Lelaki itu mengendarai motor trail. Memakai jaket serba hitam dengan helm teropong hitam. Tetapi aku sempat melihat dari wajahnya dengan tatapan mata tajam. Saat lelaki itu berhenti sejenak di samping kaca mobil sebelah aku mengemudi. Tatapan matanya sama persis dengan mata kekasihku Mas Danang. Tapi Mas Danang sedang ketakutan di sampingku. “Ia, ia, saya mengerti Mas tolong ya.” Sesaat saat aku masih tertegun dengan tatapan matanya. Lelaki itu memberi kode agar aku melanjutkan perjalanan dan ia akan mengawal dari belakang laju mobil kami. Aku pun menuruti arahan kode tangan lelaki itu. Mulai menjalankan mobil kembali sembari menenangkan Mas Danang yang terus gemetar ketakutan. “Sabar sayang masih ada pertolongan orang baik yang tetap peduli akan keselamatan orang lain. Kita akan pulang tenanglah Mas Danang.” Aku terus mencoba menenangkan Mas Danang. Aku tak menyalahkan Mas Danang yang cenderung lemah nyali. Cenderung tidak bisa bertarung dan memilih menghindari konflik. Mungk
Malam sudah teramat larut di depan kamar Ibu Juariah dan beliau sudah pulas terlelap. Bahkan terlalu larut untuk sekejap memejamkan mataku. Pekerjaan memeriksa berkas-berkas dari kantor tinggal dua lagi. Tetapi mataku sudah teramat mengantuk. Sehingga membuat aku tanpa sadar tertidur beralaskan meja kerja Mas Danang dalam posisi masih duduk. Mas Danang juga entah ke mana. Beberapa waktu yang lalu dia berpamitan hendak mencari ingin segar sebentar. Malah meninggalkan aku sendirian di depan kamar Ibunya. Raja juga entah ke mana, bahkan saat Raja diminta tolong Mas Danang. Agar membantuku untuk ikut memeriksa berkas-berkas yang kami bawa. Dia malah pergi dengan motor trilnya. Sambil terus marah-marah tak jelas. Bahkan sempat beradu cekcok dengan Mas Danang. Bu Juariah juga sempat bertanya padaku sebelum ia pergi ke dalam kamar yang berada tepat di sisi kiriku kini berada. Beliau bertanya tentang aku, apa sudah meminta izin pada Ayah dan Ibuku kalau menginap di rumahnya. Aku belum s
Wing, Slap, tar, Tiba-tiba satu bola kasti melayang cepat lurus mengenai kening Doni yang kebetulan menoleh. Doni tampak asyik dengan aktivitasnya mengerjai Rindu yang ia ikat di atas kursi. “Au gila ya!” Doni seketika berteriak dan terlepaslah derita Rindu seketika. Sebab sebelumnya sepuluh jari Doni seakan bergerilya rata ke seluruh bagian lekuk tubuh Rindu. Tak ada sejengkal saja yang tidak di datangi oleh tangan kotor Doni. Wing, dar, Satu kali lagi bola kasti warna kuning melayang kencang. Kali ini pas tepat di mata kiri Doni mengenainya telak. Bahkan Doni sampai terhuyung-huyung jatuh ke lantai tak jauh dari tempat Rindu. Kali ini telapak tangan yang tadi untuk menjelajahi area-area sensitif di bagian tubuh Rindu. Malah digunakan Doni menutup matanya yang baru saja terkena lemparan bola kasti. Ada darah bercampur cairan aneh putih dati sela jemarinya. “Ah, sakit! Mataku, mataku!” Doni tampak kesakitan sambil merangkak mundur ketakutan. Kali ini darah sudah berjatuhan di
Mas Danang merebahkan tubuhku di atas kasur di dalam kamarnya. Aku masih belum bisa bergerak juga badanku kaku. Semua ini sebab oleh minuman teh hangat beberapa saat lalu. Mas Danang sungguh lelaki yang baik dan aku beruntung dapat menemaninya. Mas Danang adalah lelaki sabar yang berjiwa besar yang pernah aku temui. Bahkan ia mampu memaafkan lelaki kasar, lelaki jahat yang hendak mencelakaiku. Aku tak menyalahkan Mas Danang atas peristiwa ini. Semua terjadi tentu di luar prediksi kami. “Maaf ya sayang aku datang terlambat tadi. Untung saja Raja datang tepat pada waktunya. Aku merasa sebenarnya tidak pantas mendampingimu seorang gadis yang begitu indah menurut lelaki lain.” Baru malam ini aku melihat Mas Danang meneteskan air matanya. Lelaki yang menurutku tidak pernah menangis hari ini meneteskan air matanya. Ingin rasanya aku mengusap air mata itu. Tetapi aku masih tidak mampu bergerak sama sekali. “Nak Danang bagaimana keadaan Rindu menantuku,” lalu Bu Juariah dan Mr. Khotim d
“Bangun Rindu, Nak sudah teramat siang bangunlah, tiga hari lagi kamu akan menikah loh. Bagaimana nanti kalau kamu sudah menjadi istri Masmu Danang?” Telingaku serasa mendengar suara Ibuku sendiri. Tetapi di dalam otakku terus berbicara dengan pertanyaan mendasar. Apa alu benar-benar berada di rumah? Bukankah aku berada di tempat berkabut itu. “Rindu bangun Ndok sudah siang, itu loh di luar ada Masmu Danang datang. Katanya kalian mau jalan-jalan ke taman.” Memang benar itu suara Ibu, tapi bukankah pernikahan kami direncanakan dua bulan lagi. Bukankah aku masih terbaring di kamar Mas Danang. Lalu mataku mencoba mengintip akan siapa yang membangunkanku. Apakah benar Ibu yang ada di sampingku atau masih makhluk setan jahanam kuntilanak itu. Perlahan kelopak mata aku buka sedikit demi sedikit. Aku masih belum percaya bila yang duduk di sampingku terbaring adalah Ibu. Masak ia bisa begitu cepat waktu berlalu hanya aku dengan berbaring saja. “Allahuakbar, Astagfirullah pergi!” aku sem
Matahari terus bergulir di peredarannya dan aku sudah melupakan peristiwa kemarin. Kali ini Mas Danang mengajakku menuju satu taman tak jauh dari rumahku. Sebenarnya kami sudah hendak pulang. Bahkan satu belokan lagi kami sudah sampai di gang rumahku sendiri. Tetapi ada satu hal yang menarik perhatianku. Sore hari di taman ujung gang desaku tentu sangat indah dan sayang untuk dilewatkan. Aku merengek pada Mas Danang untuk sekedar menikmati senja disalah satu kursi panjangnya. Akhirnya setelah membujuknya agak lama. Mobil yang ia kendarai menepi di tempat parkir taman. Demi membuatku senang bahkan Mas Danang membatalkan semua janjinya dengan klien hari ini. Katanya bisa dikerjakan esok hari saja. Dari sini aku tahu jikalau aku sudah tak menemaninya bekerja lagi. Pada satu sisi taman di samping tanaman bunga agak rindang dan berwarna-warni. Kami duduk berdua di kursi panjangnya. Menikmati es krim yang kami beli di mol beberapa saat yang lalu. Mas Danang tampak cerah sekarang dan
“Mas sudah ya aku mau istirahat. Kamu istirahat juga ya sayang, jangan bergadang dan jangan bobok larut malam. Ingat jaga kesehatanmu untuk aku ya calon istrimu.” Ketikan terakhir dari kata calon istrimu membuat anganku melambung. Pertanyaan klasik di benakku apa benar ada hari esok untuk aku menikah dengan Mas Danang. Aku mulai rebahkan tubuhku yang terlalu lelah memikirkan semua peristiwa aneh yang aku alami. Tapi tadi sore di taman ujung gang. Seakan Mas Danang berkata mengucapkan salam perpisahan. “Ah tidak mungkin hanya firasat kosong dariku saja.” Segera aku tepis pikiran buruk yang terus melayang di otakku. Mas Danang sosok lelaki baik dan sangat bersahaja. Tak mungkin ada seseorang yang menaruh dendam dengannya. Lalu mencelakainya di jalan seperti yang aku dengar dari setan itu. “Kenapa aku malah percaya omongan setan. Lebih baik aku mengambil wudu. Eh tapi aku sudah salat isya, masak aku mau salat isya dua kali.” Aku mulai berbicara dengan sepinya kamarku malam ini. Aya
Pov Danang, Sudah sebulan setelah kejadian di depan kamar Ibu. Rindu masih tampak murung tak bergairah. Seakan cahaya hidupnya meredup tak asa keinginan untuk sehat kembali. Setiap sore dan hampir setiap hari aku mampir ke rumahnya. Sehabis bekerja dan selalu aku bawakan buah-buahan segar. Tak lupa juga seperti biasanya aku bawakan vitamin. Agar tubuhnya kembali segar tak lagi murung. Tak lagi lesu, lusuh tak ada cahaya semangat seperti biasanya. Seperti sore kemarin dan kemarinnya lalu. Aku kembali mampir setelah kerjaku selesai di kantor. Aku juga membawakan buah, susu dan vitamin. Seperti biasanya Rindu duduk melamun di teras. Seperti biasa juga Bu Dian berdiri di belakangnya. Sambil merapikan rambut Rindu dengan sisir kecil. “Asallamualaikum Dek, Bu?” Aku sampaikan salam dengan doa rahmat dan kesehatan dari Sang Pencipta. Tetap dengan senyuman walau dalam hati sangat teriris. Melihat kekasihku seperti hidup enggan dan mati pun enggan. “Waalaikumsalam Mas,” Rindu menjawabn
Raja membuka matanya perlahan dan keseluruhan badannya telah basah kuyup. Bahkan ia kembali dan kembali diguyur air satu ember. Satu ember air comberan yang berbau menyengat tak sedap. Bagai bau kotoran manusia yang sangat menyengat. Byur, “Bangun kau Raja sang legenda MMA kota Bangzo. Bangun jagoan yang selalu dapat mengalahkan lawan-lawanya dari alam nyata maupun alam gaib. Lihatlah sekelilingmu sekarang Raja dan perhatikan kau ada dimanah sekarang?” Oceh Nona Ana yang tengah berdiri bertolak pinggang. Sambil membawa satu ember berukuran tanggung bekas terisi penuh air comberan yang ia guyurkan pada Raja. Raja menatap sekitar ia berada dan kali ini Raja benar-benar tak bisa berbuat apa-apa. Sebab kedua tangannya terikat oleh pasung dan juga lehernya. Kedua kakinya terikat rantai besi dengan bandul bola besi besar di ujungnya. Raja melihat istrinya Rindu tak memakai apa pun di tubuhnya dirantai di kedua kaki dan tangannya dengan cara direntangkan. Matanya ditutup dan mulutnya dis
Langkah kaki Raja menapak kembali rumah kosong di belakang pos hansip. Tangannya meraih pintu pagar depan yang sudah hampir hancur. Membukanya dengan cepat dan mulai berjalan ke arah pintu depan rumah tersebut. “Sudah aku bilang padamu untuk berhenti Joni. Tetapi kau tetap saja tak mengindahkan perkataanku. Kalau demikian percuma aku menganggapmu saudara selama ini,” gerutu Raja yang mulai basah di beberapa bagian pakaian yang ia kenakan. Sebab kali ini tengah malam turunlah air mata langit. Berupa titik-titik gerimis dengan intensitas agak kerap. Ceklek, Gagang pintu depan rumah kosong belakang pos hansip. Segera terbuka oleh Raja hanya gelap menyeruak dari dalam rumah kosong. Tidak ada cahaya sama sekali yang bisa untuk menerangi mata. Agar seseorang bisa melihat apa yang ada di dalam rumah. Hanya sebatas satu penglihatan satu sentimeter saja. Tetapi ada satu cahaya lilin di tengah-tengah ruang tamu yang menyala. Ada satu tikar kecil yang digelar di belakang lilin. Ada satu soso
“Hai Joni temanku welcome selamat datang di Istanaku yang bisa dibilang ini hasil warisan Ayahku. Kau tahulah teman bahkan kau adalah salah satu teliksandi atau kaki tangan Ayahku dulu yang tak terlihat. Maaf aku tak bisa datang saat kematian Nenek Lembayung. Saya ikut mengucapkan bela sungkawa,” ucap Nyonya Lintang menyambut kedatangan Joni di taman sisi depan halaman rumahnya.Ternyata Joni selama ini merahasiakan hal sebesar ini dari Raja. Bahkan Raja tak mengetahui bila saudara sesusunnya Joni dari desa Lembayung yang kapan hari ia kunjungi. Ternyata ada hubungan erat dengan Nyonya Lintang. Bahkan Nyonya Lintang menyambut kedatangan Joni bagai kawan lama. Raja juga tidak mengetahui jikalau yang membunuh Nenek Lembayung bukan para dukun desa. Tetapi Joni dan istrinya sendiri agar seluruh aset rumah, sawah dan pekarangan Nenek Lembayung yang lebarnya hampir mencakup setengah desa menjadi milik Joni sendiri. Tanpa harus dibagi pada Raja yang hanya anak sesusuan saja. “Nona Lintang
Pagi itu Raja menemukan dua kantong belanjaan yang berserakan di depan pagar rumah terbengkalai samping pos satpam. Raja juga menemukan sobekan daster dua lengan dengan Rendra bunga-bunga. Dia tahu benar kalau itu adalah sobekan dari dua lengan daster Rindu. Sebab ia yang membelikan daster yang kini dikenakan Rindu. Tanpa pikir panjang Raja langsung melompati pagar depan rumah kosong. Pos hansip atau pos satpam di sampingnya juga belum jua ada penjaganya. Padahal hari sudah melewati pukul setengah enam lebih lima menit. Raja terus masuk ke area halaman rumah kosong yang kebetulan. Halamannya hanya sedikit selebar satu setengah meter. Kali ini Raja menemukan sandal jepit milik Rindu yang tersangkut di pot bunga dan yang satunya terlempar di sebelah kiri rumah kosong. Akhirnya Raja menemukan daster utuh milik Rindu. Tergeletak di lantai ubin warna merah di teras rumah kosong tersebut. Wajah Raja semakin memerah marah bercampur geram. “Kalau seperti ini kejadiannya dan ini sudah tida
“Nak pulanglah sekarang Bapak ini sudah lama mengenal tabiat anak itu. Nyonya Lintang itu tentu tak akan tinggal diam dengan apa yang kamu lakukan dua hari ini. Anggrek Hitam berbeda sistemnya dengan mafia orang tuanya dahulu. Bila orang tuanya dahulu lebih senang mengumpulkan satu titik kekuatannya. Pada satu tempat saja tak menyebarkannya di beberapa titik atau mereka sebut pos bagian. Sekarang mereka tersebar di seluruh kota. Termasuk di pos hansip tempat Pak RT yang kamu ajak kemarin. Belakang pos hansip itu ada rumah kosong di sana mereka juga ada,” tutur Pak Bandot mengingatkan Raja. “Yah saya sudah menduganya akan hal itu Pak Bandot. Baiklah saya pamit pulang terlebih dahulu. Semoga Bapak tetap sehat selalu dan lain kali kita dapat berjumpa lagi, Asallamualaikum,” ucap Raja mengucapkan salam lalu beranjak pergi dari Warkop Pak Bandot. Sementara itu di tempat yang dikatakan Pak Bandot. Belakang pos hansip tak jauh dari rumah Pak RT. Ternyata adalah sebuah rumah terbengkalai da
Pagi berikutnya, Brak, dar, pyar, Tiga algojo penunggu teras rumah mewah Nyonya Lintang terlempar ke arah jendela kaca pas di samping pintu masuk rumah. Bahkan tiga algojo yang dahulu menyeret-nyeret Rajo lalu membunuhnya. Tak mampu mengalahkan Raja yang hanya menggunakan tangan kosong. Raja sempat duduk di kursi ukir klasik khas orang kaya yang berada di sisi kiri teras. Sedangkan tiga algojo sudah tidak bergerak dengan kaca berserakan di sekitar mereka. Raja masih bergaya bak tamu yang datang berkunjung. Menyulut sebatang rokok dan menghembuskan asap ke udara dari bibirnya. “Lumayan juga dua hari saat pagi seperti ini berolah raga. Sudah lama otot-ototku kaku tak bergerak. Dua hari ini cukup membuat keringat. Hitung-hitung biar badan segar-bugar dan sehat kembali,” ucap Raja memandang ke arah taman. “Woi kalian berlima apa tidak ingin sedikit membuat keringat. Kemarilah kita berolah raga sejenak diam-diam saja. Buatkan aku kopi mendingan tamu ini,” teriak Raja memanggil lima aj
Raja berjalan pelan dan tetap santai menuju gerbang besar warna merah dua sisi. Masih ada ukiran mawar hitam di setiap sisinya persis seperti setahun yang lalu. Ada juga ukiran naga dan tengkorak sebagai ornamen tambahan. Raja sempat menyulut sebatang rokok dari saku kemeja yang ia pakai dan kemeja itu milik Rajo. Persis seperti yang digunakan Rajo setahun yang lalu. Sebelum akhirnya langkah Raja dihentikan oleh beberapa penjaga di gerbang merah. “Woi mau ke mana kau anak muda. Apa kau tidak salah jalan menuju ke mari?” ucap salah satu penjaga gerbang merah. “Maaf Pak saya mau tanya, apakah benar ini kediaman Nyonya Lintang. Saya hendak menemuinya dan hendak menyampaikan sesuatu kepadanya?” jawab Raja masih bersopan-santun dan berlemah-lembut dalam tutur katanya. Namun penjaga gerbang merah di depannya menatap Raja agak mencincingkan mata. Seakan ia pernah melihat Raja sebelumnya. Bahkan mereka agak berbisik-bisik satu sama lain. “Bukankah dia yang datang ke mari setahun yang lal
“Apa benar kau akan melakukannya Ayah. Kenapa Bunda jadi khawatir ya Ayah. Apa tidak bisa dengan cara lain?” Rindu tampak kembali murung dengan niat Raja untuk melihat kediaman mafia Anggrek Hitam. Rindu takut akan terjadi tragedi yang sudah-sudah. Walau mereka selalu selamat dan selalu beruntung. Tapi perasaan wanita sungguh sangat lembut dan gampang sekali. Takut akan terjadinya sesuatu yang tak diinginkan. Sebab perasaan wanita sangat perasa jua. Pagi ini Rindu dengan kandungannya yang sudah membesar dan hampir melahirkan. Berdiri di teras bersama Bu RT melihat Raja berdandan ala Rajo anak dari Pak RT yang sudah meninggal. Bu RT terlihat terus menatap Raja dengan tatapan kerinduan pada almarhum anaknya. “Nak Raja kau sungguh mirip dengan almarhum anak kami Rajo. Baju itu dan celana itu pakaian terakhir yang dipakai Rajo. Saat malam itu ia berpamitan pergi untuk mengambil kembali calon menantu kami. Sayangnya Nak Raja bukan Rajo kalian dua orang berbeda. Anak kami Rajo yang selal
Brak, brak, Rajo tampak berdarah-darah terus dipukuli dua algojo dari Nyonya Lintang. Rajo sudah tak berdaya lagi dan sudah pasrah akan keadaannya. Memang Rajo mampu melewati penjaga gerbang merah. Mampu melewati lima bodyguard di taman. Tetapi melawan dua algojo di depan pintu masuk rumah mewah milik Nyonya Lintang. Rajo sudahlah habis tenaga dan tak mampu lagi melawan dua algojo yang berbadan kekar-kekar tersebut. Sehingga kini Rajo malah diseret ke arah ruangan dimanah calon istrinya tengah dieksekusi para lelaki hidung belang. “Kami akan membawamu menyaksikan calon istrimu menikmati kehangatan yang belum pernah ia rasakan. Kamu harus tahu kegadisannya sudah jebol sejak sore tadi. Istrimu sudah tak lagi gadis dan sekarang sedang dinikmati tiga orang lelaki tua secara bersamaan. Mari saya antar melihatnya agar kau tahu bagaimana rasanya kalau melawan Nyonya Lintang?” ucap satu Algojo sambil menjambak rambut Rajo yang memang agak panjang. Tubuhnya terus diseret walau berdarah-dar