Lalita sudah menunggu di rumah Lara, sejak dua jam yang lalu. Ditemani Derisca, duo Asix itu mulai melempar tanya tanpa tahu hendak menuntut jawab pada siapa.
"Gue nggak yakin dia beneran makan itu makanan. Menurut elu?" tanya Lalita membuka percakapan. Sejam lebih keduanya menunggu di rumah Lara. Kunci cadangan yang memang khusus dipegang Lalita membuat keduanya bisa leluasa masuk tanpa harus menunggu sang empunya datang.
"Gue juga. Mungkin itu piring si Ari sama Tarissa. Tapi, ngeliat Tarissa yang nggak nyelipin rambut ke belakang telinga, keknya dia nggak makan. Bener nggak, sih?"
"Jadi, menurut elu, Lara bener-bener makan itu makanan penuh lemak?" Lalita menggeleng pelan. Ia bahkan enggan memercayai hal ini.
Deru mobil terdengar memasuki halaman depan rumah Lara hingga dua sejoli tadi langsung beranjak. "Kalian ke mana, aja? Kita nungguin lumayan lama."
Lara mengernyit,
Rendi baru saja tiba di UKLAKA saat mobil Lara mulai masuk ke depan pintu pagar. Mengingat Ari tak pulang semalam, membuatnya lekas mengejar untuk mendapat informasi aktual.Sayangnya, saat mobil telah terhenti tepat di samping aula utama, pada parkiran khusus orang-orang penting di sana, bukan Lara yang turun. Sosok itu tak pernah dilihat Rendi sebelumnya. Ia mendekat, demi melihat pada kabin yang lain."Cari siapa, lu?" tanya Lalita."Ari. Eh, maksud gue, Lara ke mana?"Mendengar dua nama disebut bersamaan, sontak Lalita mendekat. "Elu siapa?""Gue Rendi. Adiknya Ari. Di mana Ari?"Lalita terkesiap. Tampang keduanya tak sama. Dilihatnya Rendi dari ujung kaki hingga kepala. "Gue nggak yakin elu adiknya.""Tanya aja sama Lara. Ari ke mana? Lara?"Melihat tingkah Rendi yang tampak akrab dengan Lara, Lalita pun me
"Ngapain di sini?"Pertanyaan pertama yang dilempar Lara setelah melihat sosok Rendi berada di kamarnya. Ia menatap, begitu nyalang. Seolah-olah tengah menangkap basah seorang pencuri atau bahkan kriminal lainnya."Gue nungguin," ujar Rendi. Dagunya diangkat sebentar."Nungguin gue?" tanya Lara penuh penekanan."Lah, ngapain juga gue nungguin elu? Itu, tuh. Gue nungguin Ari!"Sontak saja, Lara mengalihkan pandang pada posisi kanan ranjang. Di sampingnya, Ari tampak tidur pulas dengan wajah pucat pasi.Perlahan lengan Lara mendekat hingga mendarat di kening Ari. Namun, cepat pula ia kembali menarik diri. "Panas."Lalita yang mendengar percakapan Rendi dan Lara dari luar pun segera masuk. "Gue yang nyuruh Rendi mindahin Ari ke dalem. Di luar dingin, Ra. Kesian. Pagi tadi, dia menggigil. Mungkin, panasnya nggak turun semaleman." 
Lara bergeming. Ia masih tak habis pikir bahwa Tarissa berbuat sejauh ini. Ia bahkan tak pernah menduga, bahwa kawannya itu akan mengincar hal lain selain Ari."Jadi gimana?"Pertanyaan Lalita kian membuat Lara berpikir keras. Ia bahkan tak lagi peduli dengan sosok pria yang mulai mengerjap.Ari menatap Lalita dan Lara secara bergantian. Meski baru bangun dan membuka mata, ia telah mendengar semua cerita yang diurai."Dia cuma sakit hati karena ngerasa dikhianati." Ari menjeda kalimatnya saat dua gadis itu menatapnya serius. "Solusinya ya cuma dengan cara nyembuhin hati."Lalita menjentikkan jemarinya di hadapan Lara. "Intinya, balikin Ari buat nyegah dia biar nggak macem-macem!"Ari mengangguk, lalu mulai duduk saya baru sadar rencana yang dilontarkan Lalita. "Eh, bukan itu juga maksudku!"Lara membingkai wajahnya, lalu menatap Ari lekat
Rendi dan Ari baru saja tiba saat jam menunjuk ke angka sepuluh. Perjalanan yang tak memakan banyak waktu membuat keduanya lebih cepat sampai ke tempat yang dituju.Ari telah merebahkan tubuh, sembari sesekali membingkai dagu. "Aku seganteng ini, ta, tibakno?"Rendi yang mendengar monolog Ari pun mencebik. "Nggak usah bangga. Mereka berantem gegara elu. Harusnya elu nggak boleh lari, Ri."Ari hanya mendecih. Mau saja jika ia mengumpati sang adik tiri, tetapi ia masih ingin berpikir jernih. Jika ia menceritakan semuanya, sama saja ia membuko borok sendiri."Aku cuma nggak mau jadi kambing congek, Rend. Dioper sana, oper sini. Nggak semua yang keliatannya gampang itu beneran mudah. Adakalanya, kita juga mesti nolak yang namanya jalan pintas.""Jadi sekarang udah beneran sadar? Ato cuma karena si Lara?"Ari menggeleng, lalu diraihnya air mineral dalam kemasan ya
"Ra, mending elu ngomong lagi sama Ari. Dari cerita elu, gue yakin dia juga suka sama elu."Lara masiu terlihat mondar-mandir sembari mengigit ujung kukunya bergantian. "Ini bukan masalah sukanya, Ta. Ini tentang nyawa. Tarissa Udai berbuat sejauh ini. Dan itu yang bikin Ari nolak! Bukan cuma gegara apa.""Elu tau apa kelemahan Ari. Jadi seenggaknya elu bisa neken dia sebentar, Ra."Lara menggeleng, enggan mengikuti saran dari sang kawan. "Enggak segampang itu. Gue kenal Ari. Dia orang yang berpegang teguh sama apa yang dia mau.""Termasuk kalo elu yang jadi taruhannya?" Pertanyaan Derisca membuat Lara dan Lalita mendelik heran."Elu ngomong apa, Der?" Kini, Lalita menuntut jawab."Kalo suka, dia pasti nggak rela Lara kenapa-kenapa. Kalo Ari nggak mau, itu tandanya dia nggak suka sama elu, Ra."Lara mengangguk. Derisca benar. "Tapi ini bu
"Ari! Ngapain di sini?" Lalita tak habis pikir. Pria di depannya itu masih dalam kondisi buruk saat pulang tadi, tetapi kini ia telah kembali duduk di sofa dudukan tiga."Tak pikir-pikir, mending aku bantuin kalian."Lalita menepuk dahinya pelan. Ia menyayangkan sikap Ari yang terlambat mengambil keputusan, tapi juga berterimakasih karena telah bersedia berkontribusi untuk menyatukan Eiffor."Ini bukan apa-apa. Maksudku, aku gini ya karena nggak suka aja ada yang betengkar gegara aku. Jangan kepedean, ya!"Ari menekankan kalimat terakhirnya, berharap ada sosok lain yang menimpali. Ia celingukan saat tak mendapat sahutan."Lara pergi."Sontak, Ari bangkit. Lantas berjalan menuju ke kamar Lara di lantai dua. Benar saja. Kosong. Bahkan tak ada siapa pun kini."Ke mana?""Kafe Ungu. Dia ketemuan sama Tarissa."&nbs
Ari telah sampai di kafe Ungu, tetapi dua perempuan itu sama sekali tak terlihat batang hidungnya. Telah berulang kali ia menyisir demi memastikan memang tak tertinggal sesenti pun. Sayangnya, mereka memang tak ada di sana.Ari frustrasi. Ia duduk di salah satu sofa berpunggung tinggi. Ia lelah. Bahkan keringat telah memandikan dirinya di siang yang terik ini.Sontak, Ari ingat. Daripada harus mencari bukankah lebih baik menghubungi? Lantas, dipanggilnya nomor Tarissa berulangkali. Sayangnya, nomor itu berada di luar koneksi.Ari menyugar rambutnya dengan gusar. Ia tak lagu tahu harus bagaimana sekarang. Perlahan tapi pasti, ia mulai tertawa. Lantas, meminta minuman untuk melegakan kerongkongan.Sementara itu, Lara telah ditawan oleh Tarissa. Diikatnya sang kawan pada kaki-kaki meja. Kedua tangannya bebas, tapi tak akan mampu meraih tali temali untuk meloloskan diri.Lara paling
Ari makin frustrasi, tetapi ia menyadarkan diri untuk tak minum minuman beralkohol tinggi. Ia butuh kendali penuh atas dirinya sendiri untuk berpikir jernih.Hingga sebuah panggilan menuntut jawab. Ia melirik ponselnya. Tarissa.Tanpa aba-aba, Ari menerima panggilan itu setelah meredakan gejolak dalam dadanya yang bertalu. "Iya, Tar?""Elu di mana, Ri?"Ari berpikir sejenak. Beruntung, kafe ini tak sedang riuh tamunya hingga tak menunjukkan eksistensi yang akan terdengar ke seberang sana. "Di rumah. Kenapa, Tar?"Lama keduanya dipasung senyap. Dada Ari berdetak lebih cepat, membuatnya kian tumpat. Ia tak tahu bagaimana kondisi Lara yang mungkin berada di tangan Tarissa."Hei? Kalo nggak ngomong matiin aja."Ari mencoba memancing. Ia memikirkan cara lain. Mungkin ada jalan ke luar dari permasalahan ini tanpa harus menceburkan diri ke luban
Lara baru saja tiba setelah mengadakan pertemuan terkait dengan usaha baru yang akan dirintis olehnya, saat ponselnya berdering keras. Dilihatnya nama pada layar ponsel, Montir Bastard.Ia tergelak sebentar. Memang inginnya nama Ari tak dirubah. Ia berharap itu akan menjadi kenangan berharga.Lekas diangkatnya perminaan vidio call dari sang kekasih. Lantas, sembari membuka blazer diharapkannya ponsel dengan bantuan bantal sebagai sanggahan."Kenapa?" tanya Lara, menuntut."Lah! Ditelepon tanya kenapa. Salam dulu, kek. Sayang-sayangan dulu gitu," jawab Ari di seberang. "Keknya lagi sibuk bener, ya? Empat hari enggak ketemu jadi miss you mss you."Mendengar pelafalan bahasa Inggris Ari yang fasih tetapi direka cadel, tentu membuat Lara terbahak. Apalagi keduanya memang belum sempat bertemu sejak pertemuan terakhir mereka."Iya, ya? Tapi enggak apa, gue sibuk bu
Pelan, Ari berjalan masuk ke gedung salah satu pencakar langit di Jakarta. Beberapa kali, matanya mengawasi sekitar. Lantas, ia berhenti tepat di meja penerima tamu."Ada yang bisa kami bantu?"Ari tergemap. Lantas, ia mengutarakan maksudnya datang ke sana. "Saya mau bertemu dengan Pak Bachtiar, Mbak."Sang resepsionis pun mengernyit, lantas menatap tajam pada Ari. "Anda sudah buat janji temu?"Ari menggeleng. "Harus, ya?""Bapak Bachtiar tidak menerima tamu sembarang, Pak. Usahakan punya janji temu dulu, ya."Sudah tiga hari ini, Ari selalu mendatangi salah satu kantor pusat permainan ternama. Bukan untuk mendapat pekerjaan, tetapi ia ingin bertemu langsung dengan ayahnya Lara.Sudah berulang kali ia mencoba menelepon, meminta janji temu untuk sang calon mertua. Akan tetapi, ia ditolak mentah-mentah saat ditanya maksud tujuannya.
"Ren, bisa ngomong sebentar?"Pintu diketuk Ari pelan, lantas tak lama suara anak kunci diputar pun terdengar. Rendi yang merasa aneh dengan tingkah sang kakak langsung menyadari ada hal yang ingin dibicarakan."Ada apa, sih? Kalo elu sopan gini, gue jadi takut."Ari terkekeh sebentar, lantas ia mengambil duduk pada bean bag terdekat. Diambilnya pula berkas-berkas yang sudah dilipat dalam saku hoodienya."Beberapa hal yang enggak bisa kita kuasai kadang bikin kita marah sama keadaan. Marah sama kenyataan. Aku ... sama."Rendi mengernyit, lantas mencondongkan tubuhnya ke arah sang kakak. "Enggak usah berbelit-belit, Ri. Ngomong aja. Kek sama siapa, aja! Elu mau nikahin Lara? Atau mau jadiin gue bridesman?"Rendi mengulum senyumnya. Ia tahu betul, jika suasana melow dari Ari membawa kabar buruk. Maka dari itu, ia berusaha untuk mencairkan suasana.
"Maksud elu gimana?"Demi melihat Lara yang menanap, Ari pun beranjak. Ia juga tengah terkejut dengan fakta yang ada. Belum lagi mengenai ucapan Supri yang kian membuat Ari bingung bukan kepalang."Aku juga enggak ngerti, Ra."Ari mengambil beberapa berkas dari tas selempangnya. Lantas, diberikannya pada Lara tanpa ragu.Perlahan, Lara membuka berkas yang ada. Untuk sejenak, ia memejam. Lantas, menarik Ari untuk duduk di sampingnya. "Ini bukan salah elu ataupun Rendi. Ini adalah takdir. Sekuat apa pun elu nolak, tetap saja ini adalah akhirnya."Ari menggeleng, lalu meraih gambar yang pernah dilihatnya di ponsel Tarissa. "Ini Tarissa. Orang yang sebelumnya nganggep aku kebahagiaannya. Terus, tiba-tiba aku hadir dan ngomong, aku kakakmu. Gila!"Lara mencengkeram lengan Ari lantas menatapnya lekat-lekat. "Katakan saja pada Rendi. Bagaimanapun juga, Rendi harus t
Di dalam kamar, Rendi, Ari dan Lara tengah sarapan bersama. Beberapa kali candaan dilempar kala tahu Rendi tengah melakukan aksi mukbang secara live pada penonton setianya: Lalita.Rendi yang tahan malu pun tak mengindahkan cibiran sang kakak dan Lara. Meski begitu, Lalita yang juga melakukan hal yang sama ingin segera mengakhiri panggilan."Jangan gitu, Ta, biarin aja wis kalian saling mukbang. Dan gue di sini sama Ari saling nyindirin kalian! Ha ha ha!"Lalita telah memerah wajahnya di depan kamera, sedangkan Rendi tak ingin acara saban paginya rusak gara-gara Lara."Mending elu pergi dah dari sini, Ra! Gangguin aja!"Mendengar dirinya diusir, Lara pun berkacak pinggang. "Hello! Ini kamar cowok gue! Harusnya elu yang minggat!""Lah, cuma cowok, 'kan? Belum jadi suami, kan? Gue yang lebih berhak!" jawab Rendi sekenanya."Lah, elu siapany
Lara sedang mengadakan pertemuan penting di salah satu anak perusahaan yang dikelolanya bersama Eiffor. Dari sana, ia akan mendapat banyak relasi demi menciptakan usaha Ari yang baru. Beberapa pengusaha setuju bekerja sama. Mulai dari kontraktor hingga bagian periklanan. Beberapa kali, Lara melirik ponselnya yang terus bergetar. Meksi begitu, bagaimanapun juga ia harus mengabaikan. Pertemuan itu lebih penting dari segalanya. Terlebih, untuk membangun masa depannya bersama Ari di kemudian hari. Usai meeting, Lara langsung menelepon balik sang kekasih. Kali ini, bukan hanya penggilannya yang tak dijawab. Ponsel Ari pun tak lagi dapat dihubungi. Lara cemas, dengan cepat ia berlari menuruni anak tangga menuju ke parkiran. Dilajukannya mobil berwarna hijau metalik dengan tergesa. Ada perasaan tak nyaman yang kini berkelindan. Apalagi, sebelumnya Ari ta
Ari baru saja tiba di rumah lamanya. Esok adalah hari di mana ia akan kembali ke sana. Ke tempat di mana ia dibesarkan bersama Rendi dengan belas kasih banyak tetangga.Sesekali, ia mengenang kilas kejadian yang memilukan. Tentang kematian orang-orang terkasih, bahkan ibunya yang pergi setelah meninggalkannya di rumah Bunda Diana.Pelan, diambilnya beberapa paket sembako yang sedari tadi ada di sekitar kakinya. Ia mengayun langkah tegas, pada rumah-rumah yang dulu pernah menjadi tempat singgah lapar mendera.Usai mengucap salam, wanita paruh baya membual pintu sembari mengulas senyum yang terkembang. "Ari? Ada apa, Nak? Sini, masuk!"Ari menggeleng sembari mengulas senyum. Lekas, diberikannya kontener kecil berisi banyak kebutuhan dapur. "Buat njenengan, Bu. Maaf kalo cuma bisa ngasih ini. In Syaa Allah, akan lebih sering ngasih."Melihat kontener besar yang dibawa Ari, wanita it
Sudah sehari setelah kedatangannya kembali ke Jakarta, saat Ari duduk bersisian di warung kopi tak jauh dari Fiterus Asikin. Bersama kawannya, ia terus berbincang tanpa kenal waktu lagi."Kukira, wakmu sudah lupa aku, Su! Udahlah enggak pernah main, eh nomormu enggak bisa dihubungi. Kenapa?"Ari tergelak sebentar, lantas menuang kopi pada lepek. Bersama, Supri, Ari mampu menjadi sosok yang selama ini selau dipendam jati dirinya."Gimana? Wis dapet laba?"Mendengar pertanyaan Supri, sontak Ari terbahak. "Bati opo? Emang jual beli pake tanya laba segala?"Ari terbahak, begitu pula Supri. Lantas, bersamaan keduanya menyesap kopi dari lepek."Enak koe, Su! Pantes dulu sering bayarin aku. Saiki gimana?" tanya Supri. Ia mencomot satu gorengan yang ada di tengah meja."Enggak gimana-gimana. Lagi mau bikin usaha aku. Biar selevel sama Lara. Palin
Lara baru saja tiba di rumahnya, saat ponselnya berdering nyaring. Ia mengedar pandang pada sosok yang ada di balik punggungnya."Masuk, sana!" titah Ari. Ia mengantar kepulangan Lara menggunakan taksi dalam jaringan.Lara mengangguk, lantas melambaikan tangannya. Tepat sebelum ia masuk ke rumah, Lara mengangkat panggilan dari orang-orang yang dipercayai mengurus segala sesuatu tentang usaha yang Ari impikan.Hanya dengan menajamkan pendengaran, Lara tahu betul mobil yang ditumpangi Ari telah pergi. Cepat, ia membuka pagar dan masuk rumah."Ada apa, Pak?" tanya Lara, antusias."Begini, Nona. Tentang perizinan dan sebagainya sudah keluar. Semua sudah beres. Jadi, kita bisa segera memulai pembangunan."Mendengar ucapan sang tangan kanan, tentu saja Lara semringah. Tanpa sadar ia melompat girang. Lantas, segera masuk ke kamar.Ia terla