Diaz berpakaian santai keluar dari kamar menemui Mila yang sedang makan siang bersama Meida dan Vio.
"Kamu mau ke kantor, Diaz?" tanya Meida. Tetapi ini sudah cukup siang untuk datang dan tidak ada jadwal penting karena rapat biasanya diadakan pagi hari.
Vio menatap Diaz dari bawah sampai atas. Memang, mau berpakaian merek biasa sampai mahal penampilan kakaknya tidak bisa diabaikan. Kalau bukan saudara kandung, Vio sudah gencar mendapatkannya sebelum Mila. Menjadi adiknya saja sudah sangat beruntung walaupun lebih banyak menghabiskan waktu dengan adu mulut.
"Diaz ada urusan sebentar, gak lama."
Diaz mendatangi Mila, lebih tepatnya berdiri di belakang kursi yang didudukinya. "Makan yang banyak... "
Mila mengacuhkan Diaz walaupun dia mengusap rambutnya. Bukan urusan Mila lagi Diaz mau pergi ke mana, terserah keinginannya.
"Saya pergi sebentar," sambung Diaz setelah itu pergi dari hadapan mereka.
Mila menoleh sebe
Diaz menyunggingkan senyuman yang menimbulkan perasaan takut dan terancam bagi orang yang melihatnya. Ini spesial untuk Kiara."Kamu gak perlu takut karena saya gak akan macam-macam dengan perempuan. Justru kamu bersyukur bertemu saya walaupun dengan keadaan yang kurang baik."Kiara menoleh ke bawah ketika Diaz maju selangkah untuk menginjak bunga hingga tidak terbentuk karangan lagi, tersisa kelopak-kelopaknya yang berserakan dan lusuh.Diaz ikut melihat ke bawah lalu berkata, "Masa lalu kamu dengan istri saya, secepatnya saya selesaikan.""Apa mau lo?" Kiara membutuhkan kedatangan Revan untuk menghindar dari Diaz. Demi apa pun, dia lebih licik daripada dirinya. "bukan cuma gue, tapi Vio juga ikut bully Mila."Diaz mengangguk sebanyak tiga kali. "Saya tau. Maka dari itu, kalau sewaktu-waktu saya telepon kamu untuk minta maaf, kamu harus bersedia. Saya juga tau kamu akan audisi pekan depan, sebelum rahasia kamu terbongkar dan gak bisa d
Vio dan Mila sama-sama keluar dari kamar dengan pakaian rapi. Pandangan mereka saling curiga padahal punya tujuan berbeda.Tatapan Mila pada Vio lebih bukan ke curiga, ia sudah tahu dia akan bertemu Farel di suatu tempat untuk nongkrong karena malam minggu. Tetapi apakah kalau Meida lihat dan tahu, Vio masih dibolehkan ke luar?"Lo mau manfaatin gue?" Mila menunjuk wajah Vio yang dirias tipis. Pakaiannya sih masih dikategorikan santai karena memakai rok berwarna putih selutut dengan blouse merah merona.Vio meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya sendiri agar tidak keras-keras mengatakan kejujuran. "Lo bilang sendiri minat jadi protagonis tadi siang. Iya, kan?"Mila ingat. Untung saja Diaz masih ada urusan di luar sampai larut. "Ya udah, tapi awas kalau lo macem-macem di belakang nama gue."Vio membelalak sumringah mendapat respon yang baik dari Mila. "Gue janji."Terlalu banyak janji yang masuk ke telinga Mila, tetapi mereka tidak
Apa itu ... Hipnotikum?Mila baru dengar selama belajar mengetahui bahasa asing setiap menulis novel. Kalau hipnotis, hip-hop, atau hidrasi, Mila tahu artinya.Namanya saja sulit disebut lagi. Ah sudahlah, apa pun namanya Mila enggan memeriksa artinya. Siapa tahu itu bahasa gaul zaman sekarang dan Mila tertinggal info. Setelah nikah mana bisa gaul seperti perempuan lajang di luar sana, jika Diaz tidak berceloteh tentang pekerjaan rumah yang sampai kapan pun tidak selesai, boleh jadi Mila tetap gaul seperti mereka.Di dalam taksi, Mila menyempatkan diri menonton drama korea yang belum selesai semalam. Tidak terasa sudah 15 menit perjalanan, taksi pun sampai di depan rumah Fila."Makasih, Pak. Hati-hati... " Mila tersenyum hangat pada sopir taksi yang meneruskan arah sebab sekitar 500 meter dari gang perumahan terdapat persimpangan bundaran.Bundanya pasti sangat terkejut Mila datang tanpa memberitahu sebelumnya. Apalagi ia bawa makanan banyak untuk
Acara makan malam dibatalkan sebab Fila merasa kurang enak badan untuk masak banyak. Sebagai gantinya, Danang akan datang besok jika ibunya membaik.Diaz juga baru sampai rumah pukul 9 lewat 15 menit. Tidak acara makan di rumah, para direktur dari berbagai cabang mendadak mengajaknya bergabung. Mau tak mau, Diaz ikut hingga lupa memberi kabar satu rumah. Sialnya lagi, daya baterai ponsel habis.Diaz ingin istirahat sekali, kakinya malas-malasan naik tangga menuju kamar untuk mengisi daya ponsel. Saat masuk, lampu kamar mati alias tidak ada Mila di dalam. Sangat hening dan mungkin hanya suara jam dinding dan AC yang terdengar.Setelah mengisi daya, Diaz masih berdiri sambil menyalakan ponsel. Tadinya dia ingin mengirim pesan ke Mila, tidak lama setelah beranda terbuka, Mila menghubungi nomornya."Mila, kamu-" Sebelum dia bicara, Mila menyerobot bicara sangat cepat memberitahu bahwa Vio pergi dengan Farel ke sebuah Bar di Tangerang dan Farel bicara tentang
Diaz menengadahkan wajah dan bertatapan dengan Vio tidak lama. "Kamu gapapa?" "Kakak lo sering ke sini?" tanya Farel. Vio mengelak. "Mana mungkin." Dia melanjutkan pembicaraan dengan Diaz. "lo ngapain di sini? Udah gila? Inilah akibatnya menyimpulkan seseorang terlalu cepat dan secara kebetulan informasi yang disampaikan Mila tidak tepat. Diaz memilah jawaban yang tepat agar tidak membuat Vio semakin mengatakan dia gila jika menjawab Farel akan menjebaknya. Ini buktinya, jebakan obat tidur yang Farel bicarakan di telepon untuk orang lain. "Kita bahas nanti, sekarang ikut pulang. Kamu bisa kena masalah di sini." Diaz mencekal tangan Vio. Farel menahan tangan Vio yang satunya. "Dia pulang sama gue. Berangkat bareng, pulangnya juga bareng." Diaz melihat tindakan Farel yang cukup dramatis. "Kalau kamu masih mau senang-senang di sini, silakan. Tapi Vio, adik saya harus pulang sekarang. Saya belum percaya sama kamu." Fa
"Lho, Diaz? Kok malah parkir di belakang rumah?" Kalau punya rencana harusnya Diaz katakan pada mereka."Kita harus lewat belakang paviliun biar bisa naik lantai atas. Mau Mama curiga kenapa kita pulang malam-malam? Lagian, solarnya mau habis."Vio mengejek Diaz. "Hah, ternyata bukan duit gue doang yang menipis."Mereka keluar bersamaan, Vio melihat beranda ponselnya yang menunjukkan jam setengah 12 malam. Mila yang tidak sengaja lihat langsung mengusap kedua lengannya, berbeda dengan Diaz yang biasa saja karena awam lihat suasana hendak pergantian tanggal jika lembur kerja."Liat nih, bulu kuduk gue pada berdiri." Mila menunjukkan lengan tangannya sebab merinding keluar tengah malam, ini pengalaman pertama yang baru dan menegangkan bagi Mila."Jangan sembarangan lo, kita ngelewatin kebon abis ini."Vio mengingatkan Mila agar menjaga ucapannya di tempat sepi begini. Hidup di zaman modern dan canggih, tidak sedikit yang percaya de
"Haduh ... Diaz, sekarang bangun gak lo! Udah jam berapa ini, lo niat kerja gak sih?" Mila terbangun karena alarm ponsel Diaz berbunyi tawa kuntilanak tepat jam 7 pagi.Selesai melipat selimutnya sendiri, Mila menarik kasar selimut milik Diaz supaya terganggu."Ya ampun, punya suami nguji kesabaran banget." Mila bolak-balik menyiapkan perlengkapan Diaz, mulai dari pakaian, sepatu, jam tangan, hingga tas yang akan dibawa ke kantor."Diazzz!" Mila berteriak hingga suaranya merendah karena belum minum. "Ekhem!" Ia membersihkan tenggorokannya.Mila menyalakan komputernya lalu merangkak naik kasur. "Woi!" Ia menepuk wajah Diaz namun malah membalikkan badan dan lanjut tidur."Mila ... Diaz kok belum sarapan?" Suara Meida terdengar sampai kamar mereka."Gak mau- "Diaz segera bangkit setelah dengar teriakan Meida. Mila menggeleng lalu melempar bantal mengenai kaki Diaz yang hendak masuk kamar mandi.Diaz memungut kembali dan mel
Diaz terkesiap beberapa saat hingga Mila heran. Dia menyuruhnya mengatakan satu kalimat menggunakan aku dan kamu, sekarang sudah terpenuhi. Tetapi mengapa Diaz tidak bereaksi? Apa Diaz mengira Mila benar-benar mencintainya?Diaz akhirnya bergerak memakai sepatu. "Ah iya, tadi saya yang minta kamu buat satu kalimat." Lalu melewati Mila sambil mengusap wajahnya. "saya gak bisa ditipu lagi," tawanya.Mila merengut, ternyata dia menyadari. Tidak bisa diabaikan. Ia segera berdiri mengejar Diaz yang sudah keluar kamar untuk mengerjainya, lagi."Aku beneran cinta kamu!"Diaz mempercepat langkah sebab Mila mengejarnya. "Saya nggak denger," jawabnya dengan suara rendah. Dia berusaha membodohinya, lagi.Mila semakin gencar meledek karena Diaz mesam-mesem. Setelah menggelayuti tangannya, ia berkata lagi, "Aku beneran cinta kamu."Diaz berhenti sebentar karena menuruni tangga. Dia menoleh heran lalu kepalanya menggeleng. Jelas Mila mengecohnya karena ny
Thank youuuu buat teman-teman yang sempat mampir ataupun tetap bertahan masukin novel ini ke rak bacaan kaliaann. Congrats buat aku sendiri yang udah tamatin kisah mereka dengan jangka waktu sangat panjang, bab absurd, dan ending membagongkan dan ngambang.Kalian bisa anggap akan ada sekuel dari Diaz dan Mila entah itu kehidupan anak mereka atau lainnya. Tapi so far, belum ada rancangan gimana gambaran cerita selanjutnya karena masih terjebak genre Teen.Semoga kalian tetap dalam lindungan Tuhan yang Maha Esa dan selalu sehat baik mental maupun fisik karena hidup tidak seringan pilus gais.Sekali lagi thank you so much!And bye bye~
"Ha? Hahaha ... Gue bayangin muka mereka bingungnya gimana."Vio tertawa puas di meja makan saat Diaz menceritakan apa yang terjadi di rumah Monica semalam.Meida menyuruh anaknya berhenti tergelak dan dengarkan saja kakaknya bicara. "Kamu tuh ya, orang lagi ngomong malah ketawa terus.""Yailah, Ma. Bayangin dong muka mereka. Apalagi Mas Agam sama istrinya yang naudzubillah, Haha." "Kapan Monica ketemu Pak Louis?" Diaz bertanya-tanya sebab sebelumnya Monica sibuk bolak-balik ke rumahnya dengan rencana balas dendam.Walaupun balas dendamnya berubah menjadi kasih sayang tak terduga. Kekeluargaan mereka sangat erat."Monica mungkin udah menduga ini bakal terjadi. Dia kan ngomong sendiri sering berdoa ketemu orang tuanya.""Vio!" Meida geram sekali dengan anaknya sampai ingin melempar sendok garpu."Mama kenapa sih sensi banget?" balas Vio."Omongan kamu itu!" "Orang Monica-nya yang bilang ke aku.""Diaz mau minta tolong, Mah."Meida menatap Vio sebab Diaz meliriknya. "Mama?" "Monica m
Sebagai CEO yang memiliki waktu senggang banyak, Diaz memberanikan diri menemui pengacara Monica. Tepat hari sebelumnya mereka bicara serius melalui telepon untuk menentukan pukul berapa akan diskusi sebab pengacara pun punya acara lain.Diaz sangat terkejut rupanya ada kakak serta adik dari orang tua Monica turut datang ke rumah anak malang itu dengan raut tidak sabaran."Semuanya kenapa di sini?" Perasaan Diaz menghubungi pengacaranya saja, tidak mereka juga. Total ada 5 orang, termasuk dirinya.Akhirnya ia bergabung dengan mereka dan itu diperdebatkan."Kenapa ada dia di sini?" sahut Winda, adik terakhir dari Ibu Monica sembari menunjuk Diaz duduk.Diaz lantas menoleh tanpa ekspresi. Bukankah seharusnya ia yang memberi pertanyaan pada mereka?"Monica secara khusus meminta tolong saya untuk panggil Pak Diaz," jawab Louis tak kalah datar dari padang pasir."Hah! Kayaknya sih dia ngerayu Monica biar dikasih beberapa persen asetnya," timpal suami Winda, Agam.Kelihatan dari tampang mer
"Mama tetap gak nyangka, Mila.""Apalagi Mila, Bun."Mereka duduk besandar di ruang tamu setelah menghadiri pemakaman. Mila menatap langit-langit rumahnya seraya berkata, "Monica udah maafin Diaz belum ya, Bun? Kasihan mereka."Fila lantas menjawab, "Sebenarnya Monica pasti udah maafin Diaz dari dulu. Cuma karena mereka kurang akrab dan Monica sempat salah paham juga, dia agak canggung.""Aku padahal mau ke rumahnya lagi.""Nanti kalau Diaz ke sana aja. Dia pasti harus urus semuanya karena walinya Monica."Mila mengusap wajahnya, belum menyesuaikan kenyataan. "Mila mau mandi, Bun. Abis itu ke rumah Diaz lagi, dia harus ditemenin.""Iya sana. Bunda gapapa sendiri di sini."***Vio melihat Diaz berdiri di tengah pintu menghadap halaman belakang sembari memasukkan tangan ke saku celana. Kakaknya diam dengan deru napas teratur yang terdengar berat."Lo lagi ngapain?" Vio memberanikan diri mendekat dan berhenti di belakang Diaz."Bukan apa
Suara langkah Diaz memenuhi lorong yang dihampiri suara petir dan cahaya kilat lewat celah jendela. Sesaat dia memperlebar jarak kaki supaya cepat sampai ruang jenazah yang terletak di bagian belakang rumah sakit.Di belakang Diaz, ada Mila yang juga berusaha mempercepat langkah agar bisa mengiringi suaminya. Kesekian kalinya sudut mata mereka meneteskan bulir bening atas perasaan berkecamuk.Ada-ada saja, diwaktu kurang tepat Diaz dihubungi Bayu, sekretarisnya. "Maaf, saya lagi ada urusan. Nanti saya telepon lagi, Pak." Masalah klien tidak jadi datang besok bukan hal besar. Bayu masih bisa menangani dikarenakan situasi mendesak.Begitu masuk ke kamar jenazah, Diaz sempat menjeda nafas beberapa detik untuk meyakinkan hatinya bahwa yang terjadi sekarang ini bukan bunga tidur. Di atas dua brankar terdapat dua tubuh terbujur kaku diselimuti kain putih. Petugas yang menjaga kamar jenazah malam ini hanya satu berjenis kelamin laki-laki. Dia terlihat sedang memeriksa
Guyuran hujan secara tiba-tiba membasahi tanah dan jalan sejak tengah hari. Rencana Mila pergi ke Taman depan kantor jadi urung. Apalagi niatnya mau hujan-hujanan selagi deras.Diaz menyibukkan diri di depan laptop. Liburnya tetap bekerja. Bahkan lebih pusing dia daripada Mila yang suka mengarang cerita. Omong-omong, sudah 2 hari Mila tidak update bab novel. Apa kabar komentar pembacanya?"Kamu daripada berdiri terus di jendela, mendingan bantu saya beresin ini nih." Diaz menunjuk map-map miliknya yang kurang rapi di dekat meja satunya. Saking banyaknya yang belum tuntas, dia bingung mau membereskan yang mana."Ogah. Kamu kan udah kerjain bareng sekretaris kamu," cebik Mila.Diaz melirik layar laptopnya. Benar, dia sedang melakukan panggilan video dengan sekretarisnya demi mengurus berkas baru maupun yang diarsip bulan lalu."Barangkali mau," balas Diaz.Suara petir menggelegar langsung mengejutkan Mila karena berdiri di dekat jendela.
"Udah pasang sabuk pengaman?" tanya Eric barangkali Monica menyepelekan betapa pentingnya menggunakan sabuk pengaman saat berkendara, baik pengemudi maupun penumpang.Satu dehaman menjawab pertanyaan Eric. Asisten keluarga Monica tersenyum kecil dan menjalankan mobil menuju MJ Coffe untuk mengopi santai sambil mengurus jadwal-jadwal tak beraturan dan kurang sesuai dengan keinginan Bosnya.Suasana ramai lancar kendaraan roda empat dan dua masih tampak asing di mata Monica. Bolak-balik antarkota mengakibatkan ia tak dapat lihat perkembangan kota kelahiran secara bertahap. Setiap tahun terdapat penaikan penduduk di Kepulauan Seribu. Syukurlah, pulau wisata itu masih terjaga keasriannya.Pernah satu, dua kali laut sekeliling pulau tercemar akibat pembuangan minyak ilegal. Saat itu penduduk kesulitan mendapat air. Pemerintah kota berbondong-bondong meminta pasokan air bersih walaupun kurang maksimal."Ini kalau urbanisasi dikurangi mungkin 5 tahun ke depan bak
"Gimana jadwalnya? Gak bisa diubah?"Ekspresi datar yang sering ditampilkan gadis berusia 18 tahun itu bukan lagi hal baru untuk asistennya, Eric. Masalah perubahan jadwal dadakan yang dibuat Eric memang tidak disarankan jika bosnya seperti Monica.Umpatan, tatapan tajam, atau keduanya selalu didapat Eric sekali pun hubungan mereka dekat."Udah saya ubah. Jadi gak bisa diubah dua kali."SRRKKMap berwarna merah di atas meja dihempaskan begitu saja hingga lembaran di dalamnya berserakan di lantai."Astaga... " Suka tak suka Eric harus memungut tiap lembaran dan menyusunnya asal untuk diletakkan ke dalam map. "Ini ada kontrak, jangan dibuang-buang.""Lo tau sendiri kan tanggal 25 kita harus ke Sumatera buat baksos. Harusnya tanggal 26 kosongin jadwal. Bukannya malah ada kegiatan! Lo pikir gue gak butuh istirahat?""Iya tau. Tapi klien yang dari Jawa bilang tanggal 26 bisanya," bela Eric."Ya lagian lo sejak kapan mentingin
Tirai berwarna merah menghalangi sinar yang menembus masuk. Wanita berbadan dua itu tengah membaca buku tentang bisnis milik suaminya sambil merebahkan tubuh. Setelah kontrol bulanan ke dokter kandungan, hasilnya janin berkembang baik. Belum begitu buncit perutnya lantaran masih 3 bulan mengandung.Aktivitas menulis novel berkurang, bukan suruhan Diaz melainkan secara inisiatif Mila lakukan. Ia sering tertidur jika menempel kasur, lalu bangun untuk makan dan jalan-jalan di dalam rumah untuk peregangan badan.Seringkali Diaz memergoki Mila bicara dengan perutnya sambil tersenyum riang di bangku teras rumah, apalagi sebelum berangkat bekerja. Sebisa mungkin Diaz turuti keinginan Sang Istri untuk meredam amarah satu sama lain. Selagi Mila tidak meminta rumah di planet Mars, Diaz mau saja tunduk di kakinya."Lagi apa?""Gak liat? Lagi nonton video."Pertama kalinya Mila memutar dokumentasi video pernikahan mereka, sebelumnya ia mengecam Diaz agar tidak