Deva yang menerima telepon itu pun langsung kaget. Jantungnya langsung terpompa kuat. Seluruh tubuhnya merinding karena kata-kata yang didengarnya dari instruktur senam Bela. "Be-Bela melahirkan?" Deva merinding mendengarnya, namun sesaat ia langsung tersadar dan mengambil kunci serta barang penting seperti dompet untuk langsung menuju ke tempat Bela berada sekarang. Sebelumnya, instruktur senam Bela belum mengumumkan keberadaan mereka. Dia akan mengirimkan alamatnya nanti. Saat di tempat parkir, Deva mendapat alamat rumah sakit. Detak jantung Deva berpacu dengan waktu. Ia pun memikirkan cara alternatif untuk tiba lebih cepat dari waktu biasanya yang hampir satu jam. Entah kenapa instruktur senam Bela membawa Bela ke sana, tapi yang pasti sekarang dia harus cepat sampai. "Oke fokus, Bela butuh kamu sekarang," gumam Deva. Di sisi lain, kini Bela mengatur napasnya yang berat dan juga terengah-engah. Dia merasa bahwa sekarang perutnya sangat sakit. Entah apa yang memb
Deva tidak tahu apa yang terjadi. Saat hendak menanyakan itu, namun urung karena Bela terlihat ingin dipeluk. "Akhirnya kamu tiba!" Deva memeluk Bela dengan erat namun juga dengan banyak tanda tanya. “Bela, apakah anak kita sudah lahir? Tapi kenapa perutmu masih besar?” Satu kalimat panjang yang didapat Bela dari Deva membuat perempuan itu terkekeh. "Bayinya hanya bercanda. Itu kontraksi palsu." Bela menjelaskan secara singkat sambil menyeringai. Sementara itu, Deva kini sangat tidak percaya dengan ucapan santai tadi. Jadi anak kita belum lahir? Bela mengangguk manis. Deva mengacak-acak rambutnya sambil menghela napas lega. "Aku lega kau baik-baik saja. Tapi sungguh, kenapa anak kita tidak keluar? Biarkan aku bertanya pada dokter." kata Deva sambil melihat ke segala arah. Dia mencari dokter. Dia tidak meragukan semua keahlian dokter di sini, tetapi dia sebagai seorang ayah, hanya tidak ingin mengambil risiko sebesar itu. Dia harus memastikan ini benar atau tidak.
“Hati-hati, ibu! dan terima kasih banyak karena selalu ingin mengganggu Bela.” Ucap Bela dengan senyum manis dengan wajah bahagia. Dia saat ini menemani ibu instruktur senamnya yang akan pulang. Tadi hampir seharian dia ditemani instruktur senamnya setelah tiba-tiba Deva harus ke kantor lagi untuk mengurus sesuatu. "Kamu harus disini dulu ya? Di rumah dulu, karena suami kamu juga benar. Takut terjadi hal yang tidak diinginkan, bukankah kamu yang panik juga?" Bela tersenyum. Dia mengangguk. "Memang paling tau Bela. Sekali lagi terima kasih bu. Walaupun ke depannya mungkin Bela sudah lama tidak senam lagi, tetap harus maklumi Bela. Sering-seringlah main! Aku harus gitu atau nanti Bela main sama bayinya ya sayang?” Senyum Bela terukir, ia mengusap perutnya yang kini tinggal menunggu hari kempis. Instruktur senam Bela pun mengelus perut perempuan itu. Meskipun sebelumnya dia orang asing, entah kenapa dia mencintai Bela dan putrinya. "Aku seperti menunggu anak lahir dan
"Kamu bisa pulang sekarang?" tanya Deva dengan wajah gembira, dan tentu saja Bela menjawab dengan senyuman dan anggukan senang. "Ya, jadi kita bisa pulang dan menunggu sampai tanggal yang ditentukan dokter di atas kertas untuk datang ke sini lagi." "Satu minggu lagi ya? Apakah anak kita akan lahir dalam seminggu?" tanya Deva setelah melihat tanggal yang tertera di kertas itu. "Siapa tahu? Apapun itu, saya berharap bayi saya dan saya akan tetap sehat. Tapi kalau dilihat dari usianya, ini adalah usia kelahiran normal saya dalam satu minggu. Saya tidak tahu apakah bisa lebih cepat atau bisa lebih lama. ." Deva mengangguk dan mencium kening Bela sebentar. "Sekarang ayo kita pulang, ya? Aku tahu kamu tidak suka bau rumah sakit, tidak peduli seberapa bagus rumah sakit itu. Dan jika kita di rumah kita bisa bebas. Apakah kamu ingin pulang sekarang? Apakah kamu aman? Tidak ada keluhan?" Ren mengangguk. "Aman. Ayo pulang! Aku tidak sabar untuk menghirup udara rumah lagi." Mer
Bela mengangguk percaya diri. Dia tahu bahwa dia bukanlah seseorang yang berpengalaman tetapi jujur di dalam hatinya, dia percaya bahwa dia bisa. Dia memiliki petunjuk kemarin serta beberapa pengalaman dengan kontraksi palsu beberapa hari yang lalu. “Pegang tanganku, Ren, kalau kamu tidak kuat, bilang oke. Jangan terlalu memaksakan!” Kata-kata Deva membuat Bela tersenyum, Deva sangat perhatian padanya, dia juga menemani dengan sabar mengikuti semua hal yang diinginkan Bela. "Terima kasih," kata Bela pelan. Dia sekarang mengarahkan perhatiannya kembali ke persalinan. Bela terus berusaha mengatur nafasnya. Dia tidak boleh gugup dan juga mendorong keluar dari waktu yang ditentukan atau diinstruksikan oleh bidan. Sekarang bidan sedang mempersiapkan semua hal yang dibutuhkan Bela. Mulai dari hal kecil hingga hal besar, semuanya dilakukan secara tiba-tiba. Hal ini membuat waktu persiapan menjadi lama. "Tunggu dulu Bela! Kami siapkan semuanya dulu. Deva, bisa bantu aku meny
"Maafkan aku sayang! Aku melepaskan tanganmu saat kau memperjuangkan putri kita. Maafkan aku, Bela. Aku tidak bisa menahan muntah saat melihat begitu banyak darah seperti sebelumnya. Aku tidak berguna, sayang ..." Air mata Deva pecah lagi. Bela kini malah tersenyum geli. Suaminya pun memeluk punggungnya tak kalah erat. “Aku juga sudah tahu bahwa hal seperti itu akan terjadi. Aku mengenalmu, jadi jangan minta maaf, oke? Meskipun kamu tidak bisa menemaniku, itu bukan salahmu. Ayo, jangan menangis! Waktunya kalah dengan anak kita yang baru lahir. Kamu menangis, bayi kita yang cantik menertawakanmu." Deva langsung bergerak dan membingkai wajah Bela. "Apakah kamu tidak marah padaku?" Deva meminta agar Bela tidak marah padanya. "Ya Tuhan, ya sayang... aku sama sekali tidak marah," kata Bela dengan nada lembut. Deva tersenyum. Dia senang istrinya bisa memaafkan kesalahan yang memalukan ini. "Deva udah abis nangis? Ini anaknya cantik, kamu mau kekeluargaan sama ibunya dulu?
Dalam sekejap, tawa itu meledak. Mike sangat sepeser pun kebalikan dari putranya. Para lansia menikmati keharmonisan berkat kelahiran cucu pertama mereka sebelum menuju ke rumah Deva. Sesampainya di sana kini kedua orang tua itu langsung masuk ke dalam. Tak sabar istri Mike pun lupa bahwa suaminya masih tertinggal. “Nasib kalah cucu. Saya yakin nanti akan ada sharing group. Bisa jadi ayah baru juga dicuekin sama ibu-bayi baru," kata Mike sambil cekikikan. Aneh kelakuan kakek satu cucu ini. "Bela sayang! Kamu dimana?" Suara ibu sekarang nyaring. Bela dan Deva kini memperhatikan Luna yang masih berusaha belajar menyusu sambil menoleh serempak. "Ibu telah datang. Kamu akan bertemu dengannya!" Deva mengangguk. Dia membelai surai Bela dengan lembut. Dan juga tidak lupa mencium Luna. "Ayah pergi dulu ya, mau ajak nenek ke sini? Nanti Luna ketemu Oma sama Opa..." Senyum Bela dan Deva melebar. Selalu menyenangkan berbicara dengan anak-anak mereka meskipun Luna belum bi
Satu minggu telah berlalu, membuat Bela dan Luna kini bisa beradaptasi dengan baik dengan status barunya. Bela yang berstatus ibu baru terkadang tidak percaya dengan apa yang dialaminya saat ini. Semuanya tampak ambigu baginya. Namun, itu juga merupakan pengalaman yang sangat kompleks baginya. Terkadang ibu baru juga sedih dan bahagia. Ia merasa masih belum bisa membuat Luna nyaman dan memberikan yang terbaik untuk putrinya. "Aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan melahirkanmu. Aku masih bermimpi, My Luna. Maaf jika aku membuat banyak kesalahan nanti. Aku masih terlalu dini untuk merawatmu." Bela kini sedikit terisak dan juga berusaha membuat putrinya bercerita tentang dirinya yang masih tidak percaya dengan semua yang terjadi sekarang. Sejujurnya, wanita yang tergolong masih muda ini, memang merasa belum bisa melakukan yang terbaik untuk segala hal yang berhubungan dengan Luna. Hal ini membuat Bela banyak menangis karena hal-hal sepele. Misalnya saat pertama kali sa