BAB 169 “Aku sudah pernah bilang, aku tidak akan membuatmu hamil! Kamu tidak percaya dengan ucapanku? Kenapa kamu sampai membeli pil-pil ini, Cit! Aku ini seorang Dokter SPOG. Kamu tahu kan kepanjangan SPOG itu apa? Spesialis Obstetri dan Ginekologi. Kamu kira aku ini dokter bodoh? Kamu juga bidan. Harusnya kamu tahu kapan masa suburmu, kamu tahu, boleh dan tidak bolehnya berhubungan badan dalam metode kalender. Kenapa sih kamu selalu memutuskan semuanya sendiri? Kenapa tidak berunding denganku yang sekarang sudah menjadi suami kamu!” seru Dokter Ardian lagi. Ia sangat kecewa dengan Citra yang tidak mempercayainya. “Maaf, Mas …,” lirih Citra tiba-tiba di sela tangisnya. Ia tidak berani menatap Dokter Ardian. Dokter Ardian menghela napas panjang lalu mengembuskannya dengan kasar melalui mulutnya. Kemudian ia melangkahkan kaki mendekat ke arah Citra dan meraih tangan kanannya. Ia menaruh beberapa bungkus test pack di atas telapak tangan Citra lalu melipat jari-jari Citra agar menggeng
BAB 170 Meskipun begitu, Bik Yati akan tetap pura-pura tidak tahu apa yang terjadi barusan. “Ini, Nizam minta susu kayaknya, Mbak,” jawab Bik Yati. “Bentar ya, Bik. Aku buatkan sebentar,” balas Citra lalu bangkit dari tempat tidur dan melangkahkan kakinya menuju pada sebuah meja. Di meja itu ada banyak peralatan yang dibutuhkan Nizam, termasuk susu. Tidak lama kemudian susu itu sudah siap. Citra memberikan susu itu pada Bik Yati. “Bik, bisa jaga Nizam sebentar nggak? Aku lagi ingin sendiri sekarang,” ucap Citra seraya menyerahkan susu itu pada Bik Yati. “Iya, Mbak. Kalau begitu, Bibik ajak Nizam ke bawah ya,” balas Bik Yati. “Terima kasih, Bik,” balas Citra dengan menyunggingkan senyum yang dipaksakan. Hati Citra terasa sangat sakit. Ini pertama kalinya ia dimarahi habis-habisan dalam sejarah hidupnya. Bahkan Ibunya pun belum pernah memarahinya dan berteriak-teriak seperti Dokter Ardian. Namun, ia masih bersyukur karena Dokter Ardian tidak menyakiti fisiknya. Malam hari, Dokte
BAB 171 “Bicara dong, Cit. Jangan diam terus. Aku kan nggak ngerti maunya kamu apa. Kalau kamu mau cerai, aku nggak bisa. Sejak awal aku sudah bilang, aku nggak mau ada perceraian,” imbuh Dokter Ardian. Tangannya pun mulai nakal meraba dan meremas lembut buah dada Citra. “Terus, sampai kapan kamu akan mengurungku di penjara rumah tanggamu ini, Mas? Aku sudah capek,” balas Citra. Akhirnya ia mau bicara juga. Meskipun tangan Dokter Ardian meremas buah dadanya, ia tidak menampiknya, malah justru menikmatinya. Sudah lama ia ingin dicumbu. “Lah, kenapa capek? Kan kamu sendiri yang bikin capek. Marah-marah nggak jelas. Semua wanita yang dekat denganku kamu cemburui. Dewasa dikit lah, Cit. Kan aku nggak main apa-apa di belakang kamu. Dan juga, ngapain kamu beli pil KB? Memangnya kamu nggak mau hamil anak kita? Apalagi kamu beli postinor, seolah-olah kamu mau membunuh calon anak kita,” balas Dokter Ardian. Karena tidak ada perlawanan dari Citra, ia pun memberanikan tangannya untuk membuka k
BAB 172Di saat percintaan terjadi, Citra tidak menolak ketika Dokter Ardian mencumbuinya. Sudah lama ia sangat ingin disentuh. Meskipun hanya dua minggu, tapi rasanya sudah berbulan-bulan lamanya Dokter Ardian tidak tidur dengannya.Dokter Ardian pun semakin bersemangat saat Citra memberikan respons positif pada apa yang dilakukannya. Bahkan Citra lebih agresif dari sebelumnya.“Kamu habis nonton blue film, ya?” tanya Dokter Ardian ketika sudah sama-sama mencapai puncak kepuasan. Dan kini mereka sama-sama berbaring di atas tempat tidur dan di bawah selimut yang sama untuk melepaskan lelah. Keringat membasahi tubuh mereka yang baru saja selesai bertempur.Citra merosot masuk ke dalam selimut tidak mau menampakkan wajahnya pada Dokter Ardian. Ia merasa sangat malu malam ini. Bisa-bisanya dia mengimbangi permainan Dokter Ardian seolah-olah sudah mahir dan minta lebih.“Cit, ngapain sih ngumpet gitu?” ujar Dokter Ardian seraya membuka selimut yang menutupi wajah Citra.“Jangan, Mas! Aku
BAB 173Usai makan dan minum, Citra menatap Dokter Ardian yang juga baru saja menaruh gelas di atas meja setelah menghabiskan minumannya. Ia ingin mengutarakan sesuatu, tapi masih ragu. Ia takut terjadi pertengkaran lagi.“Ada apa?” celetuk Dokter Ardian tiba-tiba. Ia tahu Citra seperti ingin berbicara sesuatu.Citra menghela napas panjang lalu mengembuskannya dengan kasar melalui mulutnya.“Ehm … ehm, anu, Mas, tadi kenapa tidak pakai pengaman dulu?” tanya Citra seraya menatap Dokter Ardian.“Kenapa memangnya? Takut terkena PMS (Penyakit Menular Seksual)?” jawab Dokter Ardian juga dengan menatap Citra.“Bukan … bukan itu maksudku, Mas,” balas Citra dengan menggoyangkan kedua tangan ke kanan dan ke kiri di depan dadanya.“Takut hamil?” tebak Dokter Ardian. Citra menanggapinya dengan anggukan kepala.“Nggak apa-apa. Sudah cukup umur ‘kan? Mau sampai kapan juga kamu menundanya? Di luaran sana, banyak loh orang yang sudah menikah dan pengen punya anak. Kamu kalau dikasih rejeki anak kok
BAB 174Citra menghela napas panjang mendengarnya. Kemudian ia naik ke atas tempat tidur dan berbaring di samping Dokter Ardian.“Nggak gitu, Mas. Kamu kan tipe laki-laki yang doyan CO. Masa dua minggu nggak nyamperin aku sama sekali, ‘kan aku jadi curiga. Jangan-jangan kamu main sama wanita lain di luaran sana,” balas Citra.“Kamu cemburu, ya?” sahut Dokter Ardian seraya mentoel ujung hidung Citra.“Iya lah. Mas kan suami aku sekarang,” balas Citra sewot.Dokter Ardian tersenyum. “Mana mungkin aku main sama wanita lain. Punya istriku masih rapet kok. Lagian ngapain juga ganti-ganti pasangan? Kan sama aja namanya cari penyakit. Aku kan Dokter SPOG, tahu dong sumber penyakit dan gaya hidup yang bagaimana yang nggak baik. Udah ya, jangan cemburu yang berlebihan lagi. Aku janji akan setia sampai mati,” ujar Dokter Ardian seraya membelai tangan Citra di atas telapak tangannya.“Jangan bilang mati dong, Mas. Memangnya Mas mau ninggalin aku dan Nizam?” sahut Citra tidak suka Dokter Ardian m
BAB 175“Selamat datang ...,” ucap Dokter Ardian menyambut kedatangan Lidia dengan tersenyum ramah.Lidia tersenyum seraya melangkahkan kakinya memasuki pintu gerbang rumah Dokter Ardian. Ini pertama kalinya ia datang ke rumah Dokter Ardian. Ia juga tidak datang sendiri, melainkan mengajak ibunya yang sekaligus ibu kandung Nadia juga.Citra menatap Lidia yang tengah berjalan menuju ke arahnya. Matanya memandang Lidia dengan membulat lebar dan tanpa berkedip. Napasnya pus terlihat memburu.“Cit!” celetuk Dokter Ardian ketika Lidia sudah berada di hadapan Citra.Citra pun menatap Lidia yang sudah berdiri di hadapannya. Ia terus menatap Lidia dengan sangat lekat tanpa berkedip dari ujung kepala hingga ujung kaki.Dokter Ardian mendesah pelan lalu berjalan mendekat ke arah Citra yang sedari tadi tercengang melihat Lidia.“Ini anak saya. Namanya Nizam,” ucap Dokter Ardian seraya mengambil alih Nizam dari gendongan Citra.Citra pun baru tersadar dan terlihat kebingungan setelah Dokter Ardia
BAB 176“Jadi, Anda mengira saya menggoda Papanya Nizam gitu? Terus tidur bersama sampai hamil agar dinikahi, gitu?” celetuk Citra tiba-tiba seraya menatap Bu Farha.“Bukan … bukan seperti itu, tapi … kebanyakan pembantu dan pengasuh kan gitu. Kayak cerita di novel-novel online itu loh, majikan menikahi pembantu atau babysitter anaknya. Apalagi majikannya kaya, siapa yang nggak pengen jadi istrinya, ya ‘kan? Pas banget majikannya duda,” sahut Bu Farha tetap tidak mau kalah.“Saya menikahi Citra karena saya sayang sama dia. Dia tidak menggoda saya. Malah saya yang memaksanya agar mau menikah dengan saya,” sahut Dokter Ardian tiba-tiba.“Syukurlah kalau begitu. Padahal kalau mau, Dokter bisa loh menikahi Lidia. Lidia kan mirip dengan Nadia,” balas Bu Farha.Lidia yang tengah meneguk teh-nya pun menjadi tersedak dan terbatuk-batuk mendengar penuturan Ibunya.“Ibuk!” tegur Lidia dengan mata melotot pada Ibunya.Dada Citra tiba-tiba terasa berat. Ada rasa dongkol di dalam hatinya. Ia pun s
BAB 220Beberapa bulan kemudianSudah satu minggu ini Citra mengambil cuti karena kandungannya sudah memasuki usia 37 minggu. Ia ingin beristirahat di rumah sambil mempersiapkan persalinan anak keduanya.Dokter Ardian sudah bekerja di Rumah Sakit Husada kembali. Namun, ia bekerja pada sore hari karena pagi hari sudah diisi dokter lain semenjak kepergiannya dulu.Pagi ini Dokter Ardian menemani Citra jalan-jalan pagi di komplek perumahannya. Arman dan Nizam masih tidur di rumah karena hari ini hari Minggu, sehingga mereka akan tidur sampai puas.Ketika sedang beristirahat di bangku yang ada pada sebuah taman, Citra merasakan janinnya menendang. Ia pun memegangi perutnya dengan tersenyum.“Kenapa?” tanya Dokter Ardian.“Dia menendang, Mas,” jawab Citra dengan mendesis. Setelah tendangan itu ia merasakan perutnya kencang dan sangat sakit.“Aaaahhh, Mas! Sakit!” ucap Citra mendesis menahan sakit pada perutnya.“Apa akan melahirkan? Kamu tunggu di sini, ya! Aku pulang dulu ambil mobil dan
BAB 219Malam hari Citra dan Dokter Ardian berbaring di atas tempat tidur berdua. Mereka sama-sama menatap langit-langit kamar mereka. Ada rasa canggung di antara mereka berdua karena sudah sepuluh tahun tidak bertemu.“Kenapa kamu tidak menikah lagi?” celetuk Dokter Ardian tiba-tiba seraya menoleh ke arah Citra yang berbaring di sampingnya.“Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas?” tanya Citra balik. Ia pun menatap Dokter Ardian juga.“Aku sudah pergi bertahun-tahun. Aku yakin kalau kalian semua sudah menganggapku mati,” jawab Dokter Ardian.“Bagaimana aku bisa menikah lagi, sedangkan hatiku kamu bawa pergi. Aku cinta hanya sama kamu, Mas,” ucap Citra dengan tersenyum.Hati Dokter Ardian tersentuh. Ia merasa terharu dengan pernyataan Citra. Ia pun segera memeluk tubuh Citra dan mencium bibirnya dengan buas. Untungnya ia sudah mencukur kumis berewoknya sebelum tidur tadi, sehingga Citra tidak menolaknya lagi.Ciuman mereka pun semakin panas hingga akhirnya percintaan di antara mereka p
BAB 218“Kamu kerja?” tanya Dokter Ardian.Citra menganggukkan kepalanya. “Iya, Mas,” jawab Citra.“Kalau aku nggak kerja, bagaimana aku dan anak-anak bisa makan?” imbuh Citra lagi.“Maaf, ya. Aku sudah membuat kamu susah dan menderita,” ucap Dokter Ardian merasa bersalah. Kemudian ia mendekatkan wajahnya ke arah Citra dan menempelkan bibirnya pada bibir Citra lalu melumat bibir itu seperti dulu.Citra tidak membalas ciuman Dokter Ardian. Ia mengernyitkan keningnya merasa tidak nyaman karena Dokter Ardian berewokan. Ia pun memundurkan kepalanya menjauh.“Kenapa?” tanya Dokter Ardian heran karena Citra menolak ciumannya.“Cukur dulu berewoknya, Mas,” gerutu Citra. Sudah lama ia tidak berciuman. Apalagi dengan wajah Dokter Ardian yang berewokan membuatnya risih dan sakit.Dokter Ardian mendesah pelan. Ia pun akhirnya pasrah karena memang tidak sempat mencukur bulu-bulu yang ada di wajahnya.Tidak lama kemudian Pak Aryo dan Bu Indah datang. Mereka segera masuk ke dalam rumah untuk meliha
BAB 217“Kata Mama, Papa sudah di surga,” sahut Nizam. Ia masih ingat kalau Citra mengatakan seperti itu ketika Arman dan Nizam menanyakan papanya.“Mungkin maksud Mama calon Papa, Kak,” sahut Arman menebak.Dokter Ardian mendesah pelan. Dengan segera ia menarik pelan tangan kedua anaknya agar masuk ke dalam rumah. Citra pun segera menutup pintu lalu mengekor di belakang mereka.Dokter Ardian menunjuk foto pernikahannya dengan Citra yang tergantung di ruang tengah.“Tuh lihat! Masa nggak kenal sama Papa sendiri,” gerutu Dokter Ardian pada kedua anaknya.Nizam dan Arman menatap foto pernikahan Citra dan Dokter Ardian dengan sangat lekat. Sesekali mereka juga melihat Dokter Ardian untuk mencocokkan garis wajah papanya.“Nggak sama. Yang di foto ganteng. Yang ini tua!” ujar Nizam sambil menunjuk Dokter Ardian.Dokter Ardian menghela napas panjang lalu mengembuskannya dengan kasar. Bagaimana tidak tua? Saat ini usia Dokter Ardian sudah empat puluh dua tahun. Ditambah lagi ia tidak bisa me
BAB 216Citra seperti melihat bayangan Dokter Ardian yang tersenyum padanya sambil duduk di kursi itu.‘Selamat pagi, Mas,’ ucap Citra dalam hati. Ia pun tersenyum lalu menutup pintu itu kembali. Kemudian ia bergegas menuju UGD untuk menjadi dokter jaga di sana.*Sore hari Citra pulang ke rumah seperti biasanya. Tubuhnya terasa lelah karena hari ini pasien di UGD sangat banyak. Ia masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Tiba-tiba Nizam dan Arman berlari ke arahnya lalu memeluk tubuhnya.“Mama!” seru mereka senang karena melihat Citra sudah pulang.Citra tersenyum lalu berjongkok untuk membalas pelukan mereka.“Bagaimana sekolahnya hari ini? Seru?” tanya Citra seraya menatap Nizam dan Arman bergantian.“Seru… sekali, Ma!” balas Nizam dengan antusias.Citra pun membelai kepala Nizam dengan tersenyum. Meskipun Nizam bukan anak kandungannya, ia akan tetap menyayangi Nizam seperti anaknya sendiri.“Kalau Arman?” tanya Citra seraya menatap Arman.Arman cemberut lalu berkata, “Sebel ah,
BAB 215Dua tahun kemudianCitra masih berharap Dokter Ardian pulang. Ia masih berharap semua ini hanyalah mimpi panjangnya. Ia sangat ingin segera bangun dari tidur panjangnya ini.Setiap hari, sampai saat ini Citra selalu menunggu suaminya pulang di balkon kamarnya. pagi, siang, malam, ia sangat berharap Dokter Ardian memberikan kejutan padanya. Penantian panjang tak pernah membuatnya letih. Karena semua kenangan indah bersama dibawa Dokter Ardian pergi. Ia ingin kenangan itu datang kembali bersama suaminya tercinta.Setiap salat, Citra selalu berdoa agar Allah menuntun Dokter Ardian menemukan jalan pulang. Ia masih tetap di sini menunggu Dokter Ardian pulang kembali. Meskipun itu mustahil, tapi ia berharap ada keajaiban di dunia ini untuknya.Saat ini anak Citra sudah berusia dua tahun. Anak itu diberi nama Arman Raditya. Nama Arman mempunyai arti harapan dan doa. Harapan dan doa Citra adalah kepulangan Dokter Ardian, ayah dari anak-anaknya. Ia masih belum siap menjadi janda di usi
BAB 214 Mobil ambulans baru saja sampai di halaman rumah Dokter Ardian. Citra pun masuk ke dalam mobil ambulans dengan bantuan dua orang perawat. Ia masih bisa berjalan dan tidak mau naik brankar. Bu Ratna juga mengekor di belakang mereka sambil membawa tas yang berisi pakaian Citra dan calon bayinya. Sesampainya di Rumah Sakit Bunda, Citra dianjurkan segera masuk ke ruang bersalin karena Dokter Amanda sudah mengatur semuanya. Sambil berjalan, Citra menangis berlinang air mata. Bukan karena kesakitan, tapi karena rindu dan teringat Dokter Ardian. ‘Mana janjimu, Mas? Kamu bilang akan menemaniku saat melahirkan anak kita? Tapi, kenapa kamu malah pergi meninggalkan aku dan anak kita?’ raung Citra dalam hati. “Cit,” panggil Dokter Amanda saat melihat Citra di ambang pintu ruang bersalin. Ia pun tersenyum paksa meskipun hatinya menangis. Hatinya sangat sakit melihat Citra yang berlinang air mata di hadapannya. Ia tahu dan mengerti bagaimana rasanya jadi Citra saat ini. Citra pun melan
BAB 213Satu minggu kemudianCitra berdiri di balkon kamarnya. Ia menatap ke halaman rumah dan berharap melihat Dokter Ardian pulang. Setiap hari, pagi, siang, dan malam, ia menunggu Dokter Ardian pulang. Ia berharap semua ini hanya mimpi dan prank dari suaminya.“Mas …, aku rindu,” lirih Citra dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca. Setiap hari ia menangis merindukan Dokter Ardian.“Andai waktu bisa diulang, aku akan bilang ‘I love you’ setiap hari padamu, Mas. Aku belum pernah mengucapkan cintaku padamu. Andai waktu bisa terulang kembali, aku ingin bilang ‘Aku cinta kamu’ sejuta kali sehari pun aku akan melakukannya, Mas,” ucap Citra menyesali semuanya. Ia menyesal karena tidak pernah mengatakan cinta pada Dokter Ardian selama ini. Padahal waktu kebersamaan mereka sangat singkat.Mobil Dokter Ardian memang sudah diangkat dari jurang. Namun, di dalam mobil itu tidak ditemukan tubuh ataupun jenazah Dokter Ardian. Kemungkinan besar, tubuh Dokter Ardian terlempar keluar saat mobil
BAB 212Citra tengah terbaring di salah satu kamar VIP Rumah Sakit Bunda. Sebuah selang infus terpasang pada tangan kirinya.Bu Ratna sedang menggosok telapak tangan dan telapak kaki Citra secara bergantian dengan lembut. Beberapa kali ia menatap wajah Citra dan berharap Citra segera membuka matanya. Ia baru saja sampai di Rumah Sakit Bunda sepuluh menit yang lalu dan langsung mencari di mana Citra dirawat.Tidak lama kemudian Citra mengernyitkan keningnya. Ia memegangi kepalanya yang terasa pening.“Cit,” ujar Bu Ratna senang akhirnya Citra sadar juga.Citra pun membuka matanya dan melihat ibunya di samping tempat tidurnya. Kemudian ia melihat ke sekeliling ruangan itu dan ia pun sadar kalau sedang berada di rumah sakit.“Ibuk,” balas Citra lirih.“Mau minum?” Bu Ratna menawarkan seraya mengambil air minum dalam kemasan botol yang ada di atas meja. Namun, Citra menggelengkan kepalanya. Bu Ratna pun menaruh kembali botol itu.Citra menatap langit-langit ruangan itu dengan tatapan koso