"B*debah b*rengsekk!!" Umpatan Monika terdengar jelas. Tak lagi menyembunyikan kemarahan seperti sebelumnya. Dia tidak bisa menahan diri, mengatai pria di hadapannya dengan kalimat kasar.
Dengan sekuat tenaga, Monika berusaha menghalau bibir Rio yang berniat menciumnya. Kesabarannya semakin menipis jika berhadapan dengan pria ini. Benar-benar membuatnya emosi.
"Aku memang b*rengsek. Kenapa? Kamu tidak terima mendapat suami b*jingan sepertiku?"
Rio menikmati setiap kata yang keluar dari bibir Monika. Sejak pertemuan pertama mereka kemarin, wanitanya sangat jarang berbicara. Dia cenderung pendiam dan bisa menguasai emosi dengan baik. Dan sekarang Rio sengaja, memancing agar Monika lebih banyak bicara.
Monika bungkam. Tidak ada wanita yang bersedia menikah suka rela dengan pria mesum, kasar, arogan, pemarah, dan pemaksa sepertinya. Satu-satunya kelebihan pria ini adalah dia memiliki banyak uang. Itu!
"Kenapa diam?" Rio mengamati mata indah di had
Penasaran kelanjutannya? Yuk tinggalkan komentar kalian supaya Author tahu kekurangan karya ini. See you... Hanazawa Easzy
Sebuah mobil edisi terbatas berhenti di bahu jalan, tepat di dekat sebuah halte. Tiang lampu penerangan dengan sensor otomatis tepat berdiri di sebelah kiri benda mengilap itu. Langit berwarna gelap, menunjukkan siang telah berlalu. Awan bergulung menandakan akan turun hujan. "Sampai di sini saja. Tidak perlu mengantarku lebih jauh." Monika melepas sabuk pengaman yang sedari tadi melingkupi tubuhnya. Dia bersiap turun, untuk kemudian kembali ke kamar kostnya. Namun, ada yang mengganjal di dalam hatinya. Ekspresi kesedihan Rio masih terbayang di matanya. Hening. Dua menit berlalu tanpa sepatah kata pun dari keduanya. Monika masih sibuk dengan pemikirannya yang semakin terbebani setelah melihat ruang kerja Rio hancur tak bersisa. Pria itu membanting, menendang, dan memukul benda apa saja yang ada dalam jangkauannya. Telepon kabel, monitor layar datar, gelas kaca, dan beberapa benda lainnya teronggok di lantai. Suara gaduh yang sebelumnya dia dengar, ada
Tapak kaki Monika melewati pintu saat tiba-tiba hujan turun dengan begitu deras. Langit malam menumpahkan beribu-ribu bulir air yang jatuh dari angkasa. Sebagian mengalir ke sungai melalui saluran drainase yang ada, sementara sisanya tersimpan di dalam tanah. Hawa dingin menyergap, membuat siapa saja enggan berada di luar rumah dan memilih berdiam di tempat mereka sendiri. "Untunglah..." ungkap wanita yang kini melepas dua sepatu di kakinya. Dia merasa beruntung karena tidak sampai kehujanan. Daya tahan tubuhnya sedikit lemah, mudah terserang flu setelah kehujanan. Dengan langkah kaki lebar-lebar, Monika bergegas menuju dapur demi mengambil segelas air putih hangat. Tenggorokannya terasa kering dengan perut yang mulai meronta minta diisi. Terakhir dia makan pagi ini, setelahnya tak ada sebutir nasi pun yang masuk ke dalam perut. Monika bersiap minum air di gelas yang kedua saat tiba-tiba netranya menangkap kalender meja di hadapannya. "P
WARNING !!! 21+ only! Adegan di bawah ini hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami istri. Tidak untuk ditiru sama sekali. Bijaklah dalam menyikapi sebuah bacaan! Selamat membaca.... * * * "Aku menginginkanmu, Sayang!" "Jangan mimpi!" Monika menggeleng kuat-kuat. Dia tidak ingin menjadi lahan pelampiasan pria mesum ini lagi. Apa yang Rio lakukan siang tadi sudah membuat tubuhnya hancur. Bagaimana jika dia menggila lagi sekarang? "Kamu ingin melawanku?" Rio menampilkan smirk andalannya. "Pergi!" Monika semakin terdesak. Dia tidak bisa lagi menjauh saat tubuhnya menabrak dinding. "Ayolah, Sayang. Jika kamu menurutinya, aku akan memberikan hadiah untukmu. Satu kali kepuasan, satu permintaan akan ku kabulkan." Rio melembutkan suara, menyingkirkan kesan angkuh yang sedari tadi terpampang di wajah tampannya. Wajah Monika memerah, menahan marah. Dadany
"Merepotkan!" ketus Monika saat memapah tubuh pria ini dari dapur. Dia merasa lemas setelah muntah berkali-kali. Brukk Tubuh kekar Rio teronggok di atas kasur mini yang biasa Monika gunakan untuk istirahat malamnya. Wajah pria itu terlihat pucat dengan tatap mata yang tampak sayu. Satu tangannya menutup hidung sementara tangan yang lain memegangi perutnya yang terasa seperti dipelintir. Dengan cekatan, Monika membuka pintu dan jendela kamarnya, berharap aroma menyengat dari bumbu mie itu segera pergi. Dia tidak tega melihat Rio yang terus muntah tanpa henti. Awalnya dia merasa senang dan menertawakan pria ini. Tapi sekarang justru dia merasa kasihan. "Ini." Monika memberikan sebuah minyak aroma terapi dalam botol kecil, berharap aroma menthol yang menguar dari sana bisa sedikit melegakan pernapasan Sang Suami. Rio menggeleng. Dia tidak ingin menerima pemberian Monika. Apapun itu, bisa memicu rasa mualnya untuk muncul lagi. "Lepas bajum
Jam menunjukkan pukul 22.30 saat Monika keluar dari dalam minimarket. Beberapa karyawati tampak keluar bersamanya sebelum lampu dipadamkan. Dengan langkah cepat, Monika kembali ke kamar kosnya melalui gang sempit ini. Suasana terasa lengan, tak ada seorang pun yang dia temui sepanjang jalan. "Huh! Akhirnya sampai," ucapnya begitu selesai menapaki anak tangga terakir, beberapa langkah menuju pintu kamarnya. Cklekk Pintu berwarna putih itu Monika buka dengan hati-hati. Arah pandangnya tertuju pada pria yang masih duduk bersandar pada kepala ranjang. "Maaf membuat Anda menunggu." Hening. Rio tak membalas ucapan Monika. Pandangannya lurus ke depan, seolah menyimpan dendam. 'Eh? Ada apa dengannya? Bukankah dia baik-baik saja saat aku pergi tadi?' batin Monika, heran karena pria ini sekarang terlihat tidak senang. 'Apa dia kelaparan sampai marah seperti itu?' Tanpa mempedulikan ekspresi wajah Rio, Monika mulai berkuta
WARNING! 21+ BIJAKLAH DALAM MENYIKAPI SUATU BACAAN. BUKAN UNTUK DITIRU!! * * * Monika mendekatkan bibirnya, bersiap mencium pria yang berstatus sebagai suami sahnya ini. Wanita itu menarik diri setelah mengecup Rio sekilas. Dia tidak suka melakukan hal ini dengan pria yang dia benci. "Itu kecupan, bukan ciuman." Rio melayangkan protesnya karena Monika mengakhiri layanannya dalam hitungan detik. "Dasar mesum!" Monika beranjak. Dia enggan melanjutkan kegiatan mereka lagi. Brukk! Monika jatuh terduduk di pangkuan Rio. "Jika kamu tidak ingin melayaniku, maka aku yang akan mengambil alih keadaan. Jangan salahkan aku jika kamu tidak bisa bekerja besok!" Ancaman Rio berhasil membuat Monika menyerah. "Aku tidak bisa! Aku belum pernah melakukannya!" ketus Monika, melupakan kata ganti saya seperti yang dia gunakan sebelumnya. Rio tersenyum. Dia senang karena istrinya ini bukan wanita berpengalaman, artinya dialah
"Apa aku juga ikut gila?! Bagaimana bisa aku jatuh pada pesona pria mesum sepertinya?" Monika merasa begitu malu dengan apa yang sudah dia lakukan. "Argh! Aku benar-benar sudah gila!!" Monika langsung berlalu ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya, berharap bayang-bayang Rio segera bisa dia lupakan. Brukk Monika menjatuhkan tubuh rampingnya ke atas kasur, memilih untuk tidur daripada harus memikirkan pria yang sudah merenggut kesuciannya. Dia mulai memejamkan mata, namun justru bayang-bayang Rio dan Devan bergantian muncul di dalam kepalanya. "Arrghhh!!" Monika menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Apa yang harus aku lakukan?" Monika kembali mengamati cincin di jari manisnya. Dia sudah menjadi istri orang, tapi hatinya masih tertaut pada kekasihnya. Rasa bersalah seketika merasuki hatinya. Dia tidak ingin berpisah dengan Devan, tapi juga tidak berniat menduakannya. "Haruskah aku jujur padanya?" Monika menatap cincin lain di ja
WARNING !!! 21+ only! Adegan di bawah ini hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami istri. Tidak untuk ditiru sama sekali. Bijaklah dalam menyikapi sebuah bacaan! Selamat membaca.... * * * Monika keluar dari dalam minimarket dan segera berlari menuju halte bus di seberang jalan. Dia harus menemui Devan di tempat kerja pria itu secepatnya. Hatinya merasa gelisah sejak pagi ini, merasa bersalah jika terus menyembunyikan pernikahan kontraknya dengan Rio. Wanita bersurai panjang itu mendekatkan ponsel pintar miliknya ke samping telinga, berharap panggilannya segera terhubung. "Maaf, nomor yang Anda tuju tidak menjawab. Silakan tinggalkan pesan setelah nada berikut." Monika menekan ikon berwarna merah, perintah untuk mengakhiri panggilan. "Apa dia begitu sibuk?" gumam gadis yang sesekali menatap ke arah kedatangan bus. Kakinya melompat masuk ke dalam kendaraan besar ini bers
Tiga tahun kemudian ...."Daddy," panggil gadis dua setengah tahun yang kini memanjat dada bidang ayahnya."Hmm. Alea?" Rio mengerjapkan mata, namun belum membukanya. Dia masih dikuasai kantuk dan ingin terpejam sebentar lagi.Mentari bersinar hangat di musim semi, bersamaan dengan aroma bunga sakura yang diam-diam menelisik hidung. Di sebuah hunian mewah dengan dekorasi minimalis, seorang pria tidur terlentang di atas sofa bed bersama putrinya."Dad ...." Jemari mungil Alea meraba dada bidang Rio yang tertutup kaus putih. Aroma bayi yang menyegarkan menguar, menyapa indera penciuman sang ayah.Tiruan Monika itu mengulurkan tangannya, mengelus pelipis pria yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Sama seperti sang ibu yang suka mencium pipi Rio diam-diam saat tidur, Alea juga melakukan hal yang sama. Dia mendaratkan kecupan sayangnya sekedip mata di rahang kokoh ayahnya yang ditumbuhi cambang tipis.Rio mengangkat kedua alis sebelum balas
"Sweety, ada dua bayi di dalam perutmu?" tanya Rio tidak percaya, menatap Monika dengan pandangan yang penuh binar bahagia. "Kita akan punya twins baby?"Anggukan kepala terlihat, membuat kebahagiaan yang Rio rasakan semakin berlipat-lipat. Dia tidak pernah menyangka kalau dalam satu waktu akan ada dua buah cinta yang melengkapi kebahagiaannya dengan Monika. Seolah semua hanya mimpi, tidak pernah terjadi."Aku juga baru tahu."Rio memeluk istrinya, menyalurkan rasa cinta yang begitu luar biasa. Mereka baru sempat melakukan pemeriksaan kandungan setelah kondisi Rio benar-benar membaik. Observasi lanjutan pasca siuman harus dijalaninya selama dua minggu."Kondisi istri Anda baik, kedua janin di dalam perutnya juga sangat baik. Namun, alangkah baiknya jika porsi makannya ditambah lagi. Kebutuhan gizi dua anak tentu berbeda dengan kehamilan tunggal.""Saya akan memperhatikannya, Dok." Rio menjawab penuturan dokter kandungan di hadapannya dengan bahasa
"Sweety, aku merindukanmu."Suara Rio yang lirih dan dalam berhasil membuat bulu roma Monika meremang seketika. Dia tidak tahu bagaimana bisikan itu bisa membuatnya jadi seperti sekarang ini, hang, blank, tidak bisa berpikir sama sekali."Apa kamu tidak merindukanku?"Melihat Monika tak merespon, Rio sengaja menggelitik perut istrinya, membuat bola mata sipitnya membulat seketika. Dua tangannya langsung menahan tangan Rio yang masih ada di dalam blouse putih yang dipakainya."Hubby?!" Kali ini tatapan tajam yang ia hadiahkan pada suaminya. Tak cukup sampai di sana, Monika juga segera berdiri, menjauh dari jangkauan tangan suaminya yang nakal.Gelak tawa Rio terdengar menggema, merasa bahagia melihat istrinya kembali sadar. Entah pergi ke mana akal sehatnya beberapa saat lalu, terlihat dari wajah cantik yang tampak bodoh."Berhenti bermain-main. Kamu koma satu minggu dan hampir meregang nyawa. Semua orang panik saat detak jantungmu berhenti k
"Rio," panggil Eva, memeriksa Respon putranya yang tampak mengerjapkan mata namun tak membukanya. Jemari tangan Rio bergerak perlahan, menunjukkan kalau kesadarannya sudah mulai kembali. Dia mendengar panggilan ibunya, tapi masih berat untuk melihat dunia di hadapannya. "Rio, kamu dengar ibu?" ulang Eva, menyentuh pipi putra semata wayangnya yang dilaporkan mengalami tanda-tanda akan bangun dari koma. Tak sia-sia dia dibawa ke Jepang dan mendapat perawatan intensif selama satu pekan. Wajah cantik Evalia menjadi pemandangan pertama yang Rio lihat begitu ia membuka mata. Namun, terlihat buram bersamaan rasa nyeri yang terasa di pangkal hidungnya seperti orang bangun tidur. "Dok, kondisi pasien sudah stabil," lapor perawat yang bertugas melakukan observasi lanjutan pada Rio. Eva mengangguk, sekilas melihat angka yang terpampang di monitor. Pandangan selanjutnya tertuju pada tabung ventilator yang tampak berembun semakin banyak, menunjukkan
"Dear," panggil Eva, memeluk bahu menantunya dari samping. Dia menemui Monika di ruangan khusus yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk keluarga pasien. Kondisi Rio yang semakin menurun memaksa Eva harus menyetujui saran suaminya, membawa anak mereka ke negeri sakura untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Tidak ada jalan lain. Dia harus mengupayakan penyelamatan yang terbaik untuk putranya."Ayo temui Rio," ajaknya, "kondisinya sudah semakin baik. Kemungkinan hari ini dia akan siuman."Namun, hanya gelengan kepala yang terlihat dari wajah cantik Monika. Pipinya tampak semakin tirus. Dia tidak makan, juga tidak istirahat dengan baik seminggu ke belakang. Pemikirannya tertuju pada Rio. Rasa bersalah masih terus membayang, membuatnya bungkam seribu bahasa."Sayang, sudahi kesedihanmu. Jika kamu terus seperti ini, tidak baik untuk buah hatimu. Dia ikut tertekan dan tidak bahagia di dalam sana."Lagi-lagi gelengan kepala yang tampak di wajah Monika, bersa
"Mommy," panggil Clara, menggoyangkan lengan Liliana dengan gerakan yang cepat dan tidak sabar. Netranya menatap sekeliling, menyadari kalau mereka berada di tempat antah berantah yang sepi dan lengang. Rumput ilalang yang tinggi mengepung mereka yang masih ada di dalam mobil."Ada apa?" Liliana mengerjap matanya dua kali, merasa enggan meladeni panggilan tadi. Tubuhnya terlalu lelah, ingin istirahat sedikit lebih lama lagi. Mereka berkejaran dengan sesuatu yang entah apa, seperti kriminal yang lari dari kejaran polisi. Meski kenyataannya, justru Hans dan orang-orangnya lebih mengerikan dari para petugas berseragam coklat muda itu."Kita ada di mana?""Hmm? Di mana?" Liliana mengambil alih kesadarannya, menatap Clara dengan pandangan heran. Isi kepalanya berputar, mencoba mengingat apa yang terngah terjadi pada mereka. Bukankah Clara yang memesan taksi online ini? Kenapa dia terlihat panik?Dengan enggan Liliana menatap arloji di tangannya, mendapati jaru
"Mom, ayo cepat!" Clara menyeret koper di tangannya dengan tergesa. Dua langkah di belakangnya, tampak Liliana melakukan hal yang sama. Namun, wanita yang tak lagi muda itu tampak kerepotan. Beberapa kali kakinya hampir tersandung kakinya sendiri. "Mommy!" teriak Clara, segera berpindah ke taksi yang lainnya. Dia tidak ingin membuang waktu dan membuat orang-orang suruhan Hans mengejarnya. "Tunggu!" Liliana harus melepas sepatu hak tinggi yang dipakainya dan berjalan tanpa alas kaki untuk menyusul calon menantu kesayangannya. Keduanya kini duduk di kursi belakang taksi yang mereka pesan online sesaat lalu. "Sayang, sebenarnya apa yang kamu dengar? Apa sesuatu yang buruk terjadi? Kenapa kita harus lari?" Liliana yang semakin heran dengan perilaku Clara, tak ayal mengeluarkan pertanyaannya juga. "Kamu gagal menyingkirkan Monika?" Clara langsung membekap mulut Liliana dengan tangannya, takut supir taksi yang ada di balik kemudi mendengarkan percak
"Silakan, Nyona." Perawat yang pergi bersama Monika mempersilakan wanita blasteran yang Eva percayakan padanya untuk masuk ke dalam ruangan ICU. Baju hijau menempel di tubuhnya yang tetap terlihat kurus meski berbadan dua. "Aku boleh masuk?" Monika masih setengah tak percaya bisa menemui suaminya. "Sebenarnya, belum diizinkan jika kondisi pasien belum lepas dari kondisi kritis. Tapi, karena ini permintaan dokter Eva, kami tidak bisa menyangkalnya. Beliau pasti lebih tahu. Mungkin Anda bisa membuat suami Anda bangun dari komanya." "Dia koma?! Tapi ibu tidak ... " Bulir hangat luruh di wajah Monika, bersamaan dengan tangan yang menutup rapat mulutnya. Dia tidak bisa berkomentar lebih banyak. Eva tidak mengatakan hal itu, bahkan terlihat tenang dan tidak menitikkan air mata sama sekali. Perawat dengan pakaian hijau itu tampak terhenyak di posisinya. Dia tidak tahu jika pernyataan yang terlontar dari mulutnya akan melukai Monika. "Maaf, Ny
"Kamu siap mendengar penjelasanku, Sayang?" Eva menatap Monika, berharap menantunya cukup tegar dan tidak tumbang. Ada hal yang harus ia sampaikan sebagai seorang dokter kepada keluarga pasien."Katakan saja! Jangan membuatku penasaran!" Bukannya Monika yang menjawab, tapi suara Hans-lah yang terdengar menggema di ruang konsultasi.Eva mengembuskan napas berat. Dia tahu tabiat dan temperamen suaminya, to the point dan tidak suka berbelit-belit. Berbeda dengan pembawaan Monika yang cenderung lemah dan mulai terlihat pucat wajahnya."Sayang?" Eva masih bersikeras, memastikan kesiapan hati dan indera pendengaran wanita cantik yang lagi-lagi meneteskan air mata tanpa suara."Aku baik-baik saja, Bu." Suara bergetar dari mulut Monika berhasil membuat Hans menoleh. Lagi-lagi dia melihat sisi lemah wanita, membuatnya membuang muka karena tidak nyaman. Hatinya terasa sakit, merasa tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Seolah-olah tangisan Monika ini disebabkan ol