“Sania, dengarkan aku. Kamu tidak boleh lagi tinggal di rumah ini, karena itu bisa membahayakan kesehatan juga keselamatan kamu dan calon anak aku. Aku akan mengantarmu pulang ke rumah orang tua kamu, dan sementara kamu tinggal di Menteng dulu. Aku ingin menyelidiki, siapa sebenarnya orang yang selalu berusaha menyakiti kamu,” terang Sadewa seraya menangkup wajah istrinya.“Tapi, Om?”“Demi keselamatan kamu. Nanti setiap hari aku datang ke rumah Mama. Ok.”“Aku nggak mau jauh-jauh dari Om.” Sania melesakkan kepalanya di dada Sadewa.“’Kan masih ketemu setiap hari, Sayang.”“Tetep aja beda. Kalau memang ada yang berminat jahat sama kita, ya, kita hadapi bersama, Om. Aku ini ‘kan istrinya Om. Masalah Om ya jadi masalah aku juga. Aku nggak mau Om sampe kenapa-kenapa. Aku nggak mau kehilangan Om Dewa. Aku mencintai Om.”“Coba katakan sekali lagi, Sayang.” Pria berwajah tampan meski usianya sudah tidak lagi muda itu mengangkat wajah Sania dari dada, memindai lamat-lamat netra beningnya sam
“Aku nggak pernah berdusta sama kamu, Sayang. Apalagi soal perasaan. Percayalah, kalau aku sangat mencintai kamu dan kamu adalah satu-satunya wanita yang mampu membuat hati aku bergetar.” Pria berjambang tipis itu mengambil tangan istrinya, menautkan telapak tangan wanita berparas ayu tersebut di dada sebelah kiri agar bisa merasakan debaran cinta di sana.Kedua bola mata mereka saling memandang, dengan jemari saling menggenggam. Hanya satu pinta yang mereka ucapkan kepada Tuhan, agar Sang Maha Rahim tidak pernah memisahkan.Sadewa pernah dikecewakan, jatuh ke dalam kubangan luka dalam dan bertahun-tahun lamanya tidak bisa bangkit dari keterpurukan, meratapi nasib diri sampai akhirnya memilih menduda karena trauma akan rasa kecewa.Sekarang, setelah ia mengenal Sania, menjalani biduk rumah tangga bersamanya, dia merasa kembali menemukan separuh jiwanya yang pergi, menumbuhkan kembali satu sayapnya yang patah juga percaya bahwa cinta sejati itu memang ada.Gawai Sadewa berdering begitu
“Kalau kamu marah sama Ayah, jangan pernah lampiaskan kemarahan kamu sama makanan. Apa kamu tidak ingat, dulu kecil kepingin makan bolu seperti itu saja Ayah harus berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan uang untuk membelinya. Apa kamu lupa kalau dulu kita sering menahan lapar karena nggak punya makanan sama sekali, Kevin? Jangan karena sekarang sudah hidup berkecukupan kamu bisa seenaknya memubazirkan makanan. Ayah paling tidak suka!” “Kalau Ayah ke sini Cuma mau ceramah mendingan pulang saja. Aku nggak butuh ceramah Ayah. Aku maunya bebas dari penjara dan bisa menikmati hidup.”“Ayah tidak bisa membebaskan kamu, Nak. Kamu bersalah dan harus dihukum, supaya kamu jera dan bisa menyadari kesalahan kamu. Lembutkan hati kamu, Kevin. Jadilah laki-laki yang baik, karena kamu itu seorang pemimpin di keluarga kamu. Apalagi sebentar lagi Lisa melahirkan dan kamu akan menjadi seorang Ayah!”Kevin beranjak dari duduknya, mencengkeram erat kerah baju Sadewa seraya menatap wajah ayahnya dengan
“Kamu mau ngapain datang ke sini?” tanya Kevin tanpa ekspresi.“Mau nengokin anak Mama, lah. Kangen.” Veronika menghampiri putranya, mengusap lembut pipi Kevin, namun, dengan kasar pria berkaus hitam itu menepis tangan ibunya.“Kangen? Baru sekarang kamu bilang kangen sama aku? Dari dulu ke mana aja?”“Vin, tolong jangan dengerin omongan Adit, Sayang. Semua yang dia ucapkan itu tidak benar. Bohong. Mama itu selalu menyayangi kamu dan bahkan terus berjuang untuk mendapatkan hak asuh kalian berdua. Kamu jangan ikut-ikutan seperti Ica. Membenci Mama tanpa alasan yang jelas, hanya karena mendengar omongan segelintir orang saja!”“Memperjuangkan? Apanya yang diperjuangkan, Nyonya Vero? Apa kamu nggak ingat saat aku datang ke istana kamu dan memohon ingin bertemu, tapi dengan congkaknya kamu mengusir aku dari rumah kamu. Aku tidak pernah lupa dengan itu, Nyonya. Bahkan kamu juga selalu menyuruh aku dan Kak Ica manggil kamu nyonya saat bertemu di jalan.Sekarang, setelah tau Ayah kaya dan hu
“Maaf, Sayang. Aku tadi udah lelah banget. Makanya langsung tidur.” Sadewa menggeser tubuhnya lebih mendekat, mendekap badan mungil Sania dan mengusap lembut rambutnya yang tergerai.“Lagian, tau bininya nggak bisa tidur kalau nggak dipeluk, malah dicuekin.”“Iya bumilku. Maaf.”Dalam keremangan kamar Sadewa menatap wajah istrinya yang sudah mulai tertidur, menerbitkan senyuman kala mengingat saat pertama dia meminta haknya kepada Sania dan wajah perempuan itu memerah luar biasa. Apalagi ketika dia menciumnya untuk pertama kali, respons malu-malunya tidak pernah dia lupa hingga saat ini.Ada rasa bangga serta bahagia tersendiri karena dia memang yang mempertamai Sania. Bahkan dari bahasa tubuh Sania yang terlihat kaku serta sedikit ketakutan, menandakan kalau perempuan itu memang belum pernah bersentuhan dengan lawan jenis.“Aku mencintai kamu, Sayang. Maaf karena belum bisa membahagiakan kamu. Tapi aku berjanji, tidak akan melukai hati kamu dan akan selalu menjaga kamu semampuku, hin
“Ma—maksud Si Mbok, susah dihubungi!” ralat Darmi tergagap, membuat Clarissa bertambah curiga terhadap perempuan berkulit hitam manis yang ada di hadapannya.“Ya sudah, Mbok. Aku jalan lagi. Apa Mbok aja yang mau belanja. Mbok kan setiap hari di rumah. Jarang-jarang keluar. Siapa tau pengen refreshing.”Darmi terlihat berpikir.“Boleh deh kalo Neng Ica mengizinkan. Nanti dicatat aja apa yang mau dibeli, biar si Mbok nggak keder. Sekalian Mbok mau main ke rumah temen boleh, Neng?”“Silakan, Mbok. Nginep juga boleh.”Clarissa meletakkan Angel di sofa, mencatat apa yang hendak di beli sambil menunggu Darmi siap-siap.“Nanti kunci dari dalam saja rumahnya, Neng. Takut si Mbok pulangnya malam.”Clarissa menerbitkan senyuman, berusaha sebiasa mungkin terhadap Darmi.[Sen, lo bica pasang CCTV di rumah gue sekarang, gak? Tapi lo diem-diem aja. Jangan sampe ada yang tau.]Perempuan dengan postur tubuh tinggi semampai itu segera mengirimkan pesan kepada salah seorang teman kuliahnya, ingin mema
“Saya hanya menjalankan tugas, Pak. Dan saya tidak terlibat!” ucap sang driver bertambah ketakutan.“Saya tidak menuduh Bapak terlibat. Cuma saya mau minta alamat rumah atau kantor tempat Bapak mengambil paket tersebut, sebab saya penasaran, siapa sebenarnya orang yang berani meneror istri saya. Saya janji tidak akan melibatkan Bapak dalam kasus ini, dan akan memberikan apa saja yang Bapak minta asalkan Bapak mau membantu.”“Nama jalannya saya lupa, tapi saya masih ingat rutenya. Kalau Bapak mau nanti saya anter ke sana, tapi beneran ya, Pak, jangan libatkan saya.”“Bapak tenang saja. Oh, iya. Bapak mau makan apa, biar saya pesankan makanan.”“Apa saja, Pak. Terserah Bapak.”Sang pemilik perusahaan ekspor impor daging itu akhirnya memesankan menu yang sama seperti yang tengah ia nikmati.Selesai makan, sopir ojek yang pernah mengantar paket berisi boneka bersimbah darah itu mengantar Sadewa ke rumah yang dimaksud, lalu pamit pergi karena merasa takut.“Terima kasih, Pak. Kalau butuh s
Dia terus saja memantau rekaman CCTV melihat sang asisten rumah tangga berlalu pergi meninggalkan rumah.Menggendong Angel yang sedang terlelap, Clarissa segera keluar dari kamar dan mengintip dari balik tirai memastikan kalau asisten rumah tangganya telah keluar dan segera mengikuti Darmi.Mata perempuan berambut ikal itu menyipit ketika mobil taksi yang Darmi tumpangi menepi di depan sebuah rumah, dan dari balik kaca mobil ia melihat asisten rumah tangganya sedang berbicara dengan seorang lelaki bertubuh tinggi besar.Kenapa jadi banyak sekali teka-teki? Sebenarnya siapa kamu, Mbok. Kenapa di dalam rumah kamu terlihat polos dan selalu berdandan sederhana, sedangkan saat di luar kamu tidak kalah cetar dandanannya dari Mama.Tidak lama kemudian sebuah mobil Honda jazz berwarna merah berhenti tidak jauh dari tempatnya memarkirkan kendaraan, Clarissa kembali dikejutkan karena ternyata justru ibunya yang keluar dari mobil tersebut, membuat Darmi langsung menatap Veronika dengan pindaian
Tangis sahabat seperjuangannya itu semakin pecah ketika melihat sang mertua datang. Sadewa ikut duduk di lantai, menatap lemas dengan air mata sudah merebak dari balik kelopak.“Maaf, Pak. Silakan anak-anaknya diazani dulu!” Seorang perempuan berseragam khas perawatan keluar sambil tersenyum, menyuruh Aditya segera masuk untuk mengazani anak-anaknya.Sambil menghapus air mata laki-laki berkumis tipis itu berjalan masuk, menghampiri istrinya yang masih terbaring lemah dan menciumi pipinya sambil menangis.“Jangan cengeng, Abang. Masa seorang penembak jitu nangis sesenggukan begini?” ucap Clarissa sembari menerbitkan senyum.“Iya, Ca. Saking jitunya Abang nembak, sekali jadi langsung tiga! Makanya Abang terharu dan melihat perjuangan kamu melahirkan ketiga anak kita. Padahal, dokter kemarin Cuma bilang kalau kamu hamil kembar. Abang pikir Cuma dua. Ternyata malah tiga!” Aditya kembali mengusap air matanya.“Alhamdulillah, Bang. Rezeki kita langsung dikasih amanah banyak sama Allah. Ting
“Maaf, Sayang. Abang begitu mengkhawatirkan kamu soalnya. Plis jangan nangis. Abang liat kamu kesakitan saja sudah stres, ditambah liat kamu nangis. Abang minta maaf kalo Abang salah. Tolong jangan menangis. Mana yang sakit biar Abang elus-elus.” Aditya terus saja mencerocos sambil mengusap perut gendut istrinya.“Sakit semua, Bang!” Wanita berambut ikal itu melingkarkan tangan di pinggang, mencengkeram baju yang tengah dikenakan sang suami sambil meringis menahan sakit yang semakin terasa.“Minum air hangat dulu, Kak. Biar rileks!” Sania berjalan sambil menyodorkan segelas air putih hangat dan langsung disambar oleh menantunya, ditenggak habis hingga tersisa gelasnya saja.“Istri gue ngasih minum buat anak gue! Kenapa jadi lo yang minum?!” Sadewa menjitak kepala sahabatnya itu.“Maaf, Wa. Aku terlalu grogi!”“Wa...Wa... Dasar mantu durjana, sama mertua sendiri panggil nama. Nanti gue coret kamu dari daftar keluarga!” protes sang pemilik rahang tegas sambil menjitak kepala Aditya seka
“Naik motor, ya Bang. Ica pengen peluk Abang dari belakang!”Lelaki berambut cepak itu menghela napas berat, akan tetapi dia tidak berani menolak permintaan si istri, karena saat ini Clarissa tengah berbadan dua dan perasaannya begitu sensitif. Ia pun akhirnya mendorong sepeda motor miliknya keluar, menyuruh Clarissa merapatkan tubuh serta memeluknya dan segera melajukan kendaraan roda dua miliknya menuju tukang sate langganan.Clarissa tersenyum sembari menyenderkan kepala di punggung sang suami, merasa begitu nyaman serta bahagia hidup bersama sahabat ayahnya yang kini sudah sah menjadi suaminya.Tidak seperti saat membina biduk rumah tangga dengan David dulu, yang penuh luka juga liku. David tidak pernah berlaku manis, bahkan sekedar tersenyum kepadanya pun tidak pernah. Hanya luka yang selalu ditorehkan, baik di sanubari maupun fisiknya.“Terima kasih, ya Bang,” bisiknya seraya mempererat dekapan.“Untuk apa?” Raditya menggenggam jemari Clarissa yang tengah bertengger di pinggang.
Pagi-pagi sekali Sania sudah berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk suami serta putranya. Kebetulan hari ini Mbak Resti izin libur, karena suaminya sedang kurang sehat jadi Sania harus menyiapkan segala sendiri.“Assalamualaikum, selamat pagi bidadari,” sapa Sadewa sembari melingkarkan tangan di pinggang sang istri.“Emangnya aku secantik bidadari, Yah?”“Lebih cantik dari bidadari malahan. Kamu itu luar biasa. Wanita tercantik yang pernah aku temui juga perempuan terbaik yang pernah aku kenal. Kamu adalah jantung serta napasku, dan tanpamu mungkin aku tidak akan sanggup lagi untuk hidup serta berdiri. Terima kasih atas cinta yang selama ini kamu curahkan kepadaku, terima kasih juga karena sudah mau menjadi ibu dari anak-anakku!” bisiknya mesra di telinga istrinya.Saat sedang santap pagi terdengar suara pintu diketuk nyaring. Sania segera keluar untuk melihat siapa yang datang, dan ternyata Malvin—anaknya Darmi yang bertamu. Sania mengulas senyum tipis kepada anak mantan asisten
“Sudah, buruan dimakan. Biar dedeknya tambah besar!”“Iya, Yah. Ayah juga sebaiknya cepat makan. Nanti Embun habisin loh, jatahnya kalau Cuma diliatin doang.”“Kalau mau silakan habiskan. Kalau kamu minta sekalian dibeli sama kios-kiosnya juga akan aku turuti.”“Ish! Memangnya mau buat apaan?” Sania mencebik. Perempuan berhijab ungu itu segera memotong makanan berbentuk bulat dengan isi tertelan daging tersebut dan lekas menyantapnya dengan semangat, hingga keringat sebiji-biji kacang hijau menitik di dahinya.Buru-buru Sadewa menarik dua lembar tisu, mengelap peluh yang membuat istrinya semakin terlihat bertambah menawan sambil tidak henti-hentinya mengagumi wajah cantik Sania.“Kenapa Ayah liatin aku seperti itu?” Sania menghentikan aktivitasnya menyantap bakso karena terus diperhatikan.“Kamu cantik. Aku mencintai kamu!”“Aku tau, kok, kalau Ayah begitu mencintai aku.”“Aku mencintai kamu lebih dari yang kamu tahu, Mbun. Cinta di hati ini begitu besar, dan bahkan tiap detiknya kian
“Abang ngapain? Kok malah olah raga?” tanya Clarissa seraya menatap bingung ke arah suaminya.“Sayangku itu bagaimana sih? Tadi katanya Abang suruh pemanasan. Sekarang malah ditanya lagi ngapain?”Hah? Mulut perempuan berambut ikal itu menganga lebar.Seriusan ini laki nggak mudeng pemanasan? Pikirnya.“Bang, maksud aku pemanasan itu bukan seperti itu. Tapi...Ah, masa Abang tidak tahu. Kan aneh, Abang ini duda, masa nggak paham pemanasan sebelum perang?” Kedua bulat bening milik Clarissa terus saja menatap wajah Aditya yang terlihat basah oleh keringat juga sudah ngos-ngosan.“Sebenarnya, Abang belum pernah perang sebelumnya, Ca. Abang...” Dia menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. “Abang dulu belum sempat kikuk-kikuk sama mantan istri Abang. Dia menolak disentuh sama Abang, dan ternyata setelah beberapa bulan usia pernikahan kami, Abang baru tahu kalau dia sedang mengandung benih orang lain!”“Ya Allah, Bang. Miris sekali kisah cinta Abang dulu. Berarti Abang duda perjaka, don
“Saya terima nikah dan kawinnya Clarissa Arabella binti Veronika untuk diri saya, dengan mas kawin tersebut tunai!” Dengan sekali tarikan napas dan semangat empat lima Aditya mengucap ijab qobul di depan penghulu juga beberapa orang saksi, memindahkan tanggung jawab serta dosa-dosa wanita yang telah resmi menjadi pendamping hidupnya.Clarissa menghampiri lelaki yang kini menyandang gelar suami, menyalami dan mencium bagian punggungnya dengan takzim, disambut ciuman hangat di kening dan Aditya segera membacakan doa setelah ijab kabul.“Alhamdulillah. Akhirnya aku bisa menghalalkan anak kamu, Wa,” ucap Aditya ketika kedua mempelai disuruh sungkeman.“Coba sekali lagi kamu panggilan saya apa?” Kedua manik hitam lawan bicaranya melotot, menatap sang menantu yang tidak ada sopan-sopannya sama sekali.“Lah, saya harus panggil apa, Wa?”“Wa! Wa! Hargai saya sedikit lah, Dit. Saya ini ayahnya Ica dan Ica istri kamu. Otomatis kamu sudah menjadi menantu saya. Harusnya kamu panggil saya ayah. Ja
Kevin tertawa mendengar kabar tersebut, merasa lucu saja jika sang kakak benar-benar menikahi sahabat ayahnya itu.“Kenapa kamu ketawa seperti itu, Kevin? Ada apa? Memangnya nggak boleh, saya nikah sama Ica?” Timpal Aditya yang ternyata sudah berdiri tidak jauh dari tempat kevin serta Sania bercengkerama.“Ya lucu saja, Om. Om kan ... ya sudahlah. Asalkan Om setia dan menyayangi kakak saya. Usia nggak jadi penghalang. Yang penting saling mencintai!” Kevin menjawab sambil menahan tawa.“Tumben kamu lempeng, Vin?”“Kan sudah berguru sama Om waktu saya dipenjara!” kekehnya lagi.Tidak lama kemudian Clarissa keluar sambil menggendong Angel putrinya. Senyum terkembang di bibir merah perempuan itu, apalagi ketika melihat Lisa bersama putrinya datang bertamu untuk pertama kalinya.“Alhamdulillah akhirnya kamu mau main ke rumah juga, Sa. Kakak seneng kamu dateng,” ucap wanita berambut ikal itu seraya menyalami sang adik ipar.“Terima kasih, Kak.”“Hayo masuk ke dalam. Kita ngobrol-ngobrolnya
"Silakan lakukan kalo Mama berani. Aku pastikan Ayah dan Bang Adit tidak akan memberi ampun sama Mama, apalagi sampai melepaskan Mama!" Clarissa mengancam balik. Aditya yang merasa namanya disebut dengan embel-embel 'Bang', tersenyum semringah dan langsung memasang wajah serius serta jemawa. "Maaf, ibu yang pake baju hijau!" Dia menunjuk salah seorang perempuan yang tengah merekam kejadian dan memintanya untuk menghampiri dirinya. "Ma--maaf, Pak. Saya cuma iseng-iseng merekam. Kalo Bapak tidak berkenan akan saya hapus!" Wajah si ibu tampak ketakutan. "Tidak perlu takut, Bu. Saya seorang anggota polisi dan saya akan meminta video yang ibu rekam tadi sebagai barang bukti untuk menjebloskan mantan mertua calon istri saya ke penjara," ucap Aditya kemudian, membuat mamanya David bertambah ketakutan. "Pak, saya tadi cuma bercanda loh. Saya nggak serius ngancem Ica. Lagian Enjel itu kan cucu saya. Mana mungkin saya berani menculik dan menjualnya. Tolong jangan penjarakan saya, Pak Adit.