Vio melihat jarum jam tangannya yang terus bergerak sampai lelah menunggu Mila dan Diaz keluar dari kamar.
"Masih lama?"
Vio menggeleng tidak tahu atas pertanyaan Farel, sepertinya bukan cuma Vio yang malas menunggu.
Sampai akhirnya pasangan tersebut kompak keluar dari kamar. Tidak ada yang menonjol dari mereka dalam berpakaian, semua normal walaupun mereka bisa memakai setelan yang lebih bagus dan mewah.
"Gue udah beli 4 tiket, tapi gue sengaja pilih jam yang agak sore supaya kita bisa belanja sebentar buat perempuan." Farel memberitahu mereka agar kegiatan hari ini berlalu dengan santai.
"Bagus. Ya udah kita berangkat sekarang keburu makin panas," ujar Mila sambil menarik baju Diaz.
Diaz langsung meraih pergelangan tangan Mila, dia pikir dirinya kucing ditarik-tarik?
Farel dan Vio lantas berlalu diikuti mereka untuk masuk mobil Diaz. Mereka sepakat untuk bergantian mengemudi, saat berangkat Diaz, lalu pulangnya Farel.
Diaz menyodorkan es krim untuk Vio. Adiknya sangat suka membeli satu kardus dan bisa dihabiskan satu pekan."Selera lo beneran udah tua," cerca Vio melihat es krim varian yang dipilih kakaknya."Kacang merah, enak.""Not me." Akhirnya Vio sendiri yang mengambil es krim favoritnya. Membiarkan Diaz merupakan kesalahan terbesar karena mereka berbeda selera. "Persis Papa," imbuhnya lirih.Mereka lebih terlihat bapak dan anak daripada kakak dan adik karena Diaz berjalan di belakangnya untuk menjaga Vio.Vio balik badan untuk menyeret Diaz agar berjalan di sampingnya. "Lo bukan pengawal gue, berdiri di samping."Diaz tersenyum padanya. "Iya. Makasih.""Makasih?" Fakta bahwa Diaz semakin tua benar adanya. "Untung Mila bukan jalan sama Eric. Tau gak lo, Mila demen sama asistennya Monica?""Mila cuma berusaha cari laki-laki yang lebih ganteng dari Kakak," alibi Diaz. "Es krimnya mau dimakan kapan? Keburu me
"Eric, lo liat apa?" Monica masuk kamar Eric karena sejak tadi dipanggil tidak kunjung datang.Eric sedang melihat suatu hal yang tidak seharusnya ditonton. Monica heran mengapa dia masih memeriksa cctv tempat kejadian saat mobil ayah Diaz dan Mila kecelakaan. Ditambah lagi saat suara Monica mengudara, Eric langsung menutup kasar layar laptop.Monica mengamati keanehan Eric yang sedang tersenyum namun napasnya tertahan begitu membalikkan kursi. "Kenapa gugup gitu?" Dia menggerakkan kursi roda dan mengambil langsung laptop Eric, walaupun sempat dipertahankan.Eric masih diam membiarkan Monica melihat rekaman video."Lo pernah periksa sehari setelah mereka kecelakaan dan bilang gak ada yang mencurigakan. Terus kenapa lo periksa lagi?""Memang sebelumnya saya pikir biasa aja. Tapi, pas kita mau ke rumah Diaz, saya liat seseorang.""Seseorang?"Eric mengangguk. "Yang diklakson mobil lain karena nyeberang pas lampu hijau.
Telah tiba hari Diaz akan melakukan pekerjaan di Bandung. Pantulan istrinya yang baru masuk kamar setelah menggantung setelan pakaian di mobil membuat Diaz tersenyum. "Jangan lupa sarapan, tidur nyenyak, camilan udah gue masukin ke tas warna pink." Mila berdiri memerhatikan di belakangnya selagi merapikan kerah leher dan memakai dasi. "Pink?" "Biar lo inget gue kalau ada cewek seksi yang ikut audisi," celetuk Mila bertransformasi menjadi wanita posesif. Bukannya takut mendengar peringatan Mila, Diaz justru berbalik dan tertawa ringan sembari menangkup wajah istrinya. "Saya suruh audisi pakai jaket nanti." Mila mengangkat dua jempol tangannya. "Setuju." "Kamu hari ke berapa nyusul saya?" "Mungkin 2 atau 3, atau bisa juga gue gak ke sana." "Kenapa?" "Monica udah kabarin gue. Dia undang gue ke rumahnya, mungkin nanti kalau gue gak ke Bandung berarti pas ke rumah dia." "Kamu l
"Gue gak boleh ikut nih? Mumpung besok gak sibuk." Farel yang mengantar mereka ke Pelabuhan mendadak ingin ikut. Pertama kalinya mereka naik kapal, otomatis semua menjadi hal baru. Namun mengingat kembali nama Monica dirumorkan membenci pria selain asistennya, juga macam cerita telah sampai ke telinga, itu cukup kuat menghalangi keinginan Farel. "Gak sibuk juga lo banyak pertemuan sama orang-orang penting. Jangan lupa, nanti nikah banyak kebutuhan." Vio memperingatinya. Farel terkekeh. "Liat tuh kakak ipar kebanggaan lo malah sibuk foto-foto." "Biarin aja. Dia gak mau Diaz khawatir." Mila semalam geger harus menempati ruangan yang luas dan terang jIka tidak menyusahkannya. Kalau Mila kumat, Vio ambil jalan pintas. Tinggalkan Mila di dalam sana atau ceburkan saja ke pantai. Farel mengangguk lalu memeluk Vio dengan satu tangannya. "Jagain Mila, umurnya setahun lebih muda dari lo walaupun jadinya kakak ipar." "Mana mau gue jagain,"
Baik Mila ataupun Vio sama sekali tidak mengerti urutan memakai perlengkapan snorkeling walau sudah disiapkan Eric. Beruntungnya, dengan sekali arahan mereka langsung paham memakai semuanya tanpa kurang satu alat pun.Monica yang di setiap tempat berperan menjadi ratu tinggal menunggu mereka menaiki boat dan menyelam ke tengah laut.Monica tidak punya keinginan bisa menyelam seperti orang lain. Selain alasan tidak bisa berdiri dengan kedua kakinya yaitu dia tidak suka basah-basahan."Jangan lupa naik ya. Jangan lama-lama juga," ujar Monica sembari membetulkan topi pantainya dan kacamata hitam. Harusnya mereka memilih bersantai di tepi membangun tenda sampai malam di Pulau Perak, tetapi karena Mila ke sini untuk menyelam, dia tidak bisa melarang."Gue bisa berenang. Lo pegangin Mila barangkali keseret ombak," suruh Vio membuat Eric terkekeh pelan."Lo kira gue plankton, keseret ombak pasrah?""Makanya gue minta tolong Eric b
Masih berada di Pulau Perak, hingga malam mereka mendirikan tenda dan api unggun untuk membakar ikan. Monica duduk menekuk kakinya menunggu Eric memilah daging ikan agar durinya tidak ikut termakan.Suasana sepi sama sekali tidak membuat mereka takut. Vio yang sangat benci gelap karena membayangkan adanya makhluk gaib, entah hilang ke mana pikiran itu sebab bermain-main bersama Mila. Mereka berdua bekerja sama membakar ikan karena percobaan pertama gagal, alias gosong sebelah."Lo harus makan juga." Monica menyodorkan piring kecil untuk Eric.Eric mengangguk dan mulai makan bersama mereka. "Kalian berniat tinggal di sini?" tanyanya tertuju pada Mila dan Vio yang sibuk menikmati ikan bakar yang dibawa mentah dari rumah menggunakan cooler box.Tingkah mereka yang meramaikan tiap percakapan tidak pernah terbayang oleh Monica setelah orang tuanya tiada. Monica tidak ingin meminta hal aneh pada Eric untuk berbuat hal semacam ini karena pasti merepotkan.
Mila tidak sengaja masuk kamar Monica yang pintunya terbuka lebar. Akibat ulahnya, Monica terkejut hingga menoleh tak ramah."Gue keluar ya... " Mila hampir menutup pintu, namun tidak jadi. Ia justru masuk dan mengunci kamar."Ngapain lo masuk tanpa izin?" sarkas Monica melihat gerak-gerik Mila yang aneh.Mila takjub dengan isi kamar Monica, tampak seperti kamar putri kerajaan dengan pintu khas ukiran kayu berwarna emas. Sejajar dengan tempat tidur terdapat lampu hias dengan cahaya normal, tidak akan menyakiti mata.Anehnya, hanya ada foto Monica sedang duduk di kursi dan Eric yang berdiri di sampingnya dengan background taman berwarna gelap. Mirip keadaan sesungguhnya."Lo suka sama Eric?" Mila bertanya tiba-tiba.Monica berdecak malas. "Kalau gak suka, gue memperlakukan dia persis gue memperlakukan lo.""Berarti ada kemungkinan lo jatuh cinta sama Eric dong!" pekik Mila ikut senang mendengarnya entah mengapa."Jan
Vio tidak ingin pulang ke Jakarta, dia betah hidup di pulau ini apalagi Eric seperti menggantikan peran Diaz sebagai kakak di rumah. Pria itu kalau tidak disindir mana peka sudah menelantarkan adiknya hingga tumbuh bar-bar.Mila mengemut permen sambil mengemas barang-barang ke dalam koper, mereka akan pulang nanti siang."Lo kenapa ngelamun? Bukannya beresin baju segala macam, malah buang-buang pikiran.""Gue gak mau pulang ah, nginep sebulan lagi. Lo pulang sendiri sana.""Lo yang bener aja, masa gue pulang sendiri.""Kenapa? Gak berani?""Lagi musim penculikan, jelas gue takut."Vio tertawa remeh. "Gue lebih khawatir Diaz diminta uang 100 milyar cuma buat nebus lo.""Menurut lo, dia mau nebus uang kalau gue diculik beneran?""Tergantung keuangan.""Ck, gue gak bisa percaya sama lo, apalagi Diaz. Sama aja."Vio menarik kopernya malas-malasan. "Gue baru sadar Eric lebih segala-galany
Thank youuuu buat teman-teman yang sempat mampir ataupun tetap bertahan masukin novel ini ke rak bacaan kaliaann. Congrats buat aku sendiri yang udah tamatin kisah mereka dengan jangka waktu sangat panjang, bab absurd, dan ending membagongkan dan ngambang.Kalian bisa anggap akan ada sekuel dari Diaz dan Mila entah itu kehidupan anak mereka atau lainnya. Tapi so far, belum ada rancangan gimana gambaran cerita selanjutnya karena masih terjebak genre Teen.Semoga kalian tetap dalam lindungan Tuhan yang Maha Esa dan selalu sehat baik mental maupun fisik karena hidup tidak seringan pilus gais.Sekali lagi thank you so much!And bye bye~
"Ha? Hahaha ... Gue bayangin muka mereka bingungnya gimana."Vio tertawa puas di meja makan saat Diaz menceritakan apa yang terjadi di rumah Monica semalam.Meida menyuruh anaknya berhenti tergelak dan dengarkan saja kakaknya bicara. "Kamu tuh ya, orang lagi ngomong malah ketawa terus.""Yailah, Ma. Bayangin dong muka mereka. Apalagi Mas Agam sama istrinya yang naudzubillah, Haha." "Kapan Monica ketemu Pak Louis?" Diaz bertanya-tanya sebab sebelumnya Monica sibuk bolak-balik ke rumahnya dengan rencana balas dendam.Walaupun balas dendamnya berubah menjadi kasih sayang tak terduga. Kekeluargaan mereka sangat erat."Monica mungkin udah menduga ini bakal terjadi. Dia kan ngomong sendiri sering berdoa ketemu orang tuanya.""Vio!" Meida geram sekali dengan anaknya sampai ingin melempar sendok garpu."Mama kenapa sih sensi banget?" balas Vio."Omongan kamu itu!" "Orang Monica-nya yang bilang ke aku.""Diaz mau minta tolong, Mah."Meida menatap Vio sebab Diaz meliriknya. "Mama?" "Monica m
Sebagai CEO yang memiliki waktu senggang banyak, Diaz memberanikan diri menemui pengacara Monica. Tepat hari sebelumnya mereka bicara serius melalui telepon untuk menentukan pukul berapa akan diskusi sebab pengacara pun punya acara lain.Diaz sangat terkejut rupanya ada kakak serta adik dari orang tua Monica turut datang ke rumah anak malang itu dengan raut tidak sabaran."Semuanya kenapa di sini?" Perasaan Diaz menghubungi pengacaranya saja, tidak mereka juga. Total ada 5 orang, termasuk dirinya.Akhirnya ia bergabung dengan mereka dan itu diperdebatkan."Kenapa ada dia di sini?" sahut Winda, adik terakhir dari Ibu Monica sembari menunjuk Diaz duduk.Diaz lantas menoleh tanpa ekspresi. Bukankah seharusnya ia yang memberi pertanyaan pada mereka?"Monica secara khusus meminta tolong saya untuk panggil Pak Diaz," jawab Louis tak kalah datar dari padang pasir."Hah! Kayaknya sih dia ngerayu Monica biar dikasih beberapa persen asetnya," timpal suami Winda, Agam.Kelihatan dari tampang mer
"Mama tetap gak nyangka, Mila.""Apalagi Mila, Bun."Mereka duduk besandar di ruang tamu setelah menghadiri pemakaman. Mila menatap langit-langit rumahnya seraya berkata, "Monica udah maafin Diaz belum ya, Bun? Kasihan mereka."Fila lantas menjawab, "Sebenarnya Monica pasti udah maafin Diaz dari dulu. Cuma karena mereka kurang akrab dan Monica sempat salah paham juga, dia agak canggung.""Aku padahal mau ke rumahnya lagi.""Nanti kalau Diaz ke sana aja. Dia pasti harus urus semuanya karena walinya Monica."Mila mengusap wajahnya, belum menyesuaikan kenyataan. "Mila mau mandi, Bun. Abis itu ke rumah Diaz lagi, dia harus ditemenin.""Iya sana. Bunda gapapa sendiri di sini."***Vio melihat Diaz berdiri di tengah pintu menghadap halaman belakang sembari memasukkan tangan ke saku celana. Kakaknya diam dengan deru napas teratur yang terdengar berat."Lo lagi ngapain?" Vio memberanikan diri mendekat dan berhenti di belakang Diaz."Bukan apa
Suara langkah Diaz memenuhi lorong yang dihampiri suara petir dan cahaya kilat lewat celah jendela. Sesaat dia memperlebar jarak kaki supaya cepat sampai ruang jenazah yang terletak di bagian belakang rumah sakit.Di belakang Diaz, ada Mila yang juga berusaha mempercepat langkah agar bisa mengiringi suaminya. Kesekian kalinya sudut mata mereka meneteskan bulir bening atas perasaan berkecamuk.Ada-ada saja, diwaktu kurang tepat Diaz dihubungi Bayu, sekretarisnya. "Maaf, saya lagi ada urusan. Nanti saya telepon lagi, Pak." Masalah klien tidak jadi datang besok bukan hal besar. Bayu masih bisa menangani dikarenakan situasi mendesak.Begitu masuk ke kamar jenazah, Diaz sempat menjeda nafas beberapa detik untuk meyakinkan hatinya bahwa yang terjadi sekarang ini bukan bunga tidur. Di atas dua brankar terdapat dua tubuh terbujur kaku diselimuti kain putih. Petugas yang menjaga kamar jenazah malam ini hanya satu berjenis kelamin laki-laki. Dia terlihat sedang memeriksa
Guyuran hujan secara tiba-tiba membasahi tanah dan jalan sejak tengah hari. Rencana Mila pergi ke Taman depan kantor jadi urung. Apalagi niatnya mau hujan-hujanan selagi deras.Diaz menyibukkan diri di depan laptop. Liburnya tetap bekerja. Bahkan lebih pusing dia daripada Mila yang suka mengarang cerita. Omong-omong, sudah 2 hari Mila tidak update bab novel. Apa kabar komentar pembacanya?"Kamu daripada berdiri terus di jendela, mendingan bantu saya beresin ini nih." Diaz menunjuk map-map miliknya yang kurang rapi di dekat meja satunya. Saking banyaknya yang belum tuntas, dia bingung mau membereskan yang mana."Ogah. Kamu kan udah kerjain bareng sekretaris kamu," cebik Mila.Diaz melirik layar laptopnya. Benar, dia sedang melakukan panggilan video dengan sekretarisnya demi mengurus berkas baru maupun yang diarsip bulan lalu."Barangkali mau," balas Diaz.Suara petir menggelegar langsung mengejutkan Mila karena berdiri di dekat jendela.
"Udah pasang sabuk pengaman?" tanya Eric barangkali Monica menyepelekan betapa pentingnya menggunakan sabuk pengaman saat berkendara, baik pengemudi maupun penumpang.Satu dehaman menjawab pertanyaan Eric. Asisten keluarga Monica tersenyum kecil dan menjalankan mobil menuju MJ Coffe untuk mengopi santai sambil mengurus jadwal-jadwal tak beraturan dan kurang sesuai dengan keinginan Bosnya.Suasana ramai lancar kendaraan roda empat dan dua masih tampak asing di mata Monica. Bolak-balik antarkota mengakibatkan ia tak dapat lihat perkembangan kota kelahiran secara bertahap. Setiap tahun terdapat penaikan penduduk di Kepulauan Seribu. Syukurlah, pulau wisata itu masih terjaga keasriannya.Pernah satu, dua kali laut sekeliling pulau tercemar akibat pembuangan minyak ilegal. Saat itu penduduk kesulitan mendapat air. Pemerintah kota berbondong-bondong meminta pasokan air bersih walaupun kurang maksimal."Ini kalau urbanisasi dikurangi mungkin 5 tahun ke depan bak
"Gimana jadwalnya? Gak bisa diubah?"Ekspresi datar yang sering ditampilkan gadis berusia 18 tahun itu bukan lagi hal baru untuk asistennya, Eric. Masalah perubahan jadwal dadakan yang dibuat Eric memang tidak disarankan jika bosnya seperti Monica.Umpatan, tatapan tajam, atau keduanya selalu didapat Eric sekali pun hubungan mereka dekat."Udah saya ubah. Jadi gak bisa diubah dua kali."SRRKKMap berwarna merah di atas meja dihempaskan begitu saja hingga lembaran di dalamnya berserakan di lantai."Astaga... " Suka tak suka Eric harus memungut tiap lembaran dan menyusunnya asal untuk diletakkan ke dalam map. "Ini ada kontrak, jangan dibuang-buang.""Lo tau sendiri kan tanggal 25 kita harus ke Sumatera buat baksos. Harusnya tanggal 26 kosongin jadwal. Bukannya malah ada kegiatan! Lo pikir gue gak butuh istirahat?""Iya tau. Tapi klien yang dari Jawa bilang tanggal 26 bisanya," bela Eric."Ya lagian lo sejak kapan mentingin
Tirai berwarna merah menghalangi sinar yang menembus masuk. Wanita berbadan dua itu tengah membaca buku tentang bisnis milik suaminya sambil merebahkan tubuh. Setelah kontrol bulanan ke dokter kandungan, hasilnya janin berkembang baik. Belum begitu buncit perutnya lantaran masih 3 bulan mengandung.Aktivitas menulis novel berkurang, bukan suruhan Diaz melainkan secara inisiatif Mila lakukan. Ia sering tertidur jika menempel kasur, lalu bangun untuk makan dan jalan-jalan di dalam rumah untuk peregangan badan.Seringkali Diaz memergoki Mila bicara dengan perutnya sambil tersenyum riang di bangku teras rumah, apalagi sebelum berangkat bekerja. Sebisa mungkin Diaz turuti keinginan Sang Istri untuk meredam amarah satu sama lain. Selagi Mila tidak meminta rumah di planet Mars, Diaz mau saja tunduk di kakinya."Lagi apa?""Gak liat? Lagi nonton video."Pertama kalinya Mila memutar dokumentasi video pernikahan mereka, sebelumnya ia mengecam Diaz agar tidak