Usai melakukan ritual mandi pagi, aku bergegas berangkat ke kantor, saat melewati halaman rumah netraku mencari dua makhluk aneh yang baru saja mengacaukan pagiku.
“Em... ke mana mereka? “
“Ayah...! “ teriak Abian kencang. Kepalaku menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara.
“Ayah, sini...! “teriak Abian lagi. Aku membalikkan badan ke samping dan melihat Abian sedang memetik bunga kesayangan mama, “astaga, Abian...! “ aku berlari kencang kearah Abian yang tengah asyik memetik bunga dan daunnya.
Bocah itu hanya tersenyum melihat aku menghampirinya dengan panik, saat melihat senyum manisnya membuat kemarahanku menghilang seketika, “Abi, kenapa merusak tanaman ini? Tanaman bunga ini kesukaan oma, “ ucapku sambil mengelus kepala Abian lembut, rambut ikal dan halus selalu membuat tangan ini ingin membelainya tanpa henti, aku merasa bodoh jatuh cinta dengan anak kecil, tapi sungguh jika kalian tahu Abian ini sangat menggemaskan, mungkin dia di ciptakan untuk membuatku menjadi orang yang sabar dan tidak arogan lagi suatu hari nanti.
“Ayah, “ panggil Abian lagi.
“Iya, sayang, “jawabku sambil berjongkok menatap kedua mata polosnya.
“Tuan, maaf, “ Jamilah datang tergopoh menghampiri aku dan Abian. Aku menatapnya jengah.
“Itu tuan, tadi saya meninggalkan Abian ke kamar mandi. “ ucapnya lagi, kali ini aku melihat penampilannya yang masih berantakan dengan rambut basah yang belum di sisir, aku tertegun sesaat menatap kulit putih Jamilah terpapar sinar matahari pagi, “oh sungguh wanita ini bagai bidadari dari surga. “ Pujiku dalam hati.
“Ehem... “suara deheman membuyarkan lamunan indahku, “Paman, sejak kapan berada di situ? “ tanyaku gugup, aku menggendong Abian dan berdiri menghampiri paman Sam yang sudah siap dengan pakaian rapinya.
“Baru saja tuan muda, “ jawabnya, membuatku bernafas dengan lega.
“Ayo berangkat paman! “ ajakku kemudian.
“Tapi tuan,” sangkal Jamilah.
“Apa? “ jawabku ketus.
“Itu... “ jawab Jamilah sambil menunjuk ke arah dadaku. Mataku mengikuti arah jari telunjuk Jamilah.
“Ya Tuhan, Abian... “pekikku terkejut, “sejak kapan dasi dan bajuku berantakan seperti ini? “ bukannya takut, Abian malah tertawa kegirangan dalam gendonganku, “dasar nakal! “ aku mencubit hidungnya gemas. “Ayah... ayah, “ ucap Abian sambil mencium pipi kananku.
“Bian, ayo turun sayang, biar Ayah bekerja. “ Tutur Jamilah kemudian.
Abian menggeleng, “endak, endak mau! “
“Bian,“ ucap Jamilah kembali, sambil berusaha memindahkan tubuh Abian dari gendonganku.
“Eh, tidak boleh begitu, Abian kan anak pintar, jadi harus menurut kata mama, oh ya, tadi burung Abian belum dikasih makan loh. “ Bujuk Jamilah lagi. “Oh ya Ma, Burung Bian mana? “celoteh Abian sambil memintaku untuk menurunkannya. Jamilah mengedipkan matanya kearahku, aku yang tidak paham dengan kode yang di berikan Jamilah hanya terpaku menatapnya saja.
“Tuan muda, mari berangkat! “ paman Sam memutar tubuhnya beranjak pergi, “emm, tunggu dulu tuan, “ ucap Jamilah mencegahku. “Itu tuan, biar saya rapikan dasinya, “ Jamilah berjalan mendekat dan mengulurkan tangannya merapikan kemeja yang tadi berantakan oleh ulah Abian, tanpa sengaja kedua mata kami saling bertemu untuk sesaat, tanpa di sadari ada debaran aneh terasa dalam dadaku, Jamilah tampak malu kemudian menundukkan wajahnya menyembunyikan rona merah, membuat Jamilah semakin rupawan dan mempesona.
“Tuan, mari berangkat! “ ucap paman Sam kembali.
“eh... iya, iya, paman, “jawabku gugup seperti maling tertangkap basah. “Ini, sungguh memalukan, jangan sampai paman Sam melihat tingkah anehku dan mengadukan semuanya pada papa.” Gerutuku dalam hati.
Dalam perjalanan ke kantor, aku mungkin sudah seperti orang gila, tersenyum sendiri, mengingat kejadian pagi ini sungguh membuatku merasa senang, “seindah itukah memiliki keluarga? “ sebuah pertanyaan tiba-tiba muncul dalam pikiranku.
“Tuan Muda, “sudah sampai.
Aku tidak menjawabnya, Paman Sam keluar terlebih dahulu kemudian membuka pintu mobil seperti biasa. Semua karyawan sudah mulai bekerja di tempatnya masing-masing saat aku memasuki kantor, semua menegur dan memberi hormat, aku hanya mengangguk sambil meneruskan langkahku menuju ruang kerja.
Saat tengah memeriksa lembar dokumen tiba-tiba saja suara ponselku berbunyi, tertera nomor rumah memanggil.
“halo, ada apa bik? “
[Itu, tuan muda, eh... Nona Jamilah berpamitan pulang, tetapi, Den Abian menangis sedari tadi mencari Anda tuan, ]
Kudengar suara Abian menangis kencang dengan memanggil nama ayah, bocah itu rupanya benar- benar mengira aku ini Farhan Dinata ayahnya. “Bik Surti, tolong berikan telepon ini kepada Abian, “ tuturku kemudian.
[Baik tuan muda, ] sambungan telepon terhenti sejenak, aku mendengar langkah kaki bik Surti menjauh, “halo, Abian, ini ayah, “ ucapku dengan tidak sabar, Abian masih terisak. Membuat hatiku serasa di remas, ngilu, jujur aku sudah tidak kuasa menahan rasa iba kepada putra Farhan ini.
[Ayah, ]
“Ya, “
[Bian, mau itut Ayah, bolehkan? Mama ajak Bian puyang! “ ungkap Abian Mengadu. ]
“Bian boleh kesini biar nanti di jemput sama Om Heri, “ jawabku.
[Hore, ]
Teriakan Abian membuatku tersenyum senang, “baiklah Bian, ayah tutup teleponnya, Bian siap-siap ya! “ lanjutku kemudian.
[Iya, ayah] jawab Abian dari sebrang telepon.
Aku akhirnya menelepon Heri untuk menjemput Abian ke rumah.
Tepat waktu istirahat makan siang Abian sampai di kantor bersama Heri, ada perasaan kecewa saat aku tidak melihat Jamilah mengikuti putranya ke mari, “huh, apa yang kupikirkan.“
“Ayah, “ Abian turun dari gendongan Heri dan menghambur ke pangkuanku, “Abi, “panggilan kesayanganku untuk Abian, walau semua orang terdekatnya memanggil Bian tapi aku lebih suka memanggilnya Abi.
“Abi sudah makan? “ tanyaku sambil memeluk tubuh mungilnya dalam dekapanku, kalau sudah begini rasanya kebahagian tengah menyelimuti hatiku, sebuah kebahagiaan yang tidak pernah aku dapatkan selama ini. “Terima kasih Tuhan telah mengirimkan malaikat kecil ini dalam kehidupanku, walau dengan cara kehilangan terlebih dahulu. “ Aku bermonolog dalam hati.
Abian menggeleng dan tersenyum kearahku, “Bian enggak mau makan Ayah. “
“ Kenapa? “
“Bian dimarahi Mama,? “
“Benarkah? “
“heeh, “
“Pasti Bian nakal? “
“Enggak. “
“Terus, “lanjutku penasaran.
“Mama... ajak Bian, pulang Ayah, Bian enggak mau mama marah, Hik hik hiks. “
“Sudah, sudah, biar nanti Ayah marahin mama, oke! “ Bian menatapku dengan wajah berbinar, bocah itu mengangguk, seketika aku cubit hidungnya dengan gemas, dia pun tertawa dengan riang, “Bian seandainya kamu tahu siapa aku, apa kamu akan membenci diri ini suatu saat nanti, “ aku memejamkan mata membayangkan sesuatu yang takut untuk menghadapinya.
Tok tok tok
“Iya, masuk, “ jawabku tanpa melihat kearah pintu.
“Tuan, ini pesanan Anda. “ Rupanya Heri mengantarkan pesanan makan siang untuk kami berdua, “Hem... “ jawabku acuh, fokusku tetap dengan bocah menggemaskan di hadapanku ini.
“Tuan, saya permisi keluar? “
“Ya, “ jawabku sambil menatap Heri sekilas, Heri berlalu meninggalkan ruanganku, seulas senyum terbit dari bibirnya, aku bisa menangkap itu, ekspresi Heri mungkin merasa lucu melihatku yang biasa dingin dengan orang lain bisa berubah hangat dengan anak sekecil Abian, “ah, peduli amat dengan pikiran Heri. “
“Abi, ayo makan, buka mulutnya, aaa... “ aku spontan membuka mulutku sendiri yang diikuti Abian, selain menggemaskan anak ini juga penurut, sungguh manis sekali.
“Ayah, makan juga ! “ Ucapnya sambil menyuapiku ayam goreng dengan tangan mungilnya. Membuatku langsung membuka mulut.
“Emm... nyam... nyam, “ kukunyah ayam goreng itu dengan suara yang aku buat-buat, sehingga Bian tertawa lebar menatapku, dalam hati aku bersyukur, “Bian, aku akan membuatmu berbahagia, seakan kamu tidak pernah kehilangan orang tua kandungmu. “janjiku dalam hati.
Seporsi makan siang telah kami habiskan berdua, Bian juga merasa kekenyangan sambil menepuk perutnya. Waktu istirahat sudah selesai, aku teringat siang ini usai istirahat aku harus melakukan pertemuan di luar dengan klien baruku.
Paman Sam datang menghampiri ruanganku, “tuan, apa Anda sudah siap, pertemuan akan berlangsung pukul tiga, “ucap paman sambil melongok melihat Abian di sampingku.
“Iya, paman, aku baru saja selesai makan. “ jawabku, sambil membersihkan sisa makanan yang menempel di sudut bibir Abian dengan tisu.
“Dan... bagaimana dengan den Abian tuan? “
“Hem, itu yang sedang aku pikirkan paman! “ ungkapku kemudian.
“Begini saja tuan, biar nanti Nyonya Jamilah menjemput den Abian di hotel tempat pertemuan kita, “ tutur paman Sam yang langsung aku angguki.
“Aku rasa itu ide baik paman, “
“Ayo Bian, anak ayah, lets go! “ Bian mengulurkan tangannya, kugendong tubuh mungil itu dalam dekapanku.
Keluar dari ruangan semua karyawan menatapku dengan penuh tanya, ekspresi mereka berbeda- beda, ada yang menyapa dengan senyum ada pula yang melongo dengan tatapan aneh. Aku berjalan dengan santai tanpa memedulikan mereka sedikit pun.
Tepat pukul tiga kami sampai di hotel tempat pertemuan di adakan. Jamilah sudah sampai terlebih dahulu di halaman parkir, untuk menjemput Abian.
“Kamu, tunggu di sini dulu, sama mama, “ tunjukku pada Abian, setelah kami turun dari mobil.
Abian menggeleng,” ikut Ayah. “ Rengeknya dengan memasang wajah memelas.
“Bian, sama mama! “ ucap Jamilah sambil menyodorkan kedua tangannya, Abian menggeleng dan bersembunyi dalam pelukanku.
“Baiklah... tidak ada cara lain, biar kamu ikut ke dalam menunggu di sana hingga meeting usai, “ Jamilah mengangguk pasrah.
“Mari, tuan, saya khawatir mereka semua sudah menunggu. “
“Baiklah paman. “
Kami berempat masuk ke dalam hotel, di sana sudah tampak klienku telah menunggu. Di sebuah ruangan VIP kami mengadakan pertemuan dengan lancar, Abian juga tidak rewel sedikit pun. Bocah itu tetap setia dalam pangkuanku, hingga terlelap, Jamilah tetap duduk di sampingku sambil sesekali melirik Abian dalam pangkuanku.
“Baiklah, mister, sesuai kesepakatan proyek kali ini akan di laksanakan bulan depan. “
“Saya setuju Tuan Alan, senang bekerja dengan pengusaha muda yang cinta keluarga seperti Anda. Saya sangat kagum melihat kedekatan Anda, dengan putra Anda, sungguh membuat saya iri. “ Ucapan Mister Jhon membuatku tersentak kaget, “ eh, anak, keluarga. “ Aku baru saja tersadar saat melirik di sampingku ada Jamilah yang rupanya menundukkan wajahnya dengan pipi merona semerah udang rebus.
“Iya, terima kasih Mister, kesepakatan kita sudah Deal, “ kami berdua berjabat tangan kemudian bergantian menandatangani surat perjanjian kerja.
Mister Jhon akhirnya pamit undur diri, tinggal kami berempat di ruangan ini.
“Jamilah, kau pulanglah terlebih dahulu dengan Heri, biar aku disini sebentar lagi. “
“Baik tuan, “jawabnya singkat.
Jamilah mengambil Abian dalam gendonganku dan berlalu keluar meninggalkan aku dan paman Sam.
“Paman, untuk merayakan hari ini tolong pesankan saya minuman. Untuk kali ini paman tidak boleh melarangku, anggap saja ini kompensasi karena saya sudah memenangkan proyek besar paman, “ ungkapku bangga. Tanpa aku sangka paman mengangguk setuju.
“Wah... Terima kasih paman, “ucapku penuh kegembiraan, rasanya aku sangat merindukan bau alkohol yang dulu selalu menemani setiap hariku.
“Baiklah tuan, apa tidak sebaiknya tuan menikmati minuman di kamar hotel yang nyaman, saya akan memesankan semuanya. “
“Wow, bolehkah paman? “ tanyaku tidak percaya, ini terasa aneh bagiku, tapi aku sangat menyukai saat Paman Sam berubah aneh seperti ini.
“Tentu saja tuan, anggap ini sebagai hadiah dari Tuan Prayoga dan nyonya. “ Jawab paman Sam sambil mengeluarkan ponselnya, menghubungi bagian hotel untuk memesan sebuah kamar.
“Nikmatilah tuan malam ini, mungkin hal ini tidak akan Anda dapatkan lagi, “ kalimat paman Sam di ucapkannya sambil tersenyum tipis, untuk pertama kalinya aku melihat paman Sam bisa berekspresi hangat seperti itu, menurutku malam ini paman Sam sangat berbeda.
“Baiklah paman, Terima kasih. “ ucapku sambil berlalu menuju kamar yang telah paman Sam pesankan.
Malam ini aku merasa sangat senang, rasanya bagai menemukan kebahagiaanku kembali, masa-masa kesenangan yang sudah sebulan ini tidak aku nikmati, senyumku sudah tidak dapat aku simpan lagi, berjalan dengan bersuka ria. Menuju kebahagian surga dunia tentunya.
Tidak lupa aku menelepon Heri untuk mencari satu wanita malam untuk menghangatkan ranjang, rasanya jagoan kecilku sudah lama tidak diadu, jangan sampai pejantan tangguh berubah jadi ayam sayur, membuat bulu kuduk berdiri, seandainya itu terjadi tamatlah masa depan keluarga Prayoga Sanders. Dan malam ini aku pastikan si jagoan akan mengeluarkan atraksi terbaiknya di medan pertempuran, atraksi laga yang sudah lumayan lama tidak kulakukan karena terlalu fokus bekerja. Semoga pejantan tangguhku masih bisa bertempur maksimal. Rasanya sudah tidak sabar lagi. Seringai licik tercetak jelas dari bibir sensualku.
“Jaguar, ayo beraksi ! “ langkah ini penuh semangat bak pahlawan perjuangan 45.
“Sakit sekali kepalaku, “ membuka mata, mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan, sesosok wanita tengah tidur memunggungiku, “eh, ini sungguh aneh, aku bahkan tidak merasakan apa pun selain tertidur pulas, atau aku yang terlalu mabuk? “ pertanyaan itu berkecamuk dalam hati, sekilas menatap tubuhku yang tanpa sehelai benang membuat pemikiran yang baru saja terbersit di otak tiba-tiba sirna.Saat akan turun dari ranjang, terlihat pintu di buka paksa oleh seseorang, “siapa mereka? “ terdengar suara keributan di balik pintu kamar hotel.“Alan...! “teriak seorang wanita paruh baya di depan pintu yang sukses membuatku terpaku di tempat.“Ma... “ suara ini tercekat di tenggorokan, buru- buru menutupi tubuh polosku dengan selimut.“Alan...! mama enggak menyangka kamu bisa berbuat seperti itu, hu hu hu,““Sabar Ma, “ ucap papa sambil mengelus bahu mama den
“Tuan, tuan Alan, tuan...! “ seseorang mengguncang lenganku dan berteriak. Mata ini sulit di buka, rasanya baru beberapa menit aku tertidur pulas. Saat membuka mata, Jamilah sudah berada di sampingku dengan pakaian yang sama. “Dasar wanita bodoh! kenapa harus berteriak, aku tidak tuli, “ “Itu tuan, “ jawab Jamilah tergagap. “Apa? Cepat katakan! “ “Bian, menangis mencari kita berdua, “ jawab Jamilah sambil menunduk menatap ponsel dalam genggamannya. “Tadi tuan dan nyonya menelepon. Maaf saya sudah lancang, mengangkat panggilan masuk di HP Anda tuan, “ “Hem... “ “Kalau begitu ayo kembali tuan, saya takut Bian tidak berhenti menangis nanti. “ “Jangan memerintahku, ingat itu! “ kutunjuk muka Jamilah dengan amarah meluap di ubun-ubun. “I... I... Ya tuan, maaf. “ Seperti biasa Jamilah langsung menundukkan wajahnya ketakutan, tetapi aku tidak pernah merasa kasihan sedikit pun, perasaan benci terlalu mendominasi
Jamilah datang menghampiriku dengan membawa nampan berisi makanan. Aku melirik sekilas, kemudian menutup mata kembali dengan posisi tengkurap di ranjang, itu memang kebiasaanku saat tidur.“Tuan, nyonya berpesan agar Anda harus makan. “Hening...Aku tidak ingin menjawab, jangankan untuk makan memandang makanan yang Jamilah bawa saja membuatku ingin mutah dan meludahi wajahnya.“Ayah...! “ suara bocah itu membuat bingung, antara ingin bangun atau melanjutkan sikap acuhku.“Ayah, ayo mamam, “ ucap Abian lagi, kali ini dia naik ke atas ranjang dan menarik-narik lenganku.“Alan, mama tahu kamu masih marah, tapi jangan menyiksa dirimu seperti ini sayang, “ mama tiba-tiba menyahut, entah sejak kapan mama sudah berada di kamar ini , mungkin mama sengaja mengajak Abian untuk meluluhkan hatiku.“Sayang apa kamu tidak kasihan sama Abian, setidaknya kamu pikirkan perasaan bocah itu! Ma
Hari kedua status sebagai suami telah aku lalui dengan menyenangkan, eh... tunggu, menyenangkan dalam versi seorang Alan.Jangan berpikiran manis dulu kawan, tentu saja pagi ini aku sangat puas karena bisa membuat janda itu kesal bercampur malu atau lebih tepatnya menahan hasrat. Siapa juga yang mampu menolak pesona seorang Alan Prayoga Sanders, pewaris tunggal Perusahaan Sanders Corporation.Sejak sarapan pagi hingga sampai di dalam mobil rasanya mulut ini tidak bisa berhenti tertawa, hingga mama menegurku di meja makan, tapi teguran mama lagi-lagi membuatku diam seketika, saat mama menganggap aku tengah berbahagia mereguk indahnya masa pengantin baru, aku hanya diam dan mengiyakan saja, tidak ingin mama menaruh curiga dengan aksi balas dendamku kepada Jamilah.Heri yang merasa aneh melihat kelakuanku di dalam perjalanan serasa tak kuasa menahan rasa penasarannya. Mulut embernya itu sudah gatal sejak tadi, “ap
Saat sedang membaca chat dari mama suara ponsel bergetar menampilkan panggilan masuk, siapa lagi kalau bukan mama pelakunya.“Alan, kamu itu benar-benar suami durhaka! “ Teriak mama di seberang telepon.“Ma, mama kok begitu ngomongnya, mana ada suami durhaka Ma? “ jawabku kesal.“Mama enggak peduli, yang terpenting cepat bawa menantu mama kembali ke rumah ! ““Tapi Ma, Alan sibuk sekarang ini. “ Jawabku beralasan.“Enggak usah bohong Alan, mama tahu semua jadwalmu hari ini, enggak usah mencari alasan, atau kamu mau mama memberi tahu papa tentang kegiatan yang kamu lakukan barusan? ““Ti---dak Ma, tidak perlu. ““Bagus. Sekarang lakukan tugasmu dengan baik, mama menunggumu di rumah bersama Abian. “Seketika mama menutup panggilan teleponnya sepihak. Sekarang tinggal aku yang merasa kebingungan saat harus mencari Jamilah yang katanya p
“Kamu, kenapa masih pakai baju itu !? “ ucapku geram.“Em, tuan, tadi saya mau mandi di kamar belakang ketahuan Mama, jadi mama marahi saya terus---. ““Ah, sudah-sudah, dasar janda menyebalkan. Sana mandi, badan kaya papan penggilasan saja bangga di pamerkan uh,! ““Apa tuan, maksud Anda apa? “Aku diam terpaku seketika saat Jamilah tiba-tiba mendekat, sungguh badanku sudah gerah rasanya melihat pemandangan di depanku dan bodohnya janda kampung ini tidak menyadari kegelisahanku, uh, rasanya panas sekali.“Tuan, Anda melamun? “Tanpa jawaban aku segera berlalu meninggalkan Jamilah yang masih diam terpaku di depan kamar mandi.“Janda...! sampai kapan kamu di situ? “ seruku pada Jamilah, tanpa melihat ke arahnya aku sudah tahu Jamilah belum masuk ke kamar mandi.Bruk, suara pintu ditutup dengan keras, “dasar janda! “ Aku berteriak meng
Sampai dikamar tidur, aku dan Abian tidak mendapati hal yang aneh, semua tampak rapi seperti tidak terjadi apa pun hingga mama ke luar dari kamar mandi dengan muka panik.“Alan, itu...! “ Mama berucap sambil menunjuk kamar mandi.“Ada apa Ma? “Tanyaku sambil menurunkan Abian ke atas ranjang tidur.“Jamilah Lan, tolonglah dia! “ Kepanikan mama semakin menjadi. Aku hanya diam dengan ekspresi bingung.Seketika mama menarik lenganku menuju ruangan kecil yang terletak tepat disisi kamar tidur. Hingga sampai di sana sebuah pemandangan erotis tampak di sebuah kamar mandiku, “Ma, apa-apaan ini Ma? “sanggahku sambil berbalik membelakangi pemandangan syur yang terpampang nyata tanpa sensor itu.“Eh, Alan kamu itu bagaimana sih, istri sedang pingsan begitu kok main kabur? “Ucap mama sambil menarik tubuhku menghadap kembali ke arah Jamilah.“Tapi Ma. ““Enggak ada
Jamilah dan aku tanpa sengaja mengucapkan kata yang sama, tentu saja kami sangat terkejut oleh perkataan Abian, “tidur seranjang bertiga. Uh, yang benar saja. “ Hati ini mendadak resah, gundah gulana.“He...! kalian ini kenapa? Seperti di ajak berperang melawan musuh saja, wajar kan kalau Bian ingin tidur bersama mama dan papanya? ““Tapi, Ma? “ ucap Jamilah dengan raut muka yang mendadak pucat, tangannya terlihat gemetar sambil terus memegangi selimut yang masih menempel di tubuhnya.“Mama! Bian mau tidur di sini sama kalian! “ tegas Abian dengan muka lucunya.“Papa, bolehkan Bian tidur di kamar ini? ““Eh, Em, tentu saja sayang. “Dengan raut muka penuh kebahagiaan Abian berlari menghambur dalam pelukanku. Tangan ini pun tanpa menunggu lama akhirnya mengangkat tubuh mungil itu dalam dekapan. Sungguh kebahagiaan tersendiri bagiku bisa melihat Abian bisa tersenyum dan te
Suasana rumah telah sepi, aku kembali memasuki kamar mungil Jamilah. Kulihat wanitaku menggeliat kecil, ia menggerakkan tubuhnya hingga tatapan kami bertemu. Kemudian Jamilah menatap koper yang telah berjejer rapi di lantai. Jamilah membulatkan matanya, “mas, kamu mau pulang? “ aku mengangguk perlahan, raut kesedihan muncul dari wajah ayu istriku itu, muncul ide jail untuk mengerjainya saat ini.Aku berangsur mendekatinya, “kenapa? Apa kamu sedih harus berpisah denganku? “ Jamilah menatapku sejenak kemudian menundukkan kepalanya, aku tahu dia pasti sedang menyembunyikan kesedihannya. Aku meraih dagu lancip itu untuk menatapku pandangan kami bertemu, aku segera mendekatkan bibirku dan membisikkan sesuatu, “sayang, bolehkan aku memintanya sebelum pergi? Sebagai tanda perpisahan? Aku pasti akan sangat merindukanmu nanti? “ pintaku halus, rona merah tengah menghiasi kedua pipi istri polosku itu. Sungguh rasanya sangat menyenangkan menggoda gadis belia ini. Uh, bagaimana aku tidak kecand
Setelah peristiwa kamar mandi usai, kami akhirnya sarapan bersama dengan menu ala pedesaan seperti biasa, tetapi untuk aku, Jamilah telah menyiapkan roti selai kacang kesukaanku, tanpa aku sadari jika Jamilah ternyata sudah sangat mengerti kebiasaan dan kesukaanku selama lima belas hari ini.Pagi ini Jamilah sudah sedikit membaik, walau masih tertatih ia sudah bisa berjalan kembali, rasa hatiku sangat kasihan, tetapi ya bagaimana lagi, jika kami berada di rumah mama, maka tidak akan aku biarkan Jamilah keluar kamar walau hanya sekedar untuk makan saja. Aku akan melayani istri kecilku itu dengan sepenuh hati. Bahkan akan aku buat hari-harinya menjadi indah dan kulayani selayaknya ratu. Jamilah memang sudah menjadi ratu di hatiku sejak ia menyerahkan mahkota paling berharga miliknya untukku.Ibu Fatimah telah pergi bekerja, sementara Jamilah aku perintahkan istirahat di kamar, sementara aku, ah, mungkin kalian tidak akan percaya di mana aku sekarang. Iya, aku sedang mencuci pakaian da
“Mau mandi, atau makan dulu?” aku bertanya sesaat setelah menurunkan tubuhku. Segera kututup tubuh polos Jamilah agar aku tidak tergoda lagi. Kasihan kan wanitaku sampai harus menahan lapar saat melakukan kewajibannya tadi. Mungkin kalau dulu aku tidak akan peduli dengan hal itu. Tetapi sekarang hatiku merasa iba, apakah karena status Jamilah sebagai istriku? Ah, ini terlalu dini bila aku mengatakan jika aku sangat menyayangi Jamilah.Aku menatap tubuh lelah istriku, “kamu kok enggak menjawab, mau mandi atau makan dulu? “ Jamilah menggeleng lemah.“Baiklah sayang, rupanya kamu sudah terlalu lelah, biar aku yang memutuskan semuanya, oke? “ Jamilah hanya bisa menatapku dan membiarkan saat aku menggulung tubuhnya dengan selimut dan menggendongnya lagi keluar kamar.Saat sampai di pintu dapur Jamilah meronta untuk turun, aku semakin mendekapnya erat, “sayang jangan berontak nanti kamu jatuh. “ Karna gemas aku malah melumat bibir ranum Jamilah yang sejak tadi terus menggodaku. Saat aku mel
“Eh, orang ditanya kok malah balik nanya, Muna, enggak usah mengurusi kehidupan pribadi orang lain, apa kamu mau kalo rumah tanggamu di usik? “ Wanita bernama Muna itu menggeleng, “nah, jadi enggak usah kamu repot mengurusi masalah orang lain ya! “ ibu Fatimah gegas menarik tanganku untuk meninggalkan tempat itu. Aku menurut saja, semua orang menatap kepergian kami, mendadak suasana ramai di warung itu menjadi sepi, “wah hebat juga pesona ibu mertua di kampung ini. “ Batinku kagum.“Eh, buk, kita belum membeli gula tadi kan? “ Tiba-tiba saja aku teringat tujuanku untuk membeli gula.“Sudahlah menantu, nanti kita cari di tempat lain saja, “tutur ibu mertua. Saat ini kami sudah sampai di halaman rumah.“Nah, mak mau ke pasar dulu ya, itu makanan sudah matang, kamu makanlah dengan Jamilah! ““Tunggu buk! Sebenarnya aku ingin bertanya sejak tadi, siapa wanita yang di maksud ibu genit tadi? Em, Nurjanah maksudku? “Saat mendengar pertanyaanku tiba-tiba saja wajah wanita paruh baya itu men
“Milah, sayang, apa kamu belum selesai juga? “ Tidak ada jawaban dari dalam, pasalnya sudah setengah jam aku menunggunya di depan pintu kamar mandi. Aku bergerak maju mundur sambil terus mengetuk pintu kamar mandi, “sayang, aku buka pintunya ya, kalau kamu kunci dari dalam, aku akan mendobraknya. “ Saat tidak ada jawaban lagi dari dalam, aku segera membuka pintu kamar mandi itu yang rupanya tidak di kunci, aku menarik nafas lega.“Loh, Milah, kamu kenapa? ““Aku, aku, enggak bisa berjalan mas, rasanya sakit. “ Ucap Jamilah sambil meringis menahan sakit, “tadi pas aku mengeluarkan air kencing rasanya aku mau pingsan mas, perih... hik. “ Jamilah berbicara sambil terisak. Aku menjadi tidak tega di buatnya. Aku mengulurkan tanganku untuk membelai rambut ikalnya yang masih berantakan, “maaf ya, sayang aku membuatmu kesakitan. “ Ucapku dengan nada penyesalan, Jamilah menggeleng dan memegang tanganku, “tidak mas, itu bukan salahmu, kata mak, semua itu adalah salah satu kewajiban aku sebagai
Saat mencapai pintu depan bersamaan dengan ibu mertua yang baru mau masuk ke dalam rumah.“Menantu, kenapa pintunya tidak di tutup? ““Em, iya buk, aku baru saja mau menutupnya, “ aku menjadi salah tingkah saat ibu mertua menatapku dengan tatapan heran. Aku segera memperhatikan arah tatapan ibu mertua, “ya Tuhan, aku lupa tidak mengenakan baju. “ Tanpa babibu, aku segera berlari masuk ke dalam kamar kembali. Mungkin ibu mertua telah tertawa di ruang tamu karena melihat tingkah konyolku barusan. Ah, bagaimana lagi semua sudah terjadi.Sampai di kamar aku urung mencari kemejaku yang entah terserak di mana. Aku duduk di samping Jamilah yang telah terlelap. Aku terus berpikir bagaimana cara kami tidur di atas dipan sempit ini. Hingga aku mendapatkan ide gila yang membuat aku tersenyum bahagia.Aku mengangkat tubuh wanitaku secara perlahan dan merebahkan tubuhku di atas kasur itu. Sementara Jamilah aku letakkan tubuhnya di atas tubuhku hingga gundukan kenyal itu terasa menempel pada dada b
“Tuan, berbaringlah! biar aku mengipasi tubuhmu, “ Jamilah perlahan mendekat ke arahku sambil menampilkan rona merah pada kedua pipinya, “janda ini seperti remaja saja, uh, dasar. “ umpatku dalam hati. Antara gemas dan kesal menjadi satu dalam pikiranku.Perlahan aku baringkan tubuhku, Jamilah mulai melancarkan aksinya, menggerakkan kipas dari bambu ke kanan dan ke kiri, rasanya lumayan segar, walau sebenarnya aku masih kurang puas dengan kipas bambu itu, tapi ya bagaimana lagi. Adanya memang ini di kampung. Berkali-kali aku merutuki kebodohanku kenapa harus sampai di desa ini. Ide mama memang sungguh membuat aku tersiksa.Aku melirik wajah Jamilah sekilas, wanita itu tetap menjaga pandangannya tanpa menatapku, entah mengapa aku jadi merasa kesal.“He, kerja yang benar, jangan membuang muka seperti itu, kamu tahu, itu tidak sopan. “ Jamilah segera mengarahkan pandangannya kepadaku, bersamaan dengan tubuhku yang perlahan duduk dari pembaringan, hingga kedua netra kami bertemu, jarak ya
“Pedas...hu hu hu!“ teriakku sambil sibuk mengipasi mulut yang terasa terbakar, gila, ini benar-benar menyakitkan mulutku seperti mengulum bara api.Jamilah dan ibu Fatimah panik melihat aku yang belingsatan bak cacing kepanasan.Jamilah menyodorkan segelas air hangat, tetapi setelah aku minum belum juga meredakan rasa pedas di mulutku.“Tuan, bagaimana ini, “ Jamilah menatapku dengan perasaan iba, bibirku mungkin sudah melepuh dan merah, aku hanya menatap wanita itu sekilas kemudian gegas keluar rumah. Tiba-tiba saja perasaan malu merayapi relung hatiku, bagaimana bisa seorang perkasa sepertiku kalah dengan yang namanya rasa pedas. Memalukan.Di halaman rumah aku duduk di balai bambu, menatap jalanan yang masih sepi, mungkin di kampung memang seperti ini kondisinya jarang ada kendaraan yang berlalu lalang, aku masih fokus menatap ke depan saat suara ibu Fatimah mengejutkanku, “nak menantu, ini minumlah, untuk pereda rasa pedas tadi, di habiskan ya, biar enggak panas perutnya, bisa-bi
Saat makan malam tiba aku benar-benar tidak percaya, bagaimana bisa Heri dengan teganya telah meninggalkan aku di desa terpencil ini. Aku masih terdiam menatap hidangan di lantai yang beralaskan tikar di ruang tamu sederhana milik Jamilah. Rumah ini memang sangat kecil, hanya ada empat ruangan dua kamar tidur satu dapur dan satu kamar tamu kalau dipikir-pikir rumah ini lebih cocok di katakan rumah kubus karena tempatnya yang segi empat. Semua ruangan berukuran sama. Sungguh rasanya aku ingin segera kembali saja, tetapi sialnya sopirku itu sungguh, membuatku naik pitam saja, aku berjanji akan membuat perhitungan dengannya bila sudah sampai Jakarta nanti.“Nak menantu, ayo di makan, maaf ya di kampung Cuma ada beginian, “ Ibu Jamilah menyodorkan piring ke arahku, Jamilah kemudian gegas mengisikan nasi ke dalam piring yang aku pegang.“Tuan, mau makan apa? “ tanya Jamilah sambil menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan.“Em, aku... . “ Aduh rasanya aku ingin berteriak bahwa makana