Saat sedang membaca chat dari mama suara ponsel bergetar menampilkan panggilan masuk, siapa lagi kalau bukan mama pelakunya.
“Alan, kamu itu benar-benar suami durhaka! “ Teriak mama di seberang telepon.
“Ma, mama kok begitu ngomongnya, mana ada suami durhaka Ma? “ jawabku kesal.
“Mama enggak peduli, yang terpenting cepat bawa menantu mama kembali ke rumah ! “
“Tapi Ma, Alan sibuk sekarang ini. “ Jawabku beralasan.
“Enggak usah bohong Alan, mama tahu semua jadwalmu hari ini, enggak usah mencari alasan, atau kamu mau mama memberi tahu papa tentang kegiatan yang kamu lakukan barusan? “
“Ti---dak Ma, tidak perlu. “
“Bagus. Sekarang lakukan tugasmu dengan baik, mama menunggumu di rumah bersama Abian. “
Seketika mama menutup panggilan teleponnya sepihak. Sekarang tinggal aku yang merasa kebingungan saat harus mencari Jamilah yang katanya p
“Kamu, kenapa masih pakai baju itu !? “ ucapku geram.“Em, tuan, tadi saya mau mandi di kamar belakang ketahuan Mama, jadi mama marahi saya terus---. ““Ah, sudah-sudah, dasar janda menyebalkan. Sana mandi, badan kaya papan penggilasan saja bangga di pamerkan uh,! ““Apa tuan, maksud Anda apa? “Aku diam terpaku seketika saat Jamilah tiba-tiba mendekat, sungguh badanku sudah gerah rasanya melihat pemandangan di depanku dan bodohnya janda kampung ini tidak menyadari kegelisahanku, uh, rasanya panas sekali.“Tuan, Anda melamun? “Tanpa jawaban aku segera berlalu meninggalkan Jamilah yang masih diam terpaku di depan kamar mandi.“Janda...! sampai kapan kamu di situ? “ seruku pada Jamilah, tanpa melihat ke arahnya aku sudah tahu Jamilah belum masuk ke kamar mandi.Bruk, suara pintu ditutup dengan keras, “dasar janda! “ Aku berteriak meng
Sampai dikamar tidur, aku dan Abian tidak mendapati hal yang aneh, semua tampak rapi seperti tidak terjadi apa pun hingga mama ke luar dari kamar mandi dengan muka panik.“Alan, itu...! “ Mama berucap sambil menunjuk kamar mandi.“Ada apa Ma? “Tanyaku sambil menurunkan Abian ke atas ranjang tidur.“Jamilah Lan, tolonglah dia! “ Kepanikan mama semakin menjadi. Aku hanya diam dengan ekspresi bingung.Seketika mama menarik lenganku menuju ruangan kecil yang terletak tepat disisi kamar tidur. Hingga sampai di sana sebuah pemandangan erotis tampak di sebuah kamar mandiku, “Ma, apa-apaan ini Ma? “sanggahku sambil berbalik membelakangi pemandangan syur yang terpampang nyata tanpa sensor itu.“Eh, Alan kamu itu bagaimana sih, istri sedang pingsan begitu kok main kabur? “Ucap mama sambil menarik tubuhku menghadap kembali ke arah Jamilah.“Tapi Ma. ““Enggak ada
Jamilah dan aku tanpa sengaja mengucapkan kata yang sama, tentu saja kami sangat terkejut oleh perkataan Abian, “tidur seranjang bertiga. Uh, yang benar saja. “ Hati ini mendadak resah, gundah gulana.“He...! kalian ini kenapa? Seperti di ajak berperang melawan musuh saja, wajar kan kalau Bian ingin tidur bersama mama dan papanya? ““Tapi, Ma? “ ucap Jamilah dengan raut muka yang mendadak pucat, tangannya terlihat gemetar sambil terus memegangi selimut yang masih menempel di tubuhnya.“Mama! Bian mau tidur di sini sama kalian! “ tegas Abian dengan muka lucunya.“Papa, bolehkan Bian tidur di kamar ini? ““Eh, Em, tentu saja sayang. “Dengan raut muka penuh kebahagiaan Abian berlari menghambur dalam pelukanku. Tangan ini pun tanpa menunggu lama akhirnya mengangkat tubuh mungil itu dalam dekapan. Sungguh kebahagiaan tersendiri bagiku bisa melihat Abian bisa tersenyum dan te
Pagi ini Kak Farhan memberitahuku, dia akan membawa Bian bertemu sahabat lamanya. Rona kebahagian sangat jelas terpancar pada wajahnya. Semenjak pernikahan kami tiga tahun lalu baru kali ini aku melihat Kak Farhan terlihat sangat bahagia. Mungkin sahabat Kak Farhan memang seseorang yang sangat istimewa baginya. Setelah mendandani Abian dengan rapi aku bergegas keluar kamar untuk memberitahu Kak Farhan bahwa putranya telah siap berangkat. Kak Farhan tampak duduk di teras rumah dengan penampilan yang sudah rapi. Suamiku itu sungguh terlihat tampan pagi ini. Dalam lamunanku terbesit sebuah keinginan yang konyol, “ah, seandainya pernikahan ini nyata. “ Seulas senyum tak dapat aku sembunyikan lagi hingga suara Kak Farhan mengejutkanku. “Dek, kakak pamit ya? Jaga diri baik-baik. Jangan lupa untuk mengunci pintu rumah kalau saja Kak Farhan pulang terlambat. “ “Em, iya, Kak. “ Ucapku malu sambil menyembunyikan rona merah di wajahku, takut-takut jikalau Kak Fa
“Hay, siapa pun kamu yang menghubungi nomor ini, saat ini Farhan sedang berada di rumah sakit. “ Ucap seorang lelaki yang tampak kesal karena aku diam saja tanpa bersuara.“I---ya, tuan, apa yang terjadi dengan suami saya? “ Ucapku sambil menahan air mata yang sudah mulai jatuh dari kedua mataku.Hening, tidak ada jawaban.“Tuan, tolong kirim alamat rumah sakit itu sekarang! “Seketika sambungan telepon terputus, rupanya lelaki itu memutuskan telepon kami secara sepihak.Beberapa menit kemudian tampak notifikasi di layar HP. Aku buru-buru membaca pesan yang telah dikirimkan lelaki asing yang aku kira dia adalah temannya Kak Farhan.Sampai di jalan raya aku menyetop taksi yang terlihat sedang bergerak ke arahku. Sudah tidak terpikir lagi soal biaya taksi yang mahal yang terpenting saat ini aku harus segera sampai ke rumah sakit itu dengan cepat.Dalam perjalanan aku terus berdoa semoga Kak Farh
Lelaki asing itu bernama Alan Prayoga Sanders, aku mengetahui namanya dari seorang pria tua yang telah mengurus segala keperluan rumah sakit kak Farhan. Dari mulai administrasi hingga kepulangan jenazah. Beruntunglah semua berjalan dengan lancar. Bahkan aku sama sekali tidak perlu repot memikirkan biaya yang harus dibayar ke pihak rumah sakit. Semua di tanggung oleh pria yang mungkin dia itu sahabatnya kak Farhan yang tadi sempat di temuinya sebelum meninggal.Berbicara tentang tuan Alan, kesan pertama saat aku melihat lelaki dewasa itu membuat jantung ini tiba- tiba berdetak cepat, entahlah aku juga tidak tahu ada apa dengan perasaan ini. Tuan Alan sangat tampan dan gagah bahkan. Tidak dapat aku pungkiri bahwa jika diri ini telah terpesona dengan kesempurnaan yang ia miliki. Untuk pertama kalinya aku merasakan getar-getar dalam jiwaku. Sebuah rasa yang belum pernah aku alami sebelumnya. Tuan Alan bagai pangeran impian yang pernah aku lihat dalam film animasi dunia dongeng. Sebagai se
Sampailah kami di sebuah rumah besar dan mewah, kesan pertama yang aku rasakan tempat ini sangat asri, karena halamannya yang sangat luas, juga di tanami berbagai macam pohon seperti pohon mangga dan tanaman perdu juga berbagai tanaman hias lainnya. Dari sini sudah bisa aku simpulkan jika pemilik rumah ini sangat mencintai alam dan kesejukan. Nyatanya rumah semegah ini masih menggunakan berbagai pohon buah-buahan untuk memberikan kesan rindang dan nyaman di depan pelataran yang luas.Suasana rumah itu sudah sepi hanya ada satu penjaga yang masih setia di depan pintu gerbang.Saat tengah asyik melihat sekitar halaman rumah yang tampak asri. Aku dikejutkan oleh panggilan Paman Sam yang tengah menelepon seseorang untuk membuka pintu.Hingga menit berikutnya seorang pria tampan dengan celana jeans pendek dan kaos oblong berwarna putih berdiri dengan pose yang mempesona di depan pintu.“Ya, Tuhan, gantenge... . “ Ucapku dengan bahasa daerah tempat asalku. Beruntungnya ucapanku tidak di de
Dan... Ternyata...Di luar dugaan, Tuan Alan tiba-tiba melepaskan rengkuhannya. Sebuah suara samar sempat aku dengar dari bibir manisnya, “cantik.” Begitulah ucapan yang tertangkap oleh telinga ini. Aku mendengar gumaman dari mulut tuan Alan.Kami berdua menjadi salah tingkah.“Maaf, tuan saya tidak sengaja. ““Iya, maafkan saya, Nona. Dan ini kamarnya, silakan beristirahat. “ Tuan Alan perlahan membuka pintu, rupanya tadi kami telah sampai di kamar yang kami tuju.“Biar aku bawa Abian ke sini, untuk tidur denganmu.”“Iya, terima kasih tuan, Bian memang suka terbangun di malam hari. “Tuan Alan bergegas meninggalkan aku yang masih setia mematung melihat kepergian lelaki yang telah membuat jantung ini berolahraga.Akhirnya aku putuskan untuk membersihkan diri di kamar mandi sambil menunggu Abian masuk ke kamar.Beberapa menit kemudian aku membuka pintu kamar mandi rasanya tubuh ini telah segar walau tidak memakai baju ganti sekalipun.Abian tampak tidur dengan nyaman di kasur empuk kam
Suasana rumah telah sepi, aku kembali memasuki kamar mungil Jamilah. Kulihat wanitaku menggeliat kecil, ia menggerakkan tubuhnya hingga tatapan kami bertemu. Kemudian Jamilah menatap koper yang telah berjejer rapi di lantai. Jamilah membulatkan matanya, “mas, kamu mau pulang? “ aku mengangguk perlahan, raut kesedihan muncul dari wajah ayu istriku itu, muncul ide jail untuk mengerjainya saat ini.Aku berangsur mendekatinya, “kenapa? Apa kamu sedih harus berpisah denganku? “ Jamilah menatapku sejenak kemudian menundukkan kepalanya, aku tahu dia pasti sedang menyembunyikan kesedihannya. Aku meraih dagu lancip itu untuk menatapku pandangan kami bertemu, aku segera mendekatkan bibirku dan membisikkan sesuatu, “sayang, bolehkan aku memintanya sebelum pergi? Sebagai tanda perpisahan? Aku pasti akan sangat merindukanmu nanti? “ pintaku halus, rona merah tengah menghiasi kedua pipi istri polosku itu. Sungguh rasanya sangat menyenangkan menggoda gadis belia ini. Uh, bagaimana aku tidak kecand
Setelah peristiwa kamar mandi usai, kami akhirnya sarapan bersama dengan menu ala pedesaan seperti biasa, tetapi untuk aku, Jamilah telah menyiapkan roti selai kacang kesukaanku, tanpa aku sadari jika Jamilah ternyata sudah sangat mengerti kebiasaan dan kesukaanku selama lima belas hari ini.Pagi ini Jamilah sudah sedikit membaik, walau masih tertatih ia sudah bisa berjalan kembali, rasa hatiku sangat kasihan, tetapi ya bagaimana lagi, jika kami berada di rumah mama, maka tidak akan aku biarkan Jamilah keluar kamar walau hanya sekedar untuk makan saja. Aku akan melayani istri kecilku itu dengan sepenuh hati. Bahkan akan aku buat hari-harinya menjadi indah dan kulayani selayaknya ratu. Jamilah memang sudah menjadi ratu di hatiku sejak ia menyerahkan mahkota paling berharga miliknya untukku.Ibu Fatimah telah pergi bekerja, sementara Jamilah aku perintahkan istirahat di kamar, sementara aku, ah, mungkin kalian tidak akan percaya di mana aku sekarang. Iya, aku sedang mencuci pakaian da
“Mau mandi, atau makan dulu?” aku bertanya sesaat setelah menurunkan tubuhku. Segera kututup tubuh polos Jamilah agar aku tidak tergoda lagi. Kasihan kan wanitaku sampai harus menahan lapar saat melakukan kewajibannya tadi. Mungkin kalau dulu aku tidak akan peduli dengan hal itu. Tetapi sekarang hatiku merasa iba, apakah karena status Jamilah sebagai istriku? Ah, ini terlalu dini bila aku mengatakan jika aku sangat menyayangi Jamilah.Aku menatap tubuh lelah istriku, “kamu kok enggak menjawab, mau mandi atau makan dulu? “ Jamilah menggeleng lemah.“Baiklah sayang, rupanya kamu sudah terlalu lelah, biar aku yang memutuskan semuanya, oke? “ Jamilah hanya bisa menatapku dan membiarkan saat aku menggulung tubuhnya dengan selimut dan menggendongnya lagi keluar kamar.Saat sampai di pintu dapur Jamilah meronta untuk turun, aku semakin mendekapnya erat, “sayang jangan berontak nanti kamu jatuh. “ Karna gemas aku malah melumat bibir ranum Jamilah yang sejak tadi terus menggodaku. Saat aku mel
“Eh, orang ditanya kok malah balik nanya, Muna, enggak usah mengurusi kehidupan pribadi orang lain, apa kamu mau kalo rumah tanggamu di usik? “ Wanita bernama Muna itu menggeleng, “nah, jadi enggak usah kamu repot mengurusi masalah orang lain ya! “ ibu Fatimah gegas menarik tanganku untuk meninggalkan tempat itu. Aku menurut saja, semua orang menatap kepergian kami, mendadak suasana ramai di warung itu menjadi sepi, “wah hebat juga pesona ibu mertua di kampung ini. “ Batinku kagum.“Eh, buk, kita belum membeli gula tadi kan? “ Tiba-tiba saja aku teringat tujuanku untuk membeli gula.“Sudahlah menantu, nanti kita cari di tempat lain saja, “tutur ibu mertua. Saat ini kami sudah sampai di halaman rumah.“Nah, mak mau ke pasar dulu ya, itu makanan sudah matang, kamu makanlah dengan Jamilah! ““Tunggu buk! Sebenarnya aku ingin bertanya sejak tadi, siapa wanita yang di maksud ibu genit tadi? Em, Nurjanah maksudku? “Saat mendengar pertanyaanku tiba-tiba saja wajah wanita paruh baya itu men
“Milah, sayang, apa kamu belum selesai juga? “ Tidak ada jawaban dari dalam, pasalnya sudah setengah jam aku menunggunya di depan pintu kamar mandi. Aku bergerak maju mundur sambil terus mengetuk pintu kamar mandi, “sayang, aku buka pintunya ya, kalau kamu kunci dari dalam, aku akan mendobraknya. “ Saat tidak ada jawaban lagi dari dalam, aku segera membuka pintu kamar mandi itu yang rupanya tidak di kunci, aku menarik nafas lega.“Loh, Milah, kamu kenapa? ““Aku, aku, enggak bisa berjalan mas, rasanya sakit. “ Ucap Jamilah sambil meringis menahan sakit, “tadi pas aku mengeluarkan air kencing rasanya aku mau pingsan mas, perih... hik. “ Jamilah berbicara sambil terisak. Aku menjadi tidak tega di buatnya. Aku mengulurkan tanganku untuk membelai rambut ikalnya yang masih berantakan, “maaf ya, sayang aku membuatmu kesakitan. “ Ucapku dengan nada penyesalan, Jamilah menggeleng dan memegang tanganku, “tidak mas, itu bukan salahmu, kata mak, semua itu adalah salah satu kewajiban aku sebagai
Saat mencapai pintu depan bersamaan dengan ibu mertua yang baru mau masuk ke dalam rumah.“Menantu, kenapa pintunya tidak di tutup? ““Em, iya buk, aku baru saja mau menutupnya, “ aku menjadi salah tingkah saat ibu mertua menatapku dengan tatapan heran. Aku segera memperhatikan arah tatapan ibu mertua, “ya Tuhan, aku lupa tidak mengenakan baju. “ Tanpa babibu, aku segera berlari masuk ke dalam kamar kembali. Mungkin ibu mertua telah tertawa di ruang tamu karena melihat tingkah konyolku barusan. Ah, bagaimana lagi semua sudah terjadi.Sampai di kamar aku urung mencari kemejaku yang entah terserak di mana. Aku duduk di samping Jamilah yang telah terlelap. Aku terus berpikir bagaimana cara kami tidur di atas dipan sempit ini. Hingga aku mendapatkan ide gila yang membuat aku tersenyum bahagia.Aku mengangkat tubuh wanitaku secara perlahan dan merebahkan tubuhku di atas kasur itu. Sementara Jamilah aku letakkan tubuhnya di atas tubuhku hingga gundukan kenyal itu terasa menempel pada dada b
“Tuan, berbaringlah! biar aku mengipasi tubuhmu, “ Jamilah perlahan mendekat ke arahku sambil menampilkan rona merah pada kedua pipinya, “janda ini seperti remaja saja, uh, dasar. “ umpatku dalam hati. Antara gemas dan kesal menjadi satu dalam pikiranku.Perlahan aku baringkan tubuhku, Jamilah mulai melancarkan aksinya, menggerakkan kipas dari bambu ke kanan dan ke kiri, rasanya lumayan segar, walau sebenarnya aku masih kurang puas dengan kipas bambu itu, tapi ya bagaimana lagi. Adanya memang ini di kampung. Berkali-kali aku merutuki kebodohanku kenapa harus sampai di desa ini. Ide mama memang sungguh membuat aku tersiksa.Aku melirik wajah Jamilah sekilas, wanita itu tetap menjaga pandangannya tanpa menatapku, entah mengapa aku jadi merasa kesal.“He, kerja yang benar, jangan membuang muka seperti itu, kamu tahu, itu tidak sopan. “ Jamilah segera mengarahkan pandangannya kepadaku, bersamaan dengan tubuhku yang perlahan duduk dari pembaringan, hingga kedua netra kami bertemu, jarak ya
“Pedas...hu hu hu!“ teriakku sambil sibuk mengipasi mulut yang terasa terbakar, gila, ini benar-benar menyakitkan mulutku seperti mengulum bara api.Jamilah dan ibu Fatimah panik melihat aku yang belingsatan bak cacing kepanasan.Jamilah menyodorkan segelas air hangat, tetapi setelah aku minum belum juga meredakan rasa pedas di mulutku.“Tuan, bagaimana ini, “ Jamilah menatapku dengan perasaan iba, bibirku mungkin sudah melepuh dan merah, aku hanya menatap wanita itu sekilas kemudian gegas keluar rumah. Tiba-tiba saja perasaan malu merayapi relung hatiku, bagaimana bisa seorang perkasa sepertiku kalah dengan yang namanya rasa pedas. Memalukan.Di halaman rumah aku duduk di balai bambu, menatap jalanan yang masih sepi, mungkin di kampung memang seperti ini kondisinya jarang ada kendaraan yang berlalu lalang, aku masih fokus menatap ke depan saat suara ibu Fatimah mengejutkanku, “nak menantu, ini minumlah, untuk pereda rasa pedas tadi, di habiskan ya, biar enggak panas perutnya, bisa-bi
Saat makan malam tiba aku benar-benar tidak percaya, bagaimana bisa Heri dengan teganya telah meninggalkan aku di desa terpencil ini. Aku masih terdiam menatap hidangan di lantai yang beralaskan tikar di ruang tamu sederhana milik Jamilah. Rumah ini memang sangat kecil, hanya ada empat ruangan dua kamar tidur satu dapur dan satu kamar tamu kalau dipikir-pikir rumah ini lebih cocok di katakan rumah kubus karena tempatnya yang segi empat. Semua ruangan berukuran sama. Sungguh rasanya aku ingin segera kembali saja, tetapi sialnya sopirku itu sungguh, membuatku naik pitam saja, aku berjanji akan membuat perhitungan dengannya bila sudah sampai Jakarta nanti.“Nak menantu, ayo di makan, maaf ya di kampung Cuma ada beginian, “ Ibu Jamilah menyodorkan piring ke arahku, Jamilah kemudian gegas mengisikan nasi ke dalam piring yang aku pegang.“Tuan, mau makan apa? “ tanya Jamilah sambil menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan.“Em, aku... . “ Aduh rasanya aku ingin berteriak bahwa makana