Ari mengernyit, memandang Rendi dengan tajam. Dilipatnya tangan di dada sembari menimbang-nimbang.
"Bener cuma itu alasan koe tanya temen-temennya Lara?"
Pertanyaan yang sama sudah dilemar Ari entah untuk yang ke berapa kalinya. Rendi yang sudah menjawab jujur pun enggan menguntai penjabaran.
"Kalo elu kagak percaya, mending nggak usah tanya!"
Rendi kembali merebahkan badan, lantas memeluk bantal guling sembari tak luput tatapannya pada sang kakak. Ari yang bergeming pun membalas pandangan Rendi. Keduanya saling bersitatap, meneguhkan opini masing-masing.
"Udahlah, Ri! Elu gila, apa? Gue nggak kenal sama mereka. Dimas dan Saka yang tau tentang Eiffor ato apalah itu. Gue nggak peduli. Lagian, gue cuma mau bantuin mereka biar seneng. Itu doang."
Kali ini Ari mencebik, lantas mulai melunak dengan mendudukkan diri pada beanbag berukuran besar. "Aku ora gendeng. A
Ari sudah berada di rumah Lara sebelum jam menunjuk ke angka delapan pagi. Tepat seperti instruksi majikannya semalam.Demi mendapat uang dengan cara aman, Ari mau tak mau harus bekerja sebagai asisten rumah tangga yang merangkap banyak jabatan. Begitu menurut penjelasan singkat Lara setelah ia sampai."Aku baru sadar, kalo koe emang mesti sendirian," seloroh Ari tanpa mau menahan jengah."Gue emang selalu sendiri sejak mama pergi."Ari terdiam. Ia baru tahu bahwa gadis yang mulai bertahta dalam hatinya ini begitu kesepian. "Sejak umur?""Delapan," jawab Lara singkat. "Udah, yuk, kita beli seragam kerja elu!"Ari mengernyit heran, lantas mengekori tuannya masuk mobil. "Aku yang nyetir, Ra."Mendengar tawaran Ari, Lara merasa begitu heran. "Ri, jan lupa, elu asisten gue di jam kerja!"Sontak Ari menggaruk kepalanya yan
Pada sebuah klinik perawatan, kini Ari dan Lara menghentikan langkah. Lara sudah mendaftarkan dua nama yang akan melakukan tindakan."Elu butuh vitamin biar seger. Jadi, kita ke sini dulu. Gue juga butuh soalnya."Pernyataan yang membuat Ari makin geleng-geleng kepala. "Aku ini cowok, Ra, mana pantes ikut masuk kek ginian?"Lara melipat tangannya di dada, lantas mulai memasang wajah garang. Matanya meredup, tapi memancarkan aura bak ratu yang ingin dimenangkan. Tatapannya berubah tajam, belum lagi gestur tubuhnya seolah-olah berkata bahwa perintahnya tak dapat ditolak.Sontak saja, Ari yang memang merasa inilah kewajiban sebagai ART yang harus menuruti permintaan majikan, lekas menganggut setuju. "Oke, Nona."Lara menyungging senyum, lantas ikut duduk menunggu giliran. Dikeluarkannya ponsel dari handbag dengan shoulder strap bak kulit ular. Pesan berantai dari Derissca dan Lalita
Lara ternganga. Ditatapnya pria yang telah dinanti selama lima menit terakhir. Pria yang sebelumnya orang yang paling dibenci, kini menjelma menjadi sosok yang dengan lancangnya merajai hati.Ia bersiul, lalu memainkan jemarinya yang saling bertumpu. "Well. Emang dari dulu kalo ada uang pasti abang sayang."Yang dipuji hanya bergeming. Sembari sedikit berpose ia juga memamerkan wajah dan tubuh atletisnya pada Lara."Gini-gini, banyak yang suka sama aku, Ra."Lara mencebik, tetapi juga tak menolak pernyataan Ari. Ia mengitari asisten rumah tangganya yang baru. Sembari menganggut ia menelisik tiap sudut yang mungkin bisa menjadi cela. Sayangnya, hingga Ari jengah, Lara tak menemukan apa-apa."Oke. Kita balik!"Ari yang sudah lelah menemani Lara seharian di pusat perbelanjaan pun hanya bisa menurut dan mengekor. Ia bahkan tak bisa percaya, sosok sombong nan arog
Lara memaku pandang pada sosok yang tengah memaki dari kejauhan. Ia masih berusaha untuk tak tersulut emosi demi tak terciptanya perang. Sembari menyendoki makan, ia terus menatap awas."Mau gabung?" tanya Ari.Demi mendengar tawaran Ari pada Tarissa, sontak saja Lara menendang kaki pegawai barunya. Sementara Ari, ia merasa tak sedang diberi banyak pilihan hingga harus menawarkan bangku untuk diduduki Tarissa."Elu nggak punya malu, ya, Ri?" Pertanyaan Tarissa terdengar hingga ke seluruh ruang restoran. Kompak, para pengunjung pun memerhatikan ketiganya.Ari yang sadar akan tatapan banyak orang pun langsung menarik kursi, meminta Tarissa untuk duduk bersama. Sementara Lara, ia enggan bersuara. Melihat situasi yang tak diinginkan, bagus baginya untuk menguasai keadaan."Minum dulu, Tar. Kita bisa, kok, ngomong baik-baik." Ari menyodorkan air jeruk dingin miliknya.
Melihat bidikan kamera yang dikirim Lara pada ruang obrolan grup Asix, sontak saja Derisca dan Lalita terperangah. Keduanya bahkan tak mampu mempercayai kemampuan penglihatannya."Kalian makan bertiga? Makan nasi Padang?" ketik Derisca cepat.Tak perlu dinanti, balasan Lalita tak kalah mengejutkan. "Gue mesti mandi kembang tujuh rupa."Melihat dua kawan yang memberi respons selain terkait Tarissa pun Lara mencebik. Diletakkannya ponsel dalam hand bag.Meski setengah porsi nasinya dilahap Ari, Lara rupanya masih terlalu dini untuk menyimpulkan ia kebanyakan mendapat kudapan. Terlebih, emosinya yang meningkat pun mempengaruhi selera makan yang terbilang cukup mengejutkan.Tarissa hanya menyeringai. Ia sama sekali tak menyentuh apa pun selain air jeruk dingin yang disodorkan Ari. Matanya masih terus menelisik tiap sudut lekukan si pria di seberangnya.Seme
Lalita sudah menunggu di rumah Lara, sejak dua jam yang lalu. Ditemani Derisca, duo Asix itu mulai melempar tanya tanpa tahu hendak menuntut jawab pada siapa."Gue nggak yakin dia beneran makan itu makanan. Menurut elu?" tanya Lalita membuka percakapan. Sejam lebih keduanya menunggu di rumah Lara. Kunci cadangan yang memang khusus dipegang Lalita membuat keduanya bisa leluasa masuk tanpa harus menunggu sang empunya datang."Gue juga. Mungkin itu piring si Ari sama Tarissa. Tapi, ngeliat Tarissa yang nggak nyelipin rambut ke belakang telinga, keknya dia nggak makan. Bener nggak, sih?""Jadi, menurut elu, Lara bener-bener makan itu makanan penuh lemak?" Lalita menggeleng pelan. Ia bahkan enggan memercayai hal ini.Deru mobil terdengar memasuki halaman depan rumah Lara hingga dua sejoli tadi langsung beranjak. "Kalian ke mana, aja? Kita nungguin lumayan lama."Lara mengernyit,
Rendi baru saja tiba di UKLAKA saat mobil Lara mulai masuk ke depan pintu pagar. Mengingat Ari tak pulang semalam, membuatnya lekas mengejar untuk mendapat informasi aktual.Sayangnya, saat mobil telah terhenti tepat di samping aula utama, pada parkiran khusus orang-orang penting di sana, bukan Lara yang turun. Sosok itu tak pernah dilihat Rendi sebelumnya. Ia mendekat, demi melihat pada kabin yang lain."Cari siapa, lu?" tanya Lalita."Ari. Eh, maksud gue, Lara ke mana?"Mendengar dua nama disebut bersamaan, sontak Lalita mendekat. "Elu siapa?""Gue Rendi. Adiknya Ari. Di mana Ari?"Lalita terkesiap. Tampang keduanya tak sama. Dilihatnya Rendi dari ujung kaki hingga kepala. "Gue nggak yakin elu adiknya.""Tanya aja sama Lara. Ari ke mana? Lara?"Melihat tingkah Rendi yang tampak akrab dengan Lara, Lalita pun me
"Ngapain di sini?"Pertanyaan pertama yang dilempar Lara setelah melihat sosok Rendi berada di kamarnya. Ia menatap, begitu nyalang. Seolah-olah tengah menangkap basah seorang pencuri atau bahkan kriminal lainnya."Gue nungguin," ujar Rendi. Dagunya diangkat sebentar."Nungguin gue?" tanya Lara penuh penekanan."Lah, ngapain juga gue nungguin elu? Itu, tuh. Gue nungguin Ari!"Sontak saja, Lara mengalihkan pandang pada posisi kanan ranjang. Di sampingnya, Ari tampak tidur pulas dengan wajah pucat pasi.Perlahan lengan Lara mendekat hingga mendarat di kening Ari. Namun, cepat pula ia kembali menarik diri. "Panas."Lalita yang mendengar percakapan Rendi dan Lara dari luar pun segera masuk. "Gue yang nyuruh Rendi mindahin Ari ke dalem. Di luar dingin, Ra. Kesian. Pagi tadi, dia menggigil. Mungkin, panasnya nggak turun semaleman."