Lara baru saja tiba di tempat yang sudah dijanjikan oleh arsitektur ternama. Patrick Thans, salah seorang warga Portugis yang menetap di Indonesia sejak lama. Darinya pula rumah milik Lara dicipta.
Secara eksklusif ia menelepon Patrick untuk membahas sebuah proyek. Meski tak dikejar waktu, tetapi Lara ingin segera bertemu.
Ia masih menunggu di restoran paling ujung sekitar kompleks UKLAKA. Beruntungnya, sang arsitek tak banyak bicara tentang ini itu dalam standar pertemuan antarklien.
Lara meraih ponselnya, membuka fitur pencarian dan mengetik nama Tuan Patrick. Ia tercengang sejenak, sebelum akhirnya kembali menguasai keadaan.
Betapa tidak. Nama itu ternyata sudah melanglang buana. Banyak bangunan mewah nan megah dirancang pada tiap penjuru dunia.
"Uang besar ini," gumamnya sembari menggaruk kepala yang tak gatal.
Tak lama kemudian, ia melihat pria dengan ku
Ari sudah siap dengan setelan kasualnya saat Tarissa mengetuk pintu kamar. Cepat ia meraih ponsel dan juga dompet--yang tak ada isinya.Saat membuka pintu, batapa terkejutnya Ari melihat penampilan Tarissa. Gaun selutut berwarna merah membungkus tubuhnya ketat."Pake gitu emang mau ke mana?"Tarissa mencondongkan wajahnya tepat di depan Ari. "Kencan."Sontak saja Ari terbahak. Padahal, ia hanya ingin mengajak Tarissa berkeliling Surabaya. "Tar, mending ganti pake baju kasual aja, ya. Susah ntar kalo kamu tetep pake baju kek gini. Bukannya apa, ini Surabaya. Beda tempat beda kultur pula."Tarissa berdeham, lantas kembali masuk ke kamarnya. Ia tak habis pikir mengenai perbedaan kultur yang dipapar Ari.Tarissa sibuk memilik pakaian kasual seperti yang dikatakan Ari. Hanya saja, ia tak membawa banyak baju dalam rencana kali ini. Maka opsi terakhir hanya pa
Ari sudah memarkirkan motornya sesuai penunjuk jalan saat baru memasuki pagar. Ia terus berjalan, mengabaikan Tarissa yang menutup hidungnya rapat-rapat."Gue nggak suka bau tembakau.""Jadi itu alasanmu pake rokok elektrik?"Tarissa memutar bola mata malas. Bukan itu maksudnya. "Ngapain, sih, ke sini?"Tarissa menatap bagian atas gedung yang terlihat begitu asri. Meski begitu ia tetap tak suka dengan aroma lintingan tembakau."House of Sampoerna?"Ari mengangguk, lalu mengisyaratkan tangan agar Tarissa masuk tanpa ragu. Sudah lebih dari sepuluh tahun ia tak berkunjung ke mari, tetapi tak banyak yang berubah.Usai mendaftar dan membayar ke loket, Ari dan Tarissa masuk ke dalam museum. Betapa terkejutnya Tarissa saat mendapati suasana museum yang hangat. Design interior yang minimalis berpadu dengan pelbagai funitur kayu penuh ukiran membuatnya terasa b
Lebih dari dua jam Ari dan Tarissa berputar-putar, dibawa oleh Bus Surabaya. Meski hanya mengunjungi gedung-gedung penting yang beberapa di antaranya termasuk bangunan pemerintah, gadis dua puluh tahun itu merasa lebih dari bahagia.Usianya yang dua tahun lebih tua dari Eiffor, memang mengindikasikan hal lain. Selain kedatangannya yang tak disangka dan diduga, pun sikapnya yang ramah hanya sebagai pemanis saja. Tarissa mengakuinya sendiri."Elu enggak mau tau tentang gue?" tanya Tarissa. Keduanya sudah hampir sampai ke gedung House of Sampoerna.Ari menggeleng, lalu memandangnya lekat. "Aku enggak mau tau tentangmu yang dulu. Karena yang kukenal sekarang ya kamu. Tarissa yang sekarang."Tarissa terdiam, lantas ia menggeleng sembari menarik keras kaus polo Ari untuk mengahadapnya. "Jadi, elu emang enggak punya rencana buat kenal gue lebih deket?"Ari tahu ini adalah kesalahpahaman
"Sejak awal, aku enggak pernah ngomong apa pun ke kamu soal perasaan, Tar. Kita temen yang bener-bener temen. Mungkin, aku emang pernah ngancem Lara saat itu buat ngeduain dia.Emang ada rencana buat ngedeketin kamu biar dia ngerasa cemburu dan sadar kalo dia suka sama aku. Tapi sungguh, pertemuan kita enggak pernah kuduga, Tar. Semua terjadi gitu aja."Kini, tangis Tarissa telah pecah bersamaan dengan bus yang berhenti setelah sampai di kawasan gedung. Ari hendak menggamit lengan Tarissa, tapi urung dilakukan. Ia akan membatasi diri, agar Tarissa tak lagi berharap."Ayo, ki--"Tarissa yang bangkit dan beranjak secara mendadak, sengaja menabrak bahu Ari. Semua penumpang telah turun kecuali mereka.Ari pun bergegas menyusul Tarissa, sayangnya gadis itu telah berlari ke luar dan menghentikan mobil angkutan. Ia tak yakin harus bagaimana, tetapi mungkin akan lebih baik situasinya jik
Rendi masih mencoba menimbang-nimbang saat Lara mulai beranjak hendak menanyakan bagaimana progres hari itu. Tak banyak yang diucapkan Mandor Angga. Hanya sesekali menceritakan rintangan dan memberi masukan.Lara menyipit saat mendapati Rendi masih enggan pergi. Bahkan, adik tiri Ari itu malah tengah berkacak pinggang. Seolah-olah, ia juga tengah menikmati progres yang ada.Lara hampir terperanjat karena terlalu fokus pada Rendi saat ponselnya bergetar. Nama Tarissa muncul di layar ponselnya.Lekas, ia menjauh hendak menerima panggilan. Cepat ia mengusap ikon telepon berwarna hijau dan menyapa sang kawan."Tumben?" tanyanya penuh penekanan.Alih-alih menjawab, Tarissa malah memaki Lara tanpa jeda. Ia bahkan menyumpahi ratu investor tentang hal yang bukan-bukan."Elu brengsek! Gue bakal ngusir elu dari kepala Ari! Sampek kapan pun, gue bakal ngebuat Ari suka s
Lara baru saja tiba di rest room dengan ranjang super mewah saat notifikasi pesan dari grup Asix membuatnya melongo heran. Beberapa kali Derisca mengirimkan potret tentang kebersamaan Tarissa dan Ari.Lalita yang muncul lebih dulu pun mulai ambil tindakan. Ia yang tahu Lara masih berduka sebab ditinggal Ari pun menyemprot ulah Derisca."Der. Hapus, deh. Ada yang patah hati ntar. Gue susah loh kalo mesti ngebujuk dia lagi," gerutu Lalita.Alih-alih marah karena melihat potret gambar kebersamaan Tarissa dan Ari, ia malah mengulum senyum hingga mengembang sempurna. Disimpannya salah satu foto yang menampilkan sosok Ari tengah menatap mesin pembuat rokok."Haa! Sorry, Ra. Gue hapus, dah."Tanpa menunggu lagi, belasna foto itu telah raib dari ruang obrolan grup. Ia hendak membalas, tetapi didahului oleh Lalita dba Derisca."Sorry, Ra. Tadinya gue cuma mau ngasih t
Rendi masih mencoba menimbang-nimbang saat Lara mulai beranjak hendak menanyakan bagaimana progres hari itu. Tak banyak yang diucapkan Mandor Angga. Hanya sesekali menceritakan rintangan dan memberi masukan.Lara menyipit saat mendapati Rendi masih enggan pergi. Bahkan, adik tiri Ari itu malah tengah berkacak pinggang. Seolah-olah, ia juga tengah menikmati progres yang ada.Lara hampir terperanjat karena terlalu fokus pada Rendi saat ponselnya bergetar. Nama Tarissa muncul di layar ponselnya.Lekas, ia menjauh hendak menerima panggilan. Cepat ia mengusap ikon telepon berwarna hijau dan menyapa sang kawan."Tumben?" tanyanya penuh penekanan.Alih-alih menjawab, Tarissa malah memaki Lara tanpa jeda. Ia bahkan menyumpahi ratu investor tentang hal yang bukan-bukan."Elu brengsek! Gue bakal ngusir elu dari kepala Ari! Sampek kapan pun, gue bakal ngebuat Ari suka s
Ari baru usai menghabiskan sarapannya saat Tarissa datang ke restoran. Ia mencebik, kemudian menatap jalan raya. Bukan tanpa sebab, kemarin ia ditinggal pergi begitu saja.Bukannya mendekat, Tarissa malah mengambil duduk jauh dari jangkauan Ari. Sebenarnya ia ingin mendekati Ari lagi. Namun, kepergiannya kemarin seolah menjelma menjadi jarak yang membentangi keduanya.Jam sudah menunjuk ke angka sepuluh. Bukan lagi waktunya sarapan, tetapi Tarissa bersikukuh membeli makanan utama. Meksi sudah disarankan berbagai menu makanan ringan yang tinggi kalori, ia enggan mendengar.Sembari menunggu, ia terus menatap punggung Ari yang tampak teratur naik turun. Pandangannya mengedar, seolah-ah tengah mencari bahan perbincangan.Ari yang merasa mulai bebas pun akhirnya mengambil ponsel, mulai mengaktifkan. Hal pertama yang dilakukan adalah menghubungi Rendi. Ia sudah terlalu rindu meski hanya dua hari tak bertem