Share

Part 4 Testpack Siapa?

Author: Anindyamin
last update Last Updated: 2024-05-01 11:21:33

Stop. Aku harus stop karena emosi yang daritadi aku simpan sekarang sudah melegak sepenuhnya.

Tantangan Yogi untuk ribut gak seharusnya aku ladenin karena pasti berujung panjang. Aku gak mau bertengkar cuma karena hal kecil. Lebih-lebih kami berada di teras rumah sekarang.

Menarik nafas dalam-dalam, aku telan lagi seluruh kekesalan pagi itu dan mencoba tenang menjawab pertanyaannya.

"Itu Joon, kalo gak salah namanya itu. Kita cuma pernah papasan beberapa kali pas aku jalan kedepan kompleks. Kita gak pernah ngobrol.”

"Nah itu bisa jawab yang bener. Jawab pertanyaan simple aja susah." Gila. Ini orang nyebelin banget.

Ada beberapa kemungkinan dia marah. Yang pertama mungkin karena aku jawab pertanyaan dia gak becus, yang kedua karena dia belum percaya kalau aku bisa jaga nama baik dia, yang ketiga agak konyol sih kalau dipikirin, tapi bisa aja Yogi insecure.

Ego laki-laki itu tinggi.

Dan bisa aja Yogi merasa kalah saing dengan tubuh atletis tetangga kami, karena serutin-rutinnya dia olahraga, badan Yogi belum tergolong se-atletis itu dan malah semakin kekar semakin terlihat dad-body.

Memang betul saat aku inget lagi, dia benar-benar memperhatikan Joon sampai tetangga kami tersebut melewatkan pagar, dari atas sampai bawah. Seperti ditantang ribut padahal Joon cuma menyapa sekali lewat. Ada satu celah kelemahan di diri dia yang belum bisa dia terima. Bahwa dia mungkin tidak cinta diri sendiri. Tidak merasa ganteng.  Aneh sekaligus lucu. Membicarakan itu dengan temanku jadi bikin gak begitu kepikiran negatif, malah jadi lucu-lucu aja.

Mumpung Yogi bilang dia pulang malam aku mencuri waktu untuk meet-up dengan salah satu temenku di salah satu mall. Sampai lupa waktu karena banyak sekali cerita yang terkumpul setelah sekian lama gak ketemu, aku sampe lupa waktu. Bahkan gak sadar kalau ponsel ku bunyi kalau temenku gak bilang.

3 panggilan tidak terjawab dari Yogi.

"Di mana?"

"Oh... ini diluar mau pulang."

"Aku nanya di mana? Jangan sampe aku nanya ketiga kali."

Kenapa dia harus ngomong gitu pas aku lagi sama temenku sih?

Tampaknya ia sedang berada dalam suasana hati yang buruk, dan aku sebagai istri tidak dianggap, harus menahan hati agar tidak ikut terpancing amarah.

**

Pagi-pagi sekali hari ini aku sudah sibuk mondar-mandir penjuru rumah.

Padahal ini hari libur nasional, tapi Yogi dan keluarga besarnya punya rencana untuk berlibur ke lake-house sekalian memanen beberapa tanaman yang disemai sejak terakhir mereka datang kesana.

Awalnya Yogi bilang kami berdua bakal nyusul terakhir karena ada beberapa kerjaan Yogi yang gak bisa di liburin. Tapi ternyata mama Yogi bersedia nunggu.

Beliau bilang jalanan ke lake-house mirip-mirip dan Yogi udah lima tahun gak kesana. Takut nyasar jadi harus beriringan. Akhirnya selagi Yogi fokus dengan kerjaan, aku siapin barang-barang dan pakaian dia yang mau dibawa. Setiap lewat didepan dia yang lagi kerja, kaki ku berjinjit untuk meminimalisir suara. Takut aja. Mukanya yang serius ngingetin aku lagi saat terakhir dia marah karena tetangga ujung jalan. Satu hal yang gak pernah selesai, dan gak pernah berani aku bahas sampai saat ini.

"Mas, sweater bawa yang mana?" Tanyaku paling terakhir karena semua perlengkapan yang lain sudah aku masukan kedalam koper.

Kami memakai satu koper besar bersama. Yogi noleh dari berkasnya, muka datar dipenuhi keseriusan.

"Di lemari paling atas, biar aku aja nanti ambil sendiri, kamu gak sampai itu.”

Kebiasaan banget. Padahal ini udah jam setengah delapan dan keluarganya udah di jalan mau jemput kita. Kalau ditunda-tunda pasti bakalan kececeran.

Aku mengambil kursi meja rias untuk memanjat, menggapai ke tumpukan sweater yang diletakkan di sebuah kotak hadiah berpita manis.

Aku belum pernah melihat kotak itu, gak penasaran juga. Aku cuma mau ambil sweater di atasnya.Tapi kotak itu jatuh, isinya berserakan. Dalam keterkejutan itu aku cuma liat Yogi yang berlari menyusulku ke kamar dengan raut cemas setengah mati.

"Stop, letakin. Jangan sentuh."

Aku diam. Menatap benda yang aku pandang bergantian dengan Yogi yang bahkan gak berani melewati pintu kamar kami.

Benda itu tampak baru, bersih tanpa noda.

Mulutku ingin bertanya 'punya siapa?' atau 'kenapa kamu punya ini?' serta berbagai pertanyaan lain. Tapi rasanya pikiranku hanya dipenuhi kekagetan.

Benda ini dikemas dalam kotak kado dengan baik seperti menyiapkan sebuah kejutan untuk orang tersayang.

Kotak kado yang terletak di lemari teratas suamiku. Tempat yang gak pernah bisa aku gapai.

"Dira!" segak Yogi sekali lagi karena aku masih melihat benda itu lamat-lamat.

Suara langkah kaki lain terdengar semakin mendekat tapi tak kunjung mengeluarkanku dari pikiran sendiri.

"Kenapa Gi?" Mamah. Suara mama Yogi. Wajah tua yang anggun itu ikut menoleh kedalam kamar penasaran, memergoki aku tengah memegang sebuah stick yang tentu terlihat jelas adalah sebuah testpack.

"Oh Dira hamil? Positif ya? Astaga selamat... Ya ampun, papa mana papa! Papaaaaaa Yogi sama Dira mau punya baby." ucap mama berteriak penuh harap menjauh dari aku dan Yogi yang saling memandang dengan bola-mata ingin jatuh.

Tuhan...

"Mas!"

"Gawat!"

Kami berdua sama-sama panik.

Gak kok.

Aku gak hancur lebur atau langsung kabur dari rumah akibat salah paham perkara ini. Aku cuma kaget, dan tidak tahu harus ngapain.

Aku gak tahu dimana harus menempatkan diri.

Kalau menurut peraturan normal istri sah, harusnya aku marah dan nuntut penjelasan kan. Tapi apa posisi aku ini bisa dikatakan istri sah yang dinikahi karena cinta?

I don't think so... We're both knows the benefit is mutual.

Dari awal pun aku lebih sering menempatkan diri sebagai rekan, bahkan pegawainya. Aku selalu mengalah dan gak berani macem-macem. Di saat seperti ini aku beneran gak bisa ngomong apa- apa, sedihnya, Yogi juga gak merasa harus menjelaskan apa-apa padaku.

Ketimbang meluruskan masalah ini ke mamanya, dia malah mengunci kami berdua di dalam kamar, dia tarik aku untuk duduk di ranjang saling berhadapan.

"Mas..."

"I know, just pretend. Pretend it's yours." ucap Yogi desperate membuatku menuruti permintaannya.

"T-tapi kenapa? Itukan bukan punyaku. Aku gak mau!" mamah Yogi adalah orang yang begitu baik, aku gak bisa bayangin kalau aku harus bohong ke mama hanya untuk nutupin masalah Yogi yang entah apa itu akupun gak tau.

Yogi memejamkan mata menarik nafas dalam-dalam. "Kalau kamu tolong aku sekali ini, aku bakal pura-pura gak tau sama pil birth-control yang kamu sembunyiin di kamar mandi.' Aku hampir terlonjak kaget mendengar kalimatnya barusan.

Jadi... selama ini dia tau?

Dia tau kalau aku minum pil kontrasepsi dan tetap meminta untuk berhubungan? Bukannya tujuan dia itu untuk cepat-cepat punya keturunan?

"K-kamu tau?"

Yogi ngangguk natap aku, "Trus kenapa-"

"Tadinya mau aku flush semua obatnya ke toilet, tapi aku masih baik pertimbangin kalau kamu belum siap." jawabnya pelan menarik nafas,

"So do me favour too this time, aku belum siap cerita dan aku harap kamu mau bantu."

Gila.

Aku gak tau ini sebuah bujukan atau blackmailing?

Kenapa dia seolah-olah mengancam mau membuang obatku ke toilet??

"No. You're threatening me!" ucapku kesal.

"I am not, but i'm willing to do so if you're refuse to be cooperative with me.”

Sial. Aku bahkan gak dapet penjelasan apapun tentang milik siapa benda yang kupegang saat itu. Malah diberi tugas bukan main berat untuk berpura-pura memilikinya.

"Kamu tau kalau minum pil itu gak sesuai dengan permintaan aku, kan? But i let you be... Setiap kali kamu lakukan kesalahan selalu aku maklumi. Bahkan kejadian sekarang inipun terjadi karena kamu bantah larangan aku. Menurut kamu, kamu harus ngapain sekarang?" ucapnya semakin memojokanku.

Related chapters

  • Terpaksa Menikah Dengan Anak Klien Prioritas   Part 5 Promil

    "Kamu mau kabur pun percuma, gak akan aku biarin kamu lepas tangan dari semuanya. You stay here with me, do what i told you to do."Udah pikiran ku bercabang, Yogi juga gak bantuin aku ngarang cerita, eh, dia malah ninggalin aku di Villa sama keluarganya untuk pergi sama papanya mancing seharian.Aku bingung karena cuma di briefing dikit banget tentang kabar 'kehamilan' ini. Cuma bisa senyum canggung pas diajak saudara ipar ku berkumpul di teras villa sambil minum teh.Beberapa candaan jorok mereka membuat mukaku merah sampai telinga!"Hebat juga ya Yogi, baru beberapa bulan udah langsung gol aja. Kirain bakal nunda dulu loh!" ucap kak Shinta yang memang belum memiliki kehendak untuk hamil, begitupun suaminya.Mereka seperti masih pacaran dan mungkin heran kenapa kami terlihat terburu-buru.Dipikir-pikir, iya juga sih.Kalaupun aku hamil beneran, kayaknya emang terlalu cepat. Aku gak ngerti sama permintaan Yogi dan untungnya berani nekat ngambil langkah untuk menunda hal itu secara se

    Last Updated : 2024-05-01
  • Terpaksa Menikah Dengan Anak Klien Prioritas   Part 6 Pergi

    “Mau kemana? Diajak ngomong kok malah pergi?” Yogi nangkap tangan aku yang buru-buru cuci tangan“Mau pergi dari dapur.”Dari mukanya dia lebih ke bingung daripada marah, tapi muka galaknya tetep gak ilang. Aku yang berhadapan dengan pisau entah kenapa reflek ngambil pisau itu untuk diacungkan kearahnya.Sekedar mengancam supaya Yogi lepasin cengkraman tangannya dari tanganku.“Hah? Kenapa kamu?!”“Stop pegang aku, stop paksa aku ini-itu.”“Siapa yang maksa kamu? Kamu ngomong apa sih?!”Tanpa rasa bersalah dia kebingungan, langkahnya mundur menjaga jarak dari pisau yang kupegang. Konyol sekali emang megang pisau dapur yang pendek dan gampang banget ditepis kalau Yogi mau. Tapi dia masih biarin aku pegang pisau itu tanpa mau bikin aku makin panik.“Explain.”“K-kamu perkosa aku.”Ludahnya tercekat, “K-kapan, Dir?”“Well not technically, tapi kamu tutup mulut aku supaya aku gak bisa minta kamu stop. A-aku takut sama kamu...”Kami saling menatap seperkian detik sampai Yogi maju perlahan,

    Last Updated : 2024-05-11
  • Terpaksa Menikah Dengan Anak Klien Prioritas   Part 7 Cemburu?

    Yogi diam, dengan wajah datarnya mendorong pintu untuk masuk.“Tau dari mana kamar aku? Kok bisa naik?” tanyaku panik. Aku... masih takut sama dia, dan aku cuma pakai Bathrobe.“Kamu pakai debit aku, tinggal tanya ke resepsionis.” Jawabnya cuek.“Aku mau ngomong sebentar doang, gak akan lama-lama disini.”Baguslah. Artinya dia tau kalau aku gak nyaman dengan kehadiran dia disini.Detik berikutnya ada ketukan lagi, kali ini kuyakini adalah obatku. Tapi Yogi yang menghalangi pintu dengan penasaran melihat keluar dan menerima paketnya dengan wajah bingung.“Obat untuk ibu Dira dari dokter Joon, nanti katanya kalau sudah minum obat dokternya kesini untuk periksa.” Sebut petugas itu polos tanpa tahu dengan siapa dia bicara.“...Nanti dokternya kesini lagi buat periksa.” Yogi mengangguk, dia kelewat tenang dengan situasi iniDan hal itu malah bikin aku cemas. Aku cepat-cepat menutup pintu itu tanpa sempat bilang makasih ke petugas, karena sekenal-kenalnya aku dengan Yogi, aku belum pernah be

    Last Updated : 2024-05-13
  • Terpaksa Menikah Dengan Anak Klien Prioritas   Part 7 Surat Perpisahan

    Aku diam, sepanjang bercerita aku memberi point apa saja yang pengen aku tanyakan karena Yogi seperti ingin melewati fakta paling besar dan inti dari segala cerita ini.Seluruh pertanyaan kecilku hilang dan aku hanya ingin menegaskan sesuatu. Hal yang sejak dulu sudah aku rasakan tapi gak berani untuk bener-bener aku tanya.“Gak gitu, aku sama dia udah selesai sebelum aku kenal sama kamu.”“Tetep aja?? Kamu mau bikin mantan kamu cemburu dengan nikah sama aku kan? Kamu marah karena dia aborsi anak kamu dan kamu mau nunjukin kalau kamu bisa jadi ayah yang hebat, iya kan?”Seluruh tuduhanku terdengar berlebihan, tapi kalau siapapun yang berada di posisiku pasti ngerti apa yang aku rasain.Aku seperti perempuan yang di pilih secara acak untuk dinikahi, memberikan anak dan menjadi ajang pembuktian kalau hidup Yogi baik-baik saja.Aku jadi ngerti banget posisiku disini setelah denger cerita Yogi.“...terus kenapa kamu suruh aku ngaku itu testpack aku? Kenapa kamu gak jujur udah ngehamilin a

    Last Updated : 2024-05-13
  • Terpaksa Menikah Dengan Anak Klien Prioritas   Part 8 Aku Harus Bagaimana?

    Bukan nikah dengan Yogi yang paling aku sesali selama 26 tahun hidup...Tapi keputusanku untuk ngelepasin semuanya, seluruh hidupku dan kegiatanku untuk jadi miliknya secara utuh.Andai saat itu aku gak buta arah, andai saat itu aku gak kemakan bayangan fairytale seperti yang sering aku baca di novel novel romantis, mungkin aku gak akan semenyedihkan ini.Aku gak tau kalau Yogi akan lebih memprioritaskan masa lalunya daripada aku yang berada di masa sekarang, atau bahkan masa depannya kelak.Walau dia udah melarikan aku dari hadapan orang tuanya, aku masih belum bisa berhenti menangis.Dia berdiri bersandar dinding, cuma ngeliatin aku nangis tanpa ngomong apapun kurang lebih sepuluh menit.Tanpa suara, tanpa teriakan histeris, aku meremat gaunku, menunduk berlelehan air mata. Ditemani Yogi malah bikin aku merasa makin sedih, terlebih ini didalam kamar kami, kamar yang dulunya juga kumiliki."Maaf."Aku kaget, tapi mengangguk menerima pernyataan maafnya dengan ikhlas. Aku cuma butuh wak

    Last Updated : 2024-05-15
  • Terpaksa Menikah Dengan Anak Klien Prioritas   Part 8 I'm Ok, No I'm not Ok

    Hal pertama yang kulakukan adalah menoleh kearah Yogi yang tampak mengusap wajahnya lega. Aku termenung, merasa kalau keputusanku yang tidak egois dan ikhlas melepaskannya berdampakSe-membahagiakan ini terhadap Yogi. Aku tersenyum, mengabaikan air mata yang entah sejak kapan mengalir deras di pipiku.Kalo memang hal ini membuat Yogi kehilangan separuh beban di hidupnya, maka tentu saja aku rela.Pada akhirnya aku menginjakkan kaki lagi ke rumah dan tempat yang paling aku rindukan. Rumah Yogi, mantan suamiku. Awalnya aku ingin sekedar meminta izin untuk mengambil barang-barang yang kemarin belum sempat aku kemas. Aku memang sedang dalam proses mengirim barang ke kota yang akan aku tinggali nanti. Aku gak nyangka kalau Yogi malah menyuruhku mengambil sendiri apa yang aku butuhkan, dan meletakkan kunci di tempat yang dulu sering ku katakan padanya."Mas, aku pergi sama temen. Kunci di pot bunga ya!"Gak menyangka kalau kebiasaan itu malah diteruskan oleh Yogi. Aku duduk sebentar di sofa

    Last Updated : 2024-05-16
  • Terpaksa Menikah Dengan Anak Klien Prioritas   Part 11 Yogi Datang

    Menimbang-nimbang, apakah sepadan jika aku hancurkan usahaku untuk melupakannya hanya karena satu kata itu?Apa semua akan baik-baik aja kalau aku memberi respon? Selama ini...Aku sudah cukup sabar.Aku mengalah, bahkan ketika Yogi membuatku berada di urutan terakhir dari kepentingannya, aku terima. Semua maaf yang gak pernah aku terima tapi tetap aku maafkan. Saat aku butuh pembelaannya, butuh kata-kata menenangkan darinya, dan yang aku hadapi hanya kesendirian.Berusaha keras agar tidak menjadi beban di tengah beban perkerjaanya hingga aku lupa kalau aku juga manusia, aku punya perasaan. Rasanya sudah cukup sih, aku diperlakukan seperti itu. Aku gak peduli apa yang dia dengar tentangku, dan darimana dia dapat nomor ponsel baruku ini.Alih-alih menjawab Yogi, aku menghubungi Jessica dengan tenang, seolah hatiku tidak baru saja jatuh karena menerima pesan dari mantan suamiku itu.“...Tenang aja, gue gak bilang lo hamil kok.”Seenggaknya, dia hubungin aku bukan karena tau aku hamil.H

    Last Updated : 2024-05-19
  • Terpaksa Menikah Dengan Anak Klien Prioritas   Part 12 Terlambat

    Aku terdiam dari seguk tangis.Membiarkan Yogi berjalan dengan gontai dari depan pintuku hingga suara langkahnya menghilang.Mencera kalimatnya yang membuaiku hingga membuka pintu meski terlambat. Yogi sudah gak disana lagi, meninggalkan aku yang bercucur air mata menatap lorong kosong itu.Aku duduk di bangku yang tadi ia duduk, membayangkan posisinya yang duduk disana berjam-jam menungguku membuka pintu. Menangisi ketulusannya yang terasa begitu dekat tapi begitu jauh.Aku tahu aku gak seharusnya berkejar dengan waktu. Prinsipku selalu goyah ketika semua sudah terlambat.Tapi di lain sisi, aku bersyukur karena Yogi sudah pergi sebelum aku membuka pintu dengan penuh air mata dan memeluknya. Membayangkan hal itu saja aku malu, menyedihkan sekali.Biarkan saja aku menangis duduk disini merenungi kepergiannya.Kalau bisa aku tidur saja di bangku yang tadi diduduki Yogi, aku gak mau pindah.Aku gak akan-"Dira."Yogi memanggilku di ujung lorong, memegang sebuah plastik bening yang ku yak

    Last Updated : 2024-05-19

Latest chapter

  • Terpaksa Menikah Dengan Anak Klien Prioritas   Part 13 Jordi

    Seberapa inginpun aku ingin mendengar jawabannya, aku tahu aku gak akan sanggup.Hingga aku melanjutkan kalimatku sebelum Yogi dapat menjawab."Harusnya aku sadar, kalau kamu gak pernah cinta sama aku. Mungkin kamu pernah suka, atau tertarik sama aku. Mungkin beberapa sikap aku cocok untuk kamu yang gak mau direpotkan orang, tapi kamu gak pernah yakin kalau aku adalah orang yang akan kamu cintai sampai tua.Mau seberapa keras aku berusaha untuk bikin kamu yakin pun gak ada guna, karna sebenarnya itu bukan tugas aku untuk yakinin kamu tentang perasaan kamu sendiri.Harusnya sebelum menikah sama aku, kamu harus udah yakin kalau aku adalah wanita yang gampang kamu cintai, yang kesalahannya akan kamu maafkan setelah dengar penjelasan dari aku, dan bukan yang kamu tunggu-tunggu untuk membuat kesalahan supaya bisa langsung kamu ceraikan."You never love me from the first place and I wish I was aware from the beginning.""Dira..."Aku cuma menyunggingkan senyum mengabaikan muka ku yang basah

  • Terpaksa Menikah Dengan Anak Klien Prioritas   Part 12 Terlambat

    Aku terdiam dari seguk tangis.Membiarkan Yogi berjalan dengan gontai dari depan pintuku hingga suara langkahnya menghilang.Mencera kalimatnya yang membuaiku hingga membuka pintu meski terlambat. Yogi sudah gak disana lagi, meninggalkan aku yang bercucur air mata menatap lorong kosong itu.Aku duduk di bangku yang tadi ia duduk, membayangkan posisinya yang duduk disana berjam-jam menungguku membuka pintu. Menangisi ketulusannya yang terasa begitu dekat tapi begitu jauh.Aku tahu aku gak seharusnya berkejar dengan waktu. Prinsipku selalu goyah ketika semua sudah terlambat.Tapi di lain sisi, aku bersyukur karena Yogi sudah pergi sebelum aku membuka pintu dengan penuh air mata dan memeluknya. Membayangkan hal itu saja aku malu, menyedihkan sekali.Biarkan saja aku menangis duduk disini merenungi kepergiannya.Kalau bisa aku tidur saja di bangku yang tadi diduduki Yogi, aku gak mau pindah.Aku gak akan-"Dira."Yogi memanggilku di ujung lorong, memegang sebuah plastik bening yang ku yak

  • Terpaksa Menikah Dengan Anak Klien Prioritas   Part 11 Yogi Datang

    Menimbang-nimbang, apakah sepadan jika aku hancurkan usahaku untuk melupakannya hanya karena satu kata itu?Apa semua akan baik-baik aja kalau aku memberi respon? Selama ini...Aku sudah cukup sabar.Aku mengalah, bahkan ketika Yogi membuatku berada di urutan terakhir dari kepentingannya, aku terima. Semua maaf yang gak pernah aku terima tapi tetap aku maafkan. Saat aku butuh pembelaannya, butuh kata-kata menenangkan darinya, dan yang aku hadapi hanya kesendirian.Berusaha keras agar tidak menjadi beban di tengah beban perkerjaanya hingga aku lupa kalau aku juga manusia, aku punya perasaan. Rasanya sudah cukup sih, aku diperlakukan seperti itu. Aku gak peduli apa yang dia dengar tentangku, dan darimana dia dapat nomor ponsel baruku ini.Alih-alih menjawab Yogi, aku menghubungi Jessica dengan tenang, seolah hatiku tidak baru saja jatuh karena menerima pesan dari mantan suamiku itu.“...Tenang aja, gue gak bilang lo hamil kok.”Seenggaknya, dia hubungin aku bukan karena tau aku hamil.H

  • Terpaksa Menikah Dengan Anak Klien Prioritas   Part 8 I'm Ok, No I'm not Ok

    Hal pertama yang kulakukan adalah menoleh kearah Yogi yang tampak mengusap wajahnya lega. Aku termenung, merasa kalau keputusanku yang tidak egois dan ikhlas melepaskannya berdampakSe-membahagiakan ini terhadap Yogi. Aku tersenyum, mengabaikan air mata yang entah sejak kapan mengalir deras di pipiku.Kalo memang hal ini membuat Yogi kehilangan separuh beban di hidupnya, maka tentu saja aku rela.Pada akhirnya aku menginjakkan kaki lagi ke rumah dan tempat yang paling aku rindukan. Rumah Yogi, mantan suamiku. Awalnya aku ingin sekedar meminta izin untuk mengambil barang-barang yang kemarin belum sempat aku kemas. Aku memang sedang dalam proses mengirim barang ke kota yang akan aku tinggali nanti. Aku gak nyangka kalau Yogi malah menyuruhku mengambil sendiri apa yang aku butuhkan, dan meletakkan kunci di tempat yang dulu sering ku katakan padanya."Mas, aku pergi sama temen. Kunci di pot bunga ya!"Gak menyangka kalau kebiasaan itu malah diteruskan oleh Yogi. Aku duduk sebentar di sofa

  • Terpaksa Menikah Dengan Anak Klien Prioritas   Part 8 Aku Harus Bagaimana?

    Bukan nikah dengan Yogi yang paling aku sesali selama 26 tahun hidup...Tapi keputusanku untuk ngelepasin semuanya, seluruh hidupku dan kegiatanku untuk jadi miliknya secara utuh.Andai saat itu aku gak buta arah, andai saat itu aku gak kemakan bayangan fairytale seperti yang sering aku baca di novel novel romantis, mungkin aku gak akan semenyedihkan ini.Aku gak tau kalau Yogi akan lebih memprioritaskan masa lalunya daripada aku yang berada di masa sekarang, atau bahkan masa depannya kelak.Walau dia udah melarikan aku dari hadapan orang tuanya, aku masih belum bisa berhenti menangis.Dia berdiri bersandar dinding, cuma ngeliatin aku nangis tanpa ngomong apapun kurang lebih sepuluh menit.Tanpa suara, tanpa teriakan histeris, aku meremat gaunku, menunduk berlelehan air mata. Ditemani Yogi malah bikin aku merasa makin sedih, terlebih ini didalam kamar kami, kamar yang dulunya juga kumiliki."Maaf."Aku kaget, tapi mengangguk menerima pernyataan maafnya dengan ikhlas. Aku cuma butuh wak

  • Terpaksa Menikah Dengan Anak Klien Prioritas   Part 7 Surat Perpisahan

    Aku diam, sepanjang bercerita aku memberi point apa saja yang pengen aku tanyakan karena Yogi seperti ingin melewati fakta paling besar dan inti dari segala cerita ini.Seluruh pertanyaan kecilku hilang dan aku hanya ingin menegaskan sesuatu. Hal yang sejak dulu sudah aku rasakan tapi gak berani untuk bener-bener aku tanya.“Gak gitu, aku sama dia udah selesai sebelum aku kenal sama kamu.”“Tetep aja?? Kamu mau bikin mantan kamu cemburu dengan nikah sama aku kan? Kamu marah karena dia aborsi anak kamu dan kamu mau nunjukin kalau kamu bisa jadi ayah yang hebat, iya kan?”Seluruh tuduhanku terdengar berlebihan, tapi kalau siapapun yang berada di posisiku pasti ngerti apa yang aku rasain.Aku seperti perempuan yang di pilih secara acak untuk dinikahi, memberikan anak dan menjadi ajang pembuktian kalau hidup Yogi baik-baik saja.Aku jadi ngerti banget posisiku disini setelah denger cerita Yogi.“...terus kenapa kamu suruh aku ngaku itu testpack aku? Kenapa kamu gak jujur udah ngehamilin a

  • Terpaksa Menikah Dengan Anak Klien Prioritas   Part 7 Cemburu?

    Yogi diam, dengan wajah datarnya mendorong pintu untuk masuk.“Tau dari mana kamar aku? Kok bisa naik?” tanyaku panik. Aku... masih takut sama dia, dan aku cuma pakai Bathrobe.“Kamu pakai debit aku, tinggal tanya ke resepsionis.” Jawabnya cuek.“Aku mau ngomong sebentar doang, gak akan lama-lama disini.”Baguslah. Artinya dia tau kalau aku gak nyaman dengan kehadiran dia disini.Detik berikutnya ada ketukan lagi, kali ini kuyakini adalah obatku. Tapi Yogi yang menghalangi pintu dengan penasaran melihat keluar dan menerima paketnya dengan wajah bingung.“Obat untuk ibu Dira dari dokter Joon, nanti katanya kalau sudah minum obat dokternya kesini untuk periksa.” Sebut petugas itu polos tanpa tahu dengan siapa dia bicara.“...Nanti dokternya kesini lagi buat periksa.” Yogi mengangguk, dia kelewat tenang dengan situasi iniDan hal itu malah bikin aku cemas. Aku cepat-cepat menutup pintu itu tanpa sempat bilang makasih ke petugas, karena sekenal-kenalnya aku dengan Yogi, aku belum pernah be

  • Terpaksa Menikah Dengan Anak Klien Prioritas   Part 6 Pergi

    “Mau kemana? Diajak ngomong kok malah pergi?” Yogi nangkap tangan aku yang buru-buru cuci tangan“Mau pergi dari dapur.”Dari mukanya dia lebih ke bingung daripada marah, tapi muka galaknya tetep gak ilang. Aku yang berhadapan dengan pisau entah kenapa reflek ngambil pisau itu untuk diacungkan kearahnya.Sekedar mengancam supaya Yogi lepasin cengkraman tangannya dari tanganku.“Hah? Kenapa kamu?!”“Stop pegang aku, stop paksa aku ini-itu.”“Siapa yang maksa kamu? Kamu ngomong apa sih?!”Tanpa rasa bersalah dia kebingungan, langkahnya mundur menjaga jarak dari pisau yang kupegang. Konyol sekali emang megang pisau dapur yang pendek dan gampang banget ditepis kalau Yogi mau. Tapi dia masih biarin aku pegang pisau itu tanpa mau bikin aku makin panik.“Explain.”“K-kamu perkosa aku.”Ludahnya tercekat, “K-kapan, Dir?”“Well not technically, tapi kamu tutup mulut aku supaya aku gak bisa minta kamu stop. A-aku takut sama kamu...”Kami saling menatap seperkian detik sampai Yogi maju perlahan,

  • Terpaksa Menikah Dengan Anak Klien Prioritas   Part 5 Promil

    "Kamu mau kabur pun percuma, gak akan aku biarin kamu lepas tangan dari semuanya. You stay here with me, do what i told you to do."Udah pikiran ku bercabang, Yogi juga gak bantuin aku ngarang cerita, eh, dia malah ninggalin aku di Villa sama keluarganya untuk pergi sama papanya mancing seharian.Aku bingung karena cuma di briefing dikit banget tentang kabar 'kehamilan' ini. Cuma bisa senyum canggung pas diajak saudara ipar ku berkumpul di teras villa sambil minum teh.Beberapa candaan jorok mereka membuat mukaku merah sampai telinga!"Hebat juga ya Yogi, baru beberapa bulan udah langsung gol aja. Kirain bakal nunda dulu loh!" ucap kak Shinta yang memang belum memiliki kehendak untuk hamil, begitupun suaminya.Mereka seperti masih pacaran dan mungkin heran kenapa kami terlihat terburu-buru.Dipikir-pikir, iya juga sih.Kalaupun aku hamil beneran, kayaknya emang terlalu cepat. Aku gak ngerti sama permintaan Yogi dan untungnya berani nekat ngambil langkah untuk menunda hal itu secara se

DMCA.com Protection Status