Hallo semua .... Terima kasih masih setia mengikuti kisah Dokter Ardian dan Citra. Aku mau kasih info kalau novel ini habis revisi. Jika berkenan, silakan baca ulang. Banyak bab dan cerita tambahan di dalamnya. Terima kasih ....
BAB 157“Bagaimana bisa Anda bicara seperti itu? Bagaimana pun, Nizam cucu Anda. Dan Anda maupun Pak Agus tidak pernah menjenguk-nya lagi,” ujar Dokter Ardian. Ia tidak habis pikir kalau keluarga ini sudah melupakan Nizam.“Hahaha. Cucu? Dia bukan cucu kandung-ku. Asal kamu tahu ya, Ardian, Nadia itu bukan Anakku, tapi anak Pak Agus. Aku menikah dengan Pak Agus ketika Nadia masih bayi. Aku merebut Pak Agus dari istrinya saat Nadia dan kembaran-nya masih bayi berusia sepuluh bulan. Kalau Nizam anak Widia, mungkin aku masih perduli. Karena Widia anak kandung-ku. Karena Nizam anak Nadia, aku tidak mengakuinya sebagai cucu-ku. Pergilah! Aku sibuk!” usir Bu Ratih lalu melenggang pergi meninggalkan Dokter Ardian.Dokter Ardian menggemeretakkan giginya. Kemudian ia menghela napas panjang dan mengembuskan-nya dengan kasar lalu masuk ke dalam mobilnya. Setelah itu ia melajukan mobilnya meninggalkan rumah Pak Agus dengan sangat kencang. Ia tidak menyangka kalau Bu Ratih akan tega berkata sepert
BAB 159“Ooooh mau tanya itu?” sahut Dokter Ardian dengan tersenyum. Kemudian ia melepaskan tangan Citra dan mengambil tas yang ada di atas kursi sampingnya.“Aku jawab nanti malam, ya,” imbuh Dokter Ardian dengan mengedipkan sebelah matanya pada Citra. Setelah itu ia mencium kening Citra dan berlalu pergi.“Mas! Kenapa nggak sekarang aja jawabnya?” seru Citra seraya mengejar Dokter Ardian yang berjalan menuju garasi mobil.“Sudah siang. Nanti aku telat. Aku pergi dulu ya. Assalamu’alaikum,” pamit Dokter Ardian lalu masuk ke dalam mobil.Citra menyaksikan mobil Dokter Ardian keluar dari pagar rumah dengan bibir cemberut. Dokter Ardian menyaksikan itu dari kaca spion yang ada di hadapannya dengan tersenyum puas.“Tunggu nanti malam, Cit. Semoga sore ini nggak ada SC.” Dokter Ardian bergumam.Citra masuk ke dalam rumah setelah menutup pintu pagar. Seperti biasa ia akan menemani Nizam bermain sampai lelah dan mengantuk.Setelah Nizam tidur, Citra tidak merasa mengantuk. Ia masih penasara
BAB 161Sesampainya Dokter Ardian di rumah, ia melihat Citra duduk di kursi teras rumah sambil mengajak Nizam berbicara. Ia pun tersenyum senang melihatnya. Pemandangan itu membuat hatinya berbunga-bunga.Ketika melihat mobil Dokter Ardian datang, tiba-tiba bibir Citra mengatup. Senyum di bibirnya pun memudar. Dengan segera ia berdiri dan menggendong Nizam masuk ke dalam rumah.Dokter Ardian merasa heran. Kenapa Citra tidak menyambutnya, tapi malah mengabaikan dan meninggalkannya.“Cit!” panggil Dokter Ardian seraya mengejar Citra. Ia berjalan cepat setelah turun dari mobil.Citra pun semakin mempercepat langkah kakinya saat mendengar suara Dokter Ardian semakin dekat. Ia menaiki anak tangga menuju kamarnya dengan tergesa-gesa. Namun, sayangnya ia kurang hati-hati sehingga tubuhnya oleng dan terjatuh ke belakang. Untungnya Dokter Ardian berada di belakangnya. Dengan sigap, Dokter Ardian melepas tas yang ada di tangannya untuk memegangi tubuh Citra. Tas Dokter Ardian pun jatuh menuruni
BAB 163 Sesampainya di meja makan, Citra mengambil makanan yang ada di atas meja. Begitu juga dengan Dokter Ardian. Mereka makan tanpa saling bicara. Hanya sesekali mata mereka melirik satu sama lain. Usai makan dan minum, Citra menatap Dokter Ardian. “Mana Nizam, Mas?” tanyanya. “Biarkan dia sama Bik Yati dulu,” balas Dokter Ardian lalu meneguk air putih yang ada di hadapannya. “Ya sudah aku ke atas dulu,” pamit Citra meninggalkan Dokter Ardian. “Tunggu dulu, Cit. Kita perlu bicara,” cegah Dokter Ardian. Citra tidak menggubrisnya dan tetap melangkahkan kakinya menaiki anak tangga. Dokter Ardian segera mengejarnya. Citra pun semakin mempercepat langkah kakinya hingga setengah berlari. Hingga akhirnya Dokter Ardian berhasil meraih tangan Citra tepat di ambang pintu kamar Citra. “Kenapa kamu menghindariku, Cit?” tanya Dokter Ardian seraya menatap wajah Citra untuk mencari jawaban. Citra mengalihkan pandangannya tidak berani menatap mata Dokter Ardian. Dokter Ardian pun menarik ta
BAB 165Sementara itu di rumah Dokter Ardian, Citra baru saja keluar dari kamarnya. Ia mengintip meja makan dari atas untuk memastikan Dokter Ardian tidak ada di sana. Setelah itu ia pun bergegas turun dan duduk di meja makan.“Bik, kok makanannya utuh?” tanya Citra sambil membalik piring setelah melihat makanan yang tersisa di atas meja makan.“Iya, Mbak. Pak Dokter nggak sarapan tadi,” jawab Bik Yati seraya menghampiri Citra dan mengambil Nizam dari pangkuan Citra.“Kenapa?” tanya Citra.“Nggak tahu. Mbak Citra juga tumben kok nggak segera turun dari tadi?” tanya Bik Yati balik.“Oh, tadi saya masih sibuk di kamar, Bik,” jawab Citra beralasan dengan menyengir.“Saya ajak Nizam nonton televisi ya, Mbak,” pamit Bik Yati lalu pergi meninggalkan Citra yang akan menyantap sarapan paginya.Di saat Citra tengah menyantap sarapan paginya, tiba-tiba ia mendengar ceramah dari televisi yang ditonton Bik Yati.“Jika kalian terpikat dengan wanita di luar sana, maka pulanglah. Karena apa yang ada
BAB 166‘Ck. Mengganggu dan merepotkan saja,’ gumam Dokter Ardian dalam hati. Padahal dia sudah sangat suntuk dengan masalah rumah tangganya dengan Citra. Namun, ia tetap berusaha terlihat sabar karena ada di depan banyak pasien.“Ya sudah, masuk!” ujar Dokter Ardian seraya memutar gagang pintu ruang poli kandungan. Kemudian ia masuk dan duduk di kursinya.Miranda tersenyum senang lalu masuk dan duduk di kursi pasien yang ada di depan Dokter Ardian.Dokter Ardian menulis nomor ponselnya pada selembar kertas kosong yang ada di hadapannya. Kemudian ia mendorongnya di atas meja ke arah Miranda.“Nih. Buat apa sih? Demi ketemu aku, kamu sampai bela-belain datang ke rumah sakit yang penuh dengan penyakit ini,” ucap Dokter Ardian seraya menunjuk meja kerjanya.“Gini loh, Yan. Bentar lagi itu ada reuni angkatan kita di SMAN 1 Mawar. Masa kamu nggak mau datang sih? Barangkali kan kita bisa berangkat bareng,” ujar Miranda dengan tersenyum.“Hah? Berangkat bareng? Bisa perang dunia nanti,” bala
BAB 167Setelah itu Citra masuk ke dalam kamarnya sendiri. Ia mengambil ponselnya yang ada di atas meja riasnya lalu menghubungi salah satu apotek yang dekat dengan rumah Dokter Ardian. Ia bisa mengetahui apotek itu dekat dengan rumah Dokter Ardian setelah mengecek pada google map. Ia juga mendapatkan nomor telepon apotek itu dari sana.Ketika telepon sudah tersambung, Citra segera memesan pil KB Andalan dua strip dan dua strip pil Postinor. Tidak lupa ia juga membeli tiga bungkus test pack buat jaga-jaga kalau ia terlambat datang bulan. Kalau dulu ia santai-santai saja saat telat datang bulan karena tidak pernah berhubungan badan dengan siapapun. Berbeda dengan sekarang karena sudah menikah dan sering CO dengan Dokter Ardian.“Nanti tolong diantar pakai ojek ya, Mbak. Bisa kan? Alamatnya nanti saya kirim lewat wa,” ucap Citra pada orang yang melayaninya.“Bisa, Mbak. Tapi, transfer dulu ya, untuk menghindari orderan fiktif,” balas orang apotek.“Oh, oke. Nanti kirim saja nomor rekeni
BAB 168Dengan segera Dokter Ardian melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dengan amarah yang membuncah. Langkah kakinya sangat cepat dan penuh dengan emosi.“CITRA!” seru Dokter Ardian ketika sudah sampai di ruang tengah. Ia mengedarkan pandangan matanya untuk melihat Citra akan muncul dari arah mana.“KELUAR KAMU!” seru Dokter Ardian lagi.Bik Yati yang mendengar teriakan Dokter Ardian segera keluar dari dalam kamarnya. Ia pun menghampiri Dokter Ardian. Barangkali Dokter Ardian butuh sesuatu, pikirnya.“Mana Citra, Bik?” tanya Dokter Ardian pada Bik Yati.“Di kamarnya, Pak,” jawab Bik Yati dengan menunduk. Tiba-tiba ada rasa takut yang menjalar di dadanya. Tidak biasanya Dokter Ardian berteriak-teriak di dalam rumah.“Ikut saya ke atas. Bawa pergi Nizam. Saya mau bicara sama Citra,” ujar Dokter Ardian seraya melangkahkan kakinya menaiki anak tangga. Bik Yati mengekor di belakangnya.Citra yang mendengar teriakan Dokter Ardian di lantai bawah merasa sangat terkejut. Tiba-tiba jant
BAB 220Beberapa bulan kemudianSudah satu minggu ini Citra mengambil cuti karena kandungannya sudah memasuki usia 37 minggu. Ia ingin beristirahat di rumah sambil mempersiapkan persalinan anak keduanya.Dokter Ardian sudah bekerja di Rumah Sakit Husada kembali. Namun, ia bekerja pada sore hari karena pagi hari sudah diisi dokter lain semenjak kepergiannya dulu.Pagi ini Dokter Ardian menemani Citra jalan-jalan pagi di komplek perumahannya. Arman dan Nizam masih tidur di rumah karena hari ini hari Minggu, sehingga mereka akan tidur sampai puas.Ketika sedang beristirahat di bangku yang ada pada sebuah taman, Citra merasakan janinnya menendang. Ia pun memegangi perutnya dengan tersenyum.“Kenapa?” tanya Dokter Ardian.“Dia menendang, Mas,” jawab Citra dengan mendesis. Setelah tendangan itu ia merasakan perutnya kencang dan sangat sakit.“Aaaahhh, Mas! Sakit!” ucap Citra mendesis menahan sakit pada perutnya.“Apa akan melahirkan? Kamu tunggu di sini, ya! Aku pulang dulu ambil mobil dan
BAB 219Malam hari Citra dan Dokter Ardian berbaring di atas tempat tidur berdua. Mereka sama-sama menatap langit-langit kamar mereka. Ada rasa canggung di antara mereka berdua karena sudah sepuluh tahun tidak bertemu.“Kenapa kamu tidak menikah lagi?” celetuk Dokter Ardian tiba-tiba seraya menoleh ke arah Citra yang berbaring di sampingnya.“Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas?” tanya Citra balik. Ia pun menatap Dokter Ardian juga.“Aku sudah pergi bertahun-tahun. Aku yakin kalau kalian semua sudah menganggapku mati,” jawab Dokter Ardian.“Bagaimana aku bisa menikah lagi, sedangkan hatiku kamu bawa pergi. Aku cinta hanya sama kamu, Mas,” ucap Citra dengan tersenyum.Hati Dokter Ardian tersentuh. Ia merasa terharu dengan pernyataan Citra. Ia pun segera memeluk tubuh Citra dan mencium bibirnya dengan buas. Untungnya ia sudah mencukur kumis berewoknya sebelum tidur tadi, sehingga Citra tidak menolaknya lagi.Ciuman mereka pun semakin panas hingga akhirnya percintaan di antara mereka p
BAB 218“Kamu kerja?” tanya Dokter Ardian.Citra menganggukkan kepalanya. “Iya, Mas,” jawab Citra.“Kalau aku nggak kerja, bagaimana aku dan anak-anak bisa makan?” imbuh Citra lagi.“Maaf, ya. Aku sudah membuat kamu susah dan menderita,” ucap Dokter Ardian merasa bersalah. Kemudian ia mendekatkan wajahnya ke arah Citra dan menempelkan bibirnya pada bibir Citra lalu melumat bibir itu seperti dulu.Citra tidak membalas ciuman Dokter Ardian. Ia mengernyitkan keningnya merasa tidak nyaman karena Dokter Ardian berewokan. Ia pun memundurkan kepalanya menjauh.“Kenapa?” tanya Dokter Ardian heran karena Citra menolak ciumannya.“Cukur dulu berewoknya, Mas,” gerutu Citra. Sudah lama ia tidak berciuman. Apalagi dengan wajah Dokter Ardian yang berewokan membuatnya risih dan sakit.Dokter Ardian mendesah pelan. Ia pun akhirnya pasrah karena memang tidak sempat mencukur bulu-bulu yang ada di wajahnya.Tidak lama kemudian Pak Aryo dan Bu Indah datang. Mereka segera masuk ke dalam rumah untuk meliha
BAB 217“Kata Mama, Papa sudah di surga,” sahut Nizam. Ia masih ingat kalau Citra mengatakan seperti itu ketika Arman dan Nizam menanyakan papanya.“Mungkin maksud Mama calon Papa, Kak,” sahut Arman menebak.Dokter Ardian mendesah pelan. Dengan segera ia menarik pelan tangan kedua anaknya agar masuk ke dalam rumah. Citra pun segera menutup pintu lalu mengekor di belakang mereka.Dokter Ardian menunjuk foto pernikahannya dengan Citra yang tergantung di ruang tengah.“Tuh lihat! Masa nggak kenal sama Papa sendiri,” gerutu Dokter Ardian pada kedua anaknya.Nizam dan Arman menatap foto pernikahan Citra dan Dokter Ardian dengan sangat lekat. Sesekali mereka juga melihat Dokter Ardian untuk mencocokkan garis wajah papanya.“Nggak sama. Yang di foto ganteng. Yang ini tua!” ujar Nizam sambil menunjuk Dokter Ardian.Dokter Ardian menghela napas panjang lalu mengembuskannya dengan kasar. Bagaimana tidak tua? Saat ini usia Dokter Ardian sudah empat puluh dua tahun. Ditambah lagi ia tidak bisa me
BAB 216Citra seperti melihat bayangan Dokter Ardian yang tersenyum padanya sambil duduk di kursi itu.‘Selamat pagi, Mas,’ ucap Citra dalam hati. Ia pun tersenyum lalu menutup pintu itu kembali. Kemudian ia bergegas menuju UGD untuk menjadi dokter jaga di sana.*Sore hari Citra pulang ke rumah seperti biasanya. Tubuhnya terasa lelah karena hari ini pasien di UGD sangat banyak. Ia masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Tiba-tiba Nizam dan Arman berlari ke arahnya lalu memeluk tubuhnya.“Mama!” seru mereka senang karena melihat Citra sudah pulang.Citra tersenyum lalu berjongkok untuk membalas pelukan mereka.“Bagaimana sekolahnya hari ini? Seru?” tanya Citra seraya menatap Nizam dan Arman bergantian.“Seru… sekali, Ma!” balas Nizam dengan antusias.Citra pun membelai kepala Nizam dengan tersenyum. Meskipun Nizam bukan anak kandungannya, ia akan tetap menyayangi Nizam seperti anaknya sendiri.“Kalau Arman?” tanya Citra seraya menatap Arman.Arman cemberut lalu berkata, “Sebel ah,
BAB 215Dua tahun kemudianCitra masih berharap Dokter Ardian pulang. Ia masih berharap semua ini hanyalah mimpi panjangnya. Ia sangat ingin segera bangun dari tidur panjangnya ini.Setiap hari, sampai saat ini Citra selalu menunggu suaminya pulang di balkon kamarnya. pagi, siang, malam, ia sangat berharap Dokter Ardian memberikan kejutan padanya. Penantian panjang tak pernah membuatnya letih. Karena semua kenangan indah bersama dibawa Dokter Ardian pergi. Ia ingin kenangan itu datang kembali bersama suaminya tercinta.Setiap salat, Citra selalu berdoa agar Allah menuntun Dokter Ardian menemukan jalan pulang. Ia masih tetap di sini menunggu Dokter Ardian pulang kembali. Meskipun itu mustahil, tapi ia berharap ada keajaiban di dunia ini untuknya.Saat ini anak Citra sudah berusia dua tahun. Anak itu diberi nama Arman Raditya. Nama Arman mempunyai arti harapan dan doa. Harapan dan doa Citra adalah kepulangan Dokter Ardian, ayah dari anak-anaknya. Ia masih belum siap menjadi janda di usi
BAB 214 Mobil ambulans baru saja sampai di halaman rumah Dokter Ardian. Citra pun masuk ke dalam mobil ambulans dengan bantuan dua orang perawat. Ia masih bisa berjalan dan tidak mau naik brankar. Bu Ratna juga mengekor di belakang mereka sambil membawa tas yang berisi pakaian Citra dan calon bayinya. Sesampainya di Rumah Sakit Bunda, Citra dianjurkan segera masuk ke ruang bersalin karena Dokter Amanda sudah mengatur semuanya. Sambil berjalan, Citra menangis berlinang air mata. Bukan karena kesakitan, tapi karena rindu dan teringat Dokter Ardian. ‘Mana janjimu, Mas? Kamu bilang akan menemaniku saat melahirkan anak kita? Tapi, kenapa kamu malah pergi meninggalkan aku dan anak kita?’ raung Citra dalam hati. “Cit,” panggil Dokter Amanda saat melihat Citra di ambang pintu ruang bersalin. Ia pun tersenyum paksa meskipun hatinya menangis. Hatinya sangat sakit melihat Citra yang berlinang air mata di hadapannya. Ia tahu dan mengerti bagaimana rasanya jadi Citra saat ini. Citra pun melan
BAB 213Satu minggu kemudianCitra berdiri di balkon kamarnya. Ia menatap ke halaman rumah dan berharap melihat Dokter Ardian pulang. Setiap hari, pagi, siang, dan malam, ia menunggu Dokter Ardian pulang. Ia berharap semua ini hanya mimpi dan prank dari suaminya.“Mas …, aku rindu,” lirih Citra dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca. Setiap hari ia menangis merindukan Dokter Ardian.“Andai waktu bisa diulang, aku akan bilang ‘I love you’ setiap hari padamu, Mas. Aku belum pernah mengucapkan cintaku padamu. Andai waktu bisa terulang kembali, aku ingin bilang ‘Aku cinta kamu’ sejuta kali sehari pun aku akan melakukannya, Mas,” ucap Citra menyesali semuanya. Ia menyesal karena tidak pernah mengatakan cinta pada Dokter Ardian selama ini. Padahal waktu kebersamaan mereka sangat singkat.Mobil Dokter Ardian memang sudah diangkat dari jurang. Namun, di dalam mobil itu tidak ditemukan tubuh ataupun jenazah Dokter Ardian. Kemungkinan besar, tubuh Dokter Ardian terlempar keluar saat mobil
BAB 212Citra tengah terbaring di salah satu kamar VIP Rumah Sakit Bunda. Sebuah selang infus terpasang pada tangan kirinya.Bu Ratna sedang menggosok telapak tangan dan telapak kaki Citra secara bergantian dengan lembut. Beberapa kali ia menatap wajah Citra dan berharap Citra segera membuka matanya. Ia baru saja sampai di Rumah Sakit Bunda sepuluh menit yang lalu dan langsung mencari di mana Citra dirawat.Tidak lama kemudian Citra mengernyitkan keningnya. Ia memegangi kepalanya yang terasa pening.“Cit,” ujar Bu Ratna senang akhirnya Citra sadar juga.Citra pun membuka matanya dan melihat ibunya di samping tempat tidurnya. Kemudian ia melihat ke sekeliling ruangan itu dan ia pun sadar kalau sedang berada di rumah sakit.“Ibuk,” balas Citra lirih.“Mau minum?” Bu Ratna menawarkan seraya mengambil air minum dalam kemasan botol yang ada di atas meja. Namun, Citra menggelengkan kepalanya. Bu Ratna pun menaruh kembali botol itu.Citra menatap langit-langit ruangan itu dengan tatapan koso