Rian dapat mendengar kalau Yuan menggumamkan sesuatu walau terdengar samar. Dia akhirnya menoleh dan menanyakan apa yang menjadi ganjalan hati sang istri. Namun, Yuan hanya menggeleng.
Rian membuang napas kasar. Dia tidak mau memaksa sang istri mengatakan apa yang memang tidak dia ingin katakan. Akhirnya Rian memilih untuk tetap diam dan terus fokus mengendarai mobilnya."Mau makan di mana?" tanya Rian tanpa menoleh ke arah sang istri."Terserah," jawab Yuan singkat.Rian menelan ludah karena mendengar kata mematikan itu keluar dari bibir sang istri. Dia berpikir sejenak, berusaha mengingat beberapa makanan favorit sang istri.Setelah berpikir hampir 15 menit, akhirnya Rian memutuskan untuk berhenti di sebuah warung tegal. Yuan terdiam sesaat. Tak lama berselang, dia menoleh ke arah Rian."Mas Rian kok berhenti di sini?" tanya Yuan seraya memindai warung sederhana dengan etalase di bagian depannya."Kamu riRian melongo mendengar pertanyaan Yuan yang menurutnya tidak masuk akal. Di sisi lain, Yuan terlihat kesal karena pertanyaannya tidak kunjung dijawab oleh Rian. Perempuan tersebut langsung melipat lengan seraya mengerucutkan bibir.Sedetik kemudian, Rian tertawa terbahak-bahak. Dia memegangi perutnya yang terguncang akibat ledakan tawa. Kini Yuan mulai mendaratkan cubitan pada lengan sang suami karena merasa kesal."Aduh, ampun!" teriak Rian tanpa menghentikan tawanya.Yuan tidak segera melepaskan cubitan dari lengan Rian, sampai akhirnya sang suami menarik lengannya paksa, lalu membanting pelan tubuh Yuan hingga istrinya itu terlentang di atas ranjang. Tatapan keduanya saling bertemu, tetapi dada Yuan masih kembang kempis karena menahan amarah."Kamu ini lucu, Sayang. Tentu saja aku akan menuruti semua keinginanmu. Bahkan aku bisa membeli pabrik es krim kesukaanmu, kalau kamu menginginkannya!" seru Rian jemawa.Yuan hanya terse
Yuan menepuk dahinya. Dia tidak yakin sang putri akan sabar menunggu. Namun, Yuan akhirnya memaksakan senyum agar Sinta berhenti bertanya lagi soal adik."Baiklah! Sekarang main sama Juna dulu. Bunda mau kerja sama Bunda Riana." Yuan membelai lembut pipi putrinya.Sinta pun membereskan beberapa perlengkapan yang dia pakai untuk mengerjakan tugas sekolah. Begitu juga dengan Arjuna. Setelah itu, mereka berdua masuk ke kamar masing-masing."Aduh, jangan sampai Juna ikut-ikutan minta adik!" celetuk Riana tanpa mengalihkan tatapannya dari laptop.Yuan langsung menoleh ke arah Riana yang masih duduk rapi di sofa depan televisi. Dia berdiri dari atas karpet, lalu berjalan mendekati Riana. Yuan berkacak pinggang seraya menatap tajam adik iparnya itu.Merasa dirinya terus diperhatikan oleh Yuan, Riana pun mendongak. Dia menyengir kuda kemudian mengangkat lengan dengan jemari membentuk huruf 'v'. Tanpa basa-basi Yuan langsung mengimpit ke
Yuan menoleh ke arah jendela mobil. Seorang lelaki bertubuh tegap kini berdiri di samping mobilnya. Tak lama berselang lelaki itu membungkuk.Yuan dapat mengenali siapa orang yang ada di luar sana walau terlihat samar. Dia adalah Burhan, mantan kekasihnya. Bagaimana bisa Burhan mengetahui keberadaannya saat ini?Akhirnya Yuan memutuskan untuk keluar dari mobil. Saat dia kembali menutup pintu mobil, Burhan melepas kacamata hitam yang sejak tadi menyembunyikan sepasang mata lelaki tersebut."Apa kabar, Sayang?" tanya Burhan dengan senyum menyeringai.Yuan tidak menjawab. Dia terus mengepalkan jemari tangan seraya menatap sepasang mata Burhan penuh kebencian. Burhan memasukkan kacamatanya ke dalam saku kemeja dan mulai mendekati Yuan."Kenapa kamu semakin sombong, Yuan? Nyonya muda Ismoyo kita ternyata semakin menggoda!" seru Burhan sembari memindai tubuh Yuan dengan tatapan mesum."Mundur! Ada Sinta di dalam! Jangan sam
"Sinta mau ayah!" seru Sinta terbata-bata di antara isak tangis.Tak lama berselang Arjuna pun mengatakan hal yang sama. Riana dan Yuan hanya bisa saling melemparkan tatapan. Riana mengedikkan bahu diikuti hela napas kasar yang keluar dari bibir Yuan."Memangnya kalian berdua kenapa, kok pulang-pulang nangis begini?" Riana berusaha mencari tahu alasan di balik keinginan Sinta dan Arjuna menginginkan sosok ayah.Selama ini Rian memang seperti ayah bagi mereka. Namun, tetap saja semuanya terasa berbeda. Rian tidak selalu menemani keduanya setiap waktu. Dia hanya menemui Sinta dan Arjuna tiga bulan sekali."Tadi Angga mengejek kami, Bun." Arjuna perlahan mulai membuka alasan kenapa mereka menangis."Mereka mengatakan kalau aku nggak punya ayah karena ayahku meninggal akibat penyakitan!" Tangis Sinta kembali pecah.Rasa sesak kini menghantam dada Yuan. Air matanya mulai berdesakan. Namun, perempuan tersebut berusaha agar tidak menumpahkan semua kesedihannya di depan Sinta.Yuan langsung m
Bab 2. Terpaksa MenikahSuhu dingin di ruang keluarga kediaman Ismoyo mendadak berubah. Sebenarnya hanya Yuan yang merasakan perubahan suhu. Dia mendadak gerah karena ulah Rian.Yuan tidak menyangka Rian bukannya memberikan penolakan kepada Sinta, tetapi justru mengiyakan permintaan gadis kecil itu. Yuan menarik paksa ujung bibirnya agar tampak tersenyum. Dia kini memegang lengan atas Sinta dan mulai menatap lembut putri kecilnya itu."Sinta, bunda sama Ayah Rian itu bersaudara. Jadi, kami nggak bisa menikah."Kalimat tersebut sukses membuat hati Rian seakan diremas. Lelaki tersebut tersenyum kecut, kemudian bahunya merosot. Secara tidak langsung Yuan telah menolak lamaran yang baru saja dia ucapkan melalui permintaan Sinta.Hal yang sama pun kini dialami oleh Sinta. Dia merasa begitu kecewa karena keinginannya tidak dituruti oleh sang ibu. Akhirnya Sinta berlari ke kamar dan langsung menyelimuti tubuhnya dengan selimut.Yuan menyusul Sinta dan berusaha membujuk gadis kecilnya itu. Ak
Bab 3. Pasangan Pengantin Baru"Minggir!" teriak Yuan sambil mendorong keras tubuh Rian, sehingga lelaki itu jatuh terjerembap ke atas lantai.Rian yang belum sadar sepenuhnya pun langsung mengaduh. Dia mengusap pinggang yang kini terasa nyeri. Lelaki tersebut perlahan membuka mata, kemudian bangkit sambil meringis menahan sakit."Ngapain Mas Rian tidur di ranjang? Bukankah semalam aku sudah menyuruh Mas Rian buat tidur di sofa? Kenapa malah tidur bersamaku? Pakai peluk-peluk, lagi!" Yuan mengusap tubuhnya untuk menghilangkan jejak pelukan Rian."Tadi malam Sinta ...." Belum selesai Rian menjelaskan, Yuan bergegas memotong ucapannya."Kamu nggak usah bawa-bawa Sinta, deh, Mas! Kamu memang ada niat jahat aja sama aku! Dasar mesum!"Yuan melempar bantal ke arah Rian. Bantal tersebut tepat mengenai kepala Rian. Lelaki itu langsung terkapar lagi ke atas lantai.Yuan mengabaikan suaminya, lalu bergegas membuka lemari. Dia mengambil baju ganti dan masuk ke kamar mandi. Usai membersihkan dir
Yuan kembali menelan ludah kasar. Entah mengapa suara Rian membuat jantungnya berdegup semakin kencang. Suara lelaki itu terdengar begitu seksi dan menggoda di telinganya.Rian menjauhkan tubuh dari Yuan. Dia menarik sabuk pengaman, kemudian memasangkannya pada tubuh Yuan. Sontak Yuan membuka mata.Tanpa sadar ternyata perempuan tersebut sudah menahan napas. Saat Rian kembali ke tempat duduknya, Yuan langsung mengembuskan napas kasar. Ada rasa kecewa ketika mengetahui Rian hanya memakaikan sabuk pengaman."Kita berangkat sekarang, Sayang?" tanya Rian sambil menoleh ke arah Sinta."Lets go, Ayah!" Sinta meninjukan kepal tinjunya ke udara.Mendengar sapaan Rian kepada Sinta kembali membuat Yuan berdebar. Dia merasa kata sayang tersebut ditujukan Rian kepadanya. Terlebih ketika dia menangkap sang suami tengah tersenyum tipis sambil meliriknya.Akan tetapi, Yuan menepis semua prasangka itu. Dia kembali teringat akan Andri, mendiang suaminya yang sudah tidur abadi di dalam tanah. Rasa sedi
"Mas Rian!" teriak Yuan ketika melihat layar ponsel yang menyala.Riana yang terkejut pun bergegas menghampiri Yuan. Dia meneliti sang kakak ipar untuk mengetahui apakah ada hal yang salah. Namun, tawa Riana pecah ketika Yuan memperlihatkan layar ponsel kepadanya.Di sana terlihat sebuah nama dengan foto wajah Rian. Deretan huruf itu membentuk kata 'My Hubby'. Ya, Rian sedang melakukan panggilan suara.Akan tetapi, Yuan yang masih kesal hanya membiarkan panggilan tersebut. Dia meletakkan ponsel ke atas meja begitu saja. Perempuan tersebut mendaratkan bokong ke atas sofa, begitu juga dengan Riana."Kamu kayaknya udah move on dari Mas Andri, ya? Baru semalam malam pertama sama Mas Rian, nama kontaknya udah berubah aja!" seru Riana seraya mencubit pelan lengan atas Yuan."Dih, mana ada? Aku aja nggak pernah simpan nomor Mas Rian! Ini pasti ulah masmu itu!" tebak Yuan seraya mendengkus kesal."Apa? Jadi kamu nggak nyimpan nomor Mas Rian dalam ponselmu? Keterlaluan banget!" Riana melipat
Yuan menoleh ke arah jendela mobil. Seorang lelaki bertubuh tegap kini berdiri di samping mobilnya. Tak lama berselang lelaki itu membungkuk.Yuan dapat mengenali siapa orang yang ada di luar sana walau terlihat samar. Dia adalah Burhan, mantan kekasihnya. Bagaimana bisa Burhan mengetahui keberadaannya saat ini?Akhirnya Yuan memutuskan untuk keluar dari mobil. Saat dia kembali menutup pintu mobil, Burhan melepas kacamata hitam yang sejak tadi menyembunyikan sepasang mata lelaki tersebut."Apa kabar, Sayang?" tanya Burhan dengan senyum menyeringai.Yuan tidak menjawab. Dia terus mengepalkan jemari tangan seraya menatap sepasang mata Burhan penuh kebencian. Burhan memasukkan kacamatanya ke dalam saku kemeja dan mulai mendekati Yuan."Kenapa kamu semakin sombong, Yuan? Nyonya muda Ismoyo kita ternyata semakin menggoda!" seru Burhan sembari memindai tubuh Yuan dengan tatapan mesum."Mundur! Ada Sinta di dalam! Jangan sam
Yuan menepuk dahinya. Dia tidak yakin sang putri akan sabar menunggu. Namun, Yuan akhirnya memaksakan senyum agar Sinta berhenti bertanya lagi soal adik."Baiklah! Sekarang main sama Juna dulu. Bunda mau kerja sama Bunda Riana." Yuan membelai lembut pipi putrinya.Sinta pun membereskan beberapa perlengkapan yang dia pakai untuk mengerjakan tugas sekolah. Begitu juga dengan Arjuna. Setelah itu, mereka berdua masuk ke kamar masing-masing."Aduh, jangan sampai Juna ikut-ikutan minta adik!" celetuk Riana tanpa mengalihkan tatapannya dari laptop.Yuan langsung menoleh ke arah Riana yang masih duduk rapi di sofa depan televisi. Dia berdiri dari atas karpet, lalu berjalan mendekati Riana. Yuan berkacak pinggang seraya menatap tajam adik iparnya itu.Merasa dirinya terus diperhatikan oleh Yuan, Riana pun mendongak. Dia menyengir kuda kemudian mengangkat lengan dengan jemari membentuk huruf 'v'. Tanpa basa-basi Yuan langsung mengimpit ke
Rian melongo mendengar pertanyaan Yuan yang menurutnya tidak masuk akal. Di sisi lain, Yuan terlihat kesal karena pertanyaannya tidak kunjung dijawab oleh Rian. Perempuan tersebut langsung melipat lengan seraya mengerucutkan bibir.Sedetik kemudian, Rian tertawa terbahak-bahak. Dia memegangi perutnya yang terguncang akibat ledakan tawa. Kini Yuan mulai mendaratkan cubitan pada lengan sang suami karena merasa kesal."Aduh, ampun!" teriak Rian tanpa menghentikan tawanya.Yuan tidak segera melepaskan cubitan dari lengan Rian, sampai akhirnya sang suami menarik lengannya paksa, lalu membanting pelan tubuh Yuan hingga istrinya itu terlentang di atas ranjang. Tatapan keduanya saling bertemu, tetapi dada Yuan masih kembang kempis karena menahan amarah."Kamu ini lucu, Sayang. Tentu saja aku akan menuruti semua keinginanmu. Bahkan aku bisa membeli pabrik es krim kesukaanmu, kalau kamu menginginkannya!" seru Rian jemawa.Yuan hanya terse
Rian dapat mendengar kalau Yuan menggumamkan sesuatu walau terdengar samar. Dia akhirnya menoleh dan menanyakan apa yang menjadi ganjalan hati sang istri. Namun, Yuan hanya menggeleng.Rian membuang napas kasar. Dia tidak mau memaksa sang istri mengatakan apa yang memang tidak dia ingin katakan. Akhirnya Rian memilih untuk tetap diam dan terus fokus mengendarai mobilnya."Mau makan di mana?" tanya Rian tanpa menoleh ke arah sang istri."Terserah," jawab Yuan singkat.Rian menelan ludah karena mendengar kata mematikan itu keluar dari bibir sang istri. Dia berpikir sejenak, berusaha mengingat beberapa makanan favorit sang istri.Setelah berpikir hampir 15 menit, akhirnya Rian memutuskan untuk berhenti di sebuah warung tegal. Yuan terdiam sesaat. Tak lama berselang, dia menoleh ke arah Rian."Mas Rian kok berhenti di sini?" tanya Yuan seraya memindai warung sederhana dengan etalase di bagian depannya."Kamu ri
Rian dan Siti pun menoleh ke arah Yuan. Wajah perempuan tersebut tampak merah padam dengan jemari mengepal kuat di samping badan."Nggak boleh!" seru Yuan tegas.Rian dan Siti melongo melihat Yuan yang sedang marah. Perempuan itu kini melipat lengan di depan dada sambil menatap tajam Siti. Hilda ikut melongo melihat Yuan yang tampak emosi.Hilda memandang Yuan dengan tatapan polos. Hilda bergerak dan berdiri di atas kursi. Kini semua tatapan tertuju pada bocah mungil berambut ikal itu."No, no, no! Tante nggak boleh mayah-mayah! Nggak baik kata papa!" Hilda menggerakkan jari telunjuk di depan wajahnya.Yuan mengalihkan pandangannya kepada Hilda. Amarah Yuan padam seketika. Dia mulai berpikir kalau dirinya tidak lebih dewasa dari anak berusia tiga tahun.Yuan akhirnya menyandarkan punggung pada bantal sofa di belakangnya. Bahunya merosot dan tatapan Yuan masih tertuju pada Hilda yang kini mulai turun dari kursi.
Rian mengerutkan dahi ketika melihat Yuan kembali bersikap kekanakan. Dia menggendong Hilda, kemudian menyusul Yuan yang sudah ada di dalam mobil. Rian mengetuk kaca mobil karena melihat istrinya itu duduk di belakang roda kemudi.Di dalam mobil, Yuan berusaha menekan tombol starter. Dia berniat pulang dengan mengendarai mobil sang suami sendirian dan meninggalkan Rian bersama janda gatal bernama Siti itu.Perempuan tersebut sangat jengkel ketika melihat bagaimana Siti tersenyum kepada suaminya. Dia merasa hanya Rian yang dinanti dan disambut kedatangannya. Belum lagi ketika Hilda yang langsung naik ke pangkuan Rian seperti sudah kenal sejak lama."Ah, sial!" Yuan memukul roda kemudi ketika menyadari dia tidak membawa kunci mobil."Pantas saja! Mau aku starter sampai jempolku patah mesinnya nggak akan nyala!" gerutu Yuan, lalu menenggelamkan kepala di antara kedua lengan yang memegang roda kemudi.Sedetik kemudian, Yuan menyadari kalau Rian mengetuk kaca mobil. Dia akhirnya menurunkan
Keduanya pun melanjutkan ciuman panas itu di atas ranjang. Keduanya saling menanggalkan pakaian satu per satu. Sekarang mereka terlihat polos dan terkena sorot lampu tidur yang tampak remang-remang.Dinginnya kamar karena mesin pendingin ruangan tidak serta membuat mereka kedinginan. Justru mereka merasa panas karena gairah yang menggelora. Keduanya menyatukan raga dan mencapai puncak kenikmatan secara bersamaan.Lelah dengan aktivitas panasnya bersama Yuan, Rian pun memejamkan mata. Dia memeluk tubuh Yuan yang masih polos, tetapi tertutup oleh selimut tebal. Mereka masih memejamkan mata untuk menikmati sisa-sisa pelepasan yang membuat adrenalin berpacu kuat."Yuan!" panggil Rian dengan suara lembut.Yuan pun membuka mata, lalu mendongak agar bisa menatap wajah tampan suaminya. Dia tersenyum lembut, mengangkat lengan, lalu memainkan jemarinya di atas dagu Rian yang mulai ditumbuhi rambut halus.Rian tersenyum tipis. Lelaki itu m
"Pak, Pak Ridwan meninggal."Kalimat yang keluar dari bibir sekretaris Rian mendadak membuat lidahnya kelu. Dia tidak menyangka manajer keuangan rumah sakit yang sedang diselidiki itu meninggal begitu cepat. Padahal Rian yakin kalau lelaki itu hanya dijadikan kambing hitam.Otot leher Rian tampak kaku dengan mata melotot ketika mendengarkan penjelasan Adnan. Lelaki berusia 30 tahun itu mengatakan bahwa Ridwan ditemukan tewas karena meminum racun serangga."Aku akan melayat ke rumahnya sekarang!" Rian akhirnya menutup sambungan telepon.Wajah Yuan ikut tegang ketika melihat ekspresi sang suami yang tidak santai. Dia perlahan mendekati Rian dan menyentuh lengan sang suami secara perlahan. Rian memaksakan senyumnya."Kamu bisa pulang dulu ke rumah. Aku mau melayat ke rumah Pak Ridwan. Beliau manajer keuangan yang sedang diselidiki.""Boleh aku ikut, Mas?" tanya Yuan seraya menggenggam jemari sang suami."Nggak
Siti menatap mata Rian yang terlihat begitu tegas. Tak lama kemudian, dia menunduk kemudian kembali menangis histeris. Rian memilih untuk diam sementara waktu.Lelaki itu tidak mau menekan mental Siti untuk sekarang ini. Dia menunggu Siti tenang dan mengatakan semuanya dengan sendirinya. Setelah menunggu hampir 30 menit, akhirnya Siti sedikit lebih tenang.Siti kembali menyeka air mata untuk sekian kalinya. Dia menatap Rian dengan mata yang sudah bengkak. Perempuan itu menggeleng sehingga membuat Rian mengerutkan dahi."Mas Ridwan belum sempat mengucapkan siapa nama orang itu, Pak!" Bahu Siti terguncang hebat dan tangis perempuan itu kembali pecah.Rian kembali menemui jalan buntu. Dia mengusap wajah kasar, kemudian menyandarkan punggung pada kepala sofa. Adnan pun terlihat sangat frustrasi."Gimana, Pak?" tanya Adnan dengan suara lemah."Kita harus cari tahu dan menggali semuanya lebih jauh." Rian menggerakkan kepala