Ari baru saja tiba ke kosnya saat ponselnya berdering nyaring memekakkan telinga. Pelan, diangkatnya nama yang tertera di layar. Tarissa.
"Baru juga tadi ketemu. Ada apa lagi?"
Entah mengapa, euforia dalam hatinya berbeda dengan saat Lara yang menghubungi. Tak ada degup yang dirasa menyenangkan saat mendapati nama Tarissa di layar ponselnya.
"Elu siap-siap, ya. Besok, mau atau enggak elu mesti pindah dari sana. Gue udah nyiapin semua yang elu butuhin. Jam 7 pagi."
Ari menghela napas panjang. Kali ini, ia yang menjadi korban atas keterpaksaan. Inikah karma instan di dunia?
"Iya."
Seketika panggilan telepon terputus begitu saja. Direbahkannya diri ke ranjang, lantas mengingat betapa beberapa hari terakhir ini adalah yang paling menyenangkan momentnya selama mengenal Lara.
Ia merubah posisi tidurnya hingga miring ke arah tempat yang biasa di
Jam sudah menunjuk angka tujuh saat Ari sudah mengemasi barangnya. Biarlah ia pergi sendiri, tanpa memberitahu Tarissa bahwa ia punya adik tiri.Ponselnya menyalak, menuntut jawab sang empunya. Nama Lara yang tertera di layar membuat Ari bersusah payah menahan rasa ingin menyapa.Ia gamang, ia takut, setelah mendengar suara dari seberang telepon keputusannya malah terganggu. Ia tak akan mampu menolak jika Lara nantinya memberi perintah atau lebih tepatnya meminta untuk menggagalkan rencananya.Ari mengaktifkan fitur diam setelah dering panggilan dari Lara berhenti karena diabaikan. Ia kembali duduk sembari menyesap dalam-dalam lintingan tembakau. Tiba-tiba saja, bayang akan tubuh Lara memenuhi benak.Tentang tato bunga di pinggulnya, mengenai peluh yang menetes membasahi rahang, atau perihal tengkuknya yang menggoda. Ari ingat betul tiap moment yang dihabiskannya bersama Lara selama ini. 
"Minggir!"Teriakan Ari membuat Tarissa goyah, ia membanting setir ke kanan hingga mobil menaiki pembatas jalan. Sementara itu, truk besar yang berjalan dari arah timur juga melewati pembatas jalan hingga masuk pada jalur yang berbeda.Tabrakan tak bisa dielakkan. Debuman terdengar memecah kebisingan. Ari dan Tarissa bergeming menatap kaca cembung mobil, menyaksikan kejadian yang hampir merenggut nyawa keduanya.Tarissa tergelak. Tawanya penuh dengan teka-teki misteri yang tak mampu diurai. Ari bergidik.Beberapa warga banyak yang mengabadikan kejadian itu. Mirisnya, meski pos polisi berada di dua ujung jalan tersebut, tak ada petugas yang langsung menuju ke TKP.Tak lama, salah satu petugas datang melihat keadaan Ari dan Tarissa. Mereka yang masih terkejut, tak bisa berbuah banyak. Setelah turun dari mobil, keduanya di bawa ke pos jaga demi dimintai keterangan.
Ari dan Tarissa baru saja masuk ke kamar yang telah disewa. Kamar keduanya berhadapan dalam satu lorong yang sama.Ari yang sudah mendapat perawatan pertama setelah petugas kesehatan datang, langsung merebahkan badan. Dihelanya napas dalam-dalam saat tiba-tiba ingatannya melayang pada sosok Lara.Jam masih menunjuk ke angka lima lebih. Semburat jingga hampir memenuhi langit. Memberi efek terang yang begitu menakjubkan.Ia hampir masuk ke kamar mandi saat ponselnya menyalak, menuntut dijawab. Dilihatnya layar ponsel sekali lalu menggeser ikon gagang telepon warna merah. Nama Lara jelas tercetak di sana. Namun, ia enggan untuk mengangkat.Sudah pasti, akan ada puluhan tanya yang dilempar Lara tanpa ampunan. Ia tahu pasti, tanyanya tak akan terhenti sampai jawab terpenuhi. Namun tidak untuk kali ini.Ari telah membulatkan tekad. Ia ingin menebus kesalahannya di masa silam. Kali ini,
Lara mencak-mencak bak anak sapi kehilangan induknya. Dibuangnya banyak barang demi melegakan tiap sesak yang bercokol dalam dadanya.Lalita yang menyaksikan betapa hancur sang kawan hanya bisa diam. Bukan salahnya jik Lara harus kembali merasa begitu hancur karen kehilangan. "Ra, jan nyakitin diri sendiri," pintanya, lirih.Lara hanya bisa melirik tajam. Rencananya bahkan hampir berhasil jika Ari tak muncul bak seorang pahlawan yang tak diharapkan. "Elu yang nelpon dia, Ta?"Buru-buru Lalita menggeleng kuat. Ia menampik karena memang bukan ia yang menghubungi. "Sumpah, Ra. Elu tau sendiri gue nggak bisaan. Kalo elu udah ngomong jangan, mana bisa gue ngeiyain. Dia datang sendiri ke sini."Mendengar jawaban Lalita, Lara hanya mendenkus pelan. Salahnya, ia tak melarang Lalita untuk membeberkan ke mana ia pergi atau rencana apa yang ia lakukan. "Tapi elu yang ngasih tau rencana kita, Ta. Sama aja!
Lalita baru saja merasa tenang saat Lara mampu menekan emosinya, ketika mendapat kabar buruk dari Derisca. Sekuat tenaga, ia mengalihkan perhatian Lara agar tak membuka saluran berita.Bukan tanpa sebab. Di berbagai saluran, telah disiarkan kecelakaan kecil yang menimpa pasangan yang berasal dari Jakarta. Mobilnya hampir saja ditabrak trus bermuatan lebih dari kapasitas hingga membuatnya oleng dan lepas kendali laju kendaraan.Beruntung, mobil yang ditumpangi keduanya bisa menghindari tabrakan. Kendatipun demikian, mereka tetap mengalami laka lantas. Mobil ternama itu naik ke pembatas jalan hingga membentur tiang pohon yang lumayan besar. Sementara itu, truk tadi telah oleng ke kiri hingga tabrakan beruntun tak dapat dielak lagi.Lalita terus mondar-mandir di depan televisi sembari membawa pengendali jarak jauhnya, sedangkan Lara kian tak mengerti apa yang sedang dilakukan sahabatnya."Elu ngapain, s
Sudah dua jam Lara menyibukkan diri di tepi kolam renang. Bikininya yang basah oleh keringat tak membuatnya urung melakoni olah raga malam. Bukan tanpa sebab. Pikiran yang penuh dengan tekanan membuatnya harus mau tak mau membuang banyak toksin demi mendapat hormon kesenangan. Dengan begitu, rasa cemas, gundah, dan semacamnya akan turut hilang dibawa peluh yang menetes ke luar."Ra, udah lama. Elu nggak mau minum dulu, apa? Udah mo tengah malem ini."Lalita bergidik ngeri kala lorong rumah Lara yang didominasi warna natural oak dan hitam itu terasa menyeramkan kala malam datang. Sinar bulan yang penuh kian menambah kesan horor yang mencekam."Tidur duluan, sana. Gue masih mau treadmill lagi."Lalita mencoba menenangkan debat jantung yang kian tak keruan. Pelan, ia mencoba beranjak dari beanbag yang diambilnya dari tepian kolam. Namun, saat ia melihat lorong yang akan membawanya ke tangga di samping r
"Pak, aku mau ini rumah jadi hunian minimalis natural, ya. Bikin seolah-olah ada dua rumah yang disatukan. Jadikan dua lantai. Inget, mereka laki semua. Jadi, pilihan warna yang lebih dominan ke gentle. Hitung semua bersama furniture-nya. Kirim tagihan ke sini. Ok."Jam masih menunjuk ke angka dua pagi saat Lara mengirim pesan audio pada Pak Patrick. Seorang kontraktor ternama yang punya banyak karya. Gedung-gedung pencakar langit di dua kota terbesar Indonesia telah dihandle olehnya.Begitu pula mengenai hunian-hunian mewah di tengah kota besar. Belum algi gedung olah raga, perpustakaan, bahkan restoran tak luput dari bakat yang ia punya.Lara pun tertidur sembari memegangi ponselnya, berharap Pak Patrick segera membalasnya. Sayang, hingga pagi datang menjelang ia bekum juga mendapat balasan. "Lagi banyak tender keknya," gumam Lara sendiri.Ia tertidur begitu gumaman usai dilafalkan. Matahari terasa
Pagi sudah beranjak saat Tarissa mengetuk pintu di seberang kamarnya. Sudah sepuluh menit berlalu, tapi Ari tak kunjung mau membuka pintu.Tarissa mendengkus, lantas berjalan ke arah restoran di area depan. Perutnya sudah lapar sejak bangun tadi. Badannya yang pegal-pegal juga memberinya efek lapar yang berlebih."Pasti gegara kemaren ini. Padahal nggak beneran kena tabrak. Tapi, berasa sakit semua."Ia mulai memesan makanan sesuai selera. Makanan western yang tak tinggi gula. Meski Tarissa tak mampu mengontrol jajanan, ia bisa lebih ketat pada makanan pokoknya. Mengganti nasi dengan karbo rendah gluten misalnya.Sembari melahap makanan yang disajikan, Tarissa mengedar pandang pada jalanan yang tak pernah sepi lalu lalang kendaraan. Beberapa wara setempat juga terlihat sedang lari pagi, bersepeda, atau bahkan berswafoto dengan latar jalan Tunjungan.Tarissa masih menikmati potato
Lara baru saja tiba setelah mengadakan pertemuan terkait dengan usaha baru yang akan dirintis olehnya, saat ponselnya berdering keras. Dilihatnya nama pada layar ponsel, Montir Bastard.Ia tergelak sebentar. Memang inginnya nama Ari tak dirubah. Ia berharap itu akan menjadi kenangan berharga.Lekas diangkatnya perminaan vidio call dari sang kekasih. Lantas, sembari membuka blazer diharapkannya ponsel dengan bantuan bantal sebagai sanggahan."Kenapa?" tanya Lara, menuntut."Lah! Ditelepon tanya kenapa. Salam dulu, kek. Sayang-sayangan dulu gitu," jawab Ari di seberang. "Keknya lagi sibuk bener, ya? Empat hari enggak ketemu jadi miss you mss you."Mendengar pelafalan bahasa Inggris Ari yang fasih tetapi direka cadel, tentu membuat Lara terbahak. Apalagi keduanya memang belum sempat bertemu sejak pertemuan terakhir mereka."Iya, ya? Tapi enggak apa, gue sibuk bu
Pelan, Ari berjalan masuk ke gedung salah satu pencakar langit di Jakarta. Beberapa kali, matanya mengawasi sekitar. Lantas, ia berhenti tepat di meja penerima tamu."Ada yang bisa kami bantu?"Ari tergemap. Lantas, ia mengutarakan maksudnya datang ke sana. "Saya mau bertemu dengan Pak Bachtiar, Mbak."Sang resepsionis pun mengernyit, lantas menatap tajam pada Ari. "Anda sudah buat janji temu?"Ari menggeleng. "Harus, ya?""Bapak Bachtiar tidak menerima tamu sembarang, Pak. Usahakan punya janji temu dulu, ya."Sudah tiga hari ini, Ari selalu mendatangi salah satu kantor pusat permainan ternama. Bukan untuk mendapat pekerjaan, tetapi ia ingin bertemu langsung dengan ayahnya Lara.Sudah berulang kali ia mencoba menelepon, meminta janji temu untuk sang calon mertua. Akan tetapi, ia ditolak mentah-mentah saat ditanya maksud tujuannya.
"Ren, bisa ngomong sebentar?"Pintu diketuk Ari pelan, lantas tak lama suara anak kunci diputar pun terdengar. Rendi yang merasa aneh dengan tingkah sang kakak langsung menyadari ada hal yang ingin dibicarakan."Ada apa, sih? Kalo elu sopan gini, gue jadi takut."Ari terkekeh sebentar, lantas ia mengambil duduk pada bean bag terdekat. Diambilnya pula berkas-berkas yang sudah dilipat dalam saku hoodienya."Beberapa hal yang enggak bisa kita kuasai kadang bikin kita marah sama keadaan. Marah sama kenyataan. Aku ... sama."Rendi mengernyit, lantas mencondongkan tubuhnya ke arah sang kakak. "Enggak usah berbelit-belit, Ri. Ngomong aja. Kek sama siapa, aja! Elu mau nikahin Lara? Atau mau jadiin gue bridesman?"Rendi mengulum senyumnya. Ia tahu betul, jika suasana melow dari Ari membawa kabar buruk. Maka dari itu, ia berusaha untuk mencairkan suasana.
"Maksud elu gimana?"Demi melihat Lara yang menanap, Ari pun beranjak. Ia juga tengah terkejut dengan fakta yang ada. Belum lagi mengenai ucapan Supri yang kian membuat Ari bingung bukan kepalang."Aku juga enggak ngerti, Ra."Ari mengambil beberapa berkas dari tas selempangnya. Lantas, diberikannya pada Lara tanpa ragu.Perlahan, Lara membuka berkas yang ada. Untuk sejenak, ia memejam. Lantas, menarik Ari untuk duduk di sampingnya. "Ini bukan salah elu ataupun Rendi. Ini adalah takdir. Sekuat apa pun elu nolak, tetap saja ini adalah akhirnya."Ari menggeleng, lalu meraih gambar yang pernah dilihatnya di ponsel Tarissa. "Ini Tarissa. Orang yang sebelumnya nganggep aku kebahagiaannya. Terus, tiba-tiba aku hadir dan ngomong, aku kakakmu. Gila!"Lara mencengkeram lengan Ari lantas menatapnya lekat-lekat. "Katakan saja pada Rendi. Bagaimanapun juga, Rendi harus t
Di dalam kamar, Rendi, Ari dan Lara tengah sarapan bersama. Beberapa kali candaan dilempar kala tahu Rendi tengah melakukan aksi mukbang secara live pada penonton setianya: Lalita.Rendi yang tahan malu pun tak mengindahkan cibiran sang kakak dan Lara. Meski begitu, Lalita yang juga melakukan hal yang sama ingin segera mengakhiri panggilan."Jangan gitu, Ta, biarin aja wis kalian saling mukbang. Dan gue di sini sama Ari saling nyindirin kalian! Ha ha ha!"Lalita telah memerah wajahnya di depan kamera, sedangkan Rendi tak ingin acara saban paginya rusak gara-gara Lara."Mending elu pergi dah dari sini, Ra! Gangguin aja!"Mendengar dirinya diusir, Lara pun berkacak pinggang. "Hello! Ini kamar cowok gue! Harusnya elu yang minggat!""Lah, cuma cowok, 'kan? Belum jadi suami, kan? Gue yang lebih berhak!" jawab Rendi sekenanya."Lah, elu siapany
Lara sedang mengadakan pertemuan penting di salah satu anak perusahaan yang dikelolanya bersama Eiffor. Dari sana, ia akan mendapat banyak relasi demi menciptakan usaha Ari yang baru. Beberapa pengusaha setuju bekerja sama. Mulai dari kontraktor hingga bagian periklanan. Beberapa kali, Lara melirik ponselnya yang terus bergetar. Meksi begitu, bagaimanapun juga ia harus mengabaikan. Pertemuan itu lebih penting dari segalanya. Terlebih, untuk membangun masa depannya bersama Ari di kemudian hari. Usai meeting, Lara langsung menelepon balik sang kekasih. Kali ini, bukan hanya penggilannya yang tak dijawab. Ponsel Ari pun tak lagi dapat dihubungi. Lara cemas, dengan cepat ia berlari menuruni anak tangga menuju ke parkiran. Dilajukannya mobil berwarna hijau metalik dengan tergesa. Ada perasaan tak nyaman yang kini berkelindan. Apalagi, sebelumnya Ari ta
Ari baru saja tiba di rumah lamanya. Esok adalah hari di mana ia akan kembali ke sana. Ke tempat di mana ia dibesarkan bersama Rendi dengan belas kasih banyak tetangga.Sesekali, ia mengenang kilas kejadian yang memilukan. Tentang kematian orang-orang terkasih, bahkan ibunya yang pergi setelah meninggalkannya di rumah Bunda Diana.Pelan, diambilnya beberapa paket sembako yang sedari tadi ada di sekitar kakinya. Ia mengayun langkah tegas, pada rumah-rumah yang dulu pernah menjadi tempat singgah lapar mendera.Usai mengucap salam, wanita paruh baya membual pintu sembari mengulas senyum yang terkembang. "Ari? Ada apa, Nak? Sini, masuk!"Ari menggeleng sembari mengulas senyum. Lekas, diberikannya kontener kecil berisi banyak kebutuhan dapur. "Buat njenengan, Bu. Maaf kalo cuma bisa ngasih ini. In Syaa Allah, akan lebih sering ngasih."Melihat kontener besar yang dibawa Ari, wanita it
Sudah sehari setelah kedatangannya kembali ke Jakarta, saat Ari duduk bersisian di warung kopi tak jauh dari Fiterus Asikin. Bersama kawannya, ia terus berbincang tanpa kenal waktu lagi."Kukira, wakmu sudah lupa aku, Su! Udahlah enggak pernah main, eh nomormu enggak bisa dihubungi. Kenapa?"Ari tergelak sebentar, lantas menuang kopi pada lepek. Bersama, Supri, Ari mampu menjadi sosok yang selama ini selau dipendam jati dirinya."Gimana? Wis dapet laba?"Mendengar pertanyaan Supri, sontak Ari terbahak. "Bati opo? Emang jual beli pake tanya laba segala?"Ari terbahak, begitu pula Supri. Lantas, bersamaan keduanya menyesap kopi dari lepek."Enak koe, Su! Pantes dulu sering bayarin aku. Saiki gimana?" tanya Supri. Ia mencomot satu gorengan yang ada di tengah meja."Enggak gimana-gimana. Lagi mau bikin usaha aku. Biar selevel sama Lara. Palin
Lara baru saja tiba di rumahnya, saat ponselnya berdering nyaring. Ia mengedar pandang pada sosok yang ada di balik punggungnya."Masuk, sana!" titah Ari. Ia mengantar kepulangan Lara menggunakan taksi dalam jaringan.Lara mengangguk, lantas melambaikan tangannya. Tepat sebelum ia masuk ke rumah, Lara mengangkat panggilan dari orang-orang yang dipercayai mengurus segala sesuatu tentang usaha yang Ari impikan.Hanya dengan menajamkan pendengaran, Lara tahu betul mobil yang ditumpangi Ari telah pergi. Cepat, ia membuka pagar dan masuk rumah."Ada apa, Pak?" tanya Lara, antusias."Begini, Nona. Tentang perizinan dan sebagainya sudah keluar. Semua sudah beres. Jadi, kita bisa segera memulai pembangunan."Mendengar ucapan sang tangan kanan, tentu saja Lara semringah. Tanpa sadar ia melompat girang. Lantas, segera masuk ke kamar.Ia terla