Share

BAB 3

Pagi hari seperti biasa, Indah bangun dan membantu ibu memasak buat sarapan. Setelah mandi gadis itu langsung menuju dapur.

Ibu dan bibi telah mulai memasak. Sepertinya ibu memasak cukup banyak. Mungkin karena ada menantu tersayangnya.

"Ada yang bisa Indah bantu, Bu?" tanya Indah mendekati sang ibu.

"Kamu duduk saja. Pengantin baru pasti capek," ucap Ibu Rahma dengan tersenyum.

Ibu mendorong pelan tubuh putrinya, dia meminta Indah untuk duduk manis saja. Gadis itu tampak sedikit heran. Tidak biasanya ibu melarang dia membantu memasak. Bukankah selama ini, walau harus bekerja, dia tetap memasak untuk sarapan.

Dari ruang keluarga terdengar langkah kaki menuju dapur. Tenyata si bocah cantik Nia. Indah tersenyum dan langsung berdiri, menyusul ponakannya. Gadis itu langsung menggendong dan menghujani dengan ciuman. Di balas dengan hujanan ciuman juga dari bocah itu ke wajah mulus sang tante. Tanpa keduanya sadari, Rudi melihat tanpa kedip dan diam-diam tersenyum.

Inilah salah satu alasan kenapa dia memilih Indah sebagai pengganti Mita. Walau banyak wanita yang mendekati dirinya, pilihan terbaik jatuh pada adik iparnya itu.

"Papi...," panggil Nia dengan suara khas anak-anaknya.

Rudi tersenyum dan mendekati putrinya. Mengambil dari Indah dan menggendongnya. Dia tersenyum manis dengan Nia. Tak akan ada yang mengira jika pria itu sangat kaku dan sombong jika melihat dia tersenyum saat ini.

Rudi memangku sang putri saat sarapan. Dia menyuapi makanannya.

"Bu, hari ini juga aku akan bawa Indah untuk tinggal denganku di rumah kami," ucap Rudi meminta izin.

"Silakan. Sebagai istri kamu tentu Indah harus ikut kemana pun kamu pergi," jawab Ibu Rahma dengan semangat.

"Bu, aku juga mau minta izin, mungkin lusa aku akan pergi liburan. Mumpung pekerjaan kantor lagi luang," ujar Rudi selanjutnya.

Indah hanya diam mendengar obrolan antara ibu dan Rudi, pria dingin yang telah berstatus sebagai suaminya itu.

"Kamu tak perlu minta izin. Sekarang Indah itu telah menjadi istri kamu, mau kamu bawa kemana dan diapakan, itu hak kamu," jawab Ibu Rahma.

Indah cukup terkejut mendengar ucapan ibunya. Seperti melepaskan tanggung jawab saja.

Setelah sarapan, Indah memasukan pakaiannya. Hanya sedikit yang dia bawa. Jika butuh lagi masih bisa ambil ke rumah ini. Jaraknya cuma satu jam perjalanan.

Indah juga membawa perlengkapan kantornya. Setelah itu dia pamit dengan ibunya.

"Indah, saat ini kamu telah menjadi istrinya Rudi. Ikuti apa kata suamimu. Jangan membantah," ucap Ibu menasehati saat mereka akan meninggalkan rumah.

**

Selama di perjalanan menuju rumah kediamannya Rudi, antara Indah dan suaminya tiada obrolan. Hanya suara Nia yang terdengar. Sesekali gadis itu membalas ucapan ponakannya.

Satu jam perjalanan, mereka sampai di rumah kediaman Rudi dan Almarhum kakaknya Mita. Indah hanya beberapa kali ke rumah ini. Saat itu dia kuliah di luar kota.

Memasuki ruang tamu, pemandangan pertama yang dilihat adalah foto pernikahan Rudi dan Mita. Kakaknya terlihat bahagia di dalam foto itu. Melangkahkan kaki makin ke dalam, di ruang keluarga juga terpajang foto pernikahan mereka yang cukup besar dan didampingi foto Nia.

Rudi yang berjalan di belakang indah melihat tatapan gadis itu yang tak berkedip memandangi foto pernikahan mereka. Dia lalu mengatakan sesuatu dengan lantang.

"Foto pernikahan kami akan tetap berada di sana selamanya. Tidak ada yang boleh menurunkan. Itu semua agar Nia tahu wajah cantik maminya! Satu lagi yang harus kamu ingat... Jangan merubah apa pun di rumah ini, barang-barang itu harus tetap ditempatnya. Ini semua berdasarkan keinginan Mita. Dia yang menatanya. Jadi aku tak mau ada yang pindah letaknya!" ucap Rudi dengan suara penuh penekanan.

"Jangan takut, Mas. Aku sadar diri. Aku tahu posisiku di mana. Bukankah aku kau nikahi hanya sabagai pengasuh Nia. Jadi sebagai pembantu, aku tak akan berani merubah rumah majikanku!" ucap Indah dengan suara setenang mungkin.

Indah menarik napas dan membuangnya. Dia juga tak ada niat merubahnya. Dia sadar posisinya hanya sebagai pengganti.

"Jaga ucapanmu, Indah! Apa kau ingin membuat citraku buruk di mata pelayan?" Rudi bertanya karena Indah mengatakan itu di depan bibi.

"Aku tak ada maksud begitu. Biar saja mereka menilai sendiri!" balas Indah.

"Bi, antarkan Indah ke kamar tamu!" perintah Rudi. Dia tidak ingin gadis itu terlalu banyak bicara di depan pelayan.

Bibi lalu mengajak Indah menuju lantai dua dimana kamar tamu berada. Kamar utama ada di lantai dua juga, bersebelahan. Semua kamar di rumah ini ada di lantai dua.

Indah memperhatikan isi kamar tanpa kedip. Mita memang memiliki selera tinggi. Dia menyukai kemewahan, berbeda dengan dirinya yang lebih suka dengan kesederhanaan.

Gadis itu membuka jendela kamar. Pemandangan di luar begitu indahnya. Taman dihiasi berbagai bunga. Pasti itu juga kakaknya Mita yang menginginkan. Dia penyuka bunga, berbeda dengan Indah yang lebih suka dengan binatang peliharaan seperti kucing.

Indah duduk di sofa dekat jendela. Pandangannya entah kemana. Dia tampak termenung.

"Aku saat ini sedang berusaha bersama dengan diri sendiri. Berdamai dengan sesuatu yang tak bisa diubah. Belajar mengikhlaskan sesuatu yang sudah terjadi. Belajar menerima keadaan dan belajar untuk tidak memaksakan sesuatu," ucap Indah dalam hatinya.

Membuka ponselnya dan melihat foto-foto kebersamaan dengan Dicky. Pria yang dia cintai. Indah masih berpikir bagaimana menghadapi Dicky saat mereka bertemu. Pasti dia sudah mendengar tentang pernikahannya karena salah seorang sahabat pria itu tetangganya.

Indah menarik napas dan membuangnya, melakukan itu berulang kali untuk membuat hatinya sedikit tenang. Dia mulai menata barang pribadinya tanpa merubah apapun di dalam kamar itu. Dia sudah berjanji pada Rudi, tidak akan mengganti apa pun.

Setelah itu dia masuk ke kamar dan membersihkan diri. Nia saat ini ada bersama Rudi sehingga dia bisa tenang berdiam diri di kamar. Gadis itu masih terus memikirkan apa yang akan dia katakan saat nanti bertemu sang kekasih.

"Hari ini masih sama. Aku gagal memberikan ketenangan pada diriku sendiri. Kepalaku sedang berpesta ria oleh pikiran, yang datang tanpa di undang. Satu persatu kesedihan dan kekecewaan memenuhi isi kepalaku. Entah bagaimana menyembuhkannya. Satu hal yang pasti sakitnya itu nyata."

"Ada keresahan yang tak mungkin diceritakan. Ada kesedihan yang tak sanggup diungkapkan. Dan ada tangisan di balik sebuah senyuman. Luka yang dalam sering kali tidak terlihat oleh kasat mata. Di balik ketenangan seseorang ada seribu kisah yang tersembunyi. Kalau kamu pernah merasakan hujan di saat langit tidak mendung, berarti kamu tau rasanya air mata turun saat bibir tersenyum."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status