Senja merah bata di ufuk barat selayang mataku memandang. Kebetulan rumah Rindu menghadap ke barat. Walau terhalang oleh beberapa rumah tetangga. Aku masih bisa menikmati redupnya matahari menguapkan kantuknya. Mungkin ia tengah lelah dan ingin beristirahat. Seperti jua aku yang ingin mengakhiri ini semua. Mengakhiri rangkaian semua cerita. Sebuah cerita tentang alkisah turun ranjang tentang aku dan Rindu. Otak dan tubuhku rasanya sudah terlalu penat menghadapi semuanya sendirian. Semalam Ayah dan Ibu menanyakan kabar tentang kondisi Rindu. Akhirnya ada satu masa mereka berdua tak menanyakan keadaanku malah menanyakan kabar menantunya. “Heh dasar Ayah dan Ibu!” tawa kecilku menyeringai dibius bias sinar surya kala senja matahari menjurus pada detik-detik menjelang magrib. Masih pukul setengah lima sore di teras rumah Rindu. Biarlah aku sejenak duduk menikmati jalan depan rumah Rindu. Menyapa para tetangga yang kebetulan lewat. Rindu tengah tertidur kembali setelah lelah bermain l
Pagi bergulir menjadi siang dan siang berubah menjadi malam. Akhirnya aku mulai lelah dengan aktivitasku baru-baru ini. Mungkin aku sedikit membutuhkan hiburan. Aku yang biasanya bergaya hidup tanpa kekangan. Kini harus berkutat antara teras ruah tengah dan kamar Rindu. Tapi semua ini demi satu janjiku pada Almarhum Mas Danang. Walau janji itu terucap melalui mimpi yang aneh. Tapi aku merasa sungguh itu adalah Mas Danang. Malam ini sudah terlalu larut untuk aku sekedar minum kopi atau menyulut sebatang rokok di teras rumah Rindu. Akhirnya aku memilih duduk di dekat jendela. Membukanya sedikit dan pada akhirnya aku tahu. Memang jendela didesain bisa dibuka dari luar. Ada satu tempat kunci dari luar jendela. Mungkin maksud Ayah dan Ibu mertua. Agar mudah bila Rindu tengah mengamuk atau marah-marah. Tetapi selama denganku kenapa Rindu tidak pernah marah-marah entah. Entak karena lelah atau penatnya tubuh dan otakku. Entah karena semilir angin malam dari luar jendela yang terbuka sed
“Hah benar hanya mimpi saja, kenapa aku jadi was-was dan merasa ketakutan. Sebaiknya aku tutup jendela dan lekas tidur di samping Rindu.” Saat aku lihat jam dinding ternyata masih pukul sepuluh malam. Kenapa dalam mimpi itu waktu sudah hampir subuh. Akankah mimpi itu menjadi nyata. Kakek Haji itu terus memanggil aku cucu. Sebenarnya siapa beliau Pak Haji yang aku temui di trotoar waktu itu? Baiknya aku lekas tidur. “Ah Cuma mimpi Raja, hanya mimpi dan mungkin aku terlalu lelah. Mungkin otakku terlalu banyak pikiran. Jadilah aku bermimpi yang aneh-aneh. Baiknya aku mulai rebahkan tubuhku di samping Rindu,” sejenak seperti biasanya, aku kecup sedikit kening Rindu. Menyibakkan rambut beberapa helai yang jatuh di keningnya. Tapi serasa ada yang aneh dengan Rindu. Saat aku mengecup keningnya bukan tanpa alasan. Aku melakukannya semata-mata untuk mengecek suhu tubuhnya juga. Suhu tubuh Rindu yang biasanya selalu panas dan selalu aku kompres dengan kain kecil aku basahi air es. Aku ras
Pov Rindu Hari ini teramat lelah untukku, bahkan rasanya pekerjaan menumpuk di bangku kerjaku. Tumpukkan berkas-berkas yang harus aku periksa dan harus selesai hari ini juga. Membuat aku harus ekstra lembur sampai malam tentunya. Semoga saja Mas Danang Si Abang CEO ganteng itu membolehkan aku untuk membawa pekerjaan ini pulang bila sampai jam sepuluh malam tidak selesai juga. Aku sudah teramat lelah dan mengantuk soalnya. Mataku sudah begitu lelah ingin segera merebah di atas kasurku. Enak mungkin bila setiap hari dalam beberapa hari. Aku hanya merebahkan tubuhku dan tidur tidak ke mana-mana dan tidak melakukan aktivitas apa pun jua. “Hah, masih dua tumpuk lagi,” ucapku agak menangis kecil di raut wajah. Seperti mengeluh namun ingin merasa menangis. Tetapi tanpa air mata tentunya. “Ada apa Dek kok belum pulang?” ternyata Mas Danang juga belum pulang. Entah ia sengaja atau tidak atau memang menungguku sampai pulang seperti biasanya. Jelasnya memang malam ini Mas Danang juga belum
Laju mobil Mas Danang yang aku kendarai mulai melaju secara perlahan meninggalkan pelataran kantor kami. Mas Danang rupanya tidak mempersoalkan bila aku mengambil alih kemudinya. Hanya dia mengatakan padaku untuk tetap dalam laju kecepatan normal. Dia tahu bila aku membawa mobil dan memegang kendali. Biasanya aku tidak sabaran dan ingin segera pulang. Entah kenapa akhir-akhir ini aku selalu ingin cepat pulang. Lalu merebahkan semua lelah dan penat seharian bekerja di atas kasur kesayanganku.Mungkin ini yang dinamakan dengan kata jodoh. Mas Danang yang cenderung kalem dan apa adanya. Malah bertemu denganku yang cenderung banyak tingkah dan tak bisa diam dalam waktu lama. “Pelan-pelan Dek nanti juga sampai. Alon-alon asal selamat, jangan mengebut kesehatan itu mahal,” selalu satu perkataan dari rangkaian mengingatkanku. Selalu terucap dari bibir Mas Danang yang masih merah. Tiada satu kali saja aku lihat bibir itu tersentuh asap tembakau. “Pelan ini berapa sih Cuma delapan puluh,”
Lelaki itu mengendarai motor trail. Memakai jaket serba hitam dengan helm teropong hitam. Tetapi aku sempat melihat dari wajahnya dengan tatapan mata tajam. Saat lelaki itu berhenti sejenak di samping kaca mobil sebelah aku mengemudi. Tatapan matanya sama persis dengan mata kekasihku Mas Danang. Tapi Mas Danang sedang ketakutan di sampingku. “Ia, ia, saya mengerti Mas tolong ya.” Sesaat saat aku masih tertegun dengan tatapan matanya. Lelaki itu memberi kode agar aku melanjutkan perjalanan dan ia akan mengawal dari belakang laju mobil kami. Aku pun menuruti arahan kode tangan lelaki itu. Mulai menjalankan mobil kembali sembari menenangkan Mas Danang yang terus gemetar ketakutan. “Sabar sayang masih ada pertolongan orang baik yang tetap peduli akan keselamatan orang lain. Kita akan pulang tenanglah Mas Danang.” Aku terus mencoba menenangkan Mas Danang. Aku tak menyalahkan Mas Danang yang cenderung lemah nyali. Cenderung tidak bisa bertarung dan memilih menghindari konflik. Mungk
Malam sudah teramat larut di depan kamar Ibu Juariah dan beliau sudah pulas terlelap. Bahkan terlalu larut untuk sekejap memejamkan mataku. Pekerjaan memeriksa berkas-berkas dari kantor tinggal dua lagi. Tetapi mataku sudah teramat mengantuk. Sehingga membuat aku tanpa sadar tertidur beralaskan meja kerja Mas Danang dalam posisi masih duduk. Mas Danang juga entah ke mana. Beberapa waktu yang lalu dia berpamitan hendak mencari ingin segar sebentar. Malah meninggalkan aku sendirian di depan kamar Ibunya. Raja juga entah ke mana, bahkan saat Raja diminta tolong Mas Danang. Agar membantuku untuk ikut memeriksa berkas-berkas yang kami bawa. Dia malah pergi dengan motor trilnya. Sambil terus marah-marah tak jelas. Bahkan sempat beradu cekcok dengan Mas Danang. Bu Juariah juga sempat bertanya padaku sebelum ia pergi ke dalam kamar yang berada tepat di sisi kiriku kini berada. Beliau bertanya tentang aku, apa sudah meminta izin pada Ayah dan Ibuku kalau menginap di rumahnya. Aku belum s
Wing, Slap, tar, Tiba-tiba satu bola kasti melayang cepat lurus mengenai kening Doni yang kebetulan menoleh. Doni tampak asyik dengan aktivitasnya mengerjai Rindu yang ia ikat di atas kursi. “Au gila ya!” Doni seketika berteriak dan terlepaslah derita Rindu seketika. Sebab sebelumnya sepuluh jari Doni seakan bergerilya rata ke seluruh bagian lekuk tubuh Rindu. Tak ada sejengkal saja yang tidak di datangi oleh tangan kotor Doni. Wing, dar, Satu kali lagi bola kasti warna kuning melayang kencang. Kali ini pas tepat di mata kiri Doni mengenainya telak. Bahkan Doni sampai terhuyung-huyung jatuh ke lantai tak jauh dari tempat Rindu. Kali ini telapak tangan yang tadi untuk menjelajahi area-area sensitif di bagian tubuh Rindu. Malah digunakan Doni menutup matanya yang baru saja terkena lemparan bola kasti. Ada darah bercampur cairan aneh putih dati sela jemarinya. “Ah, sakit! Mataku, mataku!” Doni tampak kesakitan sambil merangkak mundur ketakutan. Kali ini darah sudah berjatuhan di
Raja membuka matanya perlahan dan keseluruhan badannya telah basah kuyup. Bahkan ia kembali dan kembali diguyur air satu ember. Satu ember air comberan yang berbau menyengat tak sedap. Bagai bau kotoran manusia yang sangat menyengat. Byur, “Bangun kau Raja sang legenda MMA kota Bangzo. Bangun jagoan yang selalu dapat mengalahkan lawan-lawanya dari alam nyata maupun alam gaib. Lihatlah sekelilingmu sekarang Raja dan perhatikan kau ada dimanah sekarang?” Oceh Nona Ana yang tengah berdiri bertolak pinggang. Sambil membawa satu ember berukuran tanggung bekas terisi penuh air comberan yang ia guyurkan pada Raja. Raja menatap sekitar ia berada dan kali ini Raja benar-benar tak bisa berbuat apa-apa. Sebab kedua tangannya terikat oleh pasung dan juga lehernya. Kedua kakinya terikat rantai besi dengan bandul bola besi besar di ujungnya. Raja melihat istrinya Rindu tak memakai apa pun di tubuhnya dirantai di kedua kaki dan tangannya dengan cara direntangkan. Matanya ditutup dan mulutnya dis
Langkah kaki Raja menapak kembali rumah kosong di belakang pos hansip. Tangannya meraih pintu pagar depan yang sudah hampir hancur. Membukanya dengan cepat dan mulai berjalan ke arah pintu depan rumah tersebut. “Sudah aku bilang padamu untuk berhenti Joni. Tetapi kau tetap saja tak mengindahkan perkataanku. Kalau demikian percuma aku menganggapmu saudara selama ini,” gerutu Raja yang mulai basah di beberapa bagian pakaian yang ia kenakan. Sebab kali ini tengah malam turunlah air mata langit. Berupa titik-titik gerimis dengan intensitas agak kerap. Ceklek, Gagang pintu depan rumah kosong belakang pos hansip. Segera terbuka oleh Raja hanya gelap menyeruak dari dalam rumah kosong. Tidak ada cahaya sama sekali yang bisa untuk menerangi mata. Agar seseorang bisa melihat apa yang ada di dalam rumah. Hanya sebatas satu penglihatan satu sentimeter saja. Tetapi ada satu cahaya lilin di tengah-tengah ruang tamu yang menyala. Ada satu tikar kecil yang digelar di belakang lilin. Ada satu soso
“Hai Joni temanku welcome selamat datang di Istanaku yang bisa dibilang ini hasil warisan Ayahku. Kau tahulah teman bahkan kau adalah salah satu teliksandi atau kaki tangan Ayahku dulu yang tak terlihat. Maaf aku tak bisa datang saat kematian Nenek Lembayung. Saya ikut mengucapkan bela sungkawa,” ucap Nyonya Lintang menyambut kedatangan Joni di taman sisi depan halaman rumahnya.Ternyata Joni selama ini merahasiakan hal sebesar ini dari Raja. Bahkan Raja tak mengetahui bila saudara sesusunnya Joni dari desa Lembayung yang kapan hari ia kunjungi. Ternyata ada hubungan erat dengan Nyonya Lintang. Bahkan Nyonya Lintang menyambut kedatangan Joni bagai kawan lama. Raja juga tidak mengetahui jikalau yang membunuh Nenek Lembayung bukan para dukun desa. Tetapi Joni dan istrinya sendiri agar seluruh aset rumah, sawah dan pekarangan Nenek Lembayung yang lebarnya hampir mencakup setengah desa menjadi milik Joni sendiri. Tanpa harus dibagi pada Raja yang hanya anak sesusuan saja. “Nona Lintang
Pagi itu Raja menemukan dua kantong belanjaan yang berserakan di depan pagar rumah terbengkalai samping pos satpam. Raja juga menemukan sobekan daster dua lengan dengan Rendra bunga-bunga. Dia tahu benar kalau itu adalah sobekan dari dua lengan daster Rindu. Sebab ia yang membelikan daster yang kini dikenakan Rindu. Tanpa pikir panjang Raja langsung melompati pagar depan rumah kosong. Pos hansip atau pos satpam di sampingnya juga belum jua ada penjaganya. Padahal hari sudah melewati pukul setengah enam lebih lima menit. Raja terus masuk ke area halaman rumah kosong yang kebetulan. Halamannya hanya sedikit selebar satu setengah meter. Kali ini Raja menemukan sandal jepit milik Rindu yang tersangkut di pot bunga dan yang satunya terlempar di sebelah kiri rumah kosong. Akhirnya Raja menemukan daster utuh milik Rindu. Tergeletak di lantai ubin warna merah di teras rumah kosong tersebut. Wajah Raja semakin memerah marah bercampur geram. “Kalau seperti ini kejadiannya dan ini sudah tida
“Nak pulanglah sekarang Bapak ini sudah lama mengenal tabiat anak itu. Nyonya Lintang itu tentu tak akan tinggal diam dengan apa yang kamu lakukan dua hari ini. Anggrek Hitam berbeda sistemnya dengan mafia orang tuanya dahulu. Bila orang tuanya dahulu lebih senang mengumpulkan satu titik kekuatannya. Pada satu tempat saja tak menyebarkannya di beberapa titik atau mereka sebut pos bagian. Sekarang mereka tersebar di seluruh kota. Termasuk di pos hansip tempat Pak RT yang kamu ajak kemarin. Belakang pos hansip itu ada rumah kosong di sana mereka juga ada,” tutur Pak Bandot mengingatkan Raja. “Yah saya sudah menduganya akan hal itu Pak Bandot. Baiklah saya pamit pulang terlebih dahulu. Semoga Bapak tetap sehat selalu dan lain kali kita dapat berjumpa lagi, Asallamualaikum,” ucap Raja mengucapkan salam lalu beranjak pergi dari Warkop Pak Bandot. Sementara itu di tempat yang dikatakan Pak Bandot. Belakang pos hansip tak jauh dari rumah Pak RT. Ternyata adalah sebuah rumah terbengkalai da
Pagi berikutnya, Brak, dar, pyar, Tiga algojo penunggu teras rumah mewah Nyonya Lintang terlempar ke arah jendela kaca pas di samping pintu masuk rumah. Bahkan tiga algojo yang dahulu menyeret-nyeret Rajo lalu membunuhnya. Tak mampu mengalahkan Raja yang hanya menggunakan tangan kosong. Raja sempat duduk di kursi ukir klasik khas orang kaya yang berada di sisi kiri teras. Sedangkan tiga algojo sudah tidak bergerak dengan kaca berserakan di sekitar mereka. Raja masih bergaya bak tamu yang datang berkunjung. Menyulut sebatang rokok dan menghembuskan asap ke udara dari bibirnya. “Lumayan juga dua hari saat pagi seperti ini berolah raga. Sudah lama otot-ototku kaku tak bergerak. Dua hari ini cukup membuat keringat. Hitung-hitung biar badan segar-bugar dan sehat kembali,” ucap Raja memandang ke arah taman. “Woi kalian berlima apa tidak ingin sedikit membuat keringat. Kemarilah kita berolah raga sejenak diam-diam saja. Buatkan aku kopi mendingan tamu ini,” teriak Raja memanggil lima aj
Raja berjalan pelan dan tetap santai menuju gerbang besar warna merah dua sisi. Masih ada ukiran mawar hitam di setiap sisinya persis seperti setahun yang lalu. Ada juga ukiran naga dan tengkorak sebagai ornamen tambahan. Raja sempat menyulut sebatang rokok dari saku kemeja yang ia pakai dan kemeja itu milik Rajo. Persis seperti yang digunakan Rajo setahun yang lalu. Sebelum akhirnya langkah Raja dihentikan oleh beberapa penjaga di gerbang merah. “Woi mau ke mana kau anak muda. Apa kau tidak salah jalan menuju ke mari?” ucap salah satu penjaga gerbang merah. “Maaf Pak saya mau tanya, apakah benar ini kediaman Nyonya Lintang. Saya hendak menemuinya dan hendak menyampaikan sesuatu kepadanya?” jawab Raja masih bersopan-santun dan berlemah-lembut dalam tutur katanya. Namun penjaga gerbang merah di depannya menatap Raja agak mencincingkan mata. Seakan ia pernah melihat Raja sebelumnya. Bahkan mereka agak berbisik-bisik satu sama lain. “Bukankah dia yang datang ke mari setahun yang lal
“Apa benar kau akan melakukannya Ayah. Kenapa Bunda jadi khawatir ya Ayah. Apa tidak bisa dengan cara lain?” Rindu tampak kembali murung dengan niat Raja untuk melihat kediaman mafia Anggrek Hitam. Rindu takut akan terjadi tragedi yang sudah-sudah. Walau mereka selalu selamat dan selalu beruntung. Tapi perasaan wanita sungguh sangat lembut dan gampang sekali. Takut akan terjadinya sesuatu yang tak diinginkan. Sebab perasaan wanita sangat perasa jua. Pagi ini Rindu dengan kandungannya yang sudah membesar dan hampir melahirkan. Berdiri di teras bersama Bu RT melihat Raja berdandan ala Rajo anak dari Pak RT yang sudah meninggal. Bu RT terlihat terus menatap Raja dengan tatapan kerinduan pada almarhum anaknya. “Nak Raja kau sungguh mirip dengan almarhum anak kami Rajo. Baju itu dan celana itu pakaian terakhir yang dipakai Rajo. Saat malam itu ia berpamitan pergi untuk mengambil kembali calon menantu kami. Sayangnya Nak Raja bukan Rajo kalian dua orang berbeda. Anak kami Rajo yang selal
Brak, brak, Rajo tampak berdarah-darah terus dipukuli dua algojo dari Nyonya Lintang. Rajo sudah tak berdaya lagi dan sudah pasrah akan keadaannya. Memang Rajo mampu melewati penjaga gerbang merah. Mampu melewati lima bodyguard di taman. Tetapi melawan dua algojo di depan pintu masuk rumah mewah milik Nyonya Lintang. Rajo sudahlah habis tenaga dan tak mampu lagi melawan dua algojo yang berbadan kekar-kekar tersebut. Sehingga kini Rajo malah diseret ke arah ruangan dimanah calon istrinya tengah dieksekusi para lelaki hidung belang. “Kami akan membawamu menyaksikan calon istrimu menikmati kehangatan yang belum pernah ia rasakan. Kamu harus tahu kegadisannya sudah jebol sejak sore tadi. Istrimu sudah tak lagi gadis dan sekarang sedang dinikmati tiga orang lelaki tua secara bersamaan. Mari saya antar melihatnya agar kau tahu bagaimana rasanya kalau melawan Nyonya Lintang?” ucap satu Algojo sambil menjambak rambut Rajo yang memang agak panjang. Tubuhnya terus diseret walau berdarah-dar