Ketukan pintu kamar yang tergesa membuat Ari dan Lara sontak terbangun sembaru mengusap kedua mata. Mereka baru terlelap saat jam menunjuk ke angka tiga.
Tidur hanya tiga jam bukanlah kebiasaan Lara. Ia kembali tidur dengan membelakangi Ari.
Ari beranjak, lalu membuka pintu setelah menutupkan selimut pada tubuh Lara. Setidaknya, Rendi tak melihat dengan mata kepala telanjang tentang Lara yang terbaring di ranjangnya.
Demi melihat siapa yang menggedor pintu, Ari membelalakkan mata. Ia bahkan tak pernah menyangka bahwa Tarissa akan berkunjung pada pagi hari.
Cepat dilihatnya jam yang masih menunjuk ke angka enam, lalu Ari sigap keluar dan menutup pintu kamarnya.
"Ada apa, Tar?" tanyanya panik. Lekas ditariknya tangan Tarissa hingga menjauh dari pintu kamar.
"Kenapa? Nggak boleh gue ke sini?" Tarissa kembali hendak mendekati kamar Ari, tetapi berhasil dicegah.
"Pindah, Ri," saran Lara yang kini tengah memangku dagu di kabin depan. Prosesi mandi dipercepat Lara setelah adanya insiden tadi. Pun waktu sarapannya yang hilang akibat mencari setelan pakaian yang cocok di lemari Ari."Kagak, Ra. Usaha belum jalan, kerja juga kagak, mau pindah macem mana? Untunglah itu biaya dua kamar udah kulunasin sampek enam bulan ke depan."Ari yang masih terkejut dengan segala tingkah Tarissa hanya menyayangkan sikap si gadis yang terlihat lemah lembut awalnya."Makanya jan ngenilai orang dari penampilannya, aja! Kapok, 'kan, sekarang?" sindir Lara.Sementara itu, di kabin belakang Rendi hanya bisa bergeming seolahi menjadi patung yang tak berarti. Bahkan, sejak ia duduk hingga sampai di UKLAKA tak ada seorang pun yang mengajaknya bicara."Betapa ... malang nasibkuuu," kelakar Rendi saat membuka pintu.Sekonyong-konyong, banyak yang menatap penuh t
"Sejak kapan, Ren?"Sejak Rendi turun dari mobil hingga senja hampir datang, kedua kawannya tak pernah berhenti menanyakan hal-hal mengenai Lara. Belum lagi tentang kedekatan keduanya di kantin saat jam makan siang datang."Apaan, sih, Dim? Nggak bosen apa nanyain itu mulu? Gue yang ngedengerin aja, nih, cuma modal kuping nggak pake gerak itu capek pake banget. Kok elu yang itu mulut kagak berenti tanya. Apa nggak capek?"Kali ini Rendi mulai kesal. Jika sebelumnya ia mencoba untuk lebih sabar, sekarang sudah tiba saatnya untuk bertindak."Ren, bukan masalah capek enggaknya. Ini masalah jiwa dan raga!" Saka bermonolog. Ia mengepal dan mengangkat tangannya hingga setinggi kepala."Kalo kita nggak bisa dapetin Lara, paling nggak kita bisa ngedeketin kawan se-ganknya, Ren! Dia empat serangkai. Itu artinya masih ada tiga cewek cantik dan tajir kek Lara! Masing-masing satu buat kita!"
"Ra, aku Dimas. Ini Saka. Kita temennya Rendi, loh. Temen sejak kecil."Lara tak tertarik untuk sekadar berbasa-basi. Ia punya prioritas sendiri jika bukan karena masalah hati. Ia sudah masuk ke mobil saat Dimas dan Saka hendak membuka percakapan lagi."Yaelah, Ra. Sombong bener. Elu tau nggak, Rendi itu kacung kita. Kalo elu kakak iparnya Rendi, itu berarti elu juga bagian dari kacung kita!"Mendengar celetukan Saka, Dimas pun menyikut lengan sang kawan. Diliriknya pula Rendi yang menatap nyalang. "Ngomong apaan elu, Sak!"Lara yang juga menangkap pengakuan Saka pun akhirnya membuka jendela mobil hingga tak bersisa. Ia sedikit mengangkat badan, lalu mencondongkan diri dan memanggil Saka mendekat. "Itu artinya kita emang beda kelas. Gue kacung kaya raya, sedangkan elu majikan tanpa harta. Jelas?"Sontak saja, Rendi langsung masuk ke belakang kemudi sembari menahan tawa. Cep
"Elu dari mana, Ri?"Pertanyaan Lara yang baru turun dari lantai dua membuat Ari terkesiap. Bak pencuri ayam yang ketahuan belangnya."Cari kerja. Aku juga masih butuh makan, Ra."Lara kian meniti anak tangga sembari melipat tangan di dada. Ia mengernyit heran saat mendengar pernyataan Ari barusan. "Elu yakin? Bukannya kartu kredit masih ada di elu?"Ari mengunci bahasa. Diliriknya tangga dan sela yang menuju ke lantai dua. Ia takut, sosok Rendi mencoba menguping pembicaraan mereka. Ia masih diam sampai pintu kamar terbuka. Dibawanya masuk gadis yang beberapa hari ini membuatnya sedikit gila.Di dalam, ia langsung mengeluarkan kartu kredit yang tertera Lara. Kartu kredit berwarna hitam tanpa batas transaksi yang diimpikan banyak kalangan."Tak kembaliin. Semua sudah kamu turutin. Modal usaha, sama njamin masa depan Rendi itu udah cukup buatku."
Ari mengernyit, memandang Rendi dengan tajam. Dilipatnya tangan di dada sembari menimbang-nimbang."Bener cuma itu alasan koe tanya temen-temennya Lara?"Pertanyaan yang sama sudah dilemar Ari entah untuk yang ke berapa kalinya. Rendi yang sudah menjawab jujur pun enggan menguntai penjabaran."Kalo elu kagak percaya, mending nggak usah tanya!"Rendi kembali merebahkan badan, lantas memeluk bantal guling sembari tak luput tatapannya pada sang kakak. Ari yang bergeming pun membalas pandangan Rendi. Keduanya saling bersitatap, meneguhkan opini masing-masing."Udahlah, Ri! Elu gila, apa? Gue nggak kenal sama mereka. Dimas dan Saka yang tau tentang Eiffor ato apalah itu. Gue nggak peduli. Lagian, gue cuma mau bantuin mereka biar seneng. Itu doang."Kali ini Ari mencebik, lantas mulai melunak dengan mendudukkan diri pada beanbag berukuran besar. "Aku ora gendeng. A
Ari sudah berada di rumah Lara sebelum jam menunjuk ke angka delapan pagi. Tepat seperti instruksi majikannya semalam.Demi mendapat uang dengan cara aman, Ari mau tak mau harus bekerja sebagai asisten rumah tangga yang merangkap banyak jabatan. Begitu menurut penjelasan singkat Lara setelah ia sampai."Aku baru sadar, kalo koe emang mesti sendirian," seloroh Ari tanpa mau menahan jengah."Gue emang selalu sendiri sejak mama pergi."Ari terdiam. Ia baru tahu bahwa gadis yang mulai bertahta dalam hatinya ini begitu kesepian. "Sejak umur?""Delapan," jawab Lara singkat. "Udah, yuk, kita beli seragam kerja elu!"Ari mengernyit heran, lantas mengekori tuannya masuk mobil. "Aku yang nyetir, Ra."Mendengar tawaran Ari, Lara merasa begitu heran. "Ri, jan lupa, elu asisten gue di jam kerja!"Sontak Ari menggaruk kepalanya yan
Pada sebuah klinik perawatan, kini Ari dan Lara menghentikan langkah. Lara sudah mendaftarkan dua nama yang akan melakukan tindakan."Elu butuh vitamin biar seger. Jadi, kita ke sini dulu. Gue juga butuh soalnya."Pernyataan yang membuat Ari makin geleng-geleng kepala. "Aku ini cowok, Ra, mana pantes ikut masuk kek ginian?"Lara melipat tangannya di dada, lantas mulai memasang wajah garang. Matanya meredup, tapi memancarkan aura bak ratu yang ingin dimenangkan. Tatapannya berubah tajam, belum lagi gestur tubuhnya seolah-olah berkata bahwa perintahnya tak dapat ditolak.Sontak saja, Ari yang memang merasa inilah kewajiban sebagai ART yang harus menuruti permintaan majikan, lekas menganggut setuju. "Oke, Nona."Lara menyungging senyum, lantas ikut duduk menunggu giliran. Dikeluarkannya ponsel dari handbag dengan shoulder strap bak kulit ular. Pesan berantai dari Derissca dan Lalita
Lara ternganga. Ditatapnya pria yang telah dinanti selama lima menit terakhir. Pria yang sebelumnya orang yang paling dibenci, kini menjelma menjadi sosok yang dengan lancangnya merajai hati.Ia bersiul, lalu memainkan jemarinya yang saling bertumpu. "Well. Emang dari dulu kalo ada uang pasti abang sayang."Yang dipuji hanya bergeming. Sembari sedikit berpose ia juga memamerkan wajah dan tubuh atletisnya pada Lara."Gini-gini, banyak yang suka sama aku, Ra."Lara mencebik, tetapi juga tak menolak pernyataan Ari. Ia mengitari asisten rumah tangganya yang baru. Sembari menganggut ia menelisik tiap sudut yang mungkin bisa menjadi cela. Sayangnya, hingga Ari jengah, Lara tak menemukan apa-apa."Oke. Kita balik!"Ari yang sudah lelah menemani Lara seharian di pusat perbelanjaan pun hanya bisa menurut dan mengekor. Ia bahkan tak bisa percaya, sosok sombong nan arog