“Apa-apaan, kalian!” Kirana brontak. Jelas ia tak mau dibawa pergi oleh para preman yang lagi-lagi datang karena hutang ayahnya.
“IKUT!”“Nggak mau, lepas!”Kirana terus mencoba dan bersaha untuk tidak dibawa pergi oleh pria-pria sangar itu. Namun apa daya, dari segi postur saja Kirana sudah kalah apalagi tenaga.“Lepas! Atau saya bakal teriak!” ancamnya.“Jangan banyak tingkah, cukup ikut aja! Kamu itu sudah dijadikan jaminan sama Bapakmu itu.”Kirana tercengang dengan penuturan salah satu preman yang sedang menyeretnya itu.“APA?? Jaminan???” Dengan nada tak percayanya Kirana memastikan.“Benar, jadi ayo ikut aja!”Kirana yang masih tak bisa percaya, cengo abis, dengan apa yang harus menimpa dirinya ulah ayahnya sendiri. Tak pernah terpikir olehnya kalau ayahnya bisa begitu tega menjadikan anaknya sendiri sebagai jaminan untuk semua hutangnya.“Nggak, ini pasti nggak bener, pasti ada yang salah, kan? Kalian jangan mengada-ngada,” sangkalnya.“Kalo kamu nggak percaya kita punya semua buktinya, jadi jangan banyak bacot, masuk ke mobil, buruan” balas satu preman yang tengah menarik dirinya. Hingga mau tak mau Kirana benar-benar jadi ikut bersama preman-preman penagih hutang ayahnya itu.***Kirana baru saja sampai di sebuah gedung kantor pinjaman online bernama ‘Pinjol Bersama Elang’, tempat Jupri menghutang. Perasaan takut, tak tenang, tak aman kini tengah bercampur menjadi satu memenuhi diri Kirana.“Jangan apa-apain saya, saya mohon,” saking takutnya Kirana, ia sampai berkata seperti itu kepada preman yang setia menjaga sisi kanan dan kirinya. Bayang-bayang nyawanya yang akan menjadi ganti untuk semua hutang ayahnya, kini bahkan memenuhi isi kepalanya.“Jangan cerewet!”Namun malah balas yang seperti itu yang di dapatnya. Semakin jauh Kirana melangkah masuk ke dalam gedung kantor pinjol itu, semakin buruk bayang-bayang di kepala Kirana akan apa yang mungkin menimpanya. Pikiran kalau mereka akan bisa saja membelek tubuhnya lalu mengambil semua organ miliknya, kini sudah mencocoki otak Kirana. Hingga membeludak lah semua rasa takut dalam dirinya.Hingga Kirana nampak dibawa ke sebuah ruangan, lalu didudukanlah dirinya di salah satu kursi yang ada di sana.“Kalian mau apa bawa saya ke sini?” tanya Kirana dengan raut takutnya pada semua preman yang mengelilingi dirinya saat ini.Suasana ruangan yang minim pencahayaan, lalu hanya satu jendela yang nampak terkuci rapat, pintu pun yang sudah dijaga ketat oleh pria-pria berbadan besar, membuat Kirana merasa bisa mati karena ketakutan sekarang juga.“Cantik juga anak si Jupri, gak heran si Bos terima buat dijadiin jaminan,” bisik salah satu preman pada rekan di sebelahnya.“Bener, emang kalo dikasih yang bening begini mana bisa nolak,” sahutnya.Obrolan dua preman yang walau bersuarakan pelan itu sampai ke telinga Kirana. Dan itu membuatnya kini ingin menangis, berteriak memintakan pertolongan kepada siapa pun yang bisa membawanya bebas dari kurungan para preman itu.“Saya mohon, jangan apa-apain saya, saya akan bayar hutang Bapak saya,” dengan memelas Kirana berkata. Memohon adalah satu hal yang kini hanya bisa dilakukannya.“Jatuh temponya udah dari 5 bulan lalu, bunga, denda, ditambah semua yang biaya admin, mana bisa kamu bayar itu semua.”Benar juga pikir Kirana akan ucapan satu preman yang sedang duduk berhadapan dengannya. Uang dari mana dirinya bisa membayar semua hutang Ayahnya yang sudah sebegitu besarnya.“Tapi saya akan berusaha dulu, jadi saya mohon kasih saya waktu dan kesempatan,” balas Kirana, kembali memohonkan belas kasihan. Tapi mohonnya malah dibalas dengan kehkehan dari mereka-mereka yang kini menyandranya.“Paling-paling kabur, kayak Bapaknya” respon satu preman atas ucapan Kirana.“Nggak, sa-saya nggak akan kabur, saya cuma minta waktu, saya mohon, bebasin saya dulu, jangan tahan saya seperti ini …” Kali ini Kirana sampai berlutut memohonkan kepada para preman di hadapannya. Yang walau dari wajah-wajahnya saja jelas tampak kalau merekka tak akan memberikan apa yang Kirana inginkan.“Percuma, mau berlutut, mau bersujud ratusan kali juga, nggak akan bisa” begitulah balas yang didapatnya.Kirana mulai menitikan air matanya, ia benar-benar sudah berputus asa. Tak tahu harus bagaimana sekarang. Ayahnya yang terjerat hutang membuat dirinya jadi tawanan preman-preman penagih hutang.“Saya mohon, saya mohon sekali, Pak,” mohonnya kembali. Tapi semuanya sia-sia. Tak cukup untuk membebaskan Kirana dari kurungannya.***Sudah terhitung tiga jam Kirana dikurung. Ia ingin kabur, lari dari semua preman-preman yang begitu setia menjaganya.“Kembalikan handphone saya, saya harus menelepon” ucapnya pada seorang preman berkepala plontos yang semula sudah menyita handphonenya.“Nggak bisa, nanti kamu nelpon polisi, bikin ulah lagi,” jawabnya tegas dan galak sekali.“Nggak akan, saya cuma mau nelpon kantor, siapa tahu ada yang bisa kasih pinjaman untuk membayar setidaknya setengah dari jumlah hutang Bapak” jelas Kirana. Namun lagi-lagi penolakan yang didapatnya.Tapi Kirana tentu tak bisa tinggal diam dan berdiam diri. Ia jelas harus berusaha untuk tak terus dikurung dan menjadi tahanan. Kepalanya terus berputar mencari cara untuk bisa bebas sekarang ini. Bagaimana pun caranya, karena ia takut kalau preman-preman itu telah memiliki rencana buruk untuk dirinya.“Saya telpon kantor aja kok, handphonenya kalian yang pegang, di loudspeaker aja, gimana?” Kirana mencoba bernegosiasi. Dengan harapan bisa menjadi cara untuk dirinya bisa menyelamatkan diri.“Tckk, keras kepala juga ini cewek,” dengan berdecak, preman yang bertugas menjaga Kirana itu bergerutu begitu jadinya. Kirana hanya mengabaikannya saja, tak peduli akan dikatai apapun asalkan dia bisa bebas dari kurungannya.“Saya mohon,”“Nggak bisa,” tegas penolakan itu diucapkannya.“Sebentar aja, saya harus lapor ketidak-hadiran saya hari ini” alasannya.Dan karena mungkin lelah harus terus menerus mendengar rengekan Kirana, preman itu terlihat mulai merogoh saku celananya dan mengeluarkan hanpdhone Kirana.“Inget jangan macem-macem, atau gua sayat itu muka mulus lu!” Kirana mendapat peringatan keras begitu, yang langsung ia balas dengan anggukan cepatnya.“Janji,” ucap Kirana denan wajah girang dan senangnya. Akhirnya ia berhasil membujuk preman itu untuk mengabulkan inginya menghubungi seseorag sekarang.“Oke, nih,” balas sang preman itu pada Kirana.Walau handphonenya tak benar-benar dikembalikan, bahkan tangan si preman itu pun lekat menempel pada handphone Kirana. Tapi Kirana bisa mengutak-atik handphonenya, on proses untuk menghubungi seseorang sekarang.“Tut, tutt, tuuutt,” bunyi sambungan telpon yang mulai akan segera terhubung.Dan tak lama kemudian, “Hallo, Kirana?” Seseorang yang Kirana hubungi terdengar mulai berkata dari sambungan di sebrang sana.“Hallo, Mas Andy! Mas Andy tolong aku, Mas! Aku diculik preman!!” dengan berteriak Kirana memintakan pertolongan pada Manager yang dihubunginya itu. Kirana tak memiliki cara lain selain nekat menggunakan cara itu untuk mendapat pertolongan sekarang.Dan tentu saja preman yang telah memberikan akses menelepon pada Kirana langsung cepat-cepat menyudahi panggilan itu. Bahkan plaakkkk… suara tamparan keras langsung terdengar sekeras tamparan yang mendarat di pipi Kirana.“Dasar goblok!” umpat si preman itu dengan penuh amarah pada Kirana.Sementara Kirana, ia sudah ketakutan parah dengan tangannya yang memegangi pipi panas dan sakitnya, berkat tamparan yang diterimanya. Ia bahkan telihat mengambil langkah-langkah mundur karena takut akan mendapat tamparan berikutnya.“Ampun, ampun saya mohon ampun, maaf,” Kirana memohonkan pengampunan atas apa yang telah diperbuatnya. Ia terlalu buntu hingga nekat berbuat aksi seperti barusan itu, tanpa tahu akan bisa menyulut amarah dari preman garang yang kini sedang meradang karena ulahnya.“Ampun, Pak, jangan apa-apain saya,” dengan tangannya yang meohon, Kirana kembali berkata.“Saya mohon jangan sakitin saya, saya mohon, maafin saya …”“Budeg apa bego lu hah??? Dibilangin jangan macem-macem! Ini malah-““Stop! Berani kamu tampar dia lagi…, saya cincang tangan kamu” ucap seseorang begitu dari ambang pintu.Dan berkatnya, Kirana berhasil lolos dari tamparan kedua si preman yang sudah dibuatnya marah itu.“Oh? Bos??”***“Beraninya kamu main tangan sama perempuan, hah?!” dengan nada yang membentak ia berkata. Dan si preman itu tampak takut, bahkan ia menunduk di hadapan si pria yang baru saja hadir dan menjadi sosok penyelamat Kirana itu. “Maaf, Bos” kata maaf pun langsung cepat diucapkannya. “Bukan kepada saya kamu meminta maaf,” ucapnya sembari membawa wajah tunduknya pada Kirana yang telah ia tampar pipinya. “Tapi kepada dia,” tutupnya. Dan sungguh melihat situasi saat ini membuat Kirana merasa terselamatkan. “Saya maafkan, tapi…, saya mohon sekali, bebaskan saya” balas Kirana. “Nah, kan, Bos, dia itu susah diatur, barusan aja nekat sampe hubungin orang, buat minta tolong” seolah mendapat kesempatan untuk membela diri, si preman itu berkata begitu pada sosok yang dipanggilnya Bos itu. “Tapi itu bukan alasan untuk kamu bisa tampar dia.”“Tapi kan, Bos-”“Diem, mending kamu pergi atau kamu yang saya tampar sekarang,” ucapnya tandas, tegas, bahkan langsung membungkam mulut si preman itu. Dan
Tiga hari yang lalu …“Papah akan cabut dana untuk pinjol kamu itu.”“Pah!” Elang yang sangat bergantung dari dana sang Ayah itu tentu tak bisa membiarkan hal itu terjadi. Ia bahkan langsung bangkit dari duduknya, berdiri menghadap Ayahnya, Benny Raharja, pemilik PT. Finance Raharja. Yang adalah salah satu perusahaan keuangan terbesar saat ini. “Papah nggak bisa cabut dananya begitu aja dong, perusahaan Elang sudah cukup pusing dengan keputusan pemerintahan yang akan menutup semua perusahaan Pinjol. Belum lagi masalah nasabah yang nggak bisa bayar, kalau dana dari Papah juga dicabut, Elang bisa pailit, Pah,” Elang mencoba menjelaskan keadaan perusahaan rintisannya yang sedang dalam trouble itu. Namun respon Ayahnya justru beliau malah membuang mukanya. Seolah tak mau tahu dengan masalah-masalah yang telah dihadapi putra semata wayangnya. “Ya lagian kamu ini punya perusahaan pinjaman kok, yah, lembek, terlalu baik kamu sama nasabah. Yang tegas dong sama kebijakan, jadi banyak yang
Elang terlihat tergoda akan apa yang baru saja diucapkan nasabah tukang ngutangnya itu. Karena jujur saja sekarang ini dari pada sejumlah pengembalian dana dari Jupri, ia lebih membutuhkan seorang perempuan. “Wah, lu goblok apa tolol, lu, hah?! Anak sendiri lu jadiin jaminan!” balas umpat satu preman yang nampaknya gedek dengan sikap kelewatan Jupri. “Bener, gua aja yang bentukannya model begini, nggak akan gua kasih anak gadis gua,” sahut yang lainnya. Namun berbeda dengan Elang yang sedang kepepet, baginya ditawari seorang anak gadisnya di situasinya yang seperti sekarang ini adalah suatu kebetulan sekali. “Dia anaknya seperti apa?” tanyanya, penasaran akan sosok putri dari pria yang seperti berandalan itu bentukannya. Takut-takut anak dan bapak akan sama kelakuannya. “Siapa? Kirana?? Dia cantik sekali, jangan salah, meskipun saya seperti ini, dia anaknya baik sekali, pokoknya kalau mau diambil Anda untung besar. Harganya sudah pasti lebih besar dari semua hutang-hutang saya, P
“Astaga! Apa ini??” Sosok perempuan cantik yang membawa raut lelah sehabis bekerjanya itu, langsung dibuat terkaget-kaget dengan keadaan rumahnya yang jadi sangat berantakan. “I-ini, ini kenapa rumahku berantakan sekali? Kenapa ada banyak tulisan seperti ini?” tanyanya akan wujud dinding rumahnya, yang sudah penuh dengan coretan pilok merah bertuliskan ‘BAYAR HUTANG!’ Itu. Ditambah lagi dengan beberapa tanaman-tanaman di pekarangan rumahnya yang kini tak ubahnya seperti kapal pecah. Dan yang dilakukanya kemudian adalah bergegas untuk mencari sang Ayah, yang sangat ia takutkan telah terjadi sesuatu pula kepadanya “Pak, Bapak,” panggilnya, “Bapak? Bapak Dimana?” Namun ia tak menemukan siapa pun di dalam rumahnya. Kosong. Hanya gema suaranya yang membalas panggilannya. Dan di saat perempuan berusia 23 tahun itu sedang bingung mencari sosok orang tua satu-satunya, ditambah dengan keadaan rumah yang juga seperti sudah diobrak-abrik seseorang, terlihat seorang ibu yang tinggal berse
Elang terlihat tergoda akan apa yang baru saja diucapkan nasabah tukang ngutangnya itu. Karena jujur saja sekarang ini dari pada sejumlah pengembalian dana dari Jupri, ia lebih membutuhkan seorang perempuan. “Wah, lu goblok apa tolol, lu, hah?! Anak sendiri lu jadiin jaminan!” balas umpat satu preman yang nampaknya gedek dengan sikap kelewatan Jupri. “Bener, gua aja yang bentukannya model begini, nggak akan gua kasih anak gadis gua,” sahut yang lainnya. Namun berbeda dengan Elang yang sedang kepepet, baginya ditawari seorang anak gadisnya di situasinya yang seperti sekarang ini adalah suatu kebetulan sekali. “Dia anaknya seperti apa?” tanyanya, penasaran akan sosok putri dari pria yang seperti berandalan itu bentukannya. Takut-takut anak dan bapak akan sama kelakuannya. “Siapa? Kirana?? Dia cantik sekali, jangan salah, meskipun saya seperti ini, dia anaknya baik sekali, pokoknya kalau mau diambil Anda untung besar. Harganya sudah pasti lebih besar dari semua hutang-hutang saya, P
Tiga hari yang lalu …“Papah akan cabut dana untuk pinjol kamu itu.”“Pah!” Elang yang sangat bergantung dari dana sang Ayah itu tentu tak bisa membiarkan hal itu terjadi. Ia bahkan langsung bangkit dari duduknya, berdiri menghadap Ayahnya, Benny Raharja, pemilik PT. Finance Raharja. Yang adalah salah satu perusahaan keuangan terbesar saat ini. “Papah nggak bisa cabut dananya begitu aja dong, perusahaan Elang sudah cukup pusing dengan keputusan pemerintahan yang akan menutup semua perusahaan Pinjol. Belum lagi masalah nasabah yang nggak bisa bayar, kalau dana dari Papah juga dicabut, Elang bisa pailit, Pah,” Elang mencoba menjelaskan keadaan perusahaan rintisannya yang sedang dalam trouble itu. Namun respon Ayahnya justru beliau malah membuang mukanya. Seolah tak mau tahu dengan masalah-masalah yang telah dihadapi putra semata wayangnya. “Ya lagian kamu ini punya perusahaan pinjaman kok, yah, lembek, terlalu baik kamu sama nasabah. Yang tegas dong sama kebijakan, jadi banyak yang
“Beraninya kamu main tangan sama perempuan, hah?!” dengan nada yang membentak ia berkata. Dan si preman itu tampak takut, bahkan ia menunduk di hadapan si pria yang baru saja hadir dan menjadi sosok penyelamat Kirana itu. “Maaf, Bos” kata maaf pun langsung cepat diucapkannya. “Bukan kepada saya kamu meminta maaf,” ucapnya sembari membawa wajah tunduknya pada Kirana yang telah ia tampar pipinya. “Tapi kepada dia,” tutupnya. Dan sungguh melihat situasi saat ini membuat Kirana merasa terselamatkan. “Saya maafkan, tapi…, saya mohon sekali, bebaskan saya” balas Kirana. “Nah, kan, Bos, dia itu susah diatur, barusan aja nekat sampe hubungin orang, buat minta tolong” seolah mendapat kesempatan untuk membela diri, si preman itu berkata begitu pada sosok yang dipanggilnya Bos itu. “Tapi itu bukan alasan untuk kamu bisa tampar dia.”“Tapi kan, Bos-”“Diem, mending kamu pergi atau kamu yang saya tampar sekarang,” ucapnya tandas, tegas, bahkan langsung membungkam mulut si preman itu. Dan
“Apa-apaan, kalian!” Kirana brontak. Jelas ia tak mau dibawa pergi oleh para preman yang lagi-lagi datang karena hutang ayahnya. “IKUT!”“Nggak mau, lepas!”Kirana terus mencoba dan bersaha untuk tidak dibawa pergi oleh pria-pria sangar itu. Namun apa daya, dari segi postur saja Kirana sudah kalah apalagi tenaga. “Lepas! Atau saya bakal teriak!” ancamnya. “Jangan banyak tingkah, cukup ikut aja! Kamu itu sudah dijadikan jaminan sama Bapakmu itu.” Kirana tercengang dengan penuturan salah satu preman yang sedang menyeretnya itu. “APA?? Jaminan???” Dengan nada tak percayanya Kirana memastikan. “Benar, jadi ayo ikut aja!” Kirana yang masih tak bisa percaya, cengo abis, dengan apa yang harus menimpa dirinya ulah ayahnya sendiri. Tak pernah terpikir olehnya kalau ayahnya bisa begitu tega menjadikan anaknya sendiri sebagai jaminan untuk semua hutangnya. “Nggak, ini pasti nggak bener, pasti ada yang salah, kan? Kalian jangan mengada-ngada,” sangkalnya. “Kalo kamu nggak percaya kita
“Astaga! Apa ini??” Sosok perempuan cantik yang membawa raut lelah sehabis bekerjanya itu, langsung dibuat terkaget-kaget dengan keadaan rumahnya yang jadi sangat berantakan. “I-ini, ini kenapa rumahku berantakan sekali? Kenapa ada banyak tulisan seperti ini?” tanyanya akan wujud dinding rumahnya, yang sudah penuh dengan coretan pilok merah bertuliskan ‘BAYAR HUTANG!’ Itu. Ditambah lagi dengan beberapa tanaman-tanaman di pekarangan rumahnya yang kini tak ubahnya seperti kapal pecah. Dan yang dilakukanya kemudian adalah bergegas untuk mencari sang Ayah, yang sangat ia takutkan telah terjadi sesuatu pula kepadanya “Pak, Bapak,” panggilnya, “Bapak? Bapak Dimana?” Namun ia tak menemukan siapa pun di dalam rumahnya. Kosong. Hanya gema suaranya yang membalas panggilannya. Dan di saat perempuan berusia 23 tahun itu sedang bingung mencari sosok orang tua satu-satunya, ditambah dengan keadaan rumah yang juga seperti sudah diobrak-abrik seseorang, terlihat seorang ibu yang tinggal berse