Lara mencak-mencak bak anak sapi kehilangan induknya. Dibuangnya banyak barang demi melegakan tiap sesak yang bercokol dalam dadanya.
Lalita yang menyaksikan betapa hancur sang kawan hanya bisa diam. Bukan salahnya jik Lara harus kembali merasa begitu hancur karen kehilangan. "Ra, jan nyakitin diri sendiri," pintanya, lirih.
Lara hanya bisa melirik tajam. Rencananya bahkan hampir berhasil jika Ari tak muncul bak seorang pahlawan yang tak diharapkan. "Elu yang nelpon dia, Ta?"
Buru-buru Lalita menggeleng kuat. Ia menampik karena memang bukan ia yang menghubungi. "Sumpah, Ra. Elu tau sendiri gue nggak bisaan. Kalo elu udah ngomong jangan, mana bisa gue ngeiyain. Dia datang sendiri ke sini."
Mendengar jawaban Lalita, Lara hanya mendenkus pelan. Salahnya, ia tak melarang Lalita untuk membeberkan ke mana ia pergi atau rencana apa yang ia lakukan. "Tapi elu yang ngasih tau rencana kita, Ta. Sama aja!
Lalita baru saja merasa tenang saat Lara mampu menekan emosinya, ketika mendapat kabar buruk dari Derisca. Sekuat tenaga, ia mengalihkan perhatian Lara agar tak membuka saluran berita.Bukan tanpa sebab. Di berbagai saluran, telah disiarkan kecelakaan kecil yang menimpa pasangan yang berasal dari Jakarta. Mobilnya hampir saja ditabrak trus bermuatan lebih dari kapasitas hingga membuatnya oleng dan lepas kendali laju kendaraan.Beruntung, mobil yang ditumpangi keduanya bisa menghindari tabrakan. Kendatipun demikian, mereka tetap mengalami laka lantas. Mobil ternama itu naik ke pembatas jalan hingga membentur tiang pohon yang lumayan besar. Sementara itu, truk tadi telah oleng ke kiri hingga tabrakan beruntun tak dapat dielak lagi.Lalita terus mondar-mandir di depan televisi sembari membawa pengendali jarak jauhnya, sedangkan Lara kian tak mengerti apa yang sedang dilakukan sahabatnya."Elu ngapain, s
Sudah dua jam Lara menyibukkan diri di tepi kolam renang. Bikininya yang basah oleh keringat tak membuatnya urung melakoni olah raga malam. Bukan tanpa sebab. Pikiran yang penuh dengan tekanan membuatnya harus mau tak mau membuang banyak toksin demi mendapat hormon kesenangan. Dengan begitu, rasa cemas, gundah, dan semacamnya akan turut hilang dibawa peluh yang menetes ke luar."Ra, udah lama. Elu nggak mau minum dulu, apa? Udah mo tengah malem ini."Lalita bergidik ngeri kala lorong rumah Lara yang didominasi warna natural oak dan hitam itu terasa menyeramkan kala malam datang. Sinar bulan yang penuh kian menambah kesan horor yang mencekam."Tidur duluan, sana. Gue masih mau treadmill lagi."Lalita mencoba menenangkan debat jantung yang kian tak keruan. Pelan, ia mencoba beranjak dari beanbag yang diambilnya dari tepian kolam. Namun, saat ia melihat lorong yang akan membawanya ke tangga di samping r
"Pak, aku mau ini rumah jadi hunian minimalis natural, ya. Bikin seolah-olah ada dua rumah yang disatukan. Jadikan dua lantai. Inget, mereka laki semua. Jadi, pilihan warna yang lebih dominan ke gentle. Hitung semua bersama furniture-nya. Kirim tagihan ke sini. Ok."Jam masih menunjuk ke angka dua pagi saat Lara mengirim pesan audio pada Pak Patrick. Seorang kontraktor ternama yang punya banyak karya. Gedung-gedung pencakar langit di dua kota terbesar Indonesia telah dihandle olehnya.Begitu pula mengenai hunian-hunian mewah di tengah kota besar. Belum algi gedung olah raga, perpustakaan, bahkan restoran tak luput dari bakat yang ia punya.Lara pun tertidur sembari memegangi ponselnya, berharap Pak Patrick segera membalasnya. Sayang, hingga pagi datang menjelang ia bekum juga mendapat balasan. "Lagi banyak tender keknya," gumam Lara sendiri.Ia tertidur begitu gumaman usai dilafalkan. Matahari terasa
Pagi sudah beranjak saat Tarissa mengetuk pintu di seberang kamarnya. Sudah sepuluh menit berlalu, tapi Ari tak kunjung mau membuka pintu.Tarissa mendengkus, lantas berjalan ke arah restoran di area depan. Perutnya sudah lapar sejak bangun tadi. Badannya yang pegal-pegal juga memberinya efek lapar yang berlebih."Pasti gegara kemaren ini. Padahal nggak beneran kena tabrak. Tapi, berasa sakit semua."Ia mulai memesan makanan sesuai selera. Makanan western yang tak tinggi gula. Meski Tarissa tak mampu mengontrol jajanan, ia bisa lebih ketat pada makanan pokoknya. Mengganti nasi dengan karbo rendah gluten misalnya.Sembari melahap makanan yang disajikan, Tarissa mengedar pandang pada jalanan yang tak pernah sepi lalu lalang kendaraan. Beberapa wara setempat juga terlihat sedang lari pagi, bersepeda, atau bahkan berswafoto dengan latar jalan Tunjungan.Tarissa masih menikmati potato
Lara baru saja tiba di tempat yang sudah dijanjikan oleh arsitektur ternama. Patrick Thans, salah seorang warga Portugis yang menetap di Indonesia sejak lama. Darinya pula rumah milik Lara dicipta.Secara eksklusif ia menelepon Patrick untuk membahas sebuah proyek. Meski tak dikejar waktu, tetapi Lara ingin segera bertemu.Ia masih menunggu di restoran paling ujung sekitar kompleks UKLAKA. Beruntungnya, sang arsitek tak banyak bicara tentang ini itu dalam standar pertemuan antarklien.Lara meraih ponselnya, membuka fitur pencarian dan mengetik nama Tuan Patrick. Ia tercengang sejenak, sebelum akhirnya kembali menguasai keadaan.Betapa tidak. Nama itu ternyata sudah melanglang buana. Banyak bangunan mewah nan megah dirancang pada tiap penjuru dunia."Uang besar ini," gumamnya sembari menggaruk kepala yang tak gatal.Tak lama kemudian, ia melihat pria dengan ku
Ari sudah siap dengan setelan kasualnya saat Tarissa mengetuk pintu kamar. Cepat ia meraih ponsel dan juga dompet--yang tak ada isinya.Saat membuka pintu, batapa terkejutnya Ari melihat penampilan Tarissa. Gaun selutut berwarna merah membungkus tubuhnya ketat."Pake gitu emang mau ke mana?"Tarissa mencondongkan wajahnya tepat di depan Ari. "Kencan."Sontak saja Ari terbahak. Padahal, ia hanya ingin mengajak Tarissa berkeliling Surabaya. "Tar, mending ganti pake baju kasual aja, ya. Susah ntar kalo kamu tetep pake baju kek gini. Bukannya apa, ini Surabaya. Beda tempat beda kultur pula."Tarissa berdeham, lantas kembali masuk ke kamarnya. Ia tak habis pikir mengenai perbedaan kultur yang dipapar Ari.Tarissa sibuk memilik pakaian kasual seperti yang dikatakan Ari. Hanya saja, ia tak membawa banyak baju dalam rencana kali ini. Maka opsi terakhir hanya pa
Ari sudah memarkirkan motornya sesuai penunjuk jalan saat baru memasuki pagar. Ia terus berjalan, mengabaikan Tarissa yang menutup hidungnya rapat-rapat."Gue nggak suka bau tembakau.""Jadi itu alasanmu pake rokok elektrik?"Tarissa memutar bola mata malas. Bukan itu maksudnya. "Ngapain, sih, ke sini?"Tarissa menatap bagian atas gedung yang terlihat begitu asri. Meski begitu ia tetap tak suka dengan aroma lintingan tembakau."House of Sampoerna?"Ari mengangguk, lalu mengisyaratkan tangan agar Tarissa masuk tanpa ragu. Sudah lebih dari sepuluh tahun ia tak berkunjung ke mari, tetapi tak banyak yang berubah.Usai mendaftar dan membayar ke loket, Ari dan Tarissa masuk ke dalam museum. Betapa terkejutnya Tarissa saat mendapati suasana museum yang hangat. Design interior yang minimalis berpadu dengan pelbagai funitur kayu penuh ukiran membuatnya terasa b
Lebih dari dua jam Ari dan Tarissa berputar-putar, dibawa oleh Bus Surabaya. Meski hanya mengunjungi gedung-gedung penting yang beberapa di antaranya termasuk bangunan pemerintah, gadis dua puluh tahun itu merasa lebih dari bahagia.Usianya yang dua tahun lebih tua dari Eiffor, memang mengindikasikan hal lain. Selain kedatangannya yang tak disangka dan diduga, pun sikapnya yang ramah hanya sebagai pemanis saja. Tarissa mengakuinya sendiri."Elu enggak mau tau tentang gue?" tanya Tarissa. Keduanya sudah hampir sampai ke gedung House of Sampoerna.Ari menggeleng, lalu memandangnya lekat. "Aku enggak mau tau tentangmu yang dulu. Karena yang kukenal sekarang ya kamu. Tarissa yang sekarang."Tarissa terdiam, lantas ia menggeleng sembari menarik keras kaus polo Ari untuk mengahadapnya. "Jadi, elu emang enggak punya rencana buat kenal gue lebih deket?"Ari tahu ini adalah kesalahpahaman