"Diaz. Stephen mau ke sini, boleh gak?" Tiba-tiba saja Mila dapat pesan singkat dari Stephen, dia bilang ingin main ke rumah mereka.
"Udah malam," jawab Diaz menunjuk jam tangannya yang dipakai dari pagi hingga malam.
"Masih sore, belum jam 9." Masalahnya Mila mau minta saran cara merayu laki-laki, Stephen lebih berpikiran luas darinya.
"Gak boleh, besok lagi kalau mau ke sini." Diaz memakan kacang bawang, tatapannya lurus ke layar televisi yang menayangkan film horor season 2 lanjutan tadi siang. Tontonan tertunda sejenak karena ada rapat online melalui panggilan video selama 2 jam.
Mila duduk mendekat pada Diaz, namun Diaz menggeser tubuhnya. "Please... "
"Ini kamu ngapain mepet-mepet duduknya ke saya." Diaz pindah duduk di sofa tunggal atau bisa terhimpit Mila.
Mila mengeluarkan ponselnya untuk membalas pesan Stephen. "Diaz gak izinin, katanya besok aja. Lo sih, ngapain malem-malem ke rumah orang." Setelah pesan terkirim, Mila
"Mila, kamu gak perlu cang- "Mila menutup telinganya dengan dua tangan. "Gue gak mau denger apa-apa, diem aja sampai rumah." Telinga Mila panas mendengar ucapannya sendiri.Diaz paham. "Iya, saya diam." Dia dengan patuhnya mengulum bibir agar tidak bicara apa pun. Terus terang saja Diaz menahan sudut bibirnya agar tertarik tidak membentuk senyuman.Mila melirik Diaz lalu memelototinya. "Ketawa lagi, lo!" pekiknya tidak terima. "gak usah senyum-senyum. Gue tadi ... Tadi itu cu-cuma keceplosan. Mulut gue kan emang serampangan!" Ia menepuk mulutnya lagi.Diaz tidak jadi senyum karena dilarang. "Saya gak senyum, ini buktinya."Mila melihat Diaz cukup lama, membuktikan kalau dia tidak senyum selama mengemudi.Diaz menutupi wajah Mila dengan satu tangan. "Kamu jangan liatin saya. Saya jadi mau ketawa."Mila menurunkan tangan Diaz lalu mengambil ponsel untuk berkaca. "Emang muka gue kenapa? Kok lo ketawa?" Tidak ada apa-ap
Diaz merentangkan tangannya, mengulet setelah tidur pulas dan langsung menarik tangan sebab ingat ada Mila yang tidur di sebelahnya.Namun saat dilihat, Mila tidak ada. Selimutnya sudah dilipat dengan rapi beserta bantal dan guling yang tertata. Ke mana dia jam segini sudah bangun? Biasanya setelah bangun tidur, Mila lanjut tidur atau menghadap komputer untuk menulis novel.Diaz menyibak selimutnya lalu memeriksa kamar mandi, ternyata kosong. Pencariannya berlanjut ke lantai bawah barangkali Mila coba-coba masak dengan Meida, tetapi ibunya sedang masak seorang diri di dapur."Mah! Mama liat Mila?" teriak Diaz dari ruang tamu sambil menyisiri sudut lain."Mila? Dia pagi-pagi ke luar, mungkin keliling, olahraga jalan kaki gitu."Diaz menyangkal, "Mana mungkin, Mah. Mama yang benar aja. Mama tanya Mila langsung?" Bukannya Diaz tidak percaya Mila bangun pagi untuk olahraga. Tapi memang, agaknya tak mungkin kalau mengingat kebiasaannya
Vio mengunci diri di dalam kamar karena Diaz mendengar ucapannya. Kenapa bisa jadi seperti ini? Mila adalah orang yang pernah dia bully saat SMP. Vio kira setelah dia keluar dari sekolah tidak akan terjadi apa-apa. Tapi apa-apaan ini? Mila datang ke rumahnya dengan status sebagai istri dari Diaz, kakaknya sendiri.***Fila mendengarkan penjelasan dr. Rio, yaitu spesialis kedokteran jiwa (Sp.KJ) yang menangani Mila dari konseling hingga terapi. "Mila butuh penanganan ke depannya kalau kambuh lagi. Dia teringat kejadian itu karena ada ucapan yang terngiang-ngiang di kepalanya." Fila mengangguk. "Mila, ketakutan tiap dia menangis. Dia bilang ada suara aneh." dr. Rio mengangguk ingat. "Saya ingat, dulu Mila juga pernah mengulang kalimat, saya gak salah dan saya gak tau. Mungkin itu pemicu serangan panik yang terjadi tadi. Mungkin ada salah satu di antara kalian yang menyinggung kalimat itu? Menangani Mila butuh mengelola ucapan. Serangan
"Vio, buka pintunya! Mama mau bicara sama kamu." Meida mengetuk pintu kamar anak bungsunya yang sejak orang-orang sibuk menenangkan Mila, dia justru mengurung diri di kamar. "Vio!"Diaz melihat Meida terus mengetuk pintu. Dia mengambil kunci cadangan kamar Vio yang diletakkan di bawah keset untuk membuka pintu.Diaz ikut masuk bersama Meida. Di dalam, rupanya Vio duduk di lantai sambil menyetel video di laptopnya saat mereka merundung Mila di kelas.Diaz menutup layar laptop Vio dengan kasar lalu bertanya. "Siapa lagi selain kamu?"Vio menatap Meida lalu terhenti pada Diaz. "Mila gak tau gue, kan?" Kalau Mila tahu orang yang menyengsarakannya adalah Vio, siap-siap saja dia balas dendam."Kenapa kamu ngelakuin itu? Mama sama Papa gak pernah ngajarin kamu, Vio!" Meida tidak tahu dapat dari mana sifat buruk Vio hingga menjadikannya orang jahat."SIAPA LAGI?!" Urat-urat leher Diaz sampai kelihatan karena berteriak agar Vio meny
Diaz berpakaian santai keluar dari kamar menemui Mila yang sedang makan siang bersama Meida dan Vio."Kamu mau ke kantor, Diaz?" tanya Meida. Tetapi ini sudah cukup siang untuk datang dan tidak ada jadwal penting karena rapat biasanya diadakan pagi hari.Vio menatap Diaz dari bawah sampai atas. Memang, mau berpakaian merek biasa sampai mahal penampilan kakaknya tidak bisa diabaikan. Kalau bukan saudara kandung, Vio sudah gencar mendapatkannya sebelum Mila. Menjadi adiknya saja sudah sangat beruntung walaupun lebih banyak menghabiskan waktu dengan adu mulut."Diaz ada urusan sebentar, gak lama."Diaz mendatangi Mila, lebih tepatnya berdiri di belakang kursi yang didudukinya. "Makan yang banyak... "Mila mengacuhkan Diaz walaupun dia mengusap rambutnya. Bukan urusan Mila lagi Diaz mau pergi ke mana, terserah keinginannya."Saya pergi sebentar," sambung Diaz setelah itu pergi dari hadapan mereka.Mila menoleh sebe
Diaz menyunggingkan senyuman yang menimbulkan perasaan takut dan terancam bagi orang yang melihatnya. Ini spesial untuk Kiara."Kamu gak perlu takut karena saya gak akan macam-macam dengan perempuan. Justru kamu bersyukur bertemu saya walaupun dengan keadaan yang kurang baik."Kiara menoleh ke bawah ketika Diaz maju selangkah untuk menginjak bunga hingga tidak terbentuk karangan lagi, tersisa kelopak-kelopaknya yang berserakan dan lusuh.Diaz ikut melihat ke bawah lalu berkata, "Masa lalu kamu dengan istri saya, secepatnya saya selesaikan.""Apa mau lo?" Kiara membutuhkan kedatangan Revan untuk menghindar dari Diaz. Demi apa pun, dia lebih licik daripada dirinya. "bukan cuma gue, tapi Vio juga ikut bully Mila."Diaz mengangguk sebanyak tiga kali. "Saya tau. Maka dari itu, kalau sewaktu-waktu saya telepon kamu untuk minta maaf, kamu harus bersedia. Saya juga tau kamu akan audisi pekan depan, sebelum rahasia kamu terbongkar dan gak bisa d
Vio dan Mila sama-sama keluar dari kamar dengan pakaian rapi. Pandangan mereka saling curiga padahal punya tujuan berbeda.Tatapan Mila pada Vio lebih bukan ke curiga, ia sudah tahu dia akan bertemu Farel di suatu tempat untuk nongkrong karena malam minggu. Tetapi apakah kalau Meida lihat dan tahu, Vio masih dibolehkan ke luar?"Lo mau manfaatin gue?" Mila menunjuk wajah Vio yang dirias tipis. Pakaiannya sih masih dikategorikan santai karena memakai rok berwarna putih selutut dengan blouse merah merona.Vio meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya sendiri agar tidak keras-keras mengatakan kejujuran. "Lo bilang sendiri minat jadi protagonis tadi siang. Iya, kan?"Mila ingat. Untung saja Diaz masih ada urusan di luar sampai larut. "Ya udah, tapi awas kalau lo macem-macem di belakang nama gue."Vio membelalak sumringah mendapat respon yang baik dari Mila. "Gue janji."Terlalu banyak janji yang masuk ke telinga Mila, tetapi mereka tidak
Apa itu ... Hipnotikum?Mila baru dengar selama belajar mengetahui bahasa asing setiap menulis novel. Kalau hipnotis, hip-hop, atau hidrasi, Mila tahu artinya.Namanya saja sulit disebut lagi. Ah sudahlah, apa pun namanya Mila enggan memeriksa artinya. Siapa tahu itu bahasa gaul zaman sekarang dan Mila tertinggal info. Setelah nikah mana bisa gaul seperti perempuan lajang di luar sana, jika Diaz tidak berceloteh tentang pekerjaan rumah yang sampai kapan pun tidak selesai, boleh jadi Mila tetap gaul seperti mereka.Di dalam taksi, Mila menyempatkan diri menonton drama korea yang belum selesai semalam. Tidak terasa sudah 15 menit perjalanan, taksi pun sampai di depan rumah Fila."Makasih, Pak. Hati-hati... " Mila tersenyum hangat pada sopir taksi yang meneruskan arah sebab sekitar 500 meter dari gang perumahan terdapat persimpangan bundaran.Bundanya pasti sangat terkejut Mila datang tanpa memberitahu sebelumnya. Apalagi ia bawa makanan banyak untuk
Thank youuuu buat teman-teman yang sempat mampir ataupun tetap bertahan masukin novel ini ke rak bacaan kaliaann. Congrats buat aku sendiri yang udah tamatin kisah mereka dengan jangka waktu sangat panjang, bab absurd, dan ending membagongkan dan ngambang.Kalian bisa anggap akan ada sekuel dari Diaz dan Mila entah itu kehidupan anak mereka atau lainnya. Tapi so far, belum ada rancangan gimana gambaran cerita selanjutnya karena masih terjebak genre Teen.Semoga kalian tetap dalam lindungan Tuhan yang Maha Esa dan selalu sehat baik mental maupun fisik karena hidup tidak seringan pilus gais.Sekali lagi thank you so much!And bye bye~
"Ha? Hahaha ... Gue bayangin muka mereka bingungnya gimana."Vio tertawa puas di meja makan saat Diaz menceritakan apa yang terjadi di rumah Monica semalam.Meida menyuruh anaknya berhenti tergelak dan dengarkan saja kakaknya bicara. "Kamu tuh ya, orang lagi ngomong malah ketawa terus.""Yailah, Ma. Bayangin dong muka mereka. Apalagi Mas Agam sama istrinya yang naudzubillah, Haha." "Kapan Monica ketemu Pak Louis?" Diaz bertanya-tanya sebab sebelumnya Monica sibuk bolak-balik ke rumahnya dengan rencana balas dendam.Walaupun balas dendamnya berubah menjadi kasih sayang tak terduga. Kekeluargaan mereka sangat erat."Monica mungkin udah menduga ini bakal terjadi. Dia kan ngomong sendiri sering berdoa ketemu orang tuanya.""Vio!" Meida geram sekali dengan anaknya sampai ingin melempar sendok garpu."Mama kenapa sih sensi banget?" balas Vio."Omongan kamu itu!" "Orang Monica-nya yang bilang ke aku.""Diaz mau minta tolong, Mah."Meida menatap Vio sebab Diaz meliriknya. "Mama?" "Monica m
Sebagai CEO yang memiliki waktu senggang banyak, Diaz memberanikan diri menemui pengacara Monica. Tepat hari sebelumnya mereka bicara serius melalui telepon untuk menentukan pukul berapa akan diskusi sebab pengacara pun punya acara lain.Diaz sangat terkejut rupanya ada kakak serta adik dari orang tua Monica turut datang ke rumah anak malang itu dengan raut tidak sabaran."Semuanya kenapa di sini?" Perasaan Diaz menghubungi pengacaranya saja, tidak mereka juga. Total ada 5 orang, termasuk dirinya.Akhirnya ia bergabung dengan mereka dan itu diperdebatkan."Kenapa ada dia di sini?" sahut Winda, adik terakhir dari Ibu Monica sembari menunjuk Diaz duduk.Diaz lantas menoleh tanpa ekspresi. Bukankah seharusnya ia yang memberi pertanyaan pada mereka?"Monica secara khusus meminta tolong saya untuk panggil Pak Diaz," jawab Louis tak kalah datar dari padang pasir."Hah! Kayaknya sih dia ngerayu Monica biar dikasih beberapa persen asetnya," timpal suami Winda, Agam.Kelihatan dari tampang mer
"Mama tetap gak nyangka, Mila.""Apalagi Mila, Bun."Mereka duduk besandar di ruang tamu setelah menghadiri pemakaman. Mila menatap langit-langit rumahnya seraya berkata, "Monica udah maafin Diaz belum ya, Bun? Kasihan mereka."Fila lantas menjawab, "Sebenarnya Monica pasti udah maafin Diaz dari dulu. Cuma karena mereka kurang akrab dan Monica sempat salah paham juga, dia agak canggung.""Aku padahal mau ke rumahnya lagi.""Nanti kalau Diaz ke sana aja. Dia pasti harus urus semuanya karena walinya Monica."Mila mengusap wajahnya, belum menyesuaikan kenyataan. "Mila mau mandi, Bun. Abis itu ke rumah Diaz lagi, dia harus ditemenin.""Iya sana. Bunda gapapa sendiri di sini."***Vio melihat Diaz berdiri di tengah pintu menghadap halaman belakang sembari memasukkan tangan ke saku celana. Kakaknya diam dengan deru napas teratur yang terdengar berat."Lo lagi ngapain?" Vio memberanikan diri mendekat dan berhenti di belakang Diaz."Bukan apa
Suara langkah Diaz memenuhi lorong yang dihampiri suara petir dan cahaya kilat lewat celah jendela. Sesaat dia memperlebar jarak kaki supaya cepat sampai ruang jenazah yang terletak di bagian belakang rumah sakit.Di belakang Diaz, ada Mila yang juga berusaha mempercepat langkah agar bisa mengiringi suaminya. Kesekian kalinya sudut mata mereka meneteskan bulir bening atas perasaan berkecamuk.Ada-ada saja, diwaktu kurang tepat Diaz dihubungi Bayu, sekretarisnya. "Maaf, saya lagi ada urusan. Nanti saya telepon lagi, Pak." Masalah klien tidak jadi datang besok bukan hal besar. Bayu masih bisa menangani dikarenakan situasi mendesak.Begitu masuk ke kamar jenazah, Diaz sempat menjeda nafas beberapa detik untuk meyakinkan hatinya bahwa yang terjadi sekarang ini bukan bunga tidur. Di atas dua brankar terdapat dua tubuh terbujur kaku diselimuti kain putih. Petugas yang menjaga kamar jenazah malam ini hanya satu berjenis kelamin laki-laki. Dia terlihat sedang memeriksa
Guyuran hujan secara tiba-tiba membasahi tanah dan jalan sejak tengah hari. Rencana Mila pergi ke Taman depan kantor jadi urung. Apalagi niatnya mau hujan-hujanan selagi deras.Diaz menyibukkan diri di depan laptop. Liburnya tetap bekerja. Bahkan lebih pusing dia daripada Mila yang suka mengarang cerita. Omong-omong, sudah 2 hari Mila tidak update bab novel. Apa kabar komentar pembacanya?"Kamu daripada berdiri terus di jendela, mendingan bantu saya beresin ini nih." Diaz menunjuk map-map miliknya yang kurang rapi di dekat meja satunya. Saking banyaknya yang belum tuntas, dia bingung mau membereskan yang mana."Ogah. Kamu kan udah kerjain bareng sekretaris kamu," cebik Mila.Diaz melirik layar laptopnya. Benar, dia sedang melakukan panggilan video dengan sekretarisnya demi mengurus berkas baru maupun yang diarsip bulan lalu."Barangkali mau," balas Diaz.Suara petir menggelegar langsung mengejutkan Mila karena berdiri di dekat jendela.
"Udah pasang sabuk pengaman?" tanya Eric barangkali Monica menyepelekan betapa pentingnya menggunakan sabuk pengaman saat berkendara, baik pengemudi maupun penumpang.Satu dehaman menjawab pertanyaan Eric. Asisten keluarga Monica tersenyum kecil dan menjalankan mobil menuju MJ Coffe untuk mengopi santai sambil mengurus jadwal-jadwal tak beraturan dan kurang sesuai dengan keinginan Bosnya.Suasana ramai lancar kendaraan roda empat dan dua masih tampak asing di mata Monica. Bolak-balik antarkota mengakibatkan ia tak dapat lihat perkembangan kota kelahiran secara bertahap. Setiap tahun terdapat penaikan penduduk di Kepulauan Seribu. Syukurlah, pulau wisata itu masih terjaga keasriannya.Pernah satu, dua kali laut sekeliling pulau tercemar akibat pembuangan minyak ilegal. Saat itu penduduk kesulitan mendapat air. Pemerintah kota berbondong-bondong meminta pasokan air bersih walaupun kurang maksimal."Ini kalau urbanisasi dikurangi mungkin 5 tahun ke depan bak
"Gimana jadwalnya? Gak bisa diubah?"Ekspresi datar yang sering ditampilkan gadis berusia 18 tahun itu bukan lagi hal baru untuk asistennya, Eric. Masalah perubahan jadwal dadakan yang dibuat Eric memang tidak disarankan jika bosnya seperti Monica.Umpatan, tatapan tajam, atau keduanya selalu didapat Eric sekali pun hubungan mereka dekat."Udah saya ubah. Jadi gak bisa diubah dua kali."SRRKKMap berwarna merah di atas meja dihempaskan begitu saja hingga lembaran di dalamnya berserakan di lantai."Astaga... " Suka tak suka Eric harus memungut tiap lembaran dan menyusunnya asal untuk diletakkan ke dalam map. "Ini ada kontrak, jangan dibuang-buang.""Lo tau sendiri kan tanggal 25 kita harus ke Sumatera buat baksos. Harusnya tanggal 26 kosongin jadwal. Bukannya malah ada kegiatan! Lo pikir gue gak butuh istirahat?""Iya tau. Tapi klien yang dari Jawa bilang tanggal 26 bisanya," bela Eric."Ya lagian lo sejak kapan mentingin
Tirai berwarna merah menghalangi sinar yang menembus masuk. Wanita berbadan dua itu tengah membaca buku tentang bisnis milik suaminya sambil merebahkan tubuh. Setelah kontrol bulanan ke dokter kandungan, hasilnya janin berkembang baik. Belum begitu buncit perutnya lantaran masih 3 bulan mengandung.Aktivitas menulis novel berkurang, bukan suruhan Diaz melainkan secara inisiatif Mila lakukan. Ia sering tertidur jika menempel kasur, lalu bangun untuk makan dan jalan-jalan di dalam rumah untuk peregangan badan.Seringkali Diaz memergoki Mila bicara dengan perutnya sambil tersenyum riang di bangku teras rumah, apalagi sebelum berangkat bekerja. Sebisa mungkin Diaz turuti keinginan Sang Istri untuk meredam amarah satu sama lain. Selagi Mila tidak meminta rumah di planet Mars, Diaz mau saja tunduk di kakinya."Lagi apa?""Gak liat? Lagi nonton video."Pertama kalinya Mila memutar dokumentasi video pernikahan mereka, sebelumnya ia mengecam Diaz agar tidak