"Pak, aku mau ini rumah jadi hunian minimalis natural, ya. Bikin seolah-olah ada dua rumah yang disatukan. Jadikan dua lantai. Inget, mereka laki semua. Jadi, pilihan warna yang lebih dominan ke gentle. Hitung semua bersama furniture-nya. Kirim tagihan ke sini. Ok."
Jam masih menunjuk ke angka dua pagi saat Lara mengirim pesan audio pada Pak Patrick. Seorang kontraktor ternama yang punya banyak karya. Gedung-gedung pencakar langit di dua kota terbesar Indonesia telah dihandle olehnya.
Begitu pula mengenai hunian-hunian mewah di tengah kota besar. Belum algi gedung olah raga, perpustakaan, bahkan restoran tak luput dari bakat yang ia punya.
Lara pun tertidur sembari memegangi ponselnya, berharap Pak Patrick segera membalasnya. Sayang, hingga pagi datang menjelang ia bekum juga mendapat balasan. "Lagi banyak tender keknya," gumam Lara sendiri.
Ia tertidur begitu gumaman usai dilafalkan. Matahari terasa
Pagi sudah beranjak saat Tarissa mengetuk pintu di seberang kamarnya. Sudah sepuluh menit berlalu, tapi Ari tak kunjung mau membuka pintu.Tarissa mendengkus, lantas berjalan ke arah restoran di area depan. Perutnya sudah lapar sejak bangun tadi. Badannya yang pegal-pegal juga memberinya efek lapar yang berlebih."Pasti gegara kemaren ini. Padahal nggak beneran kena tabrak. Tapi, berasa sakit semua."Ia mulai memesan makanan sesuai selera. Makanan western yang tak tinggi gula. Meski Tarissa tak mampu mengontrol jajanan, ia bisa lebih ketat pada makanan pokoknya. Mengganti nasi dengan karbo rendah gluten misalnya.Sembari melahap makanan yang disajikan, Tarissa mengedar pandang pada jalanan yang tak pernah sepi lalu lalang kendaraan. Beberapa wara setempat juga terlihat sedang lari pagi, bersepeda, atau bahkan berswafoto dengan latar jalan Tunjungan.Tarissa masih menikmati potato
Lara baru saja tiba di tempat yang sudah dijanjikan oleh arsitektur ternama. Patrick Thans, salah seorang warga Portugis yang menetap di Indonesia sejak lama. Darinya pula rumah milik Lara dicipta.Secara eksklusif ia menelepon Patrick untuk membahas sebuah proyek. Meski tak dikejar waktu, tetapi Lara ingin segera bertemu.Ia masih menunggu di restoran paling ujung sekitar kompleks UKLAKA. Beruntungnya, sang arsitek tak banyak bicara tentang ini itu dalam standar pertemuan antarklien.Lara meraih ponselnya, membuka fitur pencarian dan mengetik nama Tuan Patrick. Ia tercengang sejenak, sebelum akhirnya kembali menguasai keadaan.Betapa tidak. Nama itu ternyata sudah melanglang buana. Banyak bangunan mewah nan megah dirancang pada tiap penjuru dunia."Uang besar ini," gumamnya sembari menggaruk kepala yang tak gatal.Tak lama kemudian, ia melihat pria dengan ku
Ari sudah siap dengan setelan kasualnya saat Tarissa mengetuk pintu kamar. Cepat ia meraih ponsel dan juga dompet--yang tak ada isinya.Saat membuka pintu, batapa terkejutnya Ari melihat penampilan Tarissa. Gaun selutut berwarna merah membungkus tubuhnya ketat."Pake gitu emang mau ke mana?"Tarissa mencondongkan wajahnya tepat di depan Ari. "Kencan."Sontak saja Ari terbahak. Padahal, ia hanya ingin mengajak Tarissa berkeliling Surabaya. "Tar, mending ganti pake baju kasual aja, ya. Susah ntar kalo kamu tetep pake baju kek gini. Bukannya apa, ini Surabaya. Beda tempat beda kultur pula."Tarissa berdeham, lantas kembali masuk ke kamarnya. Ia tak habis pikir mengenai perbedaan kultur yang dipapar Ari.Tarissa sibuk memilik pakaian kasual seperti yang dikatakan Ari. Hanya saja, ia tak membawa banyak baju dalam rencana kali ini. Maka opsi terakhir hanya pa
Ari sudah memarkirkan motornya sesuai penunjuk jalan saat baru memasuki pagar. Ia terus berjalan, mengabaikan Tarissa yang menutup hidungnya rapat-rapat."Gue nggak suka bau tembakau.""Jadi itu alasanmu pake rokok elektrik?"Tarissa memutar bola mata malas. Bukan itu maksudnya. "Ngapain, sih, ke sini?"Tarissa menatap bagian atas gedung yang terlihat begitu asri. Meski begitu ia tetap tak suka dengan aroma lintingan tembakau."House of Sampoerna?"Ari mengangguk, lalu mengisyaratkan tangan agar Tarissa masuk tanpa ragu. Sudah lebih dari sepuluh tahun ia tak berkunjung ke mari, tetapi tak banyak yang berubah.Usai mendaftar dan membayar ke loket, Ari dan Tarissa masuk ke dalam museum. Betapa terkejutnya Tarissa saat mendapati suasana museum yang hangat. Design interior yang minimalis berpadu dengan pelbagai funitur kayu penuh ukiran membuatnya terasa b
Lebih dari dua jam Ari dan Tarissa berputar-putar, dibawa oleh Bus Surabaya. Meski hanya mengunjungi gedung-gedung penting yang beberapa di antaranya termasuk bangunan pemerintah, gadis dua puluh tahun itu merasa lebih dari bahagia.Usianya yang dua tahun lebih tua dari Eiffor, memang mengindikasikan hal lain. Selain kedatangannya yang tak disangka dan diduga, pun sikapnya yang ramah hanya sebagai pemanis saja. Tarissa mengakuinya sendiri."Elu enggak mau tau tentang gue?" tanya Tarissa. Keduanya sudah hampir sampai ke gedung House of Sampoerna.Ari menggeleng, lalu memandangnya lekat. "Aku enggak mau tau tentangmu yang dulu. Karena yang kukenal sekarang ya kamu. Tarissa yang sekarang."Tarissa terdiam, lantas ia menggeleng sembari menarik keras kaus polo Ari untuk mengahadapnya. "Jadi, elu emang enggak punya rencana buat kenal gue lebih deket?"Ari tahu ini adalah kesalahpahaman
"Sejak awal, aku enggak pernah ngomong apa pun ke kamu soal perasaan, Tar. Kita temen yang bener-bener temen. Mungkin, aku emang pernah ngancem Lara saat itu buat ngeduain dia.Emang ada rencana buat ngedeketin kamu biar dia ngerasa cemburu dan sadar kalo dia suka sama aku. Tapi sungguh, pertemuan kita enggak pernah kuduga, Tar. Semua terjadi gitu aja."Kini, tangis Tarissa telah pecah bersamaan dengan bus yang berhenti setelah sampai di kawasan gedung. Ari hendak menggamit lengan Tarissa, tapi urung dilakukan. Ia akan membatasi diri, agar Tarissa tak lagi berharap."Ayo, ki--"Tarissa yang bangkit dan beranjak secara mendadak, sengaja menabrak bahu Ari. Semua penumpang telah turun kecuali mereka.Ari pun bergegas menyusul Tarissa, sayangnya gadis itu telah berlari ke luar dan menghentikan mobil angkutan. Ia tak yakin harus bagaimana, tetapi mungkin akan lebih baik situasinya jik
Rendi masih mencoba menimbang-nimbang saat Lara mulai beranjak hendak menanyakan bagaimana progres hari itu. Tak banyak yang diucapkan Mandor Angga. Hanya sesekali menceritakan rintangan dan memberi masukan.Lara menyipit saat mendapati Rendi masih enggan pergi. Bahkan, adik tiri Ari itu malah tengah berkacak pinggang. Seolah-olah, ia juga tengah menikmati progres yang ada.Lara hampir terperanjat karena terlalu fokus pada Rendi saat ponselnya bergetar. Nama Tarissa muncul di layar ponselnya.Lekas, ia menjauh hendak menerima panggilan. Cepat ia mengusap ikon telepon berwarna hijau dan menyapa sang kawan."Tumben?" tanyanya penuh penekanan.Alih-alih menjawab, Tarissa malah memaki Lara tanpa jeda. Ia bahkan menyumpahi ratu investor tentang hal yang bukan-bukan."Elu brengsek! Gue bakal ngusir elu dari kepala Ari! Sampek kapan pun, gue bakal ngebuat Ari suka s
Lara baru saja tiba di rest room dengan ranjang super mewah saat notifikasi pesan dari grup Asix membuatnya melongo heran. Beberapa kali Derisca mengirimkan potret tentang kebersamaan Tarissa dan Ari.Lalita yang muncul lebih dulu pun mulai ambil tindakan. Ia yang tahu Lara masih berduka sebab ditinggal Ari pun menyemprot ulah Derisca."Der. Hapus, deh. Ada yang patah hati ntar. Gue susah loh kalo mesti ngebujuk dia lagi," gerutu Lalita.Alih-alih marah karena melihat potret gambar kebersamaan Tarissa dan Ari, ia malah mengulum senyum hingga mengembang sempurna. Disimpannya salah satu foto yang menampilkan sosok Ari tengah menatap mesin pembuat rokok."Haa! Sorry, Ra. Gue hapus, dah."Tanpa menunggu lagi, belasna foto itu telah raib dari ruang obrolan grup. Ia hendak membalas, tetapi didahului oleh Lalita dba Derisca."Sorry, Ra. Tadinya gue cuma mau ngasih t
Lara baru saja tiba setelah mengadakan pertemuan terkait dengan usaha baru yang akan dirintis olehnya, saat ponselnya berdering keras. Dilihatnya nama pada layar ponsel, Montir Bastard.Ia tergelak sebentar. Memang inginnya nama Ari tak dirubah. Ia berharap itu akan menjadi kenangan berharga.Lekas diangkatnya perminaan vidio call dari sang kekasih. Lantas, sembari membuka blazer diharapkannya ponsel dengan bantuan bantal sebagai sanggahan."Kenapa?" tanya Lara, menuntut."Lah! Ditelepon tanya kenapa. Salam dulu, kek. Sayang-sayangan dulu gitu," jawab Ari di seberang. "Keknya lagi sibuk bener, ya? Empat hari enggak ketemu jadi miss you mss you."Mendengar pelafalan bahasa Inggris Ari yang fasih tetapi direka cadel, tentu membuat Lara terbahak. Apalagi keduanya memang belum sempat bertemu sejak pertemuan terakhir mereka."Iya, ya? Tapi enggak apa, gue sibuk bu
Pelan, Ari berjalan masuk ke gedung salah satu pencakar langit di Jakarta. Beberapa kali, matanya mengawasi sekitar. Lantas, ia berhenti tepat di meja penerima tamu."Ada yang bisa kami bantu?"Ari tergemap. Lantas, ia mengutarakan maksudnya datang ke sana. "Saya mau bertemu dengan Pak Bachtiar, Mbak."Sang resepsionis pun mengernyit, lantas menatap tajam pada Ari. "Anda sudah buat janji temu?"Ari menggeleng. "Harus, ya?""Bapak Bachtiar tidak menerima tamu sembarang, Pak. Usahakan punya janji temu dulu, ya."Sudah tiga hari ini, Ari selalu mendatangi salah satu kantor pusat permainan ternama. Bukan untuk mendapat pekerjaan, tetapi ia ingin bertemu langsung dengan ayahnya Lara.Sudah berulang kali ia mencoba menelepon, meminta janji temu untuk sang calon mertua. Akan tetapi, ia ditolak mentah-mentah saat ditanya maksud tujuannya.
"Ren, bisa ngomong sebentar?"Pintu diketuk Ari pelan, lantas tak lama suara anak kunci diputar pun terdengar. Rendi yang merasa aneh dengan tingkah sang kakak langsung menyadari ada hal yang ingin dibicarakan."Ada apa, sih? Kalo elu sopan gini, gue jadi takut."Ari terkekeh sebentar, lantas ia mengambil duduk pada bean bag terdekat. Diambilnya pula berkas-berkas yang sudah dilipat dalam saku hoodienya."Beberapa hal yang enggak bisa kita kuasai kadang bikin kita marah sama keadaan. Marah sama kenyataan. Aku ... sama."Rendi mengernyit, lantas mencondongkan tubuhnya ke arah sang kakak. "Enggak usah berbelit-belit, Ri. Ngomong aja. Kek sama siapa, aja! Elu mau nikahin Lara? Atau mau jadiin gue bridesman?"Rendi mengulum senyumnya. Ia tahu betul, jika suasana melow dari Ari membawa kabar buruk. Maka dari itu, ia berusaha untuk mencairkan suasana.
"Maksud elu gimana?"Demi melihat Lara yang menanap, Ari pun beranjak. Ia juga tengah terkejut dengan fakta yang ada. Belum lagi mengenai ucapan Supri yang kian membuat Ari bingung bukan kepalang."Aku juga enggak ngerti, Ra."Ari mengambil beberapa berkas dari tas selempangnya. Lantas, diberikannya pada Lara tanpa ragu.Perlahan, Lara membuka berkas yang ada. Untuk sejenak, ia memejam. Lantas, menarik Ari untuk duduk di sampingnya. "Ini bukan salah elu ataupun Rendi. Ini adalah takdir. Sekuat apa pun elu nolak, tetap saja ini adalah akhirnya."Ari menggeleng, lalu meraih gambar yang pernah dilihatnya di ponsel Tarissa. "Ini Tarissa. Orang yang sebelumnya nganggep aku kebahagiaannya. Terus, tiba-tiba aku hadir dan ngomong, aku kakakmu. Gila!"Lara mencengkeram lengan Ari lantas menatapnya lekat-lekat. "Katakan saja pada Rendi. Bagaimanapun juga, Rendi harus t
Di dalam kamar, Rendi, Ari dan Lara tengah sarapan bersama. Beberapa kali candaan dilempar kala tahu Rendi tengah melakukan aksi mukbang secara live pada penonton setianya: Lalita.Rendi yang tahan malu pun tak mengindahkan cibiran sang kakak dan Lara. Meski begitu, Lalita yang juga melakukan hal yang sama ingin segera mengakhiri panggilan."Jangan gitu, Ta, biarin aja wis kalian saling mukbang. Dan gue di sini sama Ari saling nyindirin kalian! Ha ha ha!"Lalita telah memerah wajahnya di depan kamera, sedangkan Rendi tak ingin acara saban paginya rusak gara-gara Lara."Mending elu pergi dah dari sini, Ra! Gangguin aja!"Mendengar dirinya diusir, Lara pun berkacak pinggang. "Hello! Ini kamar cowok gue! Harusnya elu yang minggat!""Lah, cuma cowok, 'kan? Belum jadi suami, kan? Gue yang lebih berhak!" jawab Rendi sekenanya."Lah, elu siapany
Lara sedang mengadakan pertemuan penting di salah satu anak perusahaan yang dikelolanya bersama Eiffor. Dari sana, ia akan mendapat banyak relasi demi menciptakan usaha Ari yang baru. Beberapa pengusaha setuju bekerja sama. Mulai dari kontraktor hingga bagian periklanan. Beberapa kali, Lara melirik ponselnya yang terus bergetar. Meksi begitu, bagaimanapun juga ia harus mengabaikan. Pertemuan itu lebih penting dari segalanya. Terlebih, untuk membangun masa depannya bersama Ari di kemudian hari. Usai meeting, Lara langsung menelepon balik sang kekasih. Kali ini, bukan hanya penggilannya yang tak dijawab. Ponsel Ari pun tak lagi dapat dihubungi. Lara cemas, dengan cepat ia berlari menuruni anak tangga menuju ke parkiran. Dilajukannya mobil berwarna hijau metalik dengan tergesa. Ada perasaan tak nyaman yang kini berkelindan. Apalagi, sebelumnya Ari ta
Ari baru saja tiba di rumah lamanya. Esok adalah hari di mana ia akan kembali ke sana. Ke tempat di mana ia dibesarkan bersama Rendi dengan belas kasih banyak tetangga.Sesekali, ia mengenang kilas kejadian yang memilukan. Tentang kematian orang-orang terkasih, bahkan ibunya yang pergi setelah meninggalkannya di rumah Bunda Diana.Pelan, diambilnya beberapa paket sembako yang sedari tadi ada di sekitar kakinya. Ia mengayun langkah tegas, pada rumah-rumah yang dulu pernah menjadi tempat singgah lapar mendera.Usai mengucap salam, wanita paruh baya membual pintu sembari mengulas senyum yang terkembang. "Ari? Ada apa, Nak? Sini, masuk!"Ari menggeleng sembari mengulas senyum. Lekas, diberikannya kontener kecil berisi banyak kebutuhan dapur. "Buat njenengan, Bu. Maaf kalo cuma bisa ngasih ini. In Syaa Allah, akan lebih sering ngasih."Melihat kontener besar yang dibawa Ari, wanita it
Sudah sehari setelah kedatangannya kembali ke Jakarta, saat Ari duduk bersisian di warung kopi tak jauh dari Fiterus Asikin. Bersama kawannya, ia terus berbincang tanpa kenal waktu lagi."Kukira, wakmu sudah lupa aku, Su! Udahlah enggak pernah main, eh nomormu enggak bisa dihubungi. Kenapa?"Ari tergelak sebentar, lantas menuang kopi pada lepek. Bersama, Supri, Ari mampu menjadi sosok yang selama ini selau dipendam jati dirinya."Gimana? Wis dapet laba?"Mendengar pertanyaan Supri, sontak Ari terbahak. "Bati opo? Emang jual beli pake tanya laba segala?"Ari terbahak, begitu pula Supri. Lantas, bersamaan keduanya menyesap kopi dari lepek."Enak koe, Su! Pantes dulu sering bayarin aku. Saiki gimana?" tanya Supri. Ia mencomot satu gorengan yang ada di tengah meja."Enggak gimana-gimana. Lagi mau bikin usaha aku. Biar selevel sama Lara. Palin
Lara baru saja tiba di rumahnya, saat ponselnya berdering nyaring. Ia mengedar pandang pada sosok yang ada di balik punggungnya."Masuk, sana!" titah Ari. Ia mengantar kepulangan Lara menggunakan taksi dalam jaringan.Lara mengangguk, lantas melambaikan tangannya. Tepat sebelum ia masuk ke rumah, Lara mengangkat panggilan dari orang-orang yang dipercayai mengurus segala sesuatu tentang usaha yang Ari impikan.Hanya dengan menajamkan pendengaran, Lara tahu betul mobil yang ditumpangi Ari telah pergi. Cepat, ia membuka pagar dan masuk rumah."Ada apa, Pak?" tanya Lara, antusias."Begini, Nona. Tentang perizinan dan sebagainya sudah keluar. Semua sudah beres. Jadi, kita bisa segera memulai pembangunan."Mendengar ucapan sang tangan kanan, tentu saja Lara semringah. Tanpa sadar ia melompat girang. Lantas, segera masuk ke kamar.Ia terla