“Zi.”Terdengar teriakan dari Om Zuan.“Bentar, Om.”Aku bergegas ke luar masih dengan rambut yang acak-acakan. “Ada apa, Om?”“Kenapa mandi lama sekali? Bukankah aku sudah berpesan jangan kelamaan?”Aku melihat jam yang menempel di dinding atas.“Lama dari mana, Om? Aku mandi hanya lima menit.”“Sudah jangan protes. Sini temani aku duduk di sini,” ucap Om Zuan sambil menunjuk kursi di sebelahnya.Aku menurut.Hening“Om ...”“Iya. Ada apa?”“Gak ada apa-apa.”Hening“Zi!”“Iya, Om.”HeningKenapa situasi mendadak tegang seperti ini. Ayolah Zi, ini bukan seperti kamu. “Om, kenapa gak pernah cerita kepada Zi kalau Om menderita penyakit lambung?”Aku mencoba angkat bicara, melepas situasi yang mendadak tegang.“Kata siapa, Zi? Aku hanya belum terbiasa makan pedas. Mungkin nanti malam juga sudah pulang ke rumah.”“Jangan bohongin Zi, Om! Zi gak suka. Terus kenapa Om harus konsumsi obat tiap hari?”“Kamu hanya salah dengar.”“Hah, susah bicara sama kamu, Om.”“Memangnya kamu peduli jika
Aku memapah Om Zuan untuk ke kamar mandi, merangkul tubuhnya serta membawa kantung infusnya. Ia berjalan perlahan, sambil meringis menahan pipisnya.“Kenapa pintunya tidak di tutup, Om?” tanyaku dari balik pintu. Mengalihkan pandangan ke ruangan kamar ini.“Kalau di tutup yang ada selang infusnya macet, Zi.” Terdengar jawaban dari dalam.Benar juga kata Om Zuan. Aku kan berdiri di luar dengan membawa kantung infusnya.“Apa kamu mau masuk juga? Biar pintunya bisa ditutup?”“Om, kenapa kamu mendadak mesum?”“Mesuman mana sama yang mau menciumku tadi?”Aku terperanjat, bergegas aku menarik tubuhku menjauh dari daun pintu, menata nafasku yang tak karuan. Apakah Om Zuan tahu apa yang sedang kulakukan tadi? Bodoh kamu, Zi! Aku menutup wajah dengan telapak tangan, aku yakin sekarang wajahku yang justru berubah menjadi merah.“Au, sakit, Zi!” teriak Om Zuan.Aku bergegas masuk, mendapati Om Zuan yang meringis kesakitan, dengan menatap punggung tangannya yang berdarah. Jarum infus itu terlepas
“Zi.”Terdengar suara lirih Om Zuan, di mana wajahnya mendekati wajahku. Ya Allah Ya Robbi, apa yang akan dilakukan Om Zuan kepadaku? Wajahnya terus mendekat, membuat jantungku berdetak tak karuan. “Selamat pagi.”Terdengar salam serta suara pintu yang terbuka. Seorang lelaki berseragam putih itu datang dengan melempar senyuman. Sontak kami menjauh satu sama lain.“Selamat siang , Pak Zuan. Bagaimana kabarnya hari ini?” “Alhamdulillah baik, Pak!”“Ada keluhan hari ini?” “Tidak, justru saya lebih baik dari biasanya.”Pak dokter terlihat tersenyum tipis, sedangkan perawat wanita di belakangnya memainkan pulpen yang dipegang ke atas kertas yang dibawanya .“Pak Dokter, bolehkah Zi bertanya?” tanyaku menatap lelaki berprofesi agung itu“Tentu, Nona Zi.”“Apa penyakit Om Zuan? Kenapa dia harus meminum obat tiap hari?” Lelaki itu sekilas menatap Om Zuan yang sedang duduk di tepi ranjang, terlihat ia memberikan sebuah kode kepada Pak Dokter.“Untuk penyakitnya, silahkan tanya Pak Zuan sa
Tapi, kalau tidak untuk disentuh lantas buat apa Om memiliki banyak wanita? Atau jangan-jangan Om Zuan tak normal? Tidak, tidak, bukankah ia sebelumnya telah menikah dan istrinya sudah mengandung? Ah, Zi. Kenapa otakmu penuh tanya.Tak selang lama kendaraan ini berhenti, terparkir juga mobil sedan hitam milik Rendra. Ia juga ada di sini? Berarti Rendra juga tahu kalau Om Zuan punya banyak istri simpanan? Kenapa tidak pernah bercerita kepada Zi? “Bunga telah menunggu tuan dari tadi,” ucap Rendra ketika jendela mobil ini dibuka.Om Zuan mengangguk, memakai kaca mata hitamnya dan mulai turun.Benar kan firasat Zi. Om Zuan memang memiliki wanita simpanan. Om Zuan kurang sehat saja dibela-belain datang, apalagi perjalanan yang memakan banyak waktu.“Ayo, Zi. Kita turun,” ucap Om yang sudah berdiri menunggu di depan pintu mobil.Aku manut, meskipun hatiku terasa kacau balau. Wanita mana yang sanggup bertemu madunya?Seorang wanita berjilbab menyambut kami, ia memangku gadis kecil yang mung
Kami duduk di atas ayunan, tepat di tengah Taman milik Panti ini. Panti yang dibesarkan Oleh Om Zuan dan almarhum Mbak Hanum. Merekalah donatur terbesar di tempat ini. Sedangkan Bunga, mereka temukan saat bayi, yang tergeletak begitu saja di depan pintu panti. Ternyata anak itu memiliki kondisi medis tertentu, ya ia memiliki penyakit kelainan pada salah satu sistem organ dalamnya. “Mama Zi. A’ ...”Bunga membuka mulutnya lebar dengan mata yang berbinar, menunggu suapan makanan dariku.Ia terlihat begitu bahagia.Beberapa hari ini ia mogok makan, hampir tiap malam mengigau dengan menyebut nama Om Zuan. Ia telah menganggap Om Zuan sebagai papanya, begitupun Om Zuan, sepetinya juga mencintai Bunga seperti anaknya sendiri.“Yeay. Anak Papa pinter, makanannya habis,” puji Om Zuan kepada gadis kecil itu.“Iya dong, Papa. Bunga ingin sehat. Bunga ingin menggapai cita-citanya Bunga.”“Cita-cita Bunga jadi apa? Kalau Mama Zi boleh tahu si.”“Jadi dokter, Ma. Biar Bunga bisa mengobati anak yan
“Om. Jangan mendekat,” ucapku dengan menyilangkan kedua tanganku ke dada.“Kamu itu kenapa, Zi?” tanyanya keheranan.“Selamat siang Pak Zuan. Maaf saya datang terlambat.”Seorang lelaki paruh baya datang. Ia menatap kami berdua. Sepertinya aku pernah mengenal dia, tapi di mana? “Aku tidak ingin kamu melakukan kesalahan yang sama,” ucap Om Zuan yang terlihat dingin.“Ba-baik, Pak,” ucap lelaki tersebut dengan menunduk hormat. Kami berjalan bersama menuju hamparan sawah yang terlihat meluas, lelaki itu menunjuk ke salah satu lahan luas tersebut dan kami mengikuti petunjuk arahnya. “Sawah ini seluas 5 hektar, Pak. Dijual dengan harga miring karena beliau ingin segera mendapatkan uang tunai. Berita yang aku dengar anak dan istrinya kecelakaan , butuh banyak biaya untuk operasi.”“Berapa harganya?”“Mintanya tiga milyar, Padahal harga umumnya sampai lima milyar.”‘Tiga milyar?’ batinku bertanya. Entah seberapa banyak uang tersebut. Bagaimana Om bisa memiliki uang sebanyak itu? “Baiklah
Sungguh, semakin aku mengenal Om Zuan, aku semakin dibuat jatuh cinta kepadanya. Lelaki yang terlihat dingin dan galak itu ternyata hatinya lembut. Ia peduli sesama, dan begitu menghargai orang lain. Berbeda sekali penilaian ku dengan saat pertama kali aku melihatnya.“Berhenti, Om!” teriakku, hingga membuat kendaraan beroda empat ini berhenti mendadak. Aku dan Om Zuan sedikit terrpental ke belakang.“Ada apa, Zi? Kamu tidak apa-apakan?”Lelaki itu memperhatikan sekelilingku, seakan memastikan keadaanku.“Itu, Om. Lontong campur kesukaanku,” ucapku sambil menunjuk salah satu warung di tepi jalan.“Hah,” Ia membuang nafas kasar, dan melepaskan sabun pengaman yang kupakai.Sebuah warung kaki lima, dengan kain lusuh bertuliskan lontong campur Mbok Jum menjadi tempat singgah kami, apalagi hari mulai gelap, dan kami hanya diterangi oleh cahaya lampu 5 Watt di tenda ini.“Yakin, kita makan di sini, Zi?” tanya Om Zuan sambil memasuki tenda ini. Ia mengernyitkan dahi, seakan tak nyaman dengan
“Au,” teriak Om Zuan ketika kucubit pahanya. Pandangannya kepada Mesa terus terpaku, memperhatikan dari ujung atas sampai ujung bawah. Apalagi wanita cantik itu memakai pakaian minim ala-ala kota.“,Ada apa. Zi?” tanya Om Zuan yang kini mengubah fokus pandangannya.“Dosa tau, Om. Menatap wanita yang bukan muhrimnya seperti itu,” jawabku setengah berbisik, mendekat ke telinga Om Zuan. Mesa juga apa-apaan cari muka di sini, biasanya dia cuek kalau ada tamu. Lebih senang menghabiskan waktunya di kamar. Dan sekarang? Dia berjalan mengantar satu teh hangat untuk Om Zuan. Ya, Cuma satu, tidak ada untukku. Atau jangan-jangan, ia menyesal meninggalkan Om Zuan saat pernikahan? “Lama tidak bertemu denganmu, Zi!” ucap Mesa sambil duduk di sebelah Pak De.“Iya, Mes.”“Bagaimana kabarmu?”“Alhamdulullah baik.”“Dengar-dengar kamu kuliah di universitas yang sama denganku ya, Zi? Kenapa kita gak pernah ketemu ya? “ tanya Mesa masih dengan senyum yang mengembang indah.“I-iya.”Universitas itu mem