Tiba-tiba saja Fadhil merasa takut. Apalagi anak yang sedang dalam kandungan Raya itu adalah hasil dari perbuatan zina. Ia tahu sendiri bahwa perbuatan itu dilarang oleh agama yang ia anut. Fadhil berusaha tersenyum di hadapan dokter itu. Kemudian ia menatap Raya yang sedari tadi menundukkan kepalanya. Ada rasa cemas dan takut juga yang terpancar di wajah ayu yang selama ini membuat Fadhil tergila-gila. Mereka berdua keluar dari ruangan dokter itu dengan pikiran masing-masing. Baru setelah mereka berada di tempat cukup sepi, akhirnya mereka buka suara satu sama lain. "Bagaimana ini kak? Aku beneran hamil. Aku takut kak. Aku nggak bisa menanggung beban ini sendirian." Raya menatap Fadhil penuh harap. Bahkan air matanya sudah ia tahan sejak tadi akhirnya jatuh juga membasahi wajahnya. "Tenang aja Raya. Aku akan bertanggung jawab atas bayi itu. Kejadian yang lalu juga aku ikut andil. Aku akan menikahimu Raya." Fadhil mengucapkan dengan penuh keyakinan. "Terus kapan kakak akan menikah
Amira tidak tenang seharian. Ia terus menghubungi Fadhil namun sayangnya Fadhil tak mengangkatnya sekalipun. Hati Amira cemas. Entah kenapa ia terus berpikiran negatif pada suaminya. "Mas, kamu itu sebenarnya kemana sih? Kenapa harus bohong sama aku?" Ia mondar-mandir bahkan untuk makan pun dia sampai harus menundanya karena terus memikirkan Fadhil yang entah berada dimana saat ini. Amira melihat foto pernikahan mereka yang dilaksanakan beberapa bulan yang lalu. Kemudian ia mengambilnya dan duduk di tepi ranjang."Perasaan apa ini mas? Kenapa saat melihat foto pernikahan ini hatiku terasa pedih." Ia mengelus foto dalam sebuah bingkai itu. Amira peluk bingkai foto itu untuk menenangkan pikiran buruknya. Setelah cukup merasakan ketenangan, Amira meletakkannya kembali ke dinding kamarnya. "Semoga tidak terjadi apa-apa. Entahlah pikiranku tiba-tiba jadi nggak enak gini. Mungkin cuma perasaanku yang lagi kacau." Gumamnya sendirian. Sedangkan di sebuah desa, Fadhil ternyata sedang mela
"Baiklah, kamu boleh pakai wisma di sebelahmu yang masih kosong itu. Tapi itu hanya untuk sementara waktu saja ya." Sahut Abah Abdullah setelah ia lama berpikir tadi. "Kasus seperti kamu baru kali ini terjadi di pondok ini. Saya hanya takut kalau hal ini bisa mempengaruhi reputasi pondok. Saya tidak membenci syariat itu. Tapi syariat itu bagi saya adalah hal tertinggi yang tidak semua orang mampu melakukannya termasuk saya sendiri. Yang saya kecewakan darimu adalah kamu melakukan tindakan poligami di bawah tangan. Bisa bayangkan perasaan istrimu kalau tahu kamu sudah menikah lagi diam-diam?" Fadhil terdiam sejenak. Ia sebenarnya tidak peduli dengan perasaan Amira. Sejak awal pernikahan itu tidak diinginkan olehnya, oleh karena itu dia tidak ingin memikirkan perasaan Amira seperti apa setelah tahu bahwa ia sudah menikah lagi tanpa sepengetahuannya. Bahkan kalaupun Amira akan meminta perceraian, dia akan senang hati menerimanya. "Akan saya bicarakan dengan Amira nanti, abah. semoga s
"Mir, kamu masak apa hari ini?" Raya mendekati Amira yang tengah mencuci peralatan memasaknya. Amira hanya melihat sekilas ke belakang kemudian melanjutkan kegiatannya kembali. "Buka saja sendiri!" Ucap Amira datar. Ia fokus mencuci peralatan masaknya. Raya membuka tudung saji itu dan menatap lapar setiap hidangan yang semuanya dimasak oleh Amira. Wanita gendut ini memang pandai sekali menyulap bahan masak menjadi makanan yang sangat menggugah selera makan. Raya saja sampai dibuat takjub dengan hidangan menggiurkan di depan matanya. "Wah, kayaknya enak nih masakanmu Mir." Amira bahkan tak menggubrisnya sama sekali. Sedangkan Raya langsung duduk di kursi dan mengambil piring kemudian ia tuangkan lauk pauk lengkap dengan sayur mayurnya hingga memenuhi piringnya.Amira yang baru saja selesai mencuci peralatan masaknya itu dibuat terheran dengan banyaknya makanan yang akan disantap oleh adik madunya itu. "Porsi makannya banyak banget? Padahal badan dia lebih kecil daripada aku. Emangn
Fadhil pulang dengan keadaan kuyu karena dia lelah setelah seharian bekerja. Amira tengah asyik mengepel lantai tanpa mengetahui kalau suaminya sudah pulang dan sedang berjalan menuju rumah. Pintu yang terbuka membuat Raya bisa melihat Fadhil dari jarak beberapa meter dari rumah. Raya tersenyum misterius. "Awww!" Pekik Raya cukup kencang. Raya pura-pura membuat dirinya terpeleset. Fadhil yang mendengar keributan dari dalam rumah langsung berlarian. "Kamu tak apa-apa, Raya?" Amira terkejut dengan teriakan Raya. Dia langsung meletakkan alat pel lantai begitu saja dan segera mendekati Raya. Amira hendak menolong namun ditepis kasar oleh Raya. "Bisa nggak sih kalau kamu ngepel itu bilang dulu ke aku? Biar kalau aku keluar dari kamar nggak terpeleset gini." Raya pura-pura kesal. "Kenapa ini?" Nafas Fadhil terengah-engah karena setengah berlari tadi. "Ini mas aku itu kan mau keluar kamar. Tapi aku nggak tahu kalau ada Amira lagi ngepel. Dia juga nggak bilang dulu sebelum ngepel. Aku ha
Sudah hampir dua minggu Raya tinggal di rumah ini. Kesehariannya setelah Fadhil berangkat mengajar hanyalah di dalam kamar entah melakukan apa. Amira juga tidak menganggapnya ada. Ia sering bersikap tidak peduli pada adik madunya itu. Ia bahkan membatasi interaksi dengan adik madunya itu. Amira hanya tak ingin emosinya memuncak tatkala berhadapan dengan adik madunya yang semakin hari tingkahnya semakin menyebalkan saja. "Mir, cucikan bajuku sekalian ya! Aku nggak bisa nih jongkok-jongkok kayak kamu terus menggilas pakaian pakai tangan. Capek tahu Mir. Kamu kan tahu aku itu lagi hamil muda. Jadi nggak boleh kecapekan Mir." Ucap adik madu Amira yang dengan santainya meletakkan keranjang bajunya yang kotor di sebelah Amira. "Kerjakan sendiri. Makanya jangan suka numpuk baju kotor di kamar. Tuh, kalau udah banyak begitu kamu yang susah sendiri." Sahut Amira dengan tangan yang masih menggilas pakaiannya. "Kan ada kamu yang bisa kumintai tolong buat sekalian cucikan bajuku? Toh, itu juga
"Mas, aku kan nggak bisa kecapekan mas. Aku lagi hamil muda loh. Masa iya aku harus ngerjain semuanya sendiri. Nanti kalau janin kita kenapa-kenapa gimana mas?" Raya memasang wajah melasnya pada Fadhil. Ia sampai menggoyang-goyangkan lengan Fadhil agar pria itu bisa memberikan dukungan padanya agar tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Fadhil beralih menatap Amira yang duduk bersebrangan dengan dirinya dan Raya. "Kan Raya hamil juga nggak selamanya hamil. Bayi itu nantinya akan lahir ke dunia ini. Jadi selama itu pula harusnya kamu bisa bantu Raya dong buat mengerjakan pekerjaan rumah. Toh, kita cuma bertiga di rumah ini. Lagian apa capeknya sih cuma nambah Raya aja kok di rumah ini. Lagipula kamu kan sudah terbiasa buat mengerjakan pekerjaan rumah. Kamu juga nggak pernah mengeluh selama ini sama aku. Tapi kenapa sekarang kamu malah sepertinya keberatan?" Perkataan Fadhil membuat Raya merasa di atas awan. Fadhil benar-benar mendukungnya. Itu artinya posisi Amira di rumah ini tidaklah
Amira tersenyum miris. Ia juga tak menyangka perjalanan hidupnya akan ada hal seperti ini."Mana sekarang istri keduanya malah disatukan gini sama istri pertama. Bener-bener ya Ustadz Fadhil nggak ada hati sama sekali. Nggak nyangka aku." Maya menatap jengah ke depan. Bahkan ia tak mengerti jalan pikiran suami dari sahabat barunya itu. "Sejak kapan perempuan itu tinggal disini mbak?" Maya beralih menatap Amira yang masih menatap kosong ke depan. "Sudah lebih dari dua minggu, May. Kata Mas Fadhil, Raya akan tinggal di sebelah wisma ini. Karena wisma sebelah masih kosong. Tapi entahlah sampai saat ini Raya tidak juga pindah dari rumah ini."Maya menatap kasihan pada sahabatnya itu. "Ya Allah mbak. Padahal kamu masih berjuang buat mendapatkan cinta dari suamimu. Sekarang malah dihadapkan dengan ujian orang ketiga. Aku turut prihatin mbak." Maya memeluk sahabatnya itu. Akhirnya air mata Amira yang ia tahan sejak tadi jatuh juga. Ia merasakan sesak luar biasa. Bahkan ia sudah sesengguka
Raya membolak-balikkan tubuhnya. Perasaan yang tiba-tiba muncul kala mendengar kabar pernikahan Rayyan dengan seorang wanita membuatnya resah dan gelisah. Padahal ia sudah memastikan pada hatinya bahwa Amira tidak akan memiliki perasaan kepada Rayyan. Namun betapa terkejutnya ia kali ini saat Maya mengatakan hal itu. Hatinya bagai teriris. "Ya Allah, apa aku sudah jatuh hati pada pria itu? Tidak! Jangan sampai! Aku tahu dia dan aku itu beda kelas. Dia anak orang terpandang. Tidak sepantasnya bersanding dengan aku yang hanya keluarga biasa saja." "Tapi kenapa perasaan ini muncul tiba-tiba? Aku cemburu?" Amira merapatkan matanya sejenak. Ia pukul pelan keningnya dengan tangannya yang menggenggam. "Nggak boleh dibiarkan! Rasa ini harus aku hilangkan secepatnya. Aku tidak ingin menjadi duri di dalam rumah tangga mereka. Aku tahu rasanya dipermainkan dalam rumah tangga. Jadi, aku tidak ingin menjadi pelakunya.""Lagipula Mas Rayyan kan sudah memutuskan untuk menikahi wanita lain. Janjin
Memang seperti itulah manusia. Saat diberikan waktu untuk sebuah kenikmatan justru mereka lupa untuk mensyukurinya. Tetapi justru memilih untuk berusaha mencari ladang yang dianggapnya lebih subur. Rumput tetangga memang jauh lebih hijau dibandingkan dengan rumput di halaman sendiri. Padahal jika rerumputan itu dirawat, pasti akan sangat indah dipandang oleh mata. Namun setelah melihat kenyataan yang sebenarnya, barulah ia bisa menyesalinya. Begitu juga dengan Fadhil saat ini. Dari dulu dia sangat berharap kalau Raya adalah jodoh tepat dari Tuhan untuk dirinya. Dia sangat menjaga hatinya hanya untuk Raya seorang. Bahkan sampai Fadhil menikahi Amira, rasa itu malah semakin ia tumbuhkan secara sengaja agar Amira menyerah saja pada pernikahan ini. Namun saat ini ia telah menuai apa yang dia lakukan. Raya yang dianggapnya adalah wanita sempurna dan cocok mendampingi hidupnya ternyata sangat jauh dari ekspektasinya sebagai seorang laki-laki. Sementara itu Rayyan kini tengah menghadap pad
Rayyan yang melihat Amira diam saja membuatnya gelisah. Ia pun mencoba untuk menanyakan kembali."Jadi, bagaimana Amira?" Mata Rayyan tak henti-hentinya melihat Amira yang sangat cantik di matanya. Amira belum berani menjawabnya. Rayyan dengan sabar menanti jawaban dari Amira. Hati wanita yang baru selesai masa iddah itu bertambah campur aduk. Ia menoleh ke arah bapak ibunya untuk mencari pertolongan. Orang tuanya juga saling pandang karena mereka kebingungan untuk menanggapinya. Di sisi satu, orang tua Amira sangat bahagia karena ada pria sholeh dan baik yang mau mempersunting anaknya. Namun di sisi lain mereka juga mengkhawatirkan tentang status sosial yang melekat di antara kedua belah pihak. Tak bisa dipungkiri bahwa orang tuanya sempat khawatir akan hal itu. Mereka termasuk keluarga mampu namun kalau dibandingkan dengan keluarga Rayyan jelas jauh bedanya. Oleh karena itu, mereka meragukannya. Mereka khawatir anaknya nantinya akan diperlakukan tidak baik disana karena perbedaan
Amira semakin rajin merawat diri dari hari ke hari. Dia rajin ke tempat senam untuk membuat tubuhnya ideal. Pola makan sehat selalu dia terapkan. Awalnya memang sangat sulit sekali. Apalagi kebiasaan makan banyak yang Amira lakukan sangat sulit untuk dihindari. Namun karena Amira bertekad untuk hidup lebih baik, akhirnya Amira pun berhasil menurunkan berat badannya secara drastis. Selain menjaga kesehatan dan pola makannya, Amira juga sudah mulai berani belajar mempercantik diri. Bahkan ia semakin lihai menggunakan peralatan make up yang semula awam bagi dirinya. Dia belajar secara otodidak melalui sosial media. Dia pun juga belajar bagaimana cara tampil stylish. Hal itu dia lakukan untuk membuat kehidupan lebih baik daripada sebelumnya. Ia ingin meninggalkan masa-masa kelam dengan Amira yang baru. Amira kini menatap dirinya pada pantulan cermin di hadapannya. Ia merasa puas dengan hasil yang selama ini dia lakukan. Pengorbanan selama ini akhirnya berbuah manis. Amira menjelma menja
Singkat cerita, akhirnya Fadhil dan Amira telah resmi bercerai. Amira hanya ingin sendiri dan menata hidupnya kembali. Perjuangan untuk mendapatkan cinta sang suami yang tulus ternyata berakhir pada kandasnya rumah tangga mereka. Cinta yang sempat hadir di hati Amira pun perlahan terkikis oleh waktu. Perlakuan Fadhil dan juga pengkhianatan yang dilakukan Fadhil ternyata mampu menggoyahkan cinta yang selama ini ia tumbuhkan di hatinya. "Ya Allah, aku benar-benar sudah berubah status menjadi seorang janda. Aku tak menyangka takdirku ternyata seperti ini pada akhirnya. Tapi aku tidak akan menyalahkannya. Engkau lebih tahu apa yang terbaik untukku Ya Allah. Ampuni hamba karena sudah memilih jalan yang Engkau benci ini." Amira menatap indahnya hamparan kebun bunga yang berada di sebuah taman. Ia sedang menikmati pemandangan sekaligus menghirup udara segar setelah sidang akhirnya diputuskan kemarin. Amira pun merasa lega karena terbebas dari pernikahan toksik yang pada akhirnya membuatnya
"Ada apa Bu?" Tanya Raya saat dia sudah membuka pintu. Raya melihat ibu mertuanya dengan mimik wajah marah. "Kamu itu bisa mengerjakan pekerjaan rumah nggak sih? Kenapa cuma nyapu sama nyuci baju aja kamu nggak bisa?""Aku cuma bisanya seperti itu, bu. Kalaupun ada salah ya maklum lah bu. Aku memang nggak terbiasa melakukan pekerjaan rumah. Kan harusnya bisa dilaundry. Masalah nyapu nggak bersih-beesih amat juga nggak masalah kali Bu. nanti juga berdebu lagi. Terus nyapu lagi. Daripada capek nyapu mending nyapunya jarang aja Bu.""Ya Allah Raya! Kamu itu jadi perempuan kenapa malesnya minta ampun sih. Ada aja alasan kamu buat tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Memangnya sama orang tuamu tidak pernah diajarkan beres-beres rumah? Timbang gini doang kamu nggak bisa."Raya pun terdiam. Karena ia rasa percuma mendebat orang tua seperti ibu mertuanya itu. Pasti pada akhirnya tidak mau mengalah dan harus dirinyalah yang akan disalahkan. "Ya sudah bu nanti lain kali aku lebih hati-hati lagi
Hari demi hari telah berlalu. Sikap Fadhil mulai berubah terhadap Raya, istri keduanya. Padahal sebelum kehadiran Amira kala itu, Fadhil terlihat seperti "budak cinta" pada Raya. Fadhil bahkan rela melakukan apapun untuk kebahagiaan Raya. Berbeda dengan sekarang, Fadhil lebih sibuk dengan ponselnya daripada mengurusi dirinya dan juga bayi mereka yang baru lahir. Bahkan semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh kedua orang tua Fadhil. Memang pasangan senior itu sengaja di sana sedikit lebih lama karena ingin menghadiri acara sidang perceraian Fadhil dan Amira. Raya merasa dirinya semakin tersingkirkan oleh suaminya sendiri. Fadhil semakin tidak mempedulikan dirinya dari waktu ke waktu. "Mas, aku pengen makan cireng isi yang di perempatan seberang itu. Nanti belikan ya mas?" Pinta Raya sembari duduk di samping Fadhil yang tengah sibuk bermain ponsel. "Kamu beli aja sendiri. Sudah kuat buat jalan kesana kan? Ngapain nyuruh aku beli?" Sahut Fadhil tak menoleh ke arah Raya sedikitpun. "Kok
"Kenapa Mas Rayyan bisa tahu kalau aku tinggal di tempat ini? Apa jangan-jangan Mas Rayyan mengikutiku ya tadi?" Ucap Amira dalam hatinya. Dengan sedikit terpaksa, Amira pun berjalan pelan mendekati Rayyan yang berdiri tak jauh dari tempatnya sekarang."Maaf, aku mengikutimu tadi." Seru Rayyan saat Amira berada tepat di hadapannya. "Ada apa Mas Rayyan?" Langsung saja Amira mengatakan itu karena dia tidak mau berbasa-basi pada Rayyan. Kejadian beberapa bulan yang lalu telah membuatnya membangun tembok kokoh yang cukup membatasi jarak di antara mereka. Padahal dulunya keduanya bisa melepas canda tawa bersama dengan Maya tanpa ada rasa canggung seperti sekarang ini. Amira bahkan tidak bisa mengekspresikan diri seceria dulu di hadapan Rayyan setelah tahu kenyataan yang sebenarnya."Kenapa kamu dulu pergi tanpa kabar?" "Duduklah, mas." Titah Amira pada Rayyan. Pria itu segera duduk di kursi teras di depan rumah ibu kos. Hal itu karena memang agar tidak ada fitnah di antara mereka. Amir
Amira yang berlarian ke luar ternyata menabrak seseorang. Ia tak berhati-hati dan awas terhadap jalan di hadapannya. "Awww!" Tubuh Amira terjatuh ke aspal. "Maaf, nona. Saya tidak sengaja. Saya..." Pria itu menggantung ucapannya ketika Amira berusaha berdiri sendiri. Tatapan keduanya saling bertemu. Ada getaran rindu yang Rayyan rasakan. Setelah lama ia tak mengetahui kabar apapun dari Amira, kini dia dipertemukan di tempat yang tak terduga sama sekali. Rayyan sempat terpaku menatap Amira yang sudah menjelma menjadi wanita cantik dengan tubuh yang hampir mendekati ideal. Rayyan memang tak sengaja datang ke area disana karena ada pedagang karedok yang berjualan tak jauh dari tempat mereka berdiri saat ini. Rayyan berencana untuk membelikan umminya makanan itu. Tapi siang sangka bahwa ia akan bertemu dengan wanita yang selama ini dia cari. "Mas Rayyan!" Seru Amira pelan. "A-amira!" Rayyan pun terbata sambil tatapannya terus mengarah pada Amira. Amira memalingkan wajahnya ke kanan