Namaku Alan Prayoga Sanders, seorang pria dalam kategori ‘Mr. Perfect’, bukan karena narsis, tetapi siapa saja orang yang bertemu denganku pasti akan terpesona dengan kesempurnaan yang aku miliki, terutama kaum hawa. Mereka tidak akan pernah lepas dari daya pikat yang ada pada diriku.
Selain tampan, tentunya aku memiliki harta yang berlimpah dan juga anak semata wayang dari salah satu pengusaha sukses di Jakarta yang bernama Sanders Corporation.
Gaya cuek dan cool memang telah melekat dalam diriku. Kehidupan sehari-hari aku lalui dengan sangat menyenangkan. Hidup tanpa beban, berfoya-foya tanpa harus memikirkan mencari uang bahkan kekurangan uang. Kekayaan yang dimiliki keluargaku tidak akan habis sekalipun walau sampai tujuh turunan.
Begitulah sepenggal kisah tentang diriku , seorang pria dewasa berusia tiga puluh empat tahun yang memiliki segalanya tetapi buta akan cinta.
Tidak ada sesuatu di dunia ini yang tidak bisa aku dapatkan, semua yang aku inginkan tidak pernah sekalipun terlewatkan. Sejak kecil diriku biasa dimanja oleh mama dan papa. Hanya satu kekurangan yang tidak bisa aku dapatkan yakni, kasih sayang.
Dibalik kehidupanku yang terlihat glamor, sebenarnya aku termasuk lelaki kesepian. Karena kesibukan papa dan mama menjadikanku anak yang kurang perhatian, saat dewasa sikapku berubah menjadi egois dan arogan. Tetapi ada sisi lain dalam diri ini yang tidak bisa aku tolak. Aku sangat menyukai anak kecil. Karena diriku anak satu-satunya yang mereka miliki, membuatku berharap mempunyai saudara kandung. Misalkan seorang adik laki-laki yang bisa diajak bermain setiap waktu dan itu sangat kudambakan.
Sayangnya hal itu tidak pernah terwujud hingga saat ini, kesibukan papa membuat mama harus selalu siap sedia dalam keadaan apa pun. Mama harus setia di samping papa bahkan hingga kunjungan bisnisnya ke luar negara. Karena itulah mungkin mama tidak ingin memiliki keturunan lagi. Cukup aku yang merasa kesepian jangan sampai ada Alan yang lain dikemudian hari. Sungguh hidup dengan materi yang berlimpah nyatanya tidak bisa membeli kebahagiaan walau hanya sederhana. Karena rasa kesepian yang aku alami sepanjang masa kecil hingga usia remaja membuat diriku menjadi salah pergaulan dan tidak peduli dengan dunia sekitar. Jadilah aku seorang lelaki bebas tanpa batasan dalam pergaulan mencari hiburan untuk membunuh rasa sepi yang selalu datang di setiap menit dan waktu.
Hingga suatu ketika papa menghentikan kegilaanku di usia yang telah dewasa dan matang. Dengan berbagai alasan pekerjaan papa mulai mengatur hidupku yang awalnya penuh kebahagiaan.
Ketika papa akan mengurus bisnisnya ke Luar Negri, saat itulah papa melakukan aksinya dengan menyuruhku untuk kembali ke Jakarta.
Sebenarnya aku lebih suka di Bali.
Bali merupakan surganya dunia , di sana aku lebih bebas bersenang-senang tanpa takut ada yang mengawasi atau mengekspos semua hal yang aku lakukan. Karena desakan papa akhirnya aku kembali ke Jakarta untuk menggantikan pekerjaan yang telah ditinggalkan tiba-tiba.
Disinilah aku sekarang menjadi orang sibuk, bekerja dari pagi hingga petang. Tidak ada sex, apalagi minuman beralkohol pun dengan wanita cantik. Hidupku sudah tidak menyenangkan lagi, bagai terkurung dalam penjara. Papa dengan seenak hati mengancamku untuk menghentikan semua fasilitas dan ATM yang telah diberikannya, sehingga aku tidak bisa menolak kemauan papa itu, tidak ada pilihan lain kecuali menuruti saja kemauannya.
Sebenarnya papa hanya ingin aku lebih serius menjalani kehidupan ini karena usiaku yang memang sudah cukup umur bahkan lebih dari cukup untuk ukuran bujangan, semua sahabatku sudah memiliki keluarga dan anak. Itulah yang membuat papa selalu mendesakku supaya segera melepas masa lajang. Tetapi aku lebih suka kebebasan.
“Alan, berhenti bermain-main, ingat umur ! “ begitulah papa yang selalu mengingatkan lewat perbincangan di telepon. Dan aku seperti biasa tetap acuh dan masa bodoh. Toh semua yang aku jalani saat ini membuatku sangat nyaman.
“Ingat Alan, ikuti semua perkataan pamanmu! beliau akan mengajarimu caranya bekerja, agar satu hari nanti kamu bisa meneruskan semua bisnis yang telah papa bangun dari dulu dengan susah payah. Jangan hanya menghabiskan uang saja bisamu. “
“Iya Pa, “ jawabku singkat. Dengan muka sok acuh.
Kalimat itu diucapkan papa tanpa henti, saat kami pergi menuju bandara untuk mengantar kepergian papa dan mama. Mama tersenyum sambil mengusap kepalaku lembut. Saat seperti inilah sebenarnya yang aku inginkan, aku merindukan kasih sayang mereka berdua terutama mama. Papaku memang tergolong suami yang BUCIN dan posesif, bahkan dia tidak ingin mama lebih menyayangi diriku dari pada papa. Hal itulah yang membuat mama tidak bisa mendekat denganku, sejak aku kecil mama harus mengikuti papa saat bekerja bahkan sampai ke Luar Negri, sehingga aku dibesarkan oleh ART. Mungkin hanya satu pria seperti papa didunia ini dan jujur saja aku sangat membenci sikap papa. Itulah yang membuat diriku menjauh dari kehidupan mereka berdua. Karena aku tidak suka melihat papa yang selalu bermanja dengan mama tanpa membagi kasih sayang kepadaku yang jelas putra semata wayang mereka.
Setelah pesawat lepas landas, aku kembali ke rumah dengan paman Sam, orang kepercayaan papa sekaligus sekretaris pribadinya.
Pagi- pagi sekali paman Sam sudah menghubungiku. Aku masih bergelung dengan selimut merasa enggan mengangkat panggilan masuk. Suara ponselku tidak mau berhenti serasa memekakkan telinga, semalam aku lupa mengubah ke mode diam. Dengan terpaksa aku menggeser ikon berwarna hijau itu. Karena merasa tidak tahan mendengarkan bunyinya.
“Ya... halo. “ Jawabku malas.
[Jangan lupa tuan muda, pagi ini harus menghadiri rapat tahunan ke salah satu sekolah, segera bersiap tuan, tiga puluh menit lagi saya akan sampai. ]
Aku tidak menjawab, karena mata ini sangat susah untuk di buka. Kulemparkan HP ke sisi tempat tidur sehingga aku terlelap kembali.
Suara gedoran pintu kembali mengusik tidur nyenyakku.
Aku berusaha menutup kedua telingaku dengan bantal, agar suara berisik itu tidak mengiang masuk ke indra pendengaranku. Sayangnya usahaku sia-sia, suara gedoran pintu semakin kencang sampai terasa merobohkan seisi kamar. Aku berjalan malas menuju pintu, niat hati akan memarahi orang yang berani mengganggu tidur nyenyakku, “siapa yang tengah bermain denganku, ada yang sudah bosan hidup rupanya. “ Gumamku sambil berjalan menuju pintu, “dasar kampret...! “
Aku terpaku, paman Sam berdiri di depan pintu kamar dengan pakaian rapi. Aku membalikkan badan malas.
“Paman, kenapa pagi-pagi sekali sudah berada di sini? “ tanyaku kesal.
“Tuan muda, tiga puluh menit lagi saya tunggu Anda di bawah. “ Jawab paman Sam singkat sambil berlalu pergi meninggalkan kamarku.
Seperti biasa perintah paman selalu saja berhasil memaksaku untuk menuruti semua ucapannya, paman Sam adalah orang kedua yang aku hormati selain orang tuaku, karena beliaulah yang selalu menemaniku tumbuh dari kecil hingga usia dewasa.
Aku bergegas membersihkan diri secepat kilat, paman Sam adalah orang yang sangat disiplin. Karena itulah papa sangat menyukai kinerjanya, Diam-diam aku juga mengagumi cara kerja paman Sam, mungkin itu salah satu alasan papa menyuruhku mengikuti semua perintah paman Sam. Agar aku belajar lebih banyak dari beliau dalam hal berbisnis.
Setelah tiga puluh menit berlalu akhirnya aku dan paman Sam menuju sekolah yang akan mengadakan rapat tahunan. Aku tertegun menatap bangunan di depanku yang belum banyak berubah sejak dulu. Sekolah tempatku menimba ilmu sewaktu SMA. Di sekolah ini juga untuk pertama kalinya aku memiliki seorang sahabat karib yang selalu ingin aku jumpai hingga saat ini. Tidak terasa sudah tujuh belas tahun berlalu hingga saat ini. Entah di mana dia sekarang.
Suasana gedung sekolah masih terasa sepi, semua murid rupanya masih mengikuti pelajaran di kelasnya masing-masing. Paman Sam mengajakku menuju ruang rapat yang sudah disediakan. Hari ini pihak sekolah akan memberikan laporan dan pengajuan pembangunan yang akan dilaksanakan di sekolah tersebut. Banyak bangunan dan fasilitas lain yang harus di perbaiki. Aku juga merasa sedikit cemas melihat keadaan sekolah ini seakan kurang diperhatikan, beberapa tahun ini, entah apa penyebabnya aku juga tidak tahu.
Setelah rapat selesai, aku bergegas keluar dari ruangan dan berjalan menuju tempat parkir mobil.
Pandanganku berhenti saat menatap lapangan basket yang berada di depan kelas, ruangan yang dulu pernah aku tempati. Bayangan masa lalu tiba-tiba melintas dalam pikiranku. Memori itu terbayang bagaikan rekaman yang siap di putar ulang kembali. Ada sebuah kenangan buruk yang pernah aku alami di lapangan basket ini. Sebuah kenangan yang tidak pernah terlupakan hingga detik ini. Aku menghela nafas sebentar, kemudian berjalan menuju pintu gerbang.
Paman Sam tampak sedang berbincang dengan seorang lelaki sebaya denganku. Dari punggung belakangnya aku merasa pernah mengenali. Sesosok yang baru saja aku pikirkan beberapa menit lalu.
“Apa mungkin itu dia? “ aku bergumam dan mulai menerka dalam hati.
Mempercepat langkah ini bahkan setengah berlari. Sesampainya di sana aku benar-benar terkejut sekaligus bahagia.
“Culun, “ aku memeluk lelaki di hadapanku ini yang juga terlihat terkejut dan bingung.
“Bos, benarkah ini Anda? “ jawabnya sambil menatapku intens.
“Iya, culun, “ aku tepuk kedua bahu sahabatku yang sekarang tampak kokoh.
“Bos, aku sudah tidak culun lagi sekarang. “ Sanggahnya tidak terima.
“Iya, mungkin dimata orang lain seperti itu, tapi dalam pandanganku kamu tetaplah sahabat culunku, Farhan Dinata. “ Jawabku sambil melempar senyum mengejek.
“Ya... ya... ya, bos memang selalu benar, “ timpal Farhan kemudian. Aku tertawa lebar dan Farhan tersenyum menanggapi kekonyolanku.
Paman Sam memandang kami berdua dengan raut wajah biasa. Pria paruh baya ini memang bermuka tanpa ekspresi. Lebih dingin bahkan melebihi aku yang terkenal arogan.
“Tuan muda, waktunya kembali ke kantor, “ ucap paman Sam, sambil melirik arloji yang melingkar di tangannya.
“Harus sekarangkah paman? “ tanyaku yang dibalas anggukan oleh paman Sam.
“Mari tuan, “
“Tunggu sebentar paman, “ sangkalku. “Biar aku bertukar nomor ponsel dulu. “ Pintaku pada paman Sam.
“Baiklah, “jawabnya singkat.
Aku merogoh saku celanaku dan memberikan benda pipih itu kepada Farhan yang sejak tadi hanya diam menatapku.
“Tulis nomor ponselmu disini, “ pintaku.
Farhan segera menerimanya dan mulai mengetik dilayar HP.
“Sudah bos, “ ucapnya sambil menyerahkan ponselku kembali.
“Baiklah culun, aku akan meneleponmu nanti ! “ Teriakku sambil berlari mengikuti paman Sam yang sudah meninggalkanku. Paman Sam memang seperti itu, dia tidak akan membuang waktu sia-sia hanya untuk hal yang tidak penting.
“Uh.“ Aku mendengus kesal saat kami sudah berada di dalam mobil.
“Tuan muda, fokuslah dalam bekerja, jangan pernah mementingkan hal lain di luar pekerjaan, karena itu hanya akan memecah konsentrasimu saja. “
“Hem.“ Aku bergumam tanpa ingin menjawab perkataan paman Sam. Rasanya sia-sia berdebat, pada akhirnya itu semua membuatku akan dilaporkan kepada papa. “Dasar tukang mengadu.“ Gerutuku lirih. Tentu saja tidak sampai terdengar oleh paman Sam.
Segera kuambil ponsel dicelanaku dan mulai mengetik huruf menjadi kalimat.
[Culun, jangan lupa hari minggu aku tunggu kedatanganmu di kantin sekolah, oke. ]
Segera kukirim pesan kepada Farhan dengan nomor yang telah diberikannya tadi.
Tidak ada balasan.
Aku menyembunyikan kembali ponselku dan mulai memejamkan mata menghindari tatapan tajam dari paman Sam. Aku yakin beliau sedang menaruh curiga teradapku, “ah, masa bodoh. “ Gumamku dalam hati.
Sampai dikantor aku segera masuk ke ruang kerjaku kembali. Rasanya sudah tidak sabar menunggu hari esok tiba. Di mana aku dan Farhan alias si culun akan berjumpa kembali untuk mengenang masa lalu dan melepas rindu.
Farhan adalah sahabatku satu-satunya. Aku masih mengingat itu, betapa aku selalu berbuat jahat kepadanya, hari-hari Farhan di sekolah selalu aku hiasi dengan penindasan. Ah, saat mengingat hal itu rasa menyesal masih menyelimuti hatiku hingga saat ini.
Hingga suatu ketika datang sekelompok geng motor yang tidak aku kenal tiba-tiba menyerang dengan membabi buta. Saat itu diri ini hampir meregang nyawa jika saja Farhan tidak menolongku. Dengan akal cerdiknya Farhan berteriak, “Polisi... Polisi ada Polisi...! “ membuat para preman itu lari tunggang langgan dengan sepeda motornya.
Farhan menghampiriku yang sudah lunglai tak berdaya.
“Ayo bos, kita harus ke rumah sakit !” Farhan mendekati tubuh ini yang tengah bersimbah darah, beberapa luka memar dan darah segar keluar dari hidung.
“Tidak, aku tidak butuh bantuanmu culun, “jawabku merasa gengsi. “Yang benar saja seorang bos Alan harus ditolong dengan orang yang selama ini telah ditindas,“ aku bermonolog dalam hati, sambil menahan sakit sekujur tubuh. Rasanya semua tulangku sudah lepas dan remuk redam.
Farhan hanya menggeleng sambil tersenyum.
“Sudahlah bos, apa kali ini Anda masih mempunyai pilihan lain, silakan menindas saya kemudian setelah Anda sembuh. Yang terpenting saat ini Anda harus selamat, “ucap Farhan, yang sialnya tidak dapat kusangkal lagi. Tubuh ini tidak sejalan dengan otak yang masih menahan malu.
Sejak ketulusan yang diberikan Farhan saat itu, membuat diriku menyadari akan arti persahabatan sesungguhnya, bukan hanya materi saja yang dapat kita banggakan, uang yang berlimpah nyatanya juga tidak mampu menolong kita pada saat tertimpa musibah, kita tetap membutuhkan bantuan orang lain.
Akhirnya aku dan Farhan menjadi teman baik sejak kejadian mengenaskan tempo dulu. Walau rasa terima kasih belum pernah terucap melalu bibir ini, tapi jauh dalam lubuk hati yang paling dalam aku telah berjanji akan membalas semua kebaikan Farhan suatu saat nanti.
Setelah pertemuanku pagi tadi aku berpikir sejenak, mungkin sudah waktunya untuk membalas budi kepada Farhan Dinata. Muncul sebuah ide dalam otakku untuk memberikan pekerjaan yang layak di salah satu cabang kantor yang ada di Jakarta. Karena itulah esok hari aku akan menemuinya dan membicarakan niat dalam hatiku ini. Walaupun aku sendiri belum yakin apakah dia akan menerima bantuan dariku. Sahabatku satu ini terkenal keras kepala dan tidak mau menerima pemberian orang lain dengan mudah. Semoga saja aku bisa membujuknya nanti.
Dalam benakku masih tidak bisa mengerti bagaimana seorang Farhan dengan predikat siswa terpandai di sekolah kami dulu bisa mendapatkan nasib yang kurang beruntung. Apakah kepandaian seseorang tidak berarti saat tiada dukungan materi, atau mungkin selama ini Farhan kekurangan biaya untuk melanjutkan pendidikannya?
Dan rasanya sudah tidak sabar menanti hari esok agar segera mendapatkan semua jawaban dari pertanyaan yang sudah membuat aku penasaran. Farhan, apa sebenarnya yang telah terjadi padamu ?
Hari ini aku menerima balasan pesan dari Farhan untuk menemuinya di kantin sekolah. Kebetulan sekarang tepat di hari minggu, tentunya dia ataupun aku sedang tidak bekerja.Aku memarkirkan mobil di halaman sekolah yang luas dan rindang, Farhan melambaikan tangannya. Kami akhirnya berjalan bersama menuju tempat yang dulu selalu menjadi favorit siswa ataupun siswi saat ingin menghindar dari mata pelajaran yang tidak disukai. Kantin adalah tempat ternyaman untuk kabur dari kelas.“Halo bos?“ sapa Farhan, dia tampak gagah memakai pakaian santai. Didalam gendongannya seorang bocah laki-laki berumur sekitar tiga tahunan. Wajahnya sangat mirip dengan Farhan Dinata, “apa mungkin dia itu, “aku berpikir sejenak. Menatap dua sosok beda usia di hadapanku ini.“Mari bos, silakan duduk! ““Iya,” jawabku singkat.Kami pun duduk saling berhadapan, bocah itu duduk di samping Farh
Setelah mengurus semua administrasi di rumah sakit, jenazah Farhan akhirnya bisa di bawa pulang ke rumahnya. Jamilah ikut serta dalam mobil ambulans yang mengantarkan suaminya. Aku telah memerintahkan anak buahku untuk mengurus segala keperluan pemakaman dan lainnya. Paman Sam tak lupa kuberi kabar. Awalnya paman Sam terkejut saat aku memberi tahunya, tapi kemudian dia hanya bisa berdoa atas kejadian yang menimpa sahabatku itu.Sore hari menjelang, semburat sinar oranye telah tampak di balik awan. Sesaat lalu jenazah Farhan telah di kebumikan. Jamilah memberikan satu permintaan kepadaku agar tidak mengikuti pemakaman, iya, aku ditugaskan olehnya untuk menjaga Abian. Entah apa yang di rencanakan wanita itu sehingga dia seolah merahasiakan kematian Farhan, suaminya. Aku hanya bisa menuruti saja. Walau di dalam hati sangat ingin melihat saat terakhir Farhan di semayamkan. Tapi aku tahu semua yang dilakukan perempuan itu pasti demi ke
Usai melakukan ritual mandi pagi, aku bergegas berangkat ke kantor, saat melewati halaman rumah netraku mencari dua makhluk aneh yang baru saja mengacaukan pagiku. “Em... ke mana mereka? “ “Ayah...! “ teriak Abian kencang. Kepalaku menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara. “Ayah, sini...! “teriak Abian lagi. Aku membalikkan badan ke samping dan melihat Abian sedang memetik bunga kesayangan mama, “astaga, Abian...! “ aku berlari kencang kearah Abian yang tengah asyik memetik bunga dan daunnya. Bocah itu hanya tersenyum melihat aku menghampirinya dengan panik, saat melihat senyum manisnya membuat kemarahanku menghilang seketika, “Abi, kenapa merusak tanaman ini? Tanaman bunga ini kesukaan oma, “ ucapku sambil mengelus kepala Abian lembut, rambut ikal dan halus selalu membuat tangan ini ingin membelainya tanpa henti, aku merasa bodoh jatuh cinta dengan anak kecil, tapi sungguh jika kalian tahu Abian ini san
“Sakit sekali kepalaku, “ membuka mata, mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan, sesosok wanita tengah tidur memunggungiku, “eh, ini sungguh aneh, aku bahkan tidak merasakan apa pun selain tertidur pulas, atau aku yang terlalu mabuk? “ pertanyaan itu berkecamuk dalam hati, sekilas menatap tubuhku yang tanpa sehelai benang membuat pemikiran yang baru saja terbersit di otak tiba-tiba sirna.Saat akan turun dari ranjang, terlihat pintu di buka paksa oleh seseorang, “siapa mereka? “ terdengar suara keributan di balik pintu kamar hotel.“Alan...! “teriak seorang wanita paruh baya di depan pintu yang sukses membuatku terpaku di tempat.“Ma... “ suara ini tercekat di tenggorokan, buru- buru menutupi tubuh polosku dengan selimut.“Alan...! mama enggak menyangka kamu bisa berbuat seperti itu, hu hu hu,““Sabar Ma, “ ucap papa sambil mengelus bahu mama den
“Tuan, tuan Alan, tuan...! “ seseorang mengguncang lenganku dan berteriak. Mata ini sulit di buka, rasanya baru beberapa menit aku tertidur pulas. Saat membuka mata, Jamilah sudah berada di sampingku dengan pakaian yang sama. “Dasar wanita bodoh! kenapa harus berteriak, aku tidak tuli, “ “Itu tuan, “ jawab Jamilah tergagap. “Apa? Cepat katakan! “ “Bian, menangis mencari kita berdua, “ jawab Jamilah sambil menunduk menatap ponsel dalam genggamannya. “Tadi tuan dan nyonya menelepon. Maaf saya sudah lancang, mengangkat panggilan masuk di HP Anda tuan, “ “Hem... “ “Kalau begitu ayo kembali tuan, saya takut Bian tidak berhenti menangis nanti. “ “Jangan memerintahku, ingat itu! “ kutunjuk muka Jamilah dengan amarah meluap di ubun-ubun. “I... I... Ya tuan, maaf. “ Seperti biasa Jamilah langsung menundukkan wajahnya ketakutan, tetapi aku tidak pernah merasa kasihan sedikit pun, perasaan benci terlalu mendominasi
Jamilah datang menghampiriku dengan membawa nampan berisi makanan. Aku melirik sekilas, kemudian menutup mata kembali dengan posisi tengkurap di ranjang, itu memang kebiasaanku saat tidur.“Tuan, nyonya berpesan agar Anda harus makan. “Hening...Aku tidak ingin menjawab, jangankan untuk makan memandang makanan yang Jamilah bawa saja membuatku ingin mutah dan meludahi wajahnya.“Ayah...! “ suara bocah itu membuat bingung, antara ingin bangun atau melanjutkan sikap acuhku.“Ayah, ayo mamam, “ ucap Abian lagi, kali ini dia naik ke atas ranjang dan menarik-narik lenganku.“Alan, mama tahu kamu masih marah, tapi jangan menyiksa dirimu seperti ini sayang, “ mama tiba-tiba menyahut, entah sejak kapan mama sudah berada di kamar ini , mungkin mama sengaja mengajak Abian untuk meluluhkan hatiku.“Sayang apa kamu tidak kasihan sama Abian, setidaknya kamu pikirkan perasaan bocah itu! Ma
Hari kedua status sebagai suami telah aku lalui dengan menyenangkan, eh... tunggu, menyenangkan dalam versi seorang Alan.Jangan berpikiran manis dulu kawan, tentu saja pagi ini aku sangat puas karena bisa membuat janda itu kesal bercampur malu atau lebih tepatnya menahan hasrat. Siapa juga yang mampu menolak pesona seorang Alan Prayoga Sanders, pewaris tunggal Perusahaan Sanders Corporation.Sejak sarapan pagi hingga sampai di dalam mobil rasanya mulut ini tidak bisa berhenti tertawa, hingga mama menegurku di meja makan, tapi teguran mama lagi-lagi membuatku diam seketika, saat mama menganggap aku tengah berbahagia mereguk indahnya masa pengantin baru, aku hanya diam dan mengiyakan saja, tidak ingin mama menaruh curiga dengan aksi balas dendamku kepada Jamilah.Heri yang merasa aneh melihat kelakuanku di dalam perjalanan serasa tak kuasa menahan rasa penasarannya. Mulut embernya itu sudah gatal sejak tadi, “ap
Saat sedang membaca chat dari mama suara ponsel bergetar menampilkan panggilan masuk, siapa lagi kalau bukan mama pelakunya.“Alan, kamu itu benar-benar suami durhaka! “ Teriak mama di seberang telepon.“Ma, mama kok begitu ngomongnya, mana ada suami durhaka Ma? “ jawabku kesal.“Mama enggak peduli, yang terpenting cepat bawa menantu mama kembali ke rumah ! ““Tapi Ma, Alan sibuk sekarang ini. “ Jawabku beralasan.“Enggak usah bohong Alan, mama tahu semua jadwalmu hari ini, enggak usah mencari alasan, atau kamu mau mama memberi tahu papa tentang kegiatan yang kamu lakukan barusan? ““Ti---dak Ma, tidak perlu. ““Bagus. Sekarang lakukan tugasmu dengan baik, mama menunggumu di rumah bersama Abian. “Seketika mama menutup panggilan teleponnya sepihak. Sekarang tinggal aku yang merasa kebingungan saat harus mencari Jamilah yang katanya p
Suasana rumah telah sepi, aku kembali memasuki kamar mungil Jamilah. Kulihat wanitaku menggeliat kecil, ia menggerakkan tubuhnya hingga tatapan kami bertemu. Kemudian Jamilah menatap koper yang telah berjejer rapi di lantai. Jamilah membulatkan matanya, “mas, kamu mau pulang? “ aku mengangguk perlahan, raut kesedihan muncul dari wajah ayu istriku itu, muncul ide jail untuk mengerjainya saat ini.Aku berangsur mendekatinya, “kenapa? Apa kamu sedih harus berpisah denganku? “ Jamilah menatapku sejenak kemudian menundukkan kepalanya, aku tahu dia pasti sedang menyembunyikan kesedihannya. Aku meraih dagu lancip itu untuk menatapku pandangan kami bertemu, aku segera mendekatkan bibirku dan membisikkan sesuatu, “sayang, bolehkan aku memintanya sebelum pergi? Sebagai tanda perpisahan? Aku pasti akan sangat merindukanmu nanti? “ pintaku halus, rona merah tengah menghiasi kedua pipi istri polosku itu. Sungguh rasanya sangat menyenangkan menggoda gadis belia ini. Uh, bagaimana aku tidak kecand
Setelah peristiwa kamar mandi usai, kami akhirnya sarapan bersama dengan menu ala pedesaan seperti biasa, tetapi untuk aku, Jamilah telah menyiapkan roti selai kacang kesukaanku, tanpa aku sadari jika Jamilah ternyata sudah sangat mengerti kebiasaan dan kesukaanku selama lima belas hari ini.Pagi ini Jamilah sudah sedikit membaik, walau masih tertatih ia sudah bisa berjalan kembali, rasa hatiku sangat kasihan, tetapi ya bagaimana lagi, jika kami berada di rumah mama, maka tidak akan aku biarkan Jamilah keluar kamar walau hanya sekedar untuk makan saja. Aku akan melayani istri kecilku itu dengan sepenuh hati. Bahkan akan aku buat hari-harinya menjadi indah dan kulayani selayaknya ratu. Jamilah memang sudah menjadi ratu di hatiku sejak ia menyerahkan mahkota paling berharga miliknya untukku.Ibu Fatimah telah pergi bekerja, sementara Jamilah aku perintahkan istirahat di kamar, sementara aku, ah, mungkin kalian tidak akan percaya di mana aku sekarang. Iya, aku sedang mencuci pakaian da
“Mau mandi, atau makan dulu?” aku bertanya sesaat setelah menurunkan tubuhku. Segera kututup tubuh polos Jamilah agar aku tidak tergoda lagi. Kasihan kan wanitaku sampai harus menahan lapar saat melakukan kewajibannya tadi. Mungkin kalau dulu aku tidak akan peduli dengan hal itu. Tetapi sekarang hatiku merasa iba, apakah karena status Jamilah sebagai istriku? Ah, ini terlalu dini bila aku mengatakan jika aku sangat menyayangi Jamilah.Aku menatap tubuh lelah istriku, “kamu kok enggak menjawab, mau mandi atau makan dulu? “ Jamilah menggeleng lemah.“Baiklah sayang, rupanya kamu sudah terlalu lelah, biar aku yang memutuskan semuanya, oke? “ Jamilah hanya bisa menatapku dan membiarkan saat aku menggulung tubuhnya dengan selimut dan menggendongnya lagi keluar kamar.Saat sampai di pintu dapur Jamilah meronta untuk turun, aku semakin mendekapnya erat, “sayang jangan berontak nanti kamu jatuh. “ Karna gemas aku malah melumat bibir ranum Jamilah yang sejak tadi terus menggodaku. Saat aku mel
“Eh, orang ditanya kok malah balik nanya, Muna, enggak usah mengurusi kehidupan pribadi orang lain, apa kamu mau kalo rumah tanggamu di usik? “ Wanita bernama Muna itu menggeleng, “nah, jadi enggak usah kamu repot mengurusi masalah orang lain ya! “ ibu Fatimah gegas menarik tanganku untuk meninggalkan tempat itu. Aku menurut saja, semua orang menatap kepergian kami, mendadak suasana ramai di warung itu menjadi sepi, “wah hebat juga pesona ibu mertua di kampung ini. “ Batinku kagum.“Eh, buk, kita belum membeli gula tadi kan? “ Tiba-tiba saja aku teringat tujuanku untuk membeli gula.“Sudahlah menantu, nanti kita cari di tempat lain saja, “tutur ibu mertua. Saat ini kami sudah sampai di halaman rumah.“Nah, mak mau ke pasar dulu ya, itu makanan sudah matang, kamu makanlah dengan Jamilah! ““Tunggu buk! Sebenarnya aku ingin bertanya sejak tadi, siapa wanita yang di maksud ibu genit tadi? Em, Nurjanah maksudku? “Saat mendengar pertanyaanku tiba-tiba saja wajah wanita paruh baya itu men
“Milah, sayang, apa kamu belum selesai juga? “ Tidak ada jawaban dari dalam, pasalnya sudah setengah jam aku menunggunya di depan pintu kamar mandi. Aku bergerak maju mundur sambil terus mengetuk pintu kamar mandi, “sayang, aku buka pintunya ya, kalau kamu kunci dari dalam, aku akan mendobraknya. “ Saat tidak ada jawaban lagi dari dalam, aku segera membuka pintu kamar mandi itu yang rupanya tidak di kunci, aku menarik nafas lega.“Loh, Milah, kamu kenapa? ““Aku, aku, enggak bisa berjalan mas, rasanya sakit. “ Ucap Jamilah sambil meringis menahan sakit, “tadi pas aku mengeluarkan air kencing rasanya aku mau pingsan mas, perih... hik. “ Jamilah berbicara sambil terisak. Aku menjadi tidak tega di buatnya. Aku mengulurkan tanganku untuk membelai rambut ikalnya yang masih berantakan, “maaf ya, sayang aku membuatmu kesakitan. “ Ucapku dengan nada penyesalan, Jamilah menggeleng dan memegang tanganku, “tidak mas, itu bukan salahmu, kata mak, semua itu adalah salah satu kewajiban aku sebagai
Saat mencapai pintu depan bersamaan dengan ibu mertua yang baru mau masuk ke dalam rumah.“Menantu, kenapa pintunya tidak di tutup? ““Em, iya buk, aku baru saja mau menutupnya, “ aku menjadi salah tingkah saat ibu mertua menatapku dengan tatapan heran. Aku segera memperhatikan arah tatapan ibu mertua, “ya Tuhan, aku lupa tidak mengenakan baju. “ Tanpa babibu, aku segera berlari masuk ke dalam kamar kembali. Mungkin ibu mertua telah tertawa di ruang tamu karena melihat tingkah konyolku barusan. Ah, bagaimana lagi semua sudah terjadi.Sampai di kamar aku urung mencari kemejaku yang entah terserak di mana. Aku duduk di samping Jamilah yang telah terlelap. Aku terus berpikir bagaimana cara kami tidur di atas dipan sempit ini. Hingga aku mendapatkan ide gila yang membuat aku tersenyum bahagia.Aku mengangkat tubuh wanitaku secara perlahan dan merebahkan tubuhku di atas kasur itu. Sementara Jamilah aku letakkan tubuhnya di atas tubuhku hingga gundukan kenyal itu terasa menempel pada dada b
“Tuan, berbaringlah! biar aku mengipasi tubuhmu, “ Jamilah perlahan mendekat ke arahku sambil menampilkan rona merah pada kedua pipinya, “janda ini seperti remaja saja, uh, dasar. “ umpatku dalam hati. Antara gemas dan kesal menjadi satu dalam pikiranku.Perlahan aku baringkan tubuhku, Jamilah mulai melancarkan aksinya, menggerakkan kipas dari bambu ke kanan dan ke kiri, rasanya lumayan segar, walau sebenarnya aku masih kurang puas dengan kipas bambu itu, tapi ya bagaimana lagi. Adanya memang ini di kampung. Berkali-kali aku merutuki kebodohanku kenapa harus sampai di desa ini. Ide mama memang sungguh membuat aku tersiksa.Aku melirik wajah Jamilah sekilas, wanita itu tetap menjaga pandangannya tanpa menatapku, entah mengapa aku jadi merasa kesal.“He, kerja yang benar, jangan membuang muka seperti itu, kamu tahu, itu tidak sopan. “ Jamilah segera mengarahkan pandangannya kepadaku, bersamaan dengan tubuhku yang perlahan duduk dari pembaringan, hingga kedua netra kami bertemu, jarak ya
“Pedas...hu hu hu!“ teriakku sambil sibuk mengipasi mulut yang terasa terbakar, gila, ini benar-benar menyakitkan mulutku seperti mengulum bara api.Jamilah dan ibu Fatimah panik melihat aku yang belingsatan bak cacing kepanasan.Jamilah menyodorkan segelas air hangat, tetapi setelah aku minum belum juga meredakan rasa pedas di mulutku.“Tuan, bagaimana ini, “ Jamilah menatapku dengan perasaan iba, bibirku mungkin sudah melepuh dan merah, aku hanya menatap wanita itu sekilas kemudian gegas keluar rumah. Tiba-tiba saja perasaan malu merayapi relung hatiku, bagaimana bisa seorang perkasa sepertiku kalah dengan yang namanya rasa pedas. Memalukan.Di halaman rumah aku duduk di balai bambu, menatap jalanan yang masih sepi, mungkin di kampung memang seperti ini kondisinya jarang ada kendaraan yang berlalu lalang, aku masih fokus menatap ke depan saat suara ibu Fatimah mengejutkanku, “nak menantu, ini minumlah, untuk pereda rasa pedas tadi, di habiskan ya, biar enggak panas perutnya, bisa-bi
Saat makan malam tiba aku benar-benar tidak percaya, bagaimana bisa Heri dengan teganya telah meninggalkan aku di desa terpencil ini. Aku masih terdiam menatap hidangan di lantai yang beralaskan tikar di ruang tamu sederhana milik Jamilah. Rumah ini memang sangat kecil, hanya ada empat ruangan dua kamar tidur satu dapur dan satu kamar tamu kalau dipikir-pikir rumah ini lebih cocok di katakan rumah kubus karena tempatnya yang segi empat. Semua ruangan berukuran sama. Sungguh rasanya aku ingin segera kembali saja, tetapi sialnya sopirku itu sungguh, membuatku naik pitam saja, aku berjanji akan membuat perhitungan dengannya bila sudah sampai Jakarta nanti.“Nak menantu, ayo di makan, maaf ya di kampung Cuma ada beginian, “ Ibu Jamilah menyodorkan piring ke arahku, Jamilah kemudian gegas mengisikan nasi ke dalam piring yang aku pegang.“Tuan, mau makan apa? “ tanya Jamilah sambil menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan.“Em, aku... . “ Aduh rasanya aku ingin berteriak bahwa makana