"Satu!"
Mila menahan sikap kuda-kuda dan menggerakkan pukulan setiap hitungan yang Diaz intruksikan.
"Dua!"
Mila melihat Diaz yang berdiri di depannya dengan melipat tangan di depan dada. Raut wajahnya persis pelatih taekwondo yang pernah ia lihat di lapangan belakang rumah bundanya.
"Tiga!"
Mila mengikuti gerakan pukulan yang Diaz contohkan terakhir kali, penuh tenaga dan menganggap yang berdiri di hadapannya adalah musuh. Kenyataanya tidak salah juga.
"Empat!"
Mila berdiri sempurna karena lelah menahan kaki lalu bertanya, "Lo gak nyuruh gue ngelakuin pukulan seribu bayangan kayak yang terakhir lo contohin, kan?"
Diaz yang tersenyum penuh arti diamati oleh Mila. Selain niat mengusili Mila, Diaz membuatnya bergerak lebih aktif daripada rebahan mentang-mentang sedang datang bulan setelah dengar cerita dari sekretarisnya.
"Angkat tangan kamu ke depan," suruh Diaz.
Mila mengangkat kedua tangannya ke
"Kamu habis dari mana?" Diaz lihat Mila datang dari sisi kanan, sedangkan kamar mereka di sisi kiri setelah tangga. "kamar Vio?" lanjutnya bertanya dengan kaki melangkah ke dapur untuk isi ulang botol.Mila tidak jadi menjawab karena Diaz jalan terus. Ia masuk kamar lalu mandi. Setelah itu Mila akan mencuci pakaian di bawah, kalau tidak, Diaz seperti ibu kos. Berisik.Usai isi ulang botol, Diaz menyegarkan tubuh dengan kopi hitam. Acara televisi mudah membosankan, Diaz lebih sering menonton film tipe horor atau misteri lewat situs.Mila meluruskan tangan kanannya, sesekali kebas kalau sering beraktivitas. Ia tidak mengeluh pada Diaz karena dia pasti menyarankan untuk periksa. Kalau disuruh pakai deker, Mila enggan.Mila mengangkat keranjang berisi pakaian kotornya dan Diaz. Awal-awal mencuci pakaian orang lain, Mila merasa asing atau lebih tepatnya geli. Jika bukan karena Diaz sibuk, Mila akan membeli satu keranjang lagi agar pakaian kotor mereka di
"Diaz. Stephen mau ke sini, boleh gak?" Tiba-tiba saja Mila dapat pesan singkat dari Stephen, dia bilang ingin main ke rumah mereka."Udah malam," jawab Diaz menunjuk jam tangannya yang dipakai dari pagi hingga malam."Masih sore, belum jam 9." Masalahnya Mila mau minta saran cara merayu laki-laki, Stephen lebih berpikiran luas darinya."Gak boleh, besok lagi kalau mau ke sini." Diaz memakan kacang bawang, tatapannya lurus ke layar televisi yang menayangkan film horor season 2 lanjutan tadi siang. Tontonan tertunda sejenak karena ada rapat online melalui panggilan video selama 2 jam.Mila duduk mendekat pada Diaz, namun Diaz menggeser tubuhnya. "Please... ""Ini kamu ngapain mepet-mepet duduknya ke saya." Diaz pindah duduk di sofa tunggal atau bisa terhimpit Mila.Mila mengeluarkan ponselnya untuk membalas pesan Stephen. "Diaz gak izinin, katanya besok aja. Lo sih, ngapain malem-malem ke rumah orang." Setelah pesan terkirim, Mila
"Mila, kamu gak perlu cang- "Mila menutup telinganya dengan dua tangan. "Gue gak mau denger apa-apa, diem aja sampai rumah." Telinga Mila panas mendengar ucapannya sendiri.Diaz paham. "Iya, saya diam." Dia dengan patuhnya mengulum bibir agar tidak bicara apa pun. Terus terang saja Diaz menahan sudut bibirnya agar tertarik tidak membentuk senyuman.Mila melirik Diaz lalu memelototinya. "Ketawa lagi, lo!" pekiknya tidak terima. "gak usah senyum-senyum. Gue tadi ... Tadi itu cu-cuma keceplosan. Mulut gue kan emang serampangan!" Ia menepuk mulutnya lagi.Diaz tidak jadi senyum karena dilarang. "Saya gak senyum, ini buktinya."Mila melihat Diaz cukup lama, membuktikan kalau dia tidak senyum selama mengemudi.Diaz menutupi wajah Mila dengan satu tangan. "Kamu jangan liatin saya. Saya jadi mau ketawa."Mila menurunkan tangan Diaz lalu mengambil ponsel untuk berkaca. "Emang muka gue kenapa? Kok lo ketawa?" Tidak ada apa-ap
Diaz merentangkan tangannya, mengulet setelah tidur pulas dan langsung menarik tangan sebab ingat ada Mila yang tidur di sebelahnya.Namun saat dilihat, Mila tidak ada. Selimutnya sudah dilipat dengan rapi beserta bantal dan guling yang tertata. Ke mana dia jam segini sudah bangun? Biasanya setelah bangun tidur, Mila lanjut tidur atau menghadap komputer untuk menulis novel.Diaz menyibak selimutnya lalu memeriksa kamar mandi, ternyata kosong. Pencariannya berlanjut ke lantai bawah barangkali Mila coba-coba masak dengan Meida, tetapi ibunya sedang masak seorang diri di dapur."Mah! Mama liat Mila?" teriak Diaz dari ruang tamu sambil menyisiri sudut lain."Mila? Dia pagi-pagi ke luar, mungkin keliling, olahraga jalan kaki gitu."Diaz menyangkal, "Mana mungkin, Mah. Mama yang benar aja. Mama tanya Mila langsung?" Bukannya Diaz tidak percaya Mila bangun pagi untuk olahraga. Tapi memang, agaknya tak mungkin kalau mengingat kebiasaannya
Vio mengunci diri di dalam kamar karena Diaz mendengar ucapannya. Kenapa bisa jadi seperti ini? Mila adalah orang yang pernah dia bully saat SMP. Vio kira setelah dia keluar dari sekolah tidak akan terjadi apa-apa. Tapi apa-apaan ini? Mila datang ke rumahnya dengan status sebagai istri dari Diaz, kakaknya sendiri.***Fila mendengarkan penjelasan dr. Rio, yaitu spesialis kedokteran jiwa (Sp.KJ) yang menangani Mila dari konseling hingga terapi. "Mila butuh penanganan ke depannya kalau kambuh lagi. Dia teringat kejadian itu karena ada ucapan yang terngiang-ngiang di kepalanya." Fila mengangguk. "Mila, ketakutan tiap dia menangis. Dia bilang ada suara aneh." dr. Rio mengangguk ingat. "Saya ingat, dulu Mila juga pernah mengulang kalimat, saya gak salah dan saya gak tau. Mungkin itu pemicu serangan panik yang terjadi tadi. Mungkin ada salah satu di antara kalian yang menyinggung kalimat itu? Menangani Mila butuh mengelola ucapan. Serangan
"Vio, buka pintunya! Mama mau bicara sama kamu." Meida mengetuk pintu kamar anak bungsunya yang sejak orang-orang sibuk menenangkan Mila, dia justru mengurung diri di kamar. "Vio!"Diaz melihat Meida terus mengetuk pintu. Dia mengambil kunci cadangan kamar Vio yang diletakkan di bawah keset untuk membuka pintu.Diaz ikut masuk bersama Meida. Di dalam, rupanya Vio duduk di lantai sambil menyetel video di laptopnya saat mereka merundung Mila di kelas.Diaz menutup layar laptop Vio dengan kasar lalu bertanya. "Siapa lagi selain kamu?"Vio menatap Meida lalu terhenti pada Diaz. "Mila gak tau gue, kan?" Kalau Mila tahu orang yang menyengsarakannya adalah Vio, siap-siap saja dia balas dendam."Kenapa kamu ngelakuin itu? Mama sama Papa gak pernah ngajarin kamu, Vio!" Meida tidak tahu dapat dari mana sifat buruk Vio hingga menjadikannya orang jahat."SIAPA LAGI?!" Urat-urat leher Diaz sampai kelihatan karena berteriak agar Vio meny
Diaz berpakaian santai keluar dari kamar menemui Mila yang sedang makan siang bersama Meida dan Vio."Kamu mau ke kantor, Diaz?" tanya Meida. Tetapi ini sudah cukup siang untuk datang dan tidak ada jadwal penting karena rapat biasanya diadakan pagi hari.Vio menatap Diaz dari bawah sampai atas. Memang, mau berpakaian merek biasa sampai mahal penampilan kakaknya tidak bisa diabaikan. Kalau bukan saudara kandung, Vio sudah gencar mendapatkannya sebelum Mila. Menjadi adiknya saja sudah sangat beruntung walaupun lebih banyak menghabiskan waktu dengan adu mulut."Diaz ada urusan sebentar, gak lama."Diaz mendatangi Mila, lebih tepatnya berdiri di belakang kursi yang didudukinya. "Makan yang banyak... "Mila mengacuhkan Diaz walaupun dia mengusap rambutnya. Bukan urusan Mila lagi Diaz mau pergi ke mana, terserah keinginannya."Saya pergi sebentar," sambung Diaz setelah itu pergi dari hadapan mereka.Mila menoleh sebe
Diaz menyunggingkan senyuman yang menimbulkan perasaan takut dan terancam bagi orang yang melihatnya. Ini spesial untuk Kiara."Kamu gak perlu takut karena saya gak akan macam-macam dengan perempuan. Justru kamu bersyukur bertemu saya walaupun dengan keadaan yang kurang baik."Kiara menoleh ke bawah ketika Diaz maju selangkah untuk menginjak bunga hingga tidak terbentuk karangan lagi, tersisa kelopak-kelopaknya yang berserakan dan lusuh.Diaz ikut melihat ke bawah lalu berkata, "Masa lalu kamu dengan istri saya, secepatnya saya selesaikan.""Apa mau lo?" Kiara membutuhkan kedatangan Revan untuk menghindar dari Diaz. Demi apa pun, dia lebih licik daripada dirinya. "bukan cuma gue, tapi Vio juga ikut bully Mila."Diaz mengangguk sebanyak tiga kali. "Saya tau. Maka dari itu, kalau sewaktu-waktu saya telepon kamu untuk minta maaf, kamu harus bersedia. Saya juga tau kamu akan audisi pekan depan, sebelum rahasia kamu terbongkar dan gak bisa d