? “tanya seorang wanita di hadapanku. Ekor matanya terlihat melirik Abian yang masih belum terbangun.
“Iya, “jawabku singkat, entah bagaimana caranya menyampaikan kabar duka yang baru saja kudengar.
“Bagaimana kondisi Kak Farhan saat ini? “ tanya wanita itu lagi.
Aku terdiam tidak bisa menjawab, lidah ini kelu tidak mampu berucap. Perempuan dengan rambut panjang dan bergelombang itu pun menatapku dengan raut wajah penuh tanya dan aku hanya tertunduk tidak dapat menatap iris matanya kembali.
“Tuan, tolong katakan, apa yang terjadi dengan suami saya? “ teriak wanita itu sambil menangis histeris, kedua tangannya mengguncangkan lenganku. Seketika Abian terbangun, “mama,” sapa Abian saat telah membuka kedua matanya.
“Abi, mana ayah? “ tanya istri Farhan kepada putranya.
Sungguh mengejutkan apa yang dilakukan Abian, dengan mantapnya Abian menunjuk wajahku saat ibunya melontarkan pertanyaan. Istri Farhan terlihat bingung begitu juga denganku.
“Abian, mama tanya sama kamu, ayah Abi mana? “ pertanyaannya kali ini di ucapkan dengan lembut.
“Ayah, “ jawab Abian lagi seketika bocah mungil itu memeluk tubuhku erat.
“Tuan, siapa sebenarnya Anda? Dan di mana Kak Farhan sekarang? “ teriak wanita itu semakin emosi.
“Mama, “sapa Abian. Bocah mungil itu seketika meminta turun dan memeluk tubuh istri Farhan yang sudah lemah dan terduduk di lantai.
“Sayang, “ keduanya saling berpelukan membuat hatiku serasa di remas berkali-kali, sakit rasanya.
Aku ikut duduk di depan Abian dan ibunya. Menjelaskan peristiwa yang baru saja menimpa Farhan.
“Tapi tuan, mengapa Abian menyebut Anda sebagai ayahnya? “ pertanyaan istri Farhan baru menyadarkanku tentang kelakuan Abian tadi.
“Saya juga tidak tahu, nona. “ Jawabku bingung.
“Nona, sebaiknya kita lihat jenazah Farhan sekarang. “ Ajakku sambil berdiri menuju ruang penyimpanan jenazah. Beberapa saat yang lalu jenazah Farhan sudah di pindahkan keruangan khusus.
Saat aku hendak berjalan, Abian memanggilku, “ayah. “ kudapati Abian berlari dan memeluk kedua kakiku.
“Abian, “aku merengkuh tubuh mungil itu dalam dekapan. Istri Farhan diam terpaku menatapku dan Abian dengan pandangan sulit diartikan.
“Mari nona! “ ajakku kembali. Kami berdua berjalan beriringan menuju ruang penyimpanan jenazah.
Sampai di sana suster keluar menemuiku dan istrinya Farhan.
“Maaf tuan, sebaiknya anak kecil tidak usah diajak masuk, “ ucap suster sambil menatap Abian dalam gendonganku.
Kami berdua saling berpandangan. Aku pun mengerti, “nona, sebaiknya Anda masuk terlebih dahulu, biar saya menjaga Abian di sini. “ wanita itu hanya mengangguk setuju. Perlahan dia masuk ke dalam.
Aku mengajak Abian duduk di depan ruangan sambil sesekali menjawab pertanyaan lucu dari bocah itu, tentunya aku sangat bingung dengan ucapan Abian yang tiba-tiba memanggilku ayah, bukankah kami baru saja bertemu, bahkan Abian juga tahu bahwa ayahnya sedang tidak sadarkan diri beberapa saat yang lalu. Tuhan, bolehkah aku serakah dan berpikiran jahat, merasa senang di atas penderitaan orang lain. Dengan menipu bocah kecil tanpa dosa. Dilain sisi aku merasa senang setidaknya Abian tidak akan merasa kehilangan karena dia mengira aku adalah ayahnya. Akan tetapi bagaimana dengan ibunya, apakah dia akan setuju dengan pemikiranku saat ini. Setidaknya Abian tidak harus bersedih di tinggalkan ayah kandungnya. Kalaupun di perbolehkan aku ingin mengadopsi Abian menjadi putra angkatku. Begitulah pemikiranku. Abian masih memainkan ponsel yang aku berikan, bocah polos itu tentunya tidak sadar dengan hal yang tengah menimpanya saat ini. Dia sedang asyik melihat film kartun kesukaan anak-anak. Kembar kembara nakal.
Saat memperhatikan Abian aku terus berpikir, bagaimana pertemuanku dengan Farhan hari ini adalah pertemuan terakhir kami, rasa penyesalan kembali membayangi pikiranku bagaimana tadi bisa sampai melupakan tujuan awal pertemuan kami. Bukankah aku akan memberi pekerjaan untuknya, jangankan mengatakan hal itu semua pertanyaan yang sejak kemarin telah aku siapkan bahkan belum sempat mendapatkan jawabannya.
Aku terlalu asyik bermain dengan Abian sampai melupakan tujuan awal pertemuan kami. Tuhan, entah apa rencanamu saat ini, aku hanya berharap semoga sahabatku bisa pergi dengan tenang dan terimalah dia disisimu, karena Farhan adalah orang yang baik, bahkan terlalu baik.
Sedangkan Abian bagaimana dengan bocah ini, haruskah aku membohonginya walau untuk kebaikan. Atau aku harus berterus terang?
Tiba-tiba kehidupanku berasa jungkir balik setelah bertemu dengan Farhan Dinata, rasanya seperti dilema. Ingin jujur takut menyakiti bocah tak berdosa ini. Seandainya tidak jujur, aku jadi makin bersalah bila suatu saat kebohongan ini bisa menyakiti Abian lebih dalam lagi dan saat hari itu tiba, alasan apa yang harus kukatakan kepada Abian?
Bukankah Sebaik-baiknya menyimpan kebohongan, suatu saat pasti akan terbongkar juga. Hal itu yang paling aku takutkan dari sekarang.
Setelah mengurus semua administrasi di rumah sakit, jenazah Farhan akhirnya bisa di bawa pulang ke rumahnya. Jamilah ikut serta dalam mobil ambulans yang mengantarkan suaminya. Aku telah memerintahkan anak buahku untuk mengurus segala keperluan pemakaman dan lainnya. Paman Sam tak lupa kuberi kabar. Awalnya paman Sam terkejut saat aku memberi tahunya, tapi kemudian dia hanya bisa berdoa atas kejadian yang menimpa sahabatku itu.Sore hari menjelang, semburat sinar oranye telah tampak di balik awan. Sesaat lalu jenazah Farhan telah di kebumikan. Jamilah memberikan satu permintaan kepadaku agar tidak mengikuti pemakaman, iya, aku ditugaskan olehnya untuk menjaga Abian. Entah apa yang di rencanakan wanita itu sehingga dia seolah merahasiakan kematian Farhan, suaminya. Aku hanya bisa menuruti saja. Walau di dalam hati sangat ingin melihat saat terakhir Farhan di semayamkan. Tapi aku tahu semua yang dilakukan perempuan itu pasti demi ke
Usai melakukan ritual mandi pagi, aku bergegas berangkat ke kantor, saat melewati halaman rumah netraku mencari dua makhluk aneh yang baru saja mengacaukan pagiku. “Em... ke mana mereka? “ “Ayah...! “ teriak Abian kencang. Kepalaku menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara. “Ayah, sini...! “teriak Abian lagi. Aku membalikkan badan ke samping dan melihat Abian sedang memetik bunga kesayangan mama, “astaga, Abian...! “ aku berlari kencang kearah Abian yang tengah asyik memetik bunga dan daunnya. Bocah itu hanya tersenyum melihat aku menghampirinya dengan panik, saat melihat senyum manisnya membuat kemarahanku menghilang seketika, “Abi, kenapa merusak tanaman ini? Tanaman bunga ini kesukaan oma, “ ucapku sambil mengelus kepala Abian lembut, rambut ikal dan halus selalu membuat tangan ini ingin membelainya tanpa henti, aku merasa bodoh jatuh cinta dengan anak kecil, tapi sungguh jika kalian tahu Abian ini san
“Sakit sekali kepalaku, “ membuka mata, mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan, sesosok wanita tengah tidur memunggungiku, “eh, ini sungguh aneh, aku bahkan tidak merasakan apa pun selain tertidur pulas, atau aku yang terlalu mabuk? “ pertanyaan itu berkecamuk dalam hati, sekilas menatap tubuhku yang tanpa sehelai benang membuat pemikiran yang baru saja terbersit di otak tiba-tiba sirna.Saat akan turun dari ranjang, terlihat pintu di buka paksa oleh seseorang, “siapa mereka? “ terdengar suara keributan di balik pintu kamar hotel.“Alan...! “teriak seorang wanita paruh baya di depan pintu yang sukses membuatku terpaku di tempat.“Ma... “ suara ini tercekat di tenggorokan, buru- buru menutupi tubuh polosku dengan selimut.“Alan...! mama enggak menyangka kamu bisa berbuat seperti itu, hu hu hu,““Sabar Ma, “ ucap papa sambil mengelus bahu mama den
“Tuan, tuan Alan, tuan...! “ seseorang mengguncang lenganku dan berteriak. Mata ini sulit di buka, rasanya baru beberapa menit aku tertidur pulas. Saat membuka mata, Jamilah sudah berada di sampingku dengan pakaian yang sama. “Dasar wanita bodoh! kenapa harus berteriak, aku tidak tuli, “ “Itu tuan, “ jawab Jamilah tergagap. “Apa? Cepat katakan! “ “Bian, menangis mencari kita berdua, “ jawab Jamilah sambil menunduk menatap ponsel dalam genggamannya. “Tadi tuan dan nyonya menelepon. Maaf saya sudah lancang, mengangkat panggilan masuk di HP Anda tuan, “ “Hem... “ “Kalau begitu ayo kembali tuan, saya takut Bian tidak berhenti menangis nanti. “ “Jangan memerintahku, ingat itu! “ kutunjuk muka Jamilah dengan amarah meluap di ubun-ubun. “I... I... Ya tuan, maaf. “ Seperti biasa Jamilah langsung menundukkan wajahnya ketakutan, tetapi aku tidak pernah merasa kasihan sedikit pun, perasaan benci terlalu mendominasi
Jamilah datang menghampiriku dengan membawa nampan berisi makanan. Aku melirik sekilas, kemudian menutup mata kembali dengan posisi tengkurap di ranjang, itu memang kebiasaanku saat tidur.“Tuan, nyonya berpesan agar Anda harus makan. “Hening...Aku tidak ingin menjawab, jangankan untuk makan memandang makanan yang Jamilah bawa saja membuatku ingin mutah dan meludahi wajahnya.“Ayah...! “ suara bocah itu membuat bingung, antara ingin bangun atau melanjutkan sikap acuhku.“Ayah, ayo mamam, “ ucap Abian lagi, kali ini dia naik ke atas ranjang dan menarik-narik lenganku.“Alan, mama tahu kamu masih marah, tapi jangan menyiksa dirimu seperti ini sayang, “ mama tiba-tiba menyahut, entah sejak kapan mama sudah berada di kamar ini , mungkin mama sengaja mengajak Abian untuk meluluhkan hatiku.“Sayang apa kamu tidak kasihan sama Abian, setidaknya kamu pikirkan perasaan bocah itu! Ma
Hari kedua status sebagai suami telah aku lalui dengan menyenangkan, eh... tunggu, menyenangkan dalam versi seorang Alan.Jangan berpikiran manis dulu kawan, tentu saja pagi ini aku sangat puas karena bisa membuat janda itu kesal bercampur malu atau lebih tepatnya menahan hasrat. Siapa juga yang mampu menolak pesona seorang Alan Prayoga Sanders, pewaris tunggal Perusahaan Sanders Corporation.Sejak sarapan pagi hingga sampai di dalam mobil rasanya mulut ini tidak bisa berhenti tertawa, hingga mama menegurku di meja makan, tapi teguran mama lagi-lagi membuatku diam seketika, saat mama menganggap aku tengah berbahagia mereguk indahnya masa pengantin baru, aku hanya diam dan mengiyakan saja, tidak ingin mama menaruh curiga dengan aksi balas dendamku kepada Jamilah.Heri yang merasa aneh melihat kelakuanku di dalam perjalanan serasa tak kuasa menahan rasa penasarannya. Mulut embernya itu sudah gatal sejak tadi, “ap
Saat sedang membaca chat dari mama suara ponsel bergetar menampilkan panggilan masuk, siapa lagi kalau bukan mama pelakunya.“Alan, kamu itu benar-benar suami durhaka! “ Teriak mama di seberang telepon.“Ma, mama kok begitu ngomongnya, mana ada suami durhaka Ma? “ jawabku kesal.“Mama enggak peduli, yang terpenting cepat bawa menantu mama kembali ke rumah ! ““Tapi Ma, Alan sibuk sekarang ini. “ Jawabku beralasan.“Enggak usah bohong Alan, mama tahu semua jadwalmu hari ini, enggak usah mencari alasan, atau kamu mau mama memberi tahu papa tentang kegiatan yang kamu lakukan barusan? ““Ti---dak Ma, tidak perlu. ““Bagus. Sekarang lakukan tugasmu dengan baik, mama menunggumu di rumah bersama Abian. “Seketika mama menutup panggilan teleponnya sepihak. Sekarang tinggal aku yang merasa kebingungan saat harus mencari Jamilah yang katanya p
“Kamu, kenapa masih pakai baju itu !? “ ucapku geram.“Em, tuan, tadi saya mau mandi di kamar belakang ketahuan Mama, jadi mama marahi saya terus---. ““Ah, sudah-sudah, dasar janda menyebalkan. Sana mandi, badan kaya papan penggilasan saja bangga di pamerkan uh,! ““Apa tuan, maksud Anda apa? “Aku diam terpaku seketika saat Jamilah tiba-tiba mendekat, sungguh badanku sudah gerah rasanya melihat pemandangan di depanku dan bodohnya janda kampung ini tidak menyadari kegelisahanku, uh, rasanya panas sekali.“Tuan, Anda melamun? “Tanpa jawaban aku segera berlalu meninggalkan Jamilah yang masih diam terpaku di depan kamar mandi.“Janda...! sampai kapan kamu di situ? “ seruku pada Jamilah, tanpa melihat ke arahnya aku sudah tahu Jamilah belum masuk ke kamar mandi.Bruk, suara pintu ditutup dengan keras, “dasar janda! “ Aku berteriak meng
Suasana rumah telah sepi, aku kembali memasuki kamar mungil Jamilah. Kulihat wanitaku menggeliat kecil, ia menggerakkan tubuhnya hingga tatapan kami bertemu. Kemudian Jamilah menatap koper yang telah berjejer rapi di lantai. Jamilah membulatkan matanya, “mas, kamu mau pulang? “ aku mengangguk perlahan, raut kesedihan muncul dari wajah ayu istriku itu, muncul ide jail untuk mengerjainya saat ini.Aku berangsur mendekatinya, “kenapa? Apa kamu sedih harus berpisah denganku? “ Jamilah menatapku sejenak kemudian menundukkan kepalanya, aku tahu dia pasti sedang menyembunyikan kesedihannya. Aku meraih dagu lancip itu untuk menatapku pandangan kami bertemu, aku segera mendekatkan bibirku dan membisikkan sesuatu, “sayang, bolehkan aku memintanya sebelum pergi? Sebagai tanda perpisahan? Aku pasti akan sangat merindukanmu nanti? “ pintaku halus, rona merah tengah menghiasi kedua pipi istri polosku itu. Sungguh rasanya sangat menyenangkan menggoda gadis belia ini. Uh, bagaimana aku tidak kecand
Setelah peristiwa kamar mandi usai, kami akhirnya sarapan bersama dengan menu ala pedesaan seperti biasa, tetapi untuk aku, Jamilah telah menyiapkan roti selai kacang kesukaanku, tanpa aku sadari jika Jamilah ternyata sudah sangat mengerti kebiasaan dan kesukaanku selama lima belas hari ini.Pagi ini Jamilah sudah sedikit membaik, walau masih tertatih ia sudah bisa berjalan kembali, rasa hatiku sangat kasihan, tetapi ya bagaimana lagi, jika kami berada di rumah mama, maka tidak akan aku biarkan Jamilah keluar kamar walau hanya sekedar untuk makan saja. Aku akan melayani istri kecilku itu dengan sepenuh hati. Bahkan akan aku buat hari-harinya menjadi indah dan kulayani selayaknya ratu. Jamilah memang sudah menjadi ratu di hatiku sejak ia menyerahkan mahkota paling berharga miliknya untukku.Ibu Fatimah telah pergi bekerja, sementara Jamilah aku perintahkan istirahat di kamar, sementara aku, ah, mungkin kalian tidak akan percaya di mana aku sekarang. Iya, aku sedang mencuci pakaian da
“Mau mandi, atau makan dulu?” aku bertanya sesaat setelah menurunkan tubuhku. Segera kututup tubuh polos Jamilah agar aku tidak tergoda lagi. Kasihan kan wanitaku sampai harus menahan lapar saat melakukan kewajibannya tadi. Mungkin kalau dulu aku tidak akan peduli dengan hal itu. Tetapi sekarang hatiku merasa iba, apakah karena status Jamilah sebagai istriku? Ah, ini terlalu dini bila aku mengatakan jika aku sangat menyayangi Jamilah.Aku menatap tubuh lelah istriku, “kamu kok enggak menjawab, mau mandi atau makan dulu? “ Jamilah menggeleng lemah.“Baiklah sayang, rupanya kamu sudah terlalu lelah, biar aku yang memutuskan semuanya, oke? “ Jamilah hanya bisa menatapku dan membiarkan saat aku menggulung tubuhnya dengan selimut dan menggendongnya lagi keluar kamar.Saat sampai di pintu dapur Jamilah meronta untuk turun, aku semakin mendekapnya erat, “sayang jangan berontak nanti kamu jatuh. “ Karna gemas aku malah melumat bibir ranum Jamilah yang sejak tadi terus menggodaku. Saat aku mel
“Eh, orang ditanya kok malah balik nanya, Muna, enggak usah mengurusi kehidupan pribadi orang lain, apa kamu mau kalo rumah tanggamu di usik? “ Wanita bernama Muna itu menggeleng, “nah, jadi enggak usah kamu repot mengurusi masalah orang lain ya! “ ibu Fatimah gegas menarik tanganku untuk meninggalkan tempat itu. Aku menurut saja, semua orang menatap kepergian kami, mendadak suasana ramai di warung itu menjadi sepi, “wah hebat juga pesona ibu mertua di kampung ini. “ Batinku kagum.“Eh, buk, kita belum membeli gula tadi kan? “ Tiba-tiba saja aku teringat tujuanku untuk membeli gula.“Sudahlah menantu, nanti kita cari di tempat lain saja, “tutur ibu mertua. Saat ini kami sudah sampai di halaman rumah.“Nah, mak mau ke pasar dulu ya, itu makanan sudah matang, kamu makanlah dengan Jamilah! ““Tunggu buk! Sebenarnya aku ingin bertanya sejak tadi, siapa wanita yang di maksud ibu genit tadi? Em, Nurjanah maksudku? “Saat mendengar pertanyaanku tiba-tiba saja wajah wanita paruh baya itu men
“Milah, sayang, apa kamu belum selesai juga? “ Tidak ada jawaban dari dalam, pasalnya sudah setengah jam aku menunggunya di depan pintu kamar mandi. Aku bergerak maju mundur sambil terus mengetuk pintu kamar mandi, “sayang, aku buka pintunya ya, kalau kamu kunci dari dalam, aku akan mendobraknya. “ Saat tidak ada jawaban lagi dari dalam, aku segera membuka pintu kamar mandi itu yang rupanya tidak di kunci, aku menarik nafas lega.“Loh, Milah, kamu kenapa? ““Aku, aku, enggak bisa berjalan mas, rasanya sakit. “ Ucap Jamilah sambil meringis menahan sakit, “tadi pas aku mengeluarkan air kencing rasanya aku mau pingsan mas, perih... hik. “ Jamilah berbicara sambil terisak. Aku menjadi tidak tega di buatnya. Aku mengulurkan tanganku untuk membelai rambut ikalnya yang masih berantakan, “maaf ya, sayang aku membuatmu kesakitan. “ Ucapku dengan nada penyesalan, Jamilah menggeleng dan memegang tanganku, “tidak mas, itu bukan salahmu, kata mak, semua itu adalah salah satu kewajiban aku sebagai
Saat mencapai pintu depan bersamaan dengan ibu mertua yang baru mau masuk ke dalam rumah.“Menantu, kenapa pintunya tidak di tutup? ““Em, iya buk, aku baru saja mau menutupnya, “ aku menjadi salah tingkah saat ibu mertua menatapku dengan tatapan heran. Aku segera memperhatikan arah tatapan ibu mertua, “ya Tuhan, aku lupa tidak mengenakan baju. “ Tanpa babibu, aku segera berlari masuk ke dalam kamar kembali. Mungkin ibu mertua telah tertawa di ruang tamu karena melihat tingkah konyolku barusan. Ah, bagaimana lagi semua sudah terjadi.Sampai di kamar aku urung mencari kemejaku yang entah terserak di mana. Aku duduk di samping Jamilah yang telah terlelap. Aku terus berpikir bagaimana cara kami tidur di atas dipan sempit ini. Hingga aku mendapatkan ide gila yang membuat aku tersenyum bahagia.Aku mengangkat tubuh wanitaku secara perlahan dan merebahkan tubuhku di atas kasur itu. Sementara Jamilah aku letakkan tubuhnya di atas tubuhku hingga gundukan kenyal itu terasa menempel pada dada b
“Tuan, berbaringlah! biar aku mengipasi tubuhmu, “ Jamilah perlahan mendekat ke arahku sambil menampilkan rona merah pada kedua pipinya, “janda ini seperti remaja saja, uh, dasar. “ umpatku dalam hati. Antara gemas dan kesal menjadi satu dalam pikiranku.Perlahan aku baringkan tubuhku, Jamilah mulai melancarkan aksinya, menggerakkan kipas dari bambu ke kanan dan ke kiri, rasanya lumayan segar, walau sebenarnya aku masih kurang puas dengan kipas bambu itu, tapi ya bagaimana lagi. Adanya memang ini di kampung. Berkali-kali aku merutuki kebodohanku kenapa harus sampai di desa ini. Ide mama memang sungguh membuat aku tersiksa.Aku melirik wajah Jamilah sekilas, wanita itu tetap menjaga pandangannya tanpa menatapku, entah mengapa aku jadi merasa kesal.“He, kerja yang benar, jangan membuang muka seperti itu, kamu tahu, itu tidak sopan. “ Jamilah segera mengarahkan pandangannya kepadaku, bersamaan dengan tubuhku yang perlahan duduk dari pembaringan, hingga kedua netra kami bertemu, jarak ya
“Pedas...hu hu hu!“ teriakku sambil sibuk mengipasi mulut yang terasa terbakar, gila, ini benar-benar menyakitkan mulutku seperti mengulum bara api.Jamilah dan ibu Fatimah panik melihat aku yang belingsatan bak cacing kepanasan.Jamilah menyodorkan segelas air hangat, tetapi setelah aku minum belum juga meredakan rasa pedas di mulutku.“Tuan, bagaimana ini, “ Jamilah menatapku dengan perasaan iba, bibirku mungkin sudah melepuh dan merah, aku hanya menatap wanita itu sekilas kemudian gegas keluar rumah. Tiba-tiba saja perasaan malu merayapi relung hatiku, bagaimana bisa seorang perkasa sepertiku kalah dengan yang namanya rasa pedas. Memalukan.Di halaman rumah aku duduk di balai bambu, menatap jalanan yang masih sepi, mungkin di kampung memang seperti ini kondisinya jarang ada kendaraan yang berlalu lalang, aku masih fokus menatap ke depan saat suara ibu Fatimah mengejutkanku, “nak menantu, ini minumlah, untuk pereda rasa pedas tadi, di habiskan ya, biar enggak panas perutnya, bisa-bi
Saat makan malam tiba aku benar-benar tidak percaya, bagaimana bisa Heri dengan teganya telah meninggalkan aku di desa terpencil ini. Aku masih terdiam menatap hidangan di lantai yang beralaskan tikar di ruang tamu sederhana milik Jamilah. Rumah ini memang sangat kecil, hanya ada empat ruangan dua kamar tidur satu dapur dan satu kamar tamu kalau dipikir-pikir rumah ini lebih cocok di katakan rumah kubus karena tempatnya yang segi empat. Semua ruangan berukuran sama. Sungguh rasanya aku ingin segera kembali saja, tetapi sialnya sopirku itu sungguh, membuatku naik pitam saja, aku berjanji akan membuat perhitungan dengannya bila sudah sampai Jakarta nanti.“Nak menantu, ayo di makan, maaf ya di kampung Cuma ada beginian, “ Ibu Jamilah menyodorkan piring ke arahku, Jamilah kemudian gegas mengisikan nasi ke dalam piring yang aku pegang.“Tuan, mau makan apa? “ tanya Jamilah sambil menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan.“Em, aku... . “ Aduh rasanya aku ingin berteriak bahwa makana