"Ari! Ngapain di sini?" Lalita tak habis pikir. Pria di depannya itu masih dalam kondisi buruk saat pulang tadi, tetapi kini ia telah kembali duduk di sofa dudukan tiga.
"Tak pikir-pikir, mending aku bantuin kalian."
Lalita menepuk dahinya pelan. Ia menyayangkan sikap Ari yang terlambat mengambil keputusan, tapi juga berterimakasih karena telah bersedia berkontribusi untuk menyatukan Eiffor.
"Ini bukan apa-apa. Maksudku, aku gini ya karena nggak suka aja ada yang betengkar gegara aku. Jangan kepedean, ya!"
Ari menekankan kalimat terakhirnya, berharap ada sosok lain yang menimpali. Ia celingukan saat tak mendapat sahutan.
"Lara pergi."
Sontak, Ari bangkit. Lantas berjalan menuju ke kamar Lara di lantai dua. Benar saja. Kosong. Bahkan tak ada siapa pun kini.
"Ke mana?"
"Kafe Ungu. Dia ketemuan sama Tarissa."
&nbs
Ari telah sampai di kafe Ungu, tetapi dua perempuan itu sama sekali tak terlihat batang hidungnya. Telah berulang kali ia menyisir demi memastikan memang tak tertinggal sesenti pun. Sayangnya, mereka memang tak ada di sana.Ari frustrasi. Ia duduk di salah satu sofa berpunggung tinggi. Ia lelah. Bahkan keringat telah memandikan dirinya di siang yang terik ini.Sontak, Ari ingat. Daripada harus mencari bukankah lebih baik menghubungi? Lantas, dipanggilnya nomor Tarissa berulangkali. Sayangnya, nomor itu berada di luar koneksi.Ari menyugar rambutnya dengan gusar. Ia tak lagu tahu harus bagaimana sekarang. Perlahan tapi pasti, ia mulai tertawa. Lantas, meminta minuman untuk melegakan kerongkongan.Sementara itu, Lara telah ditawan oleh Tarissa. Diikatnya sang kawan pada kaki-kaki meja. Kedua tangannya bebas, tapi tak akan mampu meraih tali temali untuk meloloskan diri.Lara paling
Ari makin frustrasi, tetapi ia menyadarkan diri untuk tak minum minuman beralkohol tinggi. Ia butuh kendali penuh atas dirinya sendiri untuk berpikir jernih.Hingga sebuah panggilan menuntut jawab. Ia melirik ponselnya. Tarissa.Tanpa aba-aba, Ari menerima panggilan itu setelah meredakan gejolak dalam dadanya yang bertalu. "Iya, Tar?""Elu di mana, Ri?"Ari berpikir sejenak. Beruntung, kafe ini tak sedang riuh tamunya hingga tak menunjukkan eksistensi yang akan terdengar ke seberang sana. "Di rumah. Kenapa, Tar?"Lama keduanya dipasung senyap. Dada Ari berdetak lebih cepat, membuatnya kian tumpat. Ia tak tahu bagaimana kondisi Lara yang mungkin berada di tangan Tarissa."Hei? Kalo nggak ngomong matiin aja."Ari mencoba memancing. Ia memikirkan cara lain. Mungkin ada jalan ke luar dari permasalahan ini tanpa harus menceburkan diri ke luban
Ari baru saja tiba ke kosnya saat ponselnya berdering nyaring memekakkan telinga. Pelan, diangkatnya nama yang tertera di layar. Tarissa."Baru juga tadi ketemu. Ada apa lagi?"Entah mengapa, euforia dalam hatinya berbeda dengan saat Lara yang menghubungi. Tak ada degup yang dirasa menyenangkan saat mendapati nama Tarissa di layar ponselnya."Elu siap-siap, ya. Besok, mau atau enggak elu mesti pindah dari sana. Gue udah nyiapin semua yang elu butuhin. Jam 7 pagi."Ari menghela napas panjang. Kali ini, ia yang menjadi korban atas keterpaksaan. Inikah karma instan di dunia?"Iya."Seketika panggilan telepon terputus begitu saja. Direbahkannya diri ke ranjang, lantas mengingat betapa beberapa hari terakhir ini adalah yang paling menyenangkan momentnya selama mengenal Lara.Ia merubah posisi tidurnya hingga miring ke arah tempat yang biasa di
Jam sudah menunjuk angka tujuh saat Ari sudah mengemasi barangnya. Biarlah ia pergi sendiri, tanpa memberitahu Tarissa bahwa ia punya adik tiri.Ponselnya menyalak, menuntut jawab sang empunya. Nama Lara yang tertera di layar membuat Ari bersusah payah menahan rasa ingin menyapa.Ia gamang, ia takut, setelah mendengar suara dari seberang telepon keputusannya malah terganggu. Ia tak akan mampu menolak jika Lara nantinya memberi perintah atau lebih tepatnya meminta untuk menggagalkan rencananya.Ari mengaktifkan fitur diam setelah dering panggilan dari Lara berhenti karena diabaikan. Ia kembali duduk sembari menyesap dalam-dalam lintingan tembakau. Tiba-tiba saja, bayang akan tubuh Lara memenuhi benak.Tentang tato bunga di pinggulnya, mengenai peluh yang menetes membasahi rahang, atau perihal tengkuknya yang menggoda. Ari ingat betul tiap moment yang dihabiskannya bersama Lara selama ini. 
"Minggir!"Teriakan Ari membuat Tarissa goyah, ia membanting setir ke kanan hingga mobil menaiki pembatas jalan. Sementara itu, truk besar yang berjalan dari arah timur juga melewati pembatas jalan hingga masuk pada jalur yang berbeda.Tabrakan tak bisa dielakkan. Debuman terdengar memecah kebisingan. Ari dan Tarissa bergeming menatap kaca cembung mobil, menyaksikan kejadian yang hampir merenggut nyawa keduanya.Tarissa tergelak. Tawanya penuh dengan teka-teki misteri yang tak mampu diurai. Ari bergidik.Beberapa warga banyak yang mengabadikan kejadian itu. Mirisnya, meski pos polisi berada di dua ujung jalan tersebut, tak ada petugas yang langsung menuju ke TKP.Tak lama, salah satu petugas datang melihat keadaan Ari dan Tarissa. Mereka yang masih terkejut, tak bisa berbuah banyak. Setelah turun dari mobil, keduanya di bawa ke pos jaga demi dimintai keterangan.
Ari dan Tarissa baru saja masuk ke kamar yang telah disewa. Kamar keduanya berhadapan dalam satu lorong yang sama.Ari yang sudah mendapat perawatan pertama setelah petugas kesehatan datang, langsung merebahkan badan. Dihelanya napas dalam-dalam saat tiba-tiba ingatannya melayang pada sosok Lara.Jam masih menunjuk ke angka lima lebih. Semburat jingga hampir memenuhi langit. Memberi efek terang yang begitu menakjubkan.Ia hampir masuk ke kamar mandi saat ponselnya menyalak, menuntut dijawab. Dilihatnya layar ponsel sekali lalu menggeser ikon gagang telepon warna merah. Nama Lara jelas tercetak di sana. Namun, ia enggan untuk mengangkat.Sudah pasti, akan ada puluhan tanya yang dilempar Lara tanpa ampunan. Ia tahu pasti, tanyanya tak akan terhenti sampai jawab terpenuhi. Namun tidak untuk kali ini.Ari telah membulatkan tekad. Ia ingin menebus kesalahannya di masa silam. Kali ini,
Lara mencak-mencak bak anak sapi kehilangan induknya. Dibuangnya banyak barang demi melegakan tiap sesak yang bercokol dalam dadanya.Lalita yang menyaksikan betapa hancur sang kawan hanya bisa diam. Bukan salahnya jik Lara harus kembali merasa begitu hancur karen kehilangan. "Ra, jan nyakitin diri sendiri," pintanya, lirih.Lara hanya bisa melirik tajam. Rencananya bahkan hampir berhasil jika Ari tak muncul bak seorang pahlawan yang tak diharapkan. "Elu yang nelpon dia, Ta?"Buru-buru Lalita menggeleng kuat. Ia menampik karena memang bukan ia yang menghubungi. "Sumpah, Ra. Elu tau sendiri gue nggak bisaan. Kalo elu udah ngomong jangan, mana bisa gue ngeiyain. Dia datang sendiri ke sini."Mendengar jawaban Lalita, Lara hanya mendenkus pelan. Salahnya, ia tak melarang Lalita untuk membeberkan ke mana ia pergi atau rencana apa yang ia lakukan. "Tapi elu yang ngasih tau rencana kita, Ta. Sama aja!
Lalita baru saja merasa tenang saat Lara mampu menekan emosinya, ketika mendapat kabar buruk dari Derisca. Sekuat tenaga, ia mengalihkan perhatian Lara agar tak membuka saluran berita.Bukan tanpa sebab. Di berbagai saluran, telah disiarkan kecelakaan kecil yang menimpa pasangan yang berasal dari Jakarta. Mobilnya hampir saja ditabrak trus bermuatan lebih dari kapasitas hingga membuatnya oleng dan lepas kendali laju kendaraan.Beruntung, mobil yang ditumpangi keduanya bisa menghindari tabrakan. Kendatipun demikian, mereka tetap mengalami laka lantas. Mobil ternama itu naik ke pembatas jalan hingga membentur tiang pohon yang lumayan besar. Sementara itu, truk tadi telah oleng ke kiri hingga tabrakan beruntun tak dapat dielak lagi.Lalita terus mondar-mandir di depan televisi sembari membawa pengendali jarak jauhnya, sedangkan Lara kian tak mengerti apa yang sedang dilakukan sahabatnya."Elu ngapain, s