Kata-Kata Fadhil berhasil membuat hati Amira sakit. Kalimat yang harusnya tak pantas diucapkan akhirnya keluar dari mulut suaminya sendiri. Air matapun menetes setelah ia berusaha menahannya agar tidak jatuh. Ia kemudian meletakkan kembali tali lingeri itu pada tempatnya. Ia masuk ke dalam kamarnya dan menangis sejadi-jadinya. Namun masih ia tahan dengan membekap mulutnya agar tidak terdengar Fadhil. "Apa aku terlihat seperti seorang jalang di hadapan Kak Fadhil? Kenapa dia terus menerus menolakku? Padahal aku sudah mati-matian untuk membuatnya jatuh hati." Kesal Amira yang saat ini hanya bisa menangis meratapi nasibnya yang tragis. "Aku harus melakukan apalagi agar kamu bisa mencintaiku?" Monolog Amira dengan tangisan yang lirih. Setelah cukup ia menangis untuk menumpahkan kekesalannya, ia teringat dengan ucapan Maya saat itu. "Mbak, kamu jangan nyerah gitu aja ya. Kalau hanya sekali gagal, kamu harus mencobanya terus sampai dia benar-benar goyah dan akhirnya mau menyentuhmu. I
Amira tidur membelakangi Fadhil agar suaminya itu tidak tahu ekspresi wajahnya yang sebenarnya. Amira menahan malu setelah melakukan hal berani seperti itu. Ia pura-pura memejamkan mata. Kedua tangannya meremas kuat selimut yang ia pakai. Fadhil menatap punggung Amira tak percaya. Bahkan ia masih saja terhipnotis tanpa bisa berkata apa-apa. Namun Fadhil segera tersadar dari rasa tak percayanya. "Ck! Ngapain sih di kamarku? Udah sana balik ke kamarmu!" Fadhil berusaha mengusir Amira. Namun tak lama kemudian Amira pura-pura mendengkur halus. Hal itu cukup mengelabui Fadhil yang menganggap Amira benar-benar sudah tertidur pulas. "Duh, malah udah tidur lagi." Keluh Fadhil. "Ngomong-ngomong kenapa rasanya manis sekali ya saat dikecup Amira tadi." Fadhil menyentuh bibirnya sendiri setelah dikecup singkat oleh Amira. Ucapan Fadhil itu berhasil membuat Amira tersenyum dalam diamnya. Ia merasa sangat bahagia sekali meskipun tidak dipuji secara langsung. Namun ia berusaha untuk tidak bert
Hari demi hari berlalu, Fadhil tetap pada mode diam dan dingin. Namun Amira justru menjadi pribadi yang sangat berani kepada Fadhil. Ia sudah terbiasa akan hal itu. Walaupun Fadhil selalu tak menganggapnya ada, tapi ia tetap menjalankan misinya untuk meluluhkan hati suaminya itu. Setiap hari Amira melakukan hal yang membuat Fadhil merasa seperti raja. Bahkan Fadhil sama sekali tak dibebankan pekerjaan rumah yang melelahkan. Semua Amira yang membereskan. Fadhil terbiasa untuk terima jadi. Tugasnya hanya mencari nafkah saja. Ketika Fadhil berada di rumah, Amira juga memakai pakaian yang bagus. Terkadang ia dengan sengaja memakai lingeri yang membuat Fadhil sebenarnya panas dingin namun dia mencoba kuat dan bertahan untuk tidak menyentuh istrinya itu. Padahal Amira juga sudah menggodanya dengan hal-hal yang membuat nafsu Fadhil tergugah, namun Fadhil justru malah memilih untuk tidak menanggapi Amira sedikitpun. Padahal Amira tahu kalau Fadhil itu tengah menahan mati-matian nafsu birah
Tar!Gelas yang diletakkan Amira di meja terjatuh ke lantai. Amira terlonjak kaget. Jantungnya berdebar tak karuan. Hatinya mulai gusar. "Kenapa gelasnya jatuh tiba-tiba ya? Bukannya tadi aku letakkan agak ke tengah ya?""Terus kenapa perasaanku tiba-tiba jadi nggak enak gini sih?" "Lagian Mas Fadhil kenapa sih nggak pulang-pulang? Aku itu khawatir sama keadaannya. Mana hujannya nggak berhenti-henti." Amira bermonolog. Amira segera membersihkan pecahan gelas itu dengan hati-hati. Hujan yang masih deras membuat perasaannya semakin tidak enak. Apalagi sudah melewati tengah malam namun suaminya belum juga pulang. "Sebenarnya Mas Fadhil kemana sih? Kok sampai melewati tengah malam gini dia belum juga pulang. Aku kan khawatir. Takut kenapa-kenapa di jalan." Hingga akhirnya Amira menunggu Fadhil dalam keadaan tidur di kursi seperti biasanya saat Fadhil pergi di malam hari dan pulang saat dini hari. Adzan subuh berkumandang membuat kedua insan yang masih polos tak mengenakan apapun itu
Tidak seperti wanita pada umumnya yang akan marah dan menyerang suaminya membabi buta tatkala melihat suaminya telah mengkhianati pernikahannya. Justru Amira memilih untuk diam. Hatinya memang sakit. Tapi otaknya masih bekerja. Ia pikir akan percuma bersikap bar-bar seperti itu, justru hanya akan menguras tenaga dan emosinya saja. Raya belum pergi dari wisma itu. Bahkan orang-orang di pesantren pun belum ada yang tahu keberadaan Raya di rumah yang ditempati oleh Amira dan Fadhil. Raya ingin meminta maaf pada Amira. Meskipun maaf itu tidak bisa mengembalikan semuanya. Namun setidaknya Raya ada i'tikad baik untuk meminta maaf atas kejadian tak terduga malam itu. Amira masih terdiam tak mengajak bicara kedua orang di rumah itu. Hatinya masih kacau. Ia masih kalut. Sedangkan Fadhil dan Raya sungkan untuk mengajak bicara Amira. Bahkan Amira menyiapkan sarapan untuk mereka. "Kalian makan dulu saja." Amira mengajak tanpa mau melihat keduanya. Fadhil dan Raya mengikuti langkah Amira. Tang
Amira datang ke rumah abah dan ummi. Ia meminta izin pada sang tuan rumah untuk mengajak Maya bicara empat mata. Rayyan mengetahui hal itu. Entah kenapa setiap Amira datang ke rumah ini dia selalu merasakan debaran tidak biasa. Padahal Rayyan sudah bertemu dengan banyak wanita yang pastinya secara fisik itu lebih baik daripada Amira yang bertubuh jumbo. Namun entah kenapa aura yang Amira miliki itu telah membuat hati Rayyan berbunga-bunga setiap bertemu dengannya. Ada satu hal yang cukup menarik hatinya saat Amira datang kesini dengan keadaan mata yang sembap. Hal itu cukup membuat Rayyan ingin tahu ada apa dengan Amira. Karena Amira seperti terlihat baru saja menangis. Matanya masih merah. Namun entah kenapa umminya tidak menyadari akan hal itu. Rayyan juga tidak berani untuk menanyakan perihal itu."Ada apa mbak?" Maya keluar setelah Rayyan panggil. "Aku mau curhat aja May. Boleh minta waktunya sebentar?" Maya tahu kalau Amira sedang tidak baik-baik saja. Mereka berdua berjalan b
Tiba-tiba saja Fadhil merasa takut. Apalagi anak yang sedang dalam kandungan Raya itu adalah hasil dari perbuatan zina. Ia tahu sendiri bahwa perbuatan itu dilarang oleh agama yang ia anut. Fadhil berusaha tersenyum di hadapan dokter itu. Kemudian ia menatap Raya yang sedari tadi menundukkan kepalanya. Ada rasa cemas dan takut juga yang terpancar di wajah ayu yang selama ini membuat Fadhil tergila-gila. Mereka berdua keluar dari ruangan dokter itu dengan pikiran masing-masing. Baru setelah mereka berada di tempat cukup sepi, akhirnya mereka buka suara satu sama lain. "Bagaimana ini kak? Aku beneran hamil. Aku takut kak. Aku nggak bisa menanggung beban ini sendirian." Raya menatap Fadhil penuh harap. Bahkan air matanya sudah ia tahan sejak tadi akhirnya jatuh juga membasahi wajahnya. "Tenang aja Raya. Aku akan bertanggung jawab atas bayi itu. Kejadian yang lalu juga aku ikut andil. Aku akan menikahimu Raya." Fadhil mengucapkan dengan penuh keyakinan. "Terus kapan kakak akan menikah
Amira tidak tenang seharian. Ia terus menghubungi Fadhil namun sayangnya Fadhil tak mengangkatnya sekalipun. Hati Amira cemas. Entah kenapa ia terus berpikiran negatif pada suaminya. "Mas, kamu itu sebenarnya kemana sih? Kenapa harus bohong sama aku?" Ia mondar-mandir bahkan untuk makan pun dia sampai harus menundanya karena terus memikirkan Fadhil yang entah berada dimana saat ini. Amira melihat foto pernikahan mereka yang dilaksanakan beberapa bulan yang lalu. Kemudian ia mengambilnya dan duduk di tepi ranjang."Perasaan apa ini mas? Kenapa saat melihat foto pernikahan ini hatiku terasa pedih." Ia mengelus foto dalam sebuah bingkai itu. Amira peluk bingkai foto itu untuk menenangkan pikiran buruknya. Setelah cukup merasakan ketenangan, Amira meletakkannya kembali ke dinding kamarnya. "Semoga tidak terjadi apa-apa. Entahlah pikiranku tiba-tiba jadi nggak enak gini. Mungkin cuma perasaanku yang lagi kacau." Gumamnya sendirian. Sedangkan di sebuah desa, Fadhil ternyata sedang mela
Raya membolak-balikkan tubuhnya. Perasaan yang tiba-tiba muncul kala mendengar kabar pernikahan Rayyan dengan seorang wanita membuatnya resah dan gelisah. Padahal ia sudah memastikan pada hatinya bahwa Amira tidak akan memiliki perasaan kepada Rayyan. Namun betapa terkejutnya ia kali ini saat Maya mengatakan hal itu. Hatinya bagai teriris. "Ya Allah, apa aku sudah jatuh hati pada pria itu? Tidak! Jangan sampai! Aku tahu dia dan aku itu beda kelas. Dia anak orang terpandang. Tidak sepantasnya bersanding dengan aku yang hanya keluarga biasa saja." "Tapi kenapa perasaan ini muncul tiba-tiba? Aku cemburu?" Amira merapatkan matanya sejenak. Ia pukul pelan keningnya dengan tangannya yang menggenggam. "Nggak boleh dibiarkan! Rasa ini harus aku hilangkan secepatnya. Aku tidak ingin menjadi duri di dalam rumah tangga mereka. Aku tahu rasanya dipermainkan dalam rumah tangga. Jadi, aku tidak ingin menjadi pelakunya.""Lagipula Mas Rayyan kan sudah memutuskan untuk menikahi wanita lain. Janjin
Memang seperti itulah manusia. Saat diberikan waktu untuk sebuah kenikmatan justru mereka lupa untuk mensyukurinya. Tetapi justru memilih untuk berusaha mencari ladang yang dianggapnya lebih subur. Rumput tetangga memang jauh lebih hijau dibandingkan dengan rumput di halaman sendiri. Padahal jika rerumputan itu dirawat, pasti akan sangat indah dipandang oleh mata. Namun setelah melihat kenyataan yang sebenarnya, barulah ia bisa menyesalinya. Begitu juga dengan Fadhil saat ini. Dari dulu dia sangat berharap kalau Raya adalah jodoh tepat dari Tuhan untuk dirinya. Dia sangat menjaga hatinya hanya untuk Raya seorang. Bahkan sampai Fadhil menikahi Amira, rasa itu malah semakin ia tumbuhkan secara sengaja agar Amira menyerah saja pada pernikahan ini. Namun saat ini ia telah menuai apa yang dia lakukan. Raya yang dianggapnya adalah wanita sempurna dan cocok mendampingi hidupnya ternyata sangat jauh dari ekspektasinya sebagai seorang laki-laki. Sementara itu Rayyan kini tengah menghadap pad
Rayyan yang melihat Amira diam saja membuatnya gelisah. Ia pun mencoba untuk menanyakan kembali."Jadi, bagaimana Amira?" Mata Rayyan tak henti-hentinya melihat Amira yang sangat cantik di matanya. Amira belum berani menjawabnya. Rayyan dengan sabar menanti jawaban dari Amira. Hati wanita yang baru selesai masa iddah itu bertambah campur aduk. Ia menoleh ke arah bapak ibunya untuk mencari pertolongan. Orang tuanya juga saling pandang karena mereka kebingungan untuk menanggapinya. Di sisi satu, orang tua Amira sangat bahagia karena ada pria sholeh dan baik yang mau mempersunting anaknya. Namun di sisi lain mereka juga mengkhawatirkan tentang status sosial yang melekat di antara kedua belah pihak. Tak bisa dipungkiri bahwa orang tuanya sempat khawatir akan hal itu. Mereka termasuk keluarga mampu namun kalau dibandingkan dengan keluarga Rayyan jelas jauh bedanya. Oleh karena itu, mereka meragukannya. Mereka khawatir anaknya nantinya akan diperlakukan tidak baik disana karena perbedaan
Amira semakin rajin merawat diri dari hari ke hari. Dia rajin ke tempat senam untuk membuat tubuhnya ideal. Pola makan sehat selalu dia terapkan. Awalnya memang sangat sulit sekali. Apalagi kebiasaan makan banyak yang Amira lakukan sangat sulit untuk dihindari. Namun karena Amira bertekad untuk hidup lebih baik, akhirnya Amira pun berhasil menurunkan berat badannya secara drastis. Selain menjaga kesehatan dan pola makannya, Amira juga sudah mulai berani belajar mempercantik diri. Bahkan ia semakin lihai menggunakan peralatan make up yang semula awam bagi dirinya. Dia belajar secara otodidak melalui sosial media. Dia pun juga belajar bagaimana cara tampil stylish. Hal itu dia lakukan untuk membuat kehidupan lebih baik daripada sebelumnya. Ia ingin meninggalkan masa-masa kelam dengan Amira yang baru. Amira kini menatap dirinya pada pantulan cermin di hadapannya. Ia merasa puas dengan hasil yang selama ini dia lakukan. Pengorbanan selama ini akhirnya berbuah manis. Amira menjelma menja
Singkat cerita, akhirnya Fadhil dan Amira telah resmi bercerai. Amira hanya ingin sendiri dan menata hidupnya kembali. Perjuangan untuk mendapatkan cinta sang suami yang tulus ternyata berakhir pada kandasnya rumah tangga mereka. Cinta yang sempat hadir di hati Amira pun perlahan terkikis oleh waktu. Perlakuan Fadhil dan juga pengkhianatan yang dilakukan Fadhil ternyata mampu menggoyahkan cinta yang selama ini ia tumbuhkan di hatinya. "Ya Allah, aku benar-benar sudah berubah status menjadi seorang janda. Aku tak menyangka takdirku ternyata seperti ini pada akhirnya. Tapi aku tidak akan menyalahkannya. Engkau lebih tahu apa yang terbaik untukku Ya Allah. Ampuni hamba karena sudah memilih jalan yang Engkau benci ini." Amira menatap indahnya hamparan kebun bunga yang berada di sebuah taman. Ia sedang menikmati pemandangan sekaligus menghirup udara segar setelah sidang akhirnya diputuskan kemarin. Amira pun merasa lega karena terbebas dari pernikahan toksik yang pada akhirnya membuatnya
"Ada apa Bu?" Tanya Raya saat dia sudah membuka pintu. Raya melihat ibu mertuanya dengan mimik wajah marah. "Kamu itu bisa mengerjakan pekerjaan rumah nggak sih? Kenapa cuma nyapu sama nyuci baju aja kamu nggak bisa?""Aku cuma bisanya seperti itu, bu. Kalaupun ada salah ya maklum lah bu. Aku memang nggak terbiasa melakukan pekerjaan rumah. Kan harusnya bisa dilaundry. Masalah nyapu nggak bersih-beesih amat juga nggak masalah kali Bu. nanti juga berdebu lagi. Terus nyapu lagi. Daripada capek nyapu mending nyapunya jarang aja Bu.""Ya Allah Raya! Kamu itu jadi perempuan kenapa malesnya minta ampun sih. Ada aja alasan kamu buat tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Memangnya sama orang tuamu tidak pernah diajarkan beres-beres rumah? Timbang gini doang kamu nggak bisa."Raya pun terdiam. Karena ia rasa percuma mendebat orang tua seperti ibu mertuanya itu. Pasti pada akhirnya tidak mau mengalah dan harus dirinyalah yang akan disalahkan. "Ya sudah bu nanti lain kali aku lebih hati-hati lagi
Hari demi hari telah berlalu. Sikap Fadhil mulai berubah terhadap Raya, istri keduanya. Padahal sebelum kehadiran Amira kala itu, Fadhil terlihat seperti "budak cinta" pada Raya. Fadhil bahkan rela melakukan apapun untuk kebahagiaan Raya. Berbeda dengan sekarang, Fadhil lebih sibuk dengan ponselnya daripada mengurusi dirinya dan juga bayi mereka yang baru lahir. Bahkan semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh kedua orang tua Fadhil. Memang pasangan senior itu sengaja di sana sedikit lebih lama karena ingin menghadiri acara sidang perceraian Fadhil dan Amira. Raya merasa dirinya semakin tersingkirkan oleh suaminya sendiri. Fadhil semakin tidak mempedulikan dirinya dari waktu ke waktu. "Mas, aku pengen makan cireng isi yang di perempatan seberang itu. Nanti belikan ya mas?" Pinta Raya sembari duduk di samping Fadhil yang tengah sibuk bermain ponsel. "Kamu beli aja sendiri. Sudah kuat buat jalan kesana kan? Ngapain nyuruh aku beli?" Sahut Fadhil tak menoleh ke arah Raya sedikitpun. "Kok
"Kenapa Mas Rayyan bisa tahu kalau aku tinggal di tempat ini? Apa jangan-jangan Mas Rayyan mengikutiku ya tadi?" Ucap Amira dalam hatinya. Dengan sedikit terpaksa, Amira pun berjalan pelan mendekati Rayyan yang berdiri tak jauh dari tempatnya sekarang."Maaf, aku mengikutimu tadi." Seru Rayyan saat Amira berada tepat di hadapannya. "Ada apa Mas Rayyan?" Langsung saja Amira mengatakan itu karena dia tidak mau berbasa-basi pada Rayyan. Kejadian beberapa bulan yang lalu telah membuatnya membangun tembok kokoh yang cukup membatasi jarak di antara mereka. Padahal dulunya keduanya bisa melepas canda tawa bersama dengan Maya tanpa ada rasa canggung seperti sekarang ini. Amira bahkan tidak bisa mengekspresikan diri seceria dulu di hadapan Rayyan setelah tahu kenyataan yang sebenarnya."Kenapa kamu dulu pergi tanpa kabar?" "Duduklah, mas." Titah Amira pada Rayyan. Pria itu segera duduk di kursi teras di depan rumah ibu kos. Hal itu karena memang agar tidak ada fitnah di antara mereka. Amir
Amira yang berlarian ke luar ternyata menabrak seseorang. Ia tak berhati-hati dan awas terhadap jalan di hadapannya. "Awww!" Tubuh Amira terjatuh ke aspal. "Maaf, nona. Saya tidak sengaja. Saya..." Pria itu menggantung ucapannya ketika Amira berusaha berdiri sendiri. Tatapan keduanya saling bertemu. Ada getaran rindu yang Rayyan rasakan. Setelah lama ia tak mengetahui kabar apapun dari Amira, kini dia dipertemukan di tempat yang tak terduga sama sekali. Rayyan sempat terpaku menatap Amira yang sudah menjelma menjadi wanita cantik dengan tubuh yang hampir mendekati ideal. Rayyan memang tak sengaja datang ke area disana karena ada pedagang karedok yang berjualan tak jauh dari tempat mereka berdiri saat ini. Rayyan berencana untuk membelikan umminya makanan itu. Tapi siang sangka bahwa ia akan bertemu dengan wanita yang selama ini dia cari. "Mas Rayyan!" Seru Amira pelan. "A-amira!" Rayyan pun terbata sambil tatapannya terus mengarah pada Amira. Amira memalingkan wajahnya ke kanan