Kalo biasanya aku terlalu formal dan sopan, entah kenapa malem ini aku melihat senyum Yogi tuh beda. Kayak senyum tipis yang flirty gitu. Kalau masalah flirting, aku jagonya. Menyamakan mimik tubuh dengan Yogi yang santai tapi terkesan tertarik, aku sedikit bersandar dikonter meja dapur sembari melintir rambut tipis-tipis.
"Coba Mas tebak."
"Hmm apa yaa, merah?"
Aku naikin alis denger tebakannya yang jauh dari kata benar.
"Kok merah?" Yogi naikin kedua bahunya cuek, "Karena daleman kamu banyak warna merah."
Oke. Aku gak jadi flirting kalo dia bawa-bawa urusan ranjang. Males.
"Yaudah-yaudah, apa jadinya? Orang nanya malah disuruh nebak." Bujuk Yogi yang langsung sadar kalau aku merajuk.
Kesel aja karena dia emang gak tau apa-apa tentang aku selain masalah seks. Kalau urusan itu kayaknya emang dia paling tau, dia pawangnya.
Kenapa ya, orang yang kalau dikantor keliatan serius dan passionate akan kerjanya, ada sisi berbeda yang nakal banget kalau digali?
Apa ini bagian dari stress relieve-nya?
"Ih tauk ah! Pikir aja sendiri." Mungkin kalau di rumah, aku bisa-bisa aja santai dengan etika yang minim begitu. Tapi aku lupa kalau aku di rumah Yogi. Dihadapan Yogi.
"Stop, aku belum selesai ngomong. Gak boleh pergi." Kata-katanya langsung bikin kakiku berhenti melangkah, makin merinding pas aku ngerasa Yogi berdiri dan jalan mendekat ke arah aku.
Gak berani noleh kayak orang bego aku tuh.
"Gak sopan." ucap Yogi dengan nada rendah. Seolah dia yang tadi terbuka, ramah dan santai menghilang ditelan bumi.
"Kalau lagi diajak ngomong baik-baik, respon baik-baik. Mau diperhatiin apa engga?" Ucapannya tegas banget. Lagi-lagi aku salah kira tentang dia. Yogi di kantor dan di rumah ternyata sama. Sama-sama otoriter. Benarlah insting pertama ku dulu yang menganggap dia kayak atasanku disini.
"I-iya, tapikan Mas—"
"Jawab dulu, mau diperhatiin apa enggak?" Potongnya tegas menolak untuk di interupsi.
"Iya mau." suaraku pelan sekali, jatuh dalam kekuasaannya.
"Mau apa? Ngomongnya yang jelas."
"A-aku mau diperhatiin." Sial. kalimat sesederhana itu kok bisa bikin aku malu setengah mati ya?
Dia masih diam, matanya lurus melihat aku kayak lagi marahin anak kecil nakal.
Bikin aku merasa bersalah karena emang tadinya Yogi inisiatif untuk buka obrolan dengan baik-baik, tapi aku malah mau ninggalin dia.
"...mau, aku mau diperhatiin kamu. Please perhatiin aku." dan insting pertama aku cuma bisa ngerengek berharap bisa memelas rasa kasihan Yogi.
Untunglah dia maklum, tangannya naik untuk ngusap kepalaku pelan.
"Yaudah, jangan banyak ngambek makanya, aku gak pintar mujuk orang ngambek."
"Iya-iya maaf." ucapku.
Selanjutnya semua kejadian secara natural aja, Yogi sedikit merentangkan tangannya untuk mengundangku masuk kedalam pelukan. Aku selalu suka sih, dipeluk sama Yogi.
Aku suka hangat dan baunya. Comforting. Belum lagi telapak tangannya yang selalu usap pinggang dan punggungku bergantian.
Tau-tau udah pindah ke kamar aja, gak ngerti, semulus itu gerakan dan rayuan dia. Gak ada ngomong apa-apa, cuma bilang,
"Nanti jangan nangis-nangis kayak semalem ya..." Mukaku merah padam mengingat kejadian itu,
"Ih, aku juga ga nangis kalo Mas gak kuat-kuat!"
Dia senyum sambil nyelipin rambutku kebelakang telinga, "Iya, nanti pelan-pelan."
Aku tuh bingung sebenernya.
Yogi punya hidup yang sempurna, semua berjalan sesuai tatanan sampe aku mikir kalau aku diizinkan hadir cuma sebagai pelengkap tahapan kehidupan dia yang selalu pas dengan timeline.
Kayak gak ada aku juga gak apa-apa.
Totally fine for him.
Aku juga pernah baca kalau laki-laki itu kebanyakan gak menikahi perempuan yang mereka cintai, tapi malah nikah sama perempuan yang pas, dan available di waktu yang tepat.
Dan itu emang bener.
Mustahil kalau dia udah cinta sama aku dalam waktu sesingkat ini. Kalau ada yang bilang dia cinta sama aku, aku juga gak akan percaya.
Tapi aku terima, ini juga kan keputusan aku.
Gak sembarangan pilih juga karena aku tau Yogi punya latar belakang dan masa depan yang bagus.
Dan selama ini kami seolah-olah berusaha menghindari topik tentang saling mencintai karena tahu, kami berdua sama-sama gak tulus.
Tapi...
Tadi malam, aku begitu kebawa suasana.
Janji Yogi untuk memperlakukan aku secara lembut benar-benar dia tepati.
Tanpa sengaja aku ngucapin kalimat keramat itu ditengah permainan, menikmati Yogi memperlakukan aku seperti tuan putri.
"Unghh... Ak-aku cinta kamu."
Sesuatu yang pagi ini bikin aku nyesal dan pengen kubur diri dalem tanah.
Bukannya kenapa-kenapa.
Masalahnya Yogi tidak membalas ucapanku sama sekali, padahal aku berucap tidak sengaja. Aku jadi merasa sedikit malu, seolah aku benar-benar berharap dia pakai hati, disaat sebenarnya aku pasrah saja kalaupun dia gak cinta.
Sampai dia selesai, dia cuma cium kening aku sebentar sambil mengatakan,
"Thankyou, you've made my night."
Omongannya seperti client dan penyedia jasa. Mau marah juga tidak bisa, gak lucu.
Masa aku mau menyalahkan dia yang gak balas ucapan cinta aku!?
Masa aku mau klarifikasi, "Eh semalam itu aku boong, aku gak cinta sama kamu, najis juga nikah sama kamu kalo gak kaya raya." kan gak mungkin.
Keliatan banget dongkolnya kalau aku bahas, apalagi pas bangun Yogi selalu amnesia abis ngapa-ngapain anak orang malemnya.
Gimana bisa aku kabulin permintaan dia untuk cepat punya anak kalau omongan cinta yang gak sengaja aku ucapin aja gak di balas?
Makanya pagi ini aku berusaha banget tampil ceria, tetap senyum sampai Yogi berangkat ke kantor dan jalanin rutinitas ku mengantarkan dia sampai depan gerbang.
"Aku pulang malam, kalau takut main ke rumah mama kamu aja." ucap Yogi sambil menunggu gerbang otomatis kami terbuka sempurna.
Aku mengangguk, bukan pada Yogi, tapi pada sosok tinggi besar yang berjalan santai dengan setelan olahraganya.
Tetangga di ujung jalan kami yang selalu jadi perbincangan ibu-ibu kompleks. Sudah ganteng, suka olahraga, berotot, dokter pula.
"Siapa tuh?" baru kali ini sepertinya Yogi nanyain perihal tetangga sama aku.
"Ha? Kamu gak kenal? Kan duluan kamu tinggal disini, ini tuh rumah kamu Mas."
"Rumah kamu juga." Yogi menghela nafas,
"Jadi itu siapa? Kok dia kenal kamu."
Aku heran sama pertanyaannya, jelas-jelas setelah nikah aku berusaha berbaur disini, menggantikan sosok dia yang sibuk kerja sampai gak bisa sosialisasi.
Sekarang dia seolah tidak senang karena aku kenal tetangganya?
"Loh, emang kenapa? Namanya tetangga ya harus kenal lah."
Mungkin karena nada suaraku cukup naik akibat kekesalanku sejak semalam, Yogi jadi berbalik. Matanya menatapku lurus sampai pintu garasi kami tertutup lagi.
"Kamu sendiri yang bilang kalau aku tinggal disini lebih dulu dari kamu, terus kenapa aku gak kenal dia sementara kamu kenal? Kamu keluyuran? Apa harus aku gembok pagar dari luar tiap aku pergi kerja?" ucapnya penuh amarah.
Stop. Aku harus stop karena emosi yang daritadi aku simpan sekarang sudah melegak sepenuhnya.Tantangan Yogi untuk ribut gak seharusnya aku ladenin karena pasti berujung panjang. Aku gak mau bertengkar cuma karena hal kecil. Lebih-lebih kami berada di teras rumah sekarang.Menarik nafas dalam-dalam, aku telan lagi seluruh kekesalan pagi itu dan mencoba tenang menjawab pertanyaannya."Itu Joon, kalo gak salah namanya itu. Kita cuma pernah papasan beberapa kali pas aku jalan kedepan kompleks. Kita gak pernah ngobrol.”"Nah itu bisa jawab yang bener. Jawab pertanyaan simple aja susah." Gila. Ini orang nyebelin banget.Ada beberapa kemungkinan dia marah. Yang pertama mungkin karena aku jawab pertanyaan dia gak becus, yang kedua karena dia belum percaya kalau aku bisa jaga nama baik dia, yang ketiga agak konyol sih kalau dipikirin, tapi bisa aja Yogi insecure.Ego laki-laki itu tinggi.Dan bisa aja Yogi merasa kalah saing dengan tubuh atletis tetangga kami, karena serutin-rutinnya dia olah
"Kamu mau kabur pun percuma, gak akan aku biarin kamu lepas tangan dari semuanya. You stay here with me, do what i told you to do."Udah pikiran ku bercabang, Yogi juga gak bantuin aku ngarang cerita, eh, dia malah ninggalin aku di Villa sama keluarganya untuk pergi sama papanya mancing seharian.Aku bingung karena cuma di briefing dikit banget tentang kabar 'kehamilan' ini. Cuma bisa senyum canggung pas diajak saudara ipar ku berkumpul di teras villa sambil minum teh.Beberapa candaan jorok mereka membuat mukaku merah sampai telinga!"Hebat juga ya Yogi, baru beberapa bulan udah langsung gol aja. Kirain bakal nunda dulu loh!" ucap kak Shinta yang memang belum memiliki kehendak untuk hamil, begitupun suaminya.Mereka seperti masih pacaran dan mungkin heran kenapa kami terlihat terburu-buru.Dipikir-pikir, iya juga sih.Kalaupun aku hamil beneran, kayaknya emang terlalu cepat. Aku gak ngerti sama permintaan Yogi dan untungnya berani nekat ngambil langkah untuk menunda hal itu secara se
“Mau kemana? Diajak ngomong kok malah pergi?” Yogi nangkap tangan aku yang buru-buru cuci tangan“Mau pergi dari dapur.”Dari mukanya dia lebih ke bingung daripada marah, tapi muka galaknya tetep gak ilang. Aku yang berhadapan dengan pisau entah kenapa reflek ngambil pisau itu untuk diacungkan kearahnya.Sekedar mengancam supaya Yogi lepasin cengkraman tangannya dari tanganku.“Hah? Kenapa kamu?!”“Stop pegang aku, stop paksa aku ini-itu.”“Siapa yang maksa kamu? Kamu ngomong apa sih?!”Tanpa rasa bersalah dia kebingungan, langkahnya mundur menjaga jarak dari pisau yang kupegang. Konyol sekali emang megang pisau dapur yang pendek dan gampang banget ditepis kalau Yogi mau. Tapi dia masih biarin aku pegang pisau itu tanpa mau bikin aku makin panik.“Explain.”“K-kamu perkosa aku.”Ludahnya tercekat, “K-kapan, Dir?”“Well not technically, tapi kamu tutup mulut aku supaya aku gak bisa minta kamu stop. A-aku takut sama kamu...”Kami saling menatap seperkian detik sampai Yogi maju perlahan,
Yogi diam, dengan wajah datarnya mendorong pintu untuk masuk.“Tau dari mana kamar aku? Kok bisa naik?” tanyaku panik. Aku... masih takut sama dia, dan aku cuma pakai Bathrobe.“Kamu pakai debit aku, tinggal tanya ke resepsionis.” Jawabnya cuek.“Aku mau ngomong sebentar doang, gak akan lama-lama disini.”Baguslah. Artinya dia tau kalau aku gak nyaman dengan kehadiran dia disini.Detik berikutnya ada ketukan lagi, kali ini kuyakini adalah obatku. Tapi Yogi yang menghalangi pintu dengan penasaran melihat keluar dan menerima paketnya dengan wajah bingung.“Obat untuk ibu Dira dari dokter Joon, nanti katanya kalau sudah minum obat dokternya kesini untuk periksa.” Sebut petugas itu polos tanpa tahu dengan siapa dia bicara.“...Nanti dokternya kesini lagi buat periksa.” Yogi mengangguk, dia kelewat tenang dengan situasi iniDan hal itu malah bikin aku cemas. Aku cepat-cepat menutup pintu itu tanpa sempat bilang makasih ke petugas, karena sekenal-kenalnya aku dengan Yogi, aku belum pernah be
Aku diam, sepanjang bercerita aku memberi point apa saja yang pengen aku tanyakan karena Yogi seperti ingin melewati fakta paling besar dan inti dari segala cerita ini.Seluruh pertanyaan kecilku hilang dan aku hanya ingin menegaskan sesuatu. Hal yang sejak dulu sudah aku rasakan tapi gak berani untuk bener-bener aku tanya.“Gak gitu, aku sama dia udah selesai sebelum aku kenal sama kamu.”“Tetep aja?? Kamu mau bikin mantan kamu cemburu dengan nikah sama aku kan? Kamu marah karena dia aborsi anak kamu dan kamu mau nunjukin kalau kamu bisa jadi ayah yang hebat, iya kan?”Seluruh tuduhanku terdengar berlebihan, tapi kalau siapapun yang berada di posisiku pasti ngerti apa yang aku rasain.Aku seperti perempuan yang di pilih secara acak untuk dinikahi, memberikan anak dan menjadi ajang pembuktian kalau hidup Yogi baik-baik saja.Aku jadi ngerti banget posisiku disini setelah denger cerita Yogi.“...terus kenapa kamu suruh aku ngaku itu testpack aku? Kenapa kamu gak jujur udah ngehamilin a
Bukan nikah dengan Yogi yang paling aku sesali selama 26 tahun hidup...Tapi keputusanku untuk ngelepasin semuanya, seluruh hidupku dan kegiatanku untuk jadi miliknya secara utuh.Andai saat itu aku gak buta arah, andai saat itu aku gak kemakan bayangan fairytale seperti yang sering aku baca di novel novel romantis, mungkin aku gak akan semenyedihkan ini.Aku gak tau kalau Yogi akan lebih memprioritaskan masa lalunya daripada aku yang berada di masa sekarang, atau bahkan masa depannya kelak.Walau dia udah melarikan aku dari hadapan orang tuanya, aku masih belum bisa berhenti menangis.Dia berdiri bersandar dinding, cuma ngeliatin aku nangis tanpa ngomong apapun kurang lebih sepuluh menit.Tanpa suara, tanpa teriakan histeris, aku meremat gaunku, menunduk berlelehan air mata. Ditemani Yogi malah bikin aku merasa makin sedih, terlebih ini didalam kamar kami, kamar yang dulunya juga kumiliki."Maaf."Aku kaget, tapi mengangguk menerima pernyataan maafnya dengan ikhlas. Aku cuma butuh wak
Hal pertama yang kulakukan adalah menoleh kearah Yogi yang tampak mengusap wajahnya lega. Aku termenung, merasa kalau keputusanku yang tidak egois dan ikhlas melepaskannya berdampakSe-membahagiakan ini terhadap Yogi. Aku tersenyum, mengabaikan air mata yang entah sejak kapan mengalir deras di pipiku.Kalo memang hal ini membuat Yogi kehilangan separuh beban di hidupnya, maka tentu saja aku rela.Pada akhirnya aku menginjakkan kaki lagi ke rumah dan tempat yang paling aku rindukan. Rumah Yogi, mantan suamiku. Awalnya aku ingin sekedar meminta izin untuk mengambil barang-barang yang kemarin belum sempat aku kemas. Aku memang sedang dalam proses mengirim barang ke kota yang akan aku tinggali nanti. Aku gak nyangka kalau Yogi malah menyuruhku mengambil sendiri apa yang aku butuhkan, dan meletakkan kunci di tempat yang dulu sering ku katakan padanya."Mas, aku pergi sama temen. Kunci di pot bunga ya!"Gak menyangka kalau kebiasaan itu malah diteruskan oleh Yogi. Aku duduk sebentar di sofa
Menimbang-nimbang, apakah sepadan jika aku hancurkan usahaku untuk melupakannya hanya karena satu kata itu?Apa semua akan baik-baik aja kalau aku memberi respon? Selama ini...Aku sudah cukup sabar.Aku mengalah, bahkan ketika Yogi membuatku berada di urutan terakhir dari kepentingannya, aku terima. Semua maaf yang gak pernah aku terima tapi tetap aku maafkan. Saat aku butuh pembelaannya, butuh kata-kata menenangkan darinya, dan yang aku hadapi hanya kesendirian.Berusaha keras agar tidak menjadi beban di tengah beban perkerjaanya hingga aku lupa kalau aku juga manusia, aku punya perasaan. Rasanya sudah cukup sih, aku diperlakukan seperti itu. Aku gak peduli apa yang dia dengar tentangku, dan darimana dia dapat nomor ponsel baruku ini.Alih-alih menjawab Yogi, aku menghubungi Jessica dengan tenang, seolah hatiku tidak baru saja jatuh karena menerima pesan dari mantan suamiku itu.“...Tenang aja, gue gak bilang lo hamil kok.”Seenggaknya, dia hubungin aku bukan karena tau aku hamil.H
Seberapa inginpun aku ingin mendengar jawabannya, aku tahu aku gak akan sanggup.Hingga aku melanjutkan kalimatku sebelum Yogi dapat menjawab."Harusnya aku sadar, kalau kamu gak pernah cinta sama aku. Mungkin kamu pernah suka, atau tertarik sama aku. Mungkin beberapa sikap aku cocok untuk kamu yang gak mau direpotkan orang, tapi kamu gak pernah yakin kalau aku adalah orang yang akan kamu cintai sampai tua.Mau seberapa keras aku berusaha untuk bikin kamu yakin pun gak ada guna, karna sebenarnya itu bukan tugas aku untuk yakinin kamu tentang perasaan kamu sendiri.Harusnya sebelum menikah sama aku, kamu harus udah yakin kalau aku adalah wanita yang gampang kamu cintai, yang kesalahannya akan kamu maafkan setelah dengar penjelasan dari aku, dan bukan yang kamu tunggu-tunggu untuk membuat kesalahan supaya bisa langsung kamu ceraikan."You never love me from the first place and I wish I was aware from the beginning.""Dira..."Aku cuma menyunggingkan senyum mengabaikan muka ku yang basah
Aku terdiam dari seguk tangis.Membiarkan Yogi berjalan dengan gontai dari depan pintuku hingga suara langkahnya menghilang.Mencera kalimatnya yang membuaiku hingga membuka pintu meski terlambat. Yogi sudah gak disana lagi, meninggalkan aku yang bercucur air mata menatap lorong kosong itu.Aku duduk di bangku yang tadi ia duduk, membayangkan posisinya yang duduk disana berjam-jam menungguku membuka pintu. Menangisi ketulusannya yang terasa begitu dekat tapi begitu jauh.Aku tahu aku gak seharusnya berkejar dengan waktu. Prinsipku selalu goyah ketika semua sudah terlambat.Tapi di lain sisi, aku bersyukur karena Yogi sudah pergi sebelum aku membuka pintu dengan penuh air mata dan memeluknya. Membayangkan hal itu saja aku malu, menyedihkan sekali.Biarkan saja aku menangis duduk disini merenungi kepergiannya.Kalau bisa aku tidur saja di bangku yang tadi diduduki Yogi, aku gak mau pindah.Aku gak akan-"Dira."Yogi memanggilku di ujung lorong, memegang sebuah plastik bening yang ku yak
Menimbang-nimbang, apakah sepadan jika aku hancurkan usahaku untuk melupakannya hanya karena satu kata itu?Apa semua akan baik-baik aja kalau aku memberi respon? Selama ini...Aku sudah cukup sabar.Aku mengalah, bahkan ketika Yogi membuatku berada di urutan terakhir dari kepentingannya, aku terima. Semua maaf yang gak pernah aku terima tapi tetap aku maafkan. Saat aku butuh pembelaannya, butuh kata-kata menenangkan darinya, dan yang aku hadapi hanya kesendirian.Berusaha keras agar tidak menjadi beban di tengah beban perkerjaanya hingga aku lupa kalau aku juga manusia, aku punya perasaan. Rasanya sudah cukup sih, aku diperlakukan seperti itu. Aku gak peduli apa yang dia dengar tentangku, dan darimana dia dapat nomor ponsel baruku ini.Alih-alih menjawab Yogi, aku menghubungi Jessica dengan tenang, seolah hatiku tidak baru saja jatuh karena menerima pesan dari mantan suamiku itu.“...Tenang aja, gue gak bilang lo hamil kok.”Seenggaknya, dia hubungin aku bukan karena tau aku hamil.H
Hal pertama yang kulakukan adalah menoleh kearah Yogi yang tampak mengusap wajahnya lega. Aku termenung, merasa kalau keputusanku yang tidak egois dan ikhlas melepaskannya berdampakSe-membahagiakan ini terhadap Yogi. Aku tersenyum, mengabaikan air mata yang entah sejak kapan mengalir deras di pipiku.Kalo memang hal ini membuat Yogi kehilangan separuh beban di hidupnya, maka tentu saja aku rela.Pada akhirnya aku menginjakkan kaki lagi ke rumah dan tempat yang paling aku rindukan. Rumah Yogi, mantan suamiku. Awalnya aku ingin sekedar meminta izin untuk mengambil barang-barang yang kemarin belum sempat aku kemas. Aku memang sedang dalam proses mengirim barang ke kota yang akan aku tinggali nanti. Aku gak nyangka kalau Yogi malah menyuruhku mengambil sendiri apa yang aku butuhkan, dan meletakkan kunci di tempat yang dulu sering ku katakan padanya."Mas, aku pergi sama temen. Kunci di pot bunga ya!"Gak menyangka kalau kebiasaan itu malah diteruskan oleh Yogi. Aku duduk sebentar di sofa
Bukan nikah dengan Yogi yang paling aku sesali selama 26 tahun hidup...Tapi keputusanku untuk ngelepasin semuanya, seluruh hidupku dan kegiatanku untuk jadi miliknya secara utuh.Andai saat itu aku gak buta arah, andai saat itu aku gak kemakan bayangan fairytale seperti yang sering aku baca di novel novel romantis, mungkin aku gak akan semenyedihkan ini.Aku gak tau kalau Yogi akan lebih memprioritaskan masa lalunya daripada aku yang berada di masa sekarang, atau bahkan masa depannya kelak.Walau dia udah melarikan aku dari hadapan orang tuanya, aku masih belum bisa berhenti menangis.Dia berdiri bersandar dinding, cuma ngeliatin aku nangis tanpa ngomong apapun kurang lebih sepuluh menit.Tanpa suara, tanpa teriakan histeris, aku meremat gaunku, menunduk berlelehan air mata. Ditemani Yogi malah bikin aku merasa makin sedih, terlebih ini didalam kamar kami, kamar yang dulunya juga kumiliki."Maaf."Aku kaget, tapi mengangguk menerima pernyataan maafnya dengan ikhlas. Aku cuma butuh wak
Aku diam, sepanjang bercerita aku memberi point apa saja yang pengen aku tanyakan karena Yogi seperti ingin melewati fakta paling besar dan inti dari segala cerita ini.Seluruh pertanyaan kecilku hilang dan aku hanya ingin menegaskan sesuatu. Hal yang sejak dulu sudah aku rasakan tapi gak berani untuk bener-bener aku tanya.“Gak gitu, aku sama dia udah selesai sebelum aku kenal sama kamu.”“Tetep aja?? Kamu mau bikin mantan kamu cemburu dengan nikah sama aku kan? Kamu marah karena dia aborsi anak kamu dan kamu mau nunjukin kalau kamu bisa jadi ayah yang hebat, iya kan?”Seluruh tuduhanku terdengar berlebihan, tapi kalau siapapun yang berada di posisiku pasti ngerti apa yang aku rasain.Aku seperti perempuan yang di pilih secara acak untuk dinikahi, memberikan anak dan menjadi ajang pembuktian kalau hidup Yogi baik-baik saja.Aku jadi ngerti banget posisiku disini setelah denger cerita Yogi.“...terus kenapa kamu suruh aku ngaku itu testpack aku? Kenapa kamu gak jujur udah ngehamilin a
Yogi diam, dengan wajah datarnya mendorong pintu untuk masuk.“Tau dari mana kamar aku? Kok bisa naik?” tanyaku panik. Aku... masih takut sama dia, dan aku cuma pakai Bathrobe.“Kamu pakai debit aku, tinggal tanya ke resepsionis.” Jawabnya cuek.“Aku mau ngomong sebentar doang, gak akan lama-lama disini.”Baguslah. Artinya dia tau kalau aku gak nyaman dengan kehadiran dia disini.Detik berikutnya ada ketukan lagi, kali ini kuyakini adalah obatku. Tapi Yogi yang menghalangi pintu dengan penasaran melihat keluar dan menerima paketnya dengan wajah bingung.“Obat untuk ibu Dira dari dokter Joon, nanti katanya kalau sudah minum obat dokternya kesini untuk periksa.” Sebut petugas itu polos tanpa tahu dengan siapa dia bicara.“...Nanti dokternya kesini lagi buat periksa.” Yogi mengangguk, dia kelewat tenang dengan situasi iniDan hal itu malah bikin aku cemas. Aku cepat-cepat menutup pintu itu tanpa sempat bilang makasih ke petugas, karena sekenal-kenalnya aku dengan Yogi, aku belum pernah be
“Mau kemana? Diajak ngomong kok malah pergi?” Yogi nangkap tangan aku yang buru-buru cuci tangan“Mau pergi dari dapur.”Dari mukanya dia lebih ke bingung daripada marah, tapi muka galaknya tetep gak ilang. Aku yang berhadapan dengan pisau entah kenapa reflek ngambil pisau itu untuk diacungkan kearahnya.Sekedar mengancam supaya Yogi lepasin cengkraman tangannya dari tanganku.“Hah? Kenapa kamu?!”“Stop pegang aku, stop paksa aku ini-itu.”“Siapa yang maksa kamu? Kamu ngomong apa sih?!”Tanpa rasa bersalah dia kebingungan, langkahnya mundur menjaga jarak dari pisau yang kupegang. Konyol sekali emang megang pisau dapur yang pendek dan gampang banget ditepis kalau Yogi mau. Tapi dia masih biarin aku pegang pisau itu tanpa mau bikin aku makin panik.“Explain.”“K-kamu perkosa aku.”Ludahnya tercekat, “K-kapan, Dir?”“Well not technically, tapi kamu tutup mulut aku supaya aku gak bisa minta kamu stop. A-aku takut sama kamu...”Kami saling menatap seperkian detik sampai Yogi maju perlahan,
"Kamu mau kabur pun percuma, gak akan aku biarin kamu lepas tangan dari semuanya. You stay here with me, do what i told you to do."Udah pikiran ku bercabang, Yogi juga gak bantuin aku ngarang cerita, eh, dia malah ninggalin aku di Villa sama keluarganya untuk pergi sama papanya mancing seharian.Aku bingung karena cuma di briefing dikit banget tentang kabar 'kehamilan' ini. Cuma bisa senyum canggung pas diajak saudara ipar ku berkumpul di teras villa sambil minum teh.Beberapa candaan jorok mereka membuat mukaku merah sampai telinga!"Hebat juga ya Yogi, baru beberapa bulan udah langsung gol aja. Kirain bakal nunda dulu loh!" ucap kak Shinta yang memang belum memiliki kehendak untuk hamil, begitupun suaminya.Mereka seperti masih pacaran dan mungkin heran kenapa kami terlihat terburu-buru.Dipikir-pikir, iya juga sih.Kalaupun aku hamil beneran, kayaknya emang terlalu cepat. Aku gak ngerti sama permintaan Yogi dan untungnya berani nekat ngambil langkah untuk menunda hal itu secara se