HUSNA
“Nggak bisa. Pokoknya Mama nggak terima dihina dua kali oleh anak sombong itu!” tukas Tante Fitri, bersikeras mengamuk.
“UNA! HUSNA! BUKA PINTUNYA!”
Tante Fitri kembali menggedor pintu.
Aku berdoa semoga Pak RT cepat datang. Mudah-mudahan beliau sudah pulang kerja dan mendengar keributan ini, lalu datang untuk mengamankan situasi.
Tak lama kemudian, doaku terkabul. Namun, bukan Pak RT yang datang, melainkan seorang gadis yang sebaya dengan aku dan Novi. Jangan-jangan dia calon pembeli di tokoku. Waduh, gawat kalau dia berpaling karena ngeri melihat ada ibu-ibu ngamuk di tokoku.
“Tante, permisi. Saya mau masuk ke toko. Tolong jangan menghalangi jalan,” kata gadis itu.
Aku takjub melihat penampilan gadis yang tidak aku kenal itu. Rambutnya panjang dikuncir dengan mengenakan t-shirt, jeans d
KENZO“Antar dia ke mana saja. Pastikan dia tidak terlibat dalam masalah atau … membuat masalah.”Aku mengingat perintah Papi yang begitu jelas menekankan tugasku kali ini. Terkesan remeh seperti tugas membantu Husna. Namun, nyatanya, tugas kali ini tidak semudah itu.Setelah melewati beberapa jalan, aku tiba di sebuah perumahan lama yang berisi rumah-rumah besar bergaya klasik. Dengan santai, aku membawa mobilku melewati pinggir danau buatan yang bersebelahan dengan sebuah lapangan golf.Setelah melewati sebuah belokan, aku tiba di blok yang berisi lebih sedikit rumah namun ukurannya jauh lebih besar. Aku menyusuri jalanan hingga tiba di rumah yang terletak paling ujung. Rumah yang sempat membuatku enggan berkunjung saat masih kecil dulu.Setelah pintu pagar dibukakan untukku, aku membawa mobilku masuk ke dalam. Kemudian turun dan melewati ja
KENZORuma yang Hima maksud adalah Haruma, adik laki-lakinya yang masih SMP. Walaupun Ruma sudah cukup besar, namun di mataku, dia tetap anak-anak. Sehingga jika dia bisa sampai membeli brownies di daerah yang jauh dari rumah dan sekolahnya, itu artinya dia sudah lebih berani dan bukan anak-anak lagi.“Nggak juga. Dia bareng teman sekolahnya. Kebetulan, kakak temannya itu yang punya toko kue itu.”Aku terdiam. Ada apa ini? Kenapa orang-orang di sekitarku seolah terhubung dengan gadis itu? Setelah Vita dan Putri, kini ada Hima yang ternyata sudah memiliki hubungan dengan Husna.Apakah … ini pertanda bahwa aku tidak akan bisa lepas dari Husna? Tidak mungkin!***HUSNAAku menyusun cake stand bersusun empat yang kubeli kemarin. Membutuhkan usaha ekstra untuk menyusun agar benda yang terbuat dari kayu itu bisa tega
KENZOUh, kenapa Husna menatapku seperti itu? Seperti takjub, tapi juga kecewa? Apa yang dia pikirkan?“Kak Kenzo dan Kak Hima … kenal di mana?” tanya Husna padaku dan Hima, sambil menyerahkan brownies yang diinginkan oleh Hima.Ah, itu rupanya! Itulah yang ia pikirkan. Soal hubunganku dengan Hima. Rupanya, kebersamaan kami telah mengganggunya. Entah mengapa, aku agak senang mendengar bahwa Husna terusik dan ingin tahu lebih jauh tentang aku dan Hima.Aku tersenyum tipis saat menyadari bahwa Husna ternyata menganggap bahwa hubunganku dan Hima cukup penting hingga mau bertanya lebih jauh. Tapi senyuman itu buru-buru kuhapus. Aku tidak mau Husna menganggapku aneh. Bahkan, aku juga tidak ingin Husna salah sangka padaku.“Oh, kami sepupuan,” jawab Hima. “Dulu kami berdua sering main bareng. Sekarang, mumpung aku lagi di sini, Ken yang nemenin ke m
HUSNAAku yakin, Kenzo pasti merasa bersalah karena sudah membentak Himawari. Aku juga tidak tahu, mengapa Kenzo mendadak sepanik itu, sampai uring-uringan sendiri. Bahkan, dia sampai lupa membayar brownies yang diinginkan oleh Himawari itu.Tapi nggak apa-apa, deh. Aku ikhlaskan kali ini. Aku harap Kenzo dan Himawari bisa berdamai, tidak ada masalah lagi di antara mereka. Soalnya, mereka ternyata keluarga, ‘kan?Awalnya aku mau bilang, ‘wah dunia sempit banget, ya. Aku juga bisa kenal Kak Himawari karena adik Kak Himawari, Haruma, ternyata teman sekolah Asma, adikku.’Tapi tentu saja tidak jadi. Sebab, Kenzo sudah keburu salah tingkah karena sebab yang tidak bisa aku terka.Diam-diam, dari dalam tokoku, aku menyaksikan perdebatan berlanjut antara Kenzo dan Himawari. Kenzo tampak membujuk Himawari, sementara gadis itu terus saja merajuk.Set
KENZOHima ternyata serius. Cewek yang sudah aku kenal saat kami masih ingusan itu benar-benar membuktikan kata-katanya. Dia menolak untuk diantar jemput lagi olehku!Aku sendiri tidak yakin apakah harus kesal atau gembira atas perkembangan terakhir ini. Kesal karena Hima ternyata tidak benar-benar memaafkan aku. Atau justru gembira karena aku tidak perlu lagi repot-repot mengurusi cewek yang sebenarnya sudah sangat mandiri seperti Husna itu.Eh, keceplosan lagi. Kenapa sih, aku jadi sering mengingat Husna, gadis yang aku tolak untuk menjadi calon istriku?Belum selesai dengan kebingunganku menghadapi Husna, Papi dan Mami malah mentertawakan aku. Kedua orang tuaku itu mengatakan sesuatu yang membuatku semakin bingung. Menjadikan sore di gazebo kediaman kami itu menjadi kurang nyaman untukku. Padahal, niatku ikut duduk di sana adalah untuk bersantai.“Padahal, Papi
Papi dan Mami rupanya menyadari bahwa anak satu-satunya ini sedang bergulat dengan pikirannya sendiri. Papi menepuk bahuku, hingga membuatku agak terlonjak karena kaget.“Kenapa, Nak?” tanya Papi dengan nada khawatir. Di sebelah beliau, Mami ikut menatapku dengan sama khawatirnya.“Ken sebenarnya bingung. Papi dan Mami menjodohkan Ken dengan Husna, tapi juga membolehkan Ken jalan dengan Hima,” jawabku menyuarakan kebingunganku.Hanya itu yang berani kuutarakan. Tak terbayangkan jika aku berani mengatakan apa yang aku pikirkan tentang Putri dan Husna. Tawa orang tuaku bisa-bisa meledak lagi.“Loh, bukannya Mami dan Papi juga membiarkan kamu untuk mencari calon istri pilihanmu sendiri? Jadi, Mami dan Papi tidak mungkin melarang kamu untuk dekat dengan siapa pun, termasuk Hima,” sahut Mami. Justru beliau yang tampak bingung usai mendengar keresahanku. Sama-sama bingun
KENZO“Partyyyy!!! Yeay!!!”Aku pantas merayakannya. Proyek empat milyar pengadaan bantuan mesin tempel bagi nelayan memang bukanlah apa-apa di mata kerajaan bisnis keluargaku. Bahkan kurasa mungkin sebagian anggota keluarga besarku diam-diam menertawakan aku karena menerima proyek ‘receh’ dari pemerintah setempat.Namun bagiku yang baru berusia dua puluh tahun dan akan lulus dua tahun lagi, ini adalah pencapaian besar. Sejak mendirikan perusahaan—dengan bantuan orang tuaku, tentu saja—enam bulan silam, aku lebih banyak berkutat dengan proyek pengadaan bernilai kecil, paling tinggi seratusan juta nilainya. Jadi, tentu saja aku merasa senang dan bangga atas pencapaianku. Baru pertama kali ikut lelang, langsung menang dan mendapatkan proyek milyaran. Masih muda, pula.Siang ini pembayaran dari pemerintah sudah masuk ke rekening perusahaanku. Aku sangat puas karena kerja keras yang dimulai dari mengikuti lelang pengadaan dan menyediakan barang, hingga menyerahkan barang ke pemerintah unt
KENZOApa yang terjadi? Hal terakhir yang aku ingat adalah aku mendadak menginjak rem di sebuah perempatan. Sebab, ada mobil lain yang melintas di depan mobilku.Selanjutnya, ingatanku masih kabur. Aku memang sempat mendengar bunyi tubrukan yang sangat keras saat mobilku menabrak mobil lain itu. Tapi setelah itu, pandanganku gelap. Aku kira, aku tak sadarkan diri setelah tabrakan itu.Saat aku mulai dapat membuka mataku, aku mendengar bunyi klakson mobil yang memekakkan telinga. Kupastikan bunyi itu bukan berasal dari mobilku. Mungkinkah dari mobil yang kutabrak? Dengan kepala pusing, aku mencoba melihat ke depan, untuk melihat situasi saat ini.Saat mendongak itulah, aku melihat sebuah mobil yang sudah ringsek di bagian sampingnya. Kulihat seseorang di belakang kemudi, tampaknya tak sadarkan diri. Kepalanya terkulai menimpa klakson. Ternyata, dari situlah bunyi klakson itu berasal.Selanjutnya, pandanganku berpindah ke mobilku sendiri. Bagian depan mobilku juga ringsek. Tingkat kerus
Papi dan Mami rupanya menyadari bahwa anak satu-satunya ini sedang bergulat dengan pikirannya sendiri. Papi menepuk bahuku, hingga membuatku agak terlonjak karena kaget.“Kenapa, Nak?” tanya Papi dengan nada khawatir. Di sebelah beliau, Mami ikut menatapku dengan sama khawatirnya.“Ken sebenarnya bingung. Papi dan Mami menjodohkan Ken dengan Husna, tapi juga membolehkan Ken jalan dengan Hima,” jawabku menyuarakan kebingunganku.Hanya itu yang berani kuutarakan. Tak terbayangkan jika aku berani mengatakan apa yang aku pikirkan tentang Putri dan Husna. Tawa orang tuaku bisa-bisa meledak lagi.“Loh, bukannya Mami dan Papi juga membiarkan kamu untuk mencari calon istri pilihanmu sendiri? Jadi, Mami dan Papi tidak mungkin melarang kamu untuk dekat dengan siapa pun, termasuk Hima,” sahut Mami. Justru beliau yang tampak bingung usai mendengar keresahanku. Sama-sama bingun
KENZOHima ternyata serius. Cewek yang sudah aku kenal saat kami masih ingusan itu benar-benar membuktikan kata-katanya. Dia menolak untuk diantar jemput lagi olehku!Aku sendiri tidak yakin apakah harus kesal atau gembira atas perkembangan terakhir ini. Kesal karena Hima ternyata tidak benar-benar memaafkan aku. Atau justru gembira karena aku tidak perlu lagi repot-repot mengurusi cewek yang sebenarnya sudah sangat mandiri seperti Husna itu.Eh, keceplosan lagi. Kenapa sih, aku jadi sering mengingat Husna, gadis yang aku tolak untuk menjadi calon istriku?Belum selesai dengan kebingunganku menghadapi Husna, Papi dan Mami malah mentertawakan aku. Kedua orang tuaku itu mengatakan sesuatu yang membuatku semakin bingung. Menjadikan sore di gazebo kediaman kami itu menjadi kurang nyaman untukku. Padahal, niatku ikut duduk di sana adalah untuk bersantai.“Padahal, Papi
HUSNAAku yakin, Kenzo pasti merasa bersalah karena sudah membentak Himawari. Aku juga tidak tahu, mengapa Kenzo mendadak sepanik itu, sampai uring-uringan sendiri. Bahkan, dia sampai lupa membayar brownies yang diinginkan oleh Himawari itu.Tapi nggak apa-apa, deh. Aku ikhlaskan kali ini. Aku harap Kenzo dan Himawari bisa berdamai, tidak ada masalah lagi di antara mereka. Soalnya, mereka ternyata keluarga, ‘kan?Awalnya aku mau bilang, ‘wah dunia sempit banget, ya. Aku juga bisa kenal Kak Himawari karena adik Kak Himawari, Haruma, ternyata teman sekolah Asma, adikku.’Tapi tentu saja tidak jadi. Sebab, Kenzo sudah keburu salah tingkah karena sebab yang tidak bisa aku terka.Diam-diam, dari dalam tokoku, aku menyaksikan perdebatan berlanjut antara Kenzo dan Himawari. Kenzo tampak membujuk Himawari, sementara gadis itu terus saja merajuk.Set
KENZOUh, kenapa Husna menatapku seperti itu? Seperti takjub, tapi juga kecewa? Apa yang dia pikirkan?“Kak Kenzo dan Kak Hima … kenal di mana?” tanya Husna padaku dan Hima, sambil menyerahkan brownies yang diinginkan oleh Hima.Ah, itu rupanya! Itulah yang ia pikirkan. Soal hubunganku dengan Hima. Rupanya, kebersamaan kami telah mengganggunya. Entah mengapa, aku agak senang mendengar bahwa Husna terusik dan ingin tahu lebih jauh tentang aku dan Hima.Aku tersenyum tipis saat menyadari bahwa Husna ternyata menganggap bahwa hubunganku dan Hima cukup penting hingga mau bertanya lebih jauh. Tapi senyuman itu buru-buru kuhapus. Aku tidak mau Husna menganggapku aneh. Bahkan, aku juga tidak ingin Husna salah sangka padaku.“Oh, kami sepupuan,” jawab Hima. “Dulu kami berdua sering main bareng. Sekarang, mumpung aku lagi di sini, Ken yang nemenin ke m
KENZORuma yang Hima maksud adalah Haruma, adik laki-lakinya yang masih SMP. Walaupun Ruma sudah cukup besar, namun di mataku, dia tetap anak-anak. Sehingga jika dia bisa sampai membeli brownies di daerah yang jauh dari rumah dan sekolahnya, itu artinya dia sudah lebih berani dan bukan anak-anak lagi.“Nggak juga. Dia bareng teman sekolahnya. Kebetulan, kakak temannya itu yang punya toko kue itu.”Aku terdiam. Ada apa ini? Kenapa orang-orang di sekitarku seolah terhubung dengan gadis itu? Setelah Vita dan Putri, kini ada Hima yang ternyata sudah memiliki hubungan dengan Husna.Apakah … ini pertanda bahwa aku tidak akan bisa lepas dari Husna? Tidak mungkin!***HUSNAAku menyusun cake stand bersusun empat yang kubeli kemarin. Membutuhkan usaha ekstra untuk menyusun agar benda yang terbuat dari kayu itu bisa tega
KENZO“Antar dia ke mana saja. Pastikan dia tidak terlibat dalam masalah atau … membuat masalah.”Aku mengingat perintah Papi yang begitu jelas menekankan tugasku kali ini. Terkesan remeh seperti tugas membantu Husna. Namun, nyatanya, tugas kali ini tidak semudah itu.Setelah melewati beberapa jalan, aku tiba di sebuah perumahan lama yang berisi rumah-rumah besar bergaya klasik. Dengan santai, aku membawa mobilku melewati pinggir danau buatan yang bersebelahan dengan sebuah lapangan golf.Setelah melewati sebuah belokan, aku tiba di blok yang berisi lebih sedikit rumah namun ukurannya jauh lebih besar. Aku menyusuri jalanan hingga tiba di rumah yang terletak paling ujung. Rumah yang sempat membuatku enggan berkunjung saat masih kecil dulu.Setelah pintu pagar dibukakan untukku, aku membawa mobilku masuk ke dalam. Kemudian turun dan melewati ja
HUSNA“Nggak bisa. Pokoknya Mama nggak terima dihina dua kali oleh anak sombong itu!” tukas Tante Fitri, bersikeras mengamuk.“UNA! HUSNA! BUKA PINTUNYA!”Tante Fitri kembali menggedor pintu.Aku berdoa semoga Pak RT cepat datang. Mudah-mudahan beliau sudah pulang kerja dan mendengar keributan ini, lalu datang untuk mengamankan situasi.Tak lama kemudian, doaku terkabul. Namun, bukan Pak RT yang datang, melainkan seorang gadis yang sebaya dengan aku dan Novi. Jangan-jangan dia calon pembeli di tokoku. Waduh, gawat kalau dia berpaling karena ngeri melihat ada ibu-ibu ngamuk di tokoku.“Tante, permisi. Saya mau masuk ke toko. Tolong jangan menghalangi jalan,” kata gadis itu.Aku takjub melihat penampilan gadis yang tidak aku kenal itu. Rambutnya panjang dikuncir dengan mengenakan t-shirt, jeans d
KENZODua hari ini sangat melelahkan bagiku. Sebab, selain memang banyak hal yang aku lakukan, aku lelah karena terlalu banyak peristiwa dan hal-hal baru yang kutemui.Terutama dalam kehidupan pribadiku. Aku mulai menyadari, mengapa syarat berpoligami itu berat. Baru menebar pesona—eh, jala pada dua orang gadis secara bersamaan saja, aku sudah kelelahan. Bagaimana jika sampai menikah? Apa aku telah salah?Saat sedang merenungi pilihanku, panggilan dari Mami masuk. Aku menepi sejenak untuk mengangkatnya.“Ada apa, Mi?” tanyaku.“Mami dan Papi ada tugas untukmu.”Aku hendak protes karena Mami sepertinya melupakan perjanjian untuk membebaskan aku dari tugas selama aku ‘menebar jala’. Namun, Bang Rano pasti sedang membantu Papi. Sementara Bang Farid sedang cuti. Mami hanya punya seorang asisten, sehingga
KENZOSebenarnya aku bisa menanyakannya pada Mami. Tapi aku sudah tak sabar untuk mengetahuinya. Mumpung orangnya kini tengah bersamaku.“Memangnya kenapa, Kak?”Ya elah, dia malah nanya balik. Aku memutar bola mataku.“Aku mau tahu aja. Kamu ‘kan hidup mandiri setelah orang tuamu meninggal dunia. Sebelumnya kamu pasti tinggal dengan papi—eh, ayah dan ibumu. Masih di kota ini, ‘kan?”Aku menahan diri untuk tidak mengucapkan kata ‘diusir’. Rasanya tidak tega melihat wajahnya menjadi semakin mendung.“Dulu aku dan Asma tinggal di rumah peninggalan Kakek dan Nenek di daerah Kota Lama. Tapi setelah Bapak dan Ibu nggak ada, kami berdua keluar dari sana,” jawabnya pelan.“Kenapa?” tanyaku lagi. Dadaku berdesir saat mendengar daerah tempat tinggalnya yang lama. Di situ