“Enggak, Sayang. Kamu nggak salah. Semua yang terjadi itu sudah takdir. Seperti kehidupan kita berdua juga karena Allah telah menggariskan nasib kita, menentukan siapa yang akan hidup bersama kita. Allah sudah menyiapkan jodoh sejak kita lahir di dunia karena jodoh sudah tertulis di lauhul mahfudz.”Sania mengangguk pelan seraya mengangkat wajahnya dari dada bidang Sadewa.“Kamu sudah makan belum?”Perempuan berwajah cantik nan menawan itu menggelengkan kepala.“Ayo, kita makan dulu. Kasian dedek Utun kalo bundanya kelaparan.” Sadewa menggamit tangan bidadari hatinya, menggandengnya turun dan mengajaknya bersantap sore bersama.“Makan yang banyak, Sayang. Biar anak kita gemuk seperti Enjel.”“Aku nggak laper. Aku mau minum susu saja, Om.”“Sedikit saja, Sayang.”“Aku cukup minum susu saja sudah kenyang. Mulut aku pait dan perut aku enek banget kalo liat nasi.”“Orang lagi hamil muda memang begitu, Pak. Suka nggak doyan nasi. Asal masih ada yang masuk ke perut nggak apa-apa, kok. Bu Sa
Sepanjang perjalanan menuju kantor, banyak sekali yang mereka bicarakan. Tentang nama calon anak, sekolah di mana nantinya, juga jurusan yang akan diambil oleh anak mereka jika sudah kuliah, sampai-sampai tidak menyadari kalau sudah sampai di halaman gedung berlantai tiga dan Barja sang bodyguard membukakan pintu untuk kedua bosnya.“Terima kasih, Barja. Saya bukan Cinderella, jadi tidak usah dibukakan pintu,” ucap Sadewa sembari melangkahkan kaki turun dari mobil, membukakan pintu untuk Barja membalas kebaikan sang anak buah.“Duh, Bos. Terima kasih!”“Kembali kasih.”Semua karyawan yang tengah sibuk di tempat kerja masing-masing menatap Sania ketika mereka berdua masuk dengan mode saling bergandengan tangan. Ini kali pertama para karyawan melihat istri Sadewa, karena selama ini memang dia tidak pernah mengekspos wajah istrinya.Ada yang menatap kagum, tidak sedikit juga yang menatap mencemooh ke arah Sania karena mereka berpikir Sania seorang cewek matre yang mau dinikahi oleh om-om
“Serahkan Enjel, dan akan kutanda tangani surat pengalihan ini,” ucap Sadewa sambil menatap ngeri pisau yang berkilat-kilat di tangan David.“Tanda tangani dulu, Tua Bangka. Baru aku serahkan bocah cengeng ini sama lo!”Sambil menghela napas Sadewa mengambil bolpoin yang disediakan, menanda tangani beberapa lembar kertas yang disodorkan lalu memberikannya kepada David.“Serahkan dulu cucu saya, setelah itu saya berikan ini sama kamu,” lugas pria dengan alis tebal itu.“Oke, kita barter!”Sadewa segera mengambil cucunya dari gendongan David, menyerahkan surat pengalihan yang sudah ditandatangani membuat sang menantu menyeringai puas.Buk!Sebuah tendangan mendarat tepat di ulu hati David, membuat lelaki bertubuh jangkung itu terjerembap sambil terbatuk.Sadewa kembali mengambil berkas-berkas yang ada di tangan suami Clarissa, merobeknya kemudian membuang potongan-potongan kertas tersebut ke sembarang tempat.“Kamu jangan pernah bermain-main dengan saya, David. Atau kamu akan menanggung
Kenapa Tuhan tidak memberiku jodoh laki-laki sebaik Ayah? Kenapa aku harus berjodoh dengan David yang kasar dan tidak punya perasaan? Boro-boro memperlakukan aku semanis Ayah memperlakukan istrinya. Bicaranya selalu ketus, menusuk hati dan meninggalkan luka yang tidak bisa terobati. Batin Clarissa seraya berjalan mendekat, menarik kursi secara kasar lalu menyendok nasi sambil terus menggerutu.“Kamu kenapa, Ca? Apa sedang mendapat masalah lagi?” tanya Sadewa penasaran dengan sikap sang anak.“Nggak!” Wanita berusia dua puluh enam tahun itu menjawab ketus, memalingkan wajah ketika melihat Sania terus menyuapi laki-laki di hadapannya.“Jangan begitu dong, Kak Ica. Kalau sama orang tua itu yang sopan. Om Dewa itu ayahnya Kakak loh. Orang yang rela memeras keringat dan membanting tulang demi menghidupi Kakak, juga memberikan Kakak hidup yang layak,” sambung Sania menasihati.“Kamu tahu apa tentang kehidupan aku? Lagian, kamu masih kecil, kamu juga bukan siapa-siapa di rumah ini. Jadi ngga
“Sania, dengarkan aku. Kamu tidak boleh lagi tinggal di rumah ini, karena itu bisa membahayakan kesehatan juga keselamatan kamu dan calon anak aku. Aku akan mengantarmu pulang ke rumah orang tua kamu, dan sementara kamu tinggal di Menteng dulu. Aku ingin menyelidiki, siapa sebenarnya orang yang selalu berusaha menyakiti kamu,” terang Sadewa seraya menangkup wajah istrinya.“Tapi, Om?”“Demi keselamatan kamu. Nanti setiap hari aku datang ke rumah Mama. Ok.”“Aku nggak mau jauh-jauh dari Om.” Sania melesakkan kepalanya di dada Sadewa.“’Kan masih ketemu setiap hari, Sayang.”“Tetep aja beda. Kalau memang ada yang berminat jahat sama kita, ya, kita hadapi bersama, Om. Aku ini ‘kan istrinya Om. Masalah Om ya jadi masalah aku juga. Aku nggak mau Om sampe kenapa-kenapa. Aku nggak mau kehilangan Om Dewa. Aku mencintai Om.”“Coba katakan sekali lagi, Sayang.” Pria berwajah tampan meski usianya sudah tidak lagi muda itu mengangkat wajah Sania dari dada, memindai lamat-lamat netra beningnya sam
“Aku nggak pernah berdusta sama kamu, Sayang. Apalagi soal perasaan. Percayalah, kalau aku sangat mencintai kamu dan kamu adalah satu-satunya wanita yang mampu membuat hati aku bergetar.” Pria berjambang tipis itu mengambil tangan istrinya, menautkan telapak tangan wanita berparas ayu tersebut di dada sebelah kiri agar bisa merasakan debaran cinta di sana.Kedua bola mata mereka saling memandang, dengan jemari saling menggenggam. Hanya satu pinta yang mereka ucapkan kepada Tuhan, agar Sang Maha Rahim tidak pernah memisahkan.Sadewa pernah dikecewakan, jatuh ke dalam kubangan luka dalam dan bertahun-tahun lamanya tidak bisa bangkit dari keterpurukan, meratapi nasib diri sampai akhirnya memilih menduda karena trauma akan rasa kecewa.Sekarang, setelah ia mengenal Sania, menjalani biduk rumah tangga bersamanya, dia merasa kembali menemukan separuh jiwanya yang pergi, menumbuhkan kembali satu sayapnya yang patah juga percaya bahwa cinta sejati itu memang ada.Gawai Sadewa berdering begitu
“Kalau kamu marah sama Ayah, jangan pernah lampiaskan kemarahan kamu sama makanan. Apa kamu tidak ingat, dulu kecil kepingin makan bolu seperti itu saja Ayah harus berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan uang untuk membelinya. Apa kamu lupa kalau dulu kita sering menahan lapar karena nggak punya makanan sama sekali, Kevin? Jangan karena sekarang sudah hidup berkecukupan kamu bisa seenaknya memubazirkan makanan. Ayah paling tidak suka!” “Kalau Ayah ke sini Cuma mau ceramah mendingan pulang saja. Aku nggak butuh ceramah Ayah. Aku maunya bebas dari penjara dan bisa menikmati hidup.”“Ayah tidak bisa membebaskan kamu, Nak. Kamu bersalah dan harus dihukum, supaya kamu jera dan bisa menyadari kesalahan kamu. Lembutkan hati kamu, Kevin. Jadilah laki-laki yang baik, karena kamu itu seorang pemimpin di keluarga kamu. Apalagi sebentar lagi Lisa melahirkan dan kamu akan menjadi seorang Ayah!”Kevin beranjak dari duduknya, mencengkeram erat kerah baju Sadewa seraya menatap wajah ayahnya dengan
“Kamu mau ngapain datang ke sini?” tanya Kevin tanpa ekspresi.“Mau nengokin anak Mama, lah. Kangen.” Veronika menghampiri putranya, mengusap lembut pipi Kevin, namun, dengan kasar pria berkaus hitam itu menepis tangan ibunya.“Kangen? Baru sekarang kamu bilang kangen sama aku? Dari dulu ke mana aja?”“Vin, tolong jangan dengerin omongan Adit, Sayang. Semua yang dia ucapkan itu tidak benar. Bohong. Mama itu selalu menyayangi kamu dan bahkan terus berjuang untuk mendapatkan hak asuh kalian berdua. Kamu jangan ikut-ikutan seperti Ica. Membenci Mama tanpa alasan yang jelas, hanya karena mendengar omongan segelintir orang saja!”“Memperjuangkan? Apanya yang diperjuangkan, Nyonya Vero? Apa kamu nggak ingat saat aku datang ke istana kamu dan memohon ingin bertemu, tapi dengan congkaknya kamu mengusir aku dari rumah kamu. Aku tidak pernah lupa dengan itu, Nyonya. Bahkan kamu juga selalu menyuruh aku dan Kak Ica manggil kamu nyonya saat bertemu di jalan.Sekarang, setelah tau Ayah kaya dan hu
Tangis sahabat seperjuangannya itu semakin pecah ketika melihat sang mertua datang. Sadewa ikut duduk di lantai, menatap lemas dengan air mata sudah merebak dari balik kelopak.“Maaf, Pak. Silakan anak-anaknya diazani dulu!” Seorang perempuan berseragam khas perawatan keluar sambil tersenyum, menyuruh Aditya segera masuk untuk mengazani anak-anaknya.Sambil menghapus air mata laki-laki berkumis tipis itu berjalan masuk, menghampiri istrinya yang masih terbaring lemah dan menciumi pipinya sambil menangis.“Jangan cengeng, Abang. Masa seorang penembak jitu nangis sesenggukan begini?” ucap Clarissa sembari menerbitkan senyum.“Iya, Ca. Saking jitunya Abang nembak, sekali jadi langsung tiga! Makanya Abang terharu dan melihat perjuangan kamu melahirkan ketiga anak kita. Padahal, dokter kemarin Cuma bilang kalau kamu hamil kembar. Abang pikir Cuma dua. Ternyata malah tiga!” Aditya kembali mengusap air matanya.“Alhamdulillah, Bang. Rezeki kita langsung dikasih amanah banyak sama Allah. Ting
“Maaf, Sayang. Abang begitu mengkhawatirkan kamu soalnya. Plis jangan nangis. Abang liat kamu kesakitan saja sudah stres, ditambah liat kamu nangis. Abang minta maaf kalo Abang salah. Tolong jangan menangis. Mana yang sakit biar Abang elus-elus.” Aditya terus saja mencerocos sambil mengusap perut gendut istrinya.“Sakit semua, Bang!” Wanita berambut ikal itu melingkarkan tangan di pinggang, mencengkeram baju yang tengah dikenakan sang suami sambil meringis menahan sakit yang semakin terasa.“Minum air hangat dulu, Kak. Biar rileks!” Sania berjalan sambil menyodorkan segelas air putih hangat dan langsung disambar oleh menantunya, ditenggak habis hingga tersisa gelasnya saja.“Istri gue ngasih minum buat anak gue! Kenapa jadi lo yang minum?!” Sadewa menjitak kepala sahabatnya itu.“Maaf, Wa. Aku terlalu grogi!”“Wa...Wa... Dasar mantu durjana, sama mertua sendiri panggil nama. Nanti gue coret kamu dari daftar keluarga!” protes sang pemilik rahang tegas sambil menjitak kepala Aditya seka
“Naik motor, ya Bang. Ica pengen peluk Abang dari belakang!”Lelaki berambut cepak itu menghela napas berat, akan tetapi dia tidak berani menolak permintaan si istri, karena saat ini Clarissa tengah berbadan dua dan perasaannya begitu sensitif. Ia pun akhirnya mendorong sepeda motor miliknya keluar, menyuruh Clarissa merapatkan tubuh serta memeluknya dan segera melajukan kendaraan roda dua miliknya menuju tukang sate langganan.Clarissa tersenyum sembari menyenderkan kepala di punggung sang suami, merasa begitu nyaman serta bahagia hidup bersama sahabat ayahnya yang kini sudah sah menjadi suaminya.Tidak seperti saat membina biduk rumah tangga dengan David dulu, yang penuh luka juga liku. David tidak pernah berlaku manis, bahkan sekedar tersenyum kepadanya pun tidak pernah. Hanya luka yang selalu ditorehkan, baik di sanubari maupun fisiknya.“Terima kasih, ya Bang,” bisiknya seraya mempererat dekapan.“Untuk apa?” Raditya menggenggam jemari Clarissa yang tengah bertengger di pinggang.
Pagi-pagi sekali Sania sudah berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk suami serta putranya. Kebetulan hari ini Mbak Resti izin libur, karena suaminya sedang kurang sehat jadi Sania harus menyiapkan segala sendiri.“Assalamualaikum, selamat pagi bidadari,” sapa Sadewa sembari melingkarkan tangan di pinggang sang istri.“Emangnya aku secantik bidadari, Yah?”“Lebih cantik dari bidadari malahan. Kamu itu luar biasa. Wanita tercantik yang pernah aku temui juga perempuan terbaik yang pernah aku kenal. Kamu adalah jantung serta napasku, dan tanpamu mungkin aku tidak akan sanggup lagi untuk hidup serta berdiri. Terima kasih atas cinta yang selama ini kamu curahkan kepadaku, terima kasih juga karena sudah mau menjadi ibu dari anak-anakku!” bisiknya mesra di telinga istrinya.Saat sedang santap pagi terdengar suara pintu diketuk nyaring. Sania segera keluar untuk melihat siapa yang datang, dan ternyata Malvin—anaknya Darmi yang bertamu. Sania mengulas senyum tipis kepada anak mantan asisten
“Sudah, buruan dimakan. Biar dedeknya tambah besar!”“Iya, Yah. Ayah juga sebaiknya cepat makan. Nanti Embun habisin loh, jatahnya kalau Cuma diliatin doang.”“Kalau mau silakan habiskan. Kalau kamu minta sekalian dibeli sama kios-kiosnya juga akan aku turuti.”“Ish! Memangnya mau buat apaan?” Sania mencebik. Perempuan berhijab ungu itu segera memotong makanan berbentuk bulat dengan isi tertelan daging tersebut dan lekas menyantapnya dengan semangat, hingga keringat sebiji-biji kacang hijau menitik di dahinya.Buru-buru Sadewa menarik dua lembar tisu, mengelap peluh yang membuat istrinya semakin terlihat bertambah menawan sambil tidak henti-hentinya mengagumi wajah cantik Sania.“Kenapa Ayah liatin aku seperti itu?” Sania menghentikan aktivitasnya menyantap bakso karena terus diperhatikan.“Kamu cantik. Aku mencintai kamu!”“Aku tau, kok, kalau Ayah begitu mencintai aku.”“Aku mencintai kamu lebih dari yang kamu tahu, Mbun. Cinta di hati ini begitu besar, dan bahkan tiap detiknya kian
“Abang ngapain? Kok malah olah raga?” tanya Clarissa seraya menatap bingung ke arah suaminya.“Sayangku itu bagaimana sih? Tadi katanya Abang suruh pemanasan. Sekarang malah ditanya lagi ngapain?”Hah? Mulut perempuan berambut ikal itu menganga lebar.Seriusan ini laki nggak mudeng pemanasan? Pikirnya.“Bang, maksud aku pemanasan itu bukan seperti itu. Tapi...Ah, masa Abang tidak tahu. Kan aneh, Abang ini duda, masa nggak paham pemanasan sebelum perang?” Kedua bulat bening milik Clarissa terus saja menatap wajah Aditya yang terlihat basah oleh keringat juga sudah ngos-ngosan.“Sebenarnya, Abang belum pernah perang sebelumnya, Ca. Abang...” Dia menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. “Abang dulu belum sempat kikuk-kikuk sama mantan istri Abang. Dia menolak disentuh sama Abang, dan ternyata setelah beberapa bulan usia pernikahan kami, Abang baru tahu kalau dia sedang mengandung benih orang lain!”“Ya Allah, Bang. Miris sekali kisah cinta Abang dulu. Berarti Abang duda perjaka, don
“Saya terima nikah dan kawinnya Clarissa Arabella binti Veronika untuk diri saya, dengan mas kawin tersebut tunai!” Dengan sekali tarikan napas dan semangat empat lima Aditya mengucap ijab qobul di depan penghulu juga beberapa orang saksi, memindahkan tanggung jawab serta dosa-dosa wanita yang telah resmi menjadi pendamping hidupnya.Clarissa menghampiri lelaki yang kini menyandang gelar suami, menyalami dan mencium bagian punggungnya dengan takzim, disambut ciuman hangat di kening dan Aditya segera membacakan doa setelah ijab kabul.“Alhamdulillah. Akhirnya aku bisa menghalalkan anak kamu, Wa,” ucap Aditya ketika kedua mempelai disuruh sungkeman.“Coba sekali lagi kamu panggilan saya apa?” Kedua manik hitam lawan bicaranya melotot, menatap sang menantu yang tidak ada sopan-sopannya sama sekali.“Lah, saya harus panggil apa, Wa?”“Wa! Wa! Hargai saya sedikit lah, Dit. Saya ini ayahnya Ica dan Ica istri kamu. Otomatis kamu sudah menjadi menantu saya. Harusnya kamu panggil saya ayah. Ja
Kevin tertawa mendengar kabar tersebut, merasa lucu saja jika sang kakak benar-benar menikahi sahabat ayahnya itu.“Kenapa kamu ketawa seperti itu, Kevin? Ada apa? Memangnya nggak boleh, saya nikah sama Ica?” Timpal Aditya yang ternyata sudah berdiri tidak jauh dari tempat kevin serta Sania bercengkerama.“Ya lucu saja, Om. Om kan ... ya sudahlah. Asalkan Om setia dan menyayangi kakak saya. Usia nggak jadi penghalang. Yang penting saling mencintai!” Kevin menjawab sambil menahan tawa.“Tumben kamu lempeng, Vin?”“Kan sudah berguru sama Om waktu saya dipenjara!” kekehnya lagi.Tidak lama kemudian Clarissa keluar sambil menggendong Angel putrinya. Senyum terkembang di bibir merah perempuan itu, apalagi ketika melihat Lisa bersama putrinya datang bertamu untuk pertama kalinya.“Alhamdulillah akhirnya kamu mau main ke rumah juga, Sa. Kakak seneng kamu dateng,” ucap wanita berambut ikal itu seraya menyalami sang adik ipar.“Terima kasih, Kak.”“Hayo masuk ke dalam. Kita ngobrol-ngobrolnya
"Silakan lakukan kalo Mama berani. Aku pastikan Ayah dan Bang Adit tidak akan memberi ampun sama Mama, apalagi sampai melepaskan Mama!" Clarissa mengancam balik. Aditya yang merasa namanya disebut dengan embel-embel 'Bang', tersenyum semringah dan langsung memasang wajah serius serta jemawa. "Maaf, ibu yang pake baju hijau!" Dia menunjuk salah seorang perempuan yang tengah merekam kejadian dan memintanya untuk menghampiri dirinya. "Ma--maaf, Pak. Saya cuma iseng-iseng merekam. Kalo Bapak tidak berkenan akan saya hapus!" Wajah si ibu tampak ketakutan. "Tidak perlu takut, Bu. Saya seorang anggota polisi dan saya akan meminta video yang ibu rekam tadi sebagai barang bukti untuk menjebloskan mantan mertua calon istri saya ke penjara," ucap Aditya kemudian, membuat mamanya David bertambah ketakutan. "Pak, saya tadi cuma bercanda loh. Saya nggak serius ngancem Ica. Lagian Enjel itu kan cucu saya. Mana mungkin saya berani menculik dan menjualnya. Tolong jangan penjarakan saya, Pak Adit.