"Halo," sapa seorang perempuan cantik dengan wajah penuh riasan.
Bibir perempuan itu tampak penuh dan seksi karena pulasan lipstik. Wajahnya cantik mirip dengan bule Rusia. Melihat wajah perempuan cantik yang tampak pada layar ponsel sang suami membuat Yuan langsung minder.Namun di sisi lain, hati Yuan kini sedang bertanya-tanya mengenai siapa wanita yang mengangkat panggilan videonya itu. Akhirnya dia mencoba memberanikan diri untuk bertanya kepada wanita tersebut."Kamu siapa? Kenapa kamu pegang ponsel suamiku?" tanya Yuan dengan suara bergetar."Suamimu?" Perempuan itu mengerutkan dahi kemudian menoleh ke arah samping.Yuan bisa melihat kalau perempuan itu sedang merebahkan diri dengan bersandar pada perut seorang laki-laki. Jantungnya seakan berhenti berdetak setelah mendengar percakapan keduanya."Sayang, memangnya kamu sudah memiliki seorang istri?" tanya perempuan di ujung telepon."Tidak, apa kamuYuan terdiam seketika. Apa yang diucapkan oleh Riana memang benar adanya. Dia tidak boleh mengalah begitu saja kepada pelakor.Dia Yuan pun kembali ke kamarnya. Dia mengeluarkan koper dari lemari, lalu memasukkan hampir semua pakaiannya ke dalam sana. Setelah semua persiapan selesai Yuan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri."Bunda, Sinta tunggu di luar sama Bunda Riana, ya?" pamit Sinta ketika melihat Yuan keluar dari kamar mandi."Iya, Sayang." Yuan tersenyum kepada Sinta melalui cermin yang ada di meja rias.Sinta pun turun dari ranjang. Dia menarik koper keluar kamar, lalu menutup kembali pintunya. Setelah pintu kembali tertutup, Yuan memutar tubuh menghadap ke arah cermin.Yuan bercermin, meneliti setiap detail wajahnya. Dia berusaha mengingat lagi bagaimana penampilan perempuan yang diduga sebagai perebut suaminya itu. Dia berusaha meniru riasan wajah wanita tersebut."Aku juga bisa lebih cantik dan seks
Yuan langsung menerobos masuk. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Hidungnya tampak kembang-kempis karena mengendus aroma parfum wanita.Kecurigaannya kepada sang suami semakin kuat dan mulai terbukti. Air mata perempuan itu mulai berdesakan. Dia menoleh ke arah sang suami."Bau parfum wanita! Kamarmu di mana, Mas?" tanya Yuan dengan suara bergetar dan setengah berteriak.“Parfum itu, aku yang pakai. Aku sedang ....”“Di mana kamarmu, Mas?” Yuan melontarkan pertanyaan itu dengan gigi rapat.Rian pun menunjuk salah satu pintu kamar yang sedikit terbuka di lantai atas. Yuan bergegas menapaki satu per satu anak tangga. Setelah sampai di depan pintu, Yuan terdiam.Perempuan itu menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Tangannya gemetar ketika memegang kenop pintu. Dia mendorong benda itu dan kini terpampang sebuah pemandangan yang membuat hatinya hancur.Di atas ranjang Rian terdapat sebuah gaun mer
"Jawab, Mas!" seru Yuan dengan suara bergetar.Rian justru tersenyum canggung sambil mengusap tengkuknya. Dia menunduk sekilas, lalu kembali menatap sang istri. Wajah lelaki tersebut terlihat merah layaknya kepiting rebus."Itu ... sebenarnya aku sangat merindukanmu. Jadi, aku membeli parfum yang biasa kamu pakai untuk mengurangi rasa rinduku kepadamu. Lalu gaun merah muda itu sebenarnya untuk hadiah ulang tahunmu."Yuan terdiam mendengar pengakuan Rian. Dia kembali menajamkan penciumannya. Ternyata memang benar kalau sang suami sedang memakai parfum yang biasa dia pakai.Aroma mawar bercampur dengan vanila dan beberapa wewangian lain yang tercium begitu manis memasuki rongga hidung Yuan. Dia memejamkan mata lagi untuk menikmati aroma parfum dengan harga ratusan dolar itu.Sedetik kemudian, Yuan membuka mata. Dia baru ingat kalau besok adalah hari ulang tahunnya. Yuan menatap sendu penuh penyesalan kepada sang suami.
Peluh bercucuran membasahi hampir sekujur tubuh Yuan dan Rian. Kini keduanya saling berpelukan di atas ranjang setelah selesai melakukan pelepasan. Sebelum menyatukan raga, Yuan membersihkan tubuhnya dibantu oleh Rian.Bahkan Rian juga membantu sang istri untuk mengeringkan rambut. Setelah selesai, barulah keduanya melanjutkan aktivitas panas yang tertunda di atas ranjang.Yuan menyelusupkan wajah ke dada sang suami. Rian merelakan lengan atasnya dipakai Yuan sebagai bantalan. Lelaki tampan itu mengusap lembut puncak kepala Yuan."Yuan, terima kasih, ya. Kamu adalah wanita pertamaku.""Benarkah? Aku sangat terkejut!" Yuan mendongak menatap Rian dengan mata terbelalak."Menurutmu?" Rian tersenyum miring sambil mencubit ujung hidung sang istri.Yuan memegangi selimut yang menutupi dada. Dia perlahan bangkit dan menyandarkan punggung ke dasbor ranjang. Rian pun mengikuti posisi sang istri tanpa melepaskan pelukannya dari
"Nggak apa-apa, Mas. Aku juga kagetan. Kalau aku nggak kaget, kakiku juga nggak akan tersiram kuah sup yang masih panas." Yuan tersenyum tipis seraya mendesis karena masih menahan rasa panas pada kakinya. "Kamu nggak boleh ngapa-ngapain sebelum sembuh! Sekarang, kamu duduk saja di sini. Aku akan membersihkan semuanya untukmu!" Rian bergegas menuju dapur. Dia membersihkan pecahan kaca serta kuah sup yang berceceran di lantai. Setelah selesai membersihkan semua kekacauan akibat kejahilannya, Rian melongok ke dalam panci sup yang masih ada di atas kompor. Beruntungnya sup itu masih cukup untuk sarapan. Jadi, Rian tidak perlu membuat masakan lain. Lelaki itu langsung memindahkan sup ke dalam wadah dan menatanya di atas meja makan dengan cekatan. Yuan pun menatap sang suami yang sibuk sendiri sambil bertopang dagu. Sebuah senyum tipis terukir di bibir perempuan cantik tersebut. Yuan kembali teringat awal pernikahan menyakitkannya dengan Andri.
Yuan menunduk ketika mendengar nada bicara Rian yang terdengar murka. Dia menatap ujung kakinya yang terlihat merah karena luka bakar. Terdengar hela napas berat dari Rian.Lelaki itu mengusap wajah kasar kemudian menatap Yuan penuh rasa bersalah. Dia akhirnya duduk berjongkok di depan Yuan, lalu meraih jemari sang istri. Air mata Yuan langsung menetes karena dada yang terasa begitu sesak."Maaf, tapi tolong dengarkan aku dulu."Yuan perlahan memberanikan diri untuk menatap mata sang suami. Rian menyelipkan anak rambut Yuan ke belakang telinga. Dia terus menggenggam jemari Yuan dan berpindah ke samping Yuan."Aku nggak paham kenapa kamu marah dan terus mengoceh. Jadi, aku harap kamu mau membicarakannya dengan kepala dingin. Aku tidak mengerti bahasa kaum wanita yang terlalu rumit untuk dipahami. Jelaskan alasan kenapa kamu terlihat marah dalam satu kalimat. Mengerti?"Suara Rian kali ini terdengar sangat lembut. Yuan pun mengan
Rian dan Riana saling menatap satu sama lain. Sedetik kemudian, keduanya langsung mengalihkan pandangan kepada Yuan. Rian menyikut lengan Riana agar adiknya itu menjawab lebih dulu."Sejujurnya aku nggak tahu, Mbak. Kamu memang terlihat tegas ketika Sinta melakukan kesalahan. Aku pernah melihat bagaimana caramu menegur Sinta dengan mengajaknya pergi menjauh dari orang lain lebih dulu." Riana tersenyum lebar."Mbak Yuan mengajak Sinta masuk ke kamar dan menasihatinya di belakang banyak orang. Kalau aku, sih nggak bisa seperti itu. Aku terlalu meledak-ledak dalam mengasuh Juna. Mungkin hal itu yang membuat Juna tumbuh menjadi anak yang penuh rasa takut dan sulit mengambil keputusan secara mandiri." Riana tersenyum kecut ketika mengingat bagaimana perilaku sang putra yang memang tidak memiliki pendirian dan kurang tegas.Rian yang tidak memiliki pengalaman sedikit pun mengenai mengasuh dan mendidik anak pun hanya bisa terdiam. Dua wanita hebat yang ada
Siti menatap mata Rian yang terlihat begitu tegas. Tak lama kemudian, dia menunduk kemudian kembali menangis histeris. Rian memilih untuk diam sementara waktu.Lelaki itu tidak mau menekan mental Siti untuk sekarang ini. Dia menunggu Siti tenang dan mengatakan semuanya dengan sendirinya. Setelah menunggu hampir 30 menit, akhirnya Siti sedikit lebih tenang.Siti kembali menyeka air mata untuk sekian kalinya. Dia menatap Rian dengan mata yang sudah bengkak. Perempuan itu menggeleng sehingga membuat Rian mengerutkan dahi."Mas Ridwan belum sempat mengucapkan siapa nama orang itu, Pak!" Bahu Siti terguncang hebat dan tangis perempuan itu kembali pecah.Rian kembali menemui jalan buntu. Dia mengusap wajah kasar, kemudian menyandarkan punggung pada kepala sofa. Adnan pun terlihat sangat frustrasi."Gimana, Pak?" tanya Adnan dengan suara lemah."Kita harus cari tahu dan menggali semuanya lebih jauh." Rian menggerakkan kepala