Share

bab. 19

Author: Fida Yaumil Fitri
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Zi mana punya uang, Om! Kalau punya gak mungkin Zi kelaparan kayak tadi,” ucapku setengah berbisik di dekat telinga Om Zuan.

“Apa bisa bayar pakai kartu ini?” tanya Om Zuan sambil mengambil kartu berwarna biru yang bertuliskan salah satu bank swasta.

“Maaf, Pak. Ini rumah makan kecil, hanya menerima uang cash.”

Wajah Om Zuan terlihat semakin panik, dirogohnya saku celana dan mengambil ponsel miliknya.

Tit ... Tit ...

Layar yang disentuh Om Zuan kembali padam.

“Hah, sial. Kenapa saat seperti ini harus mati?” ucap Om Zuan di depan ponselnya. Sungguh aneh lelaki itu, berbicara dengan benda mati.

“Pak, apa boleh saya bayar pakai jam saya? Atau saya tinggalin identitas saya. Besok saya bayar lunas uangnya,” ucap Om Zuan sambil menunjukkan jam mewah yang melingkari lengannya.

“Maaf, Pak. Hanya menerima uang cash. Besok saya juga sudah tidak jualan, karena mau pulang kampung. Jadi identitas bapak bakal tertahan lama sama saya.”

“Hah.”

Om Zuan mengacak rambutnya frustasi.

“Kalau bapak gak p
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Terpaksa Akad   bab. 20

    Om Zuan kini menatap spedometer mobilnya. “Sial. Kenapa harus kehabisan bahan bakar?” tanya lelaki itu sambil mengacak rambutnya.“Ya Allah, Om! Cobaan apalagi ini? Apa om Zuan sudah bangkrut dan tak kuat beli bahan bakar? Zi tak apa kalau melepas kuliah Zi. Di sana memang biayanya mahal, Om! Zi minta maaf, bahkan untuk beli bahan bakar maupun beli makanan om tak sanggup.”“Diam kamu, Zi!”“Tapi Zi merasa bersalah, Om! Semua gara-gara, Zi! Om –““Hentikan. Atau kamu ku tinggal di sini sendirian.”“Bagaimana Om Zuan ninggalin, Zi! Om saja tak punya uang.”“Hah, Sial!”Kami ke luar dari mobil. Berharap ada kendaraan yang melewati jalan ini untuk kami tumpangi. Tapi lagi-lagi apes masih menyelimuti. Jalan sepi, tak ada siapapun yang lewat selain angin sepoi yang terus menyapa. Aku melirik jarum jam yang melingkar di lengan Om Zuan, waktu telah menunjukkan pukul 3 dini hari. Pantas saja aku terus saja menguap. Kantukku benar-benar tak tertahan.“Om. Apa gak sebaiknya kita istirahat di si

  • Terpaksa Akad   bab. 20 b

    Fokus mata Om Zuan kini menjelajahi tubuhku.“Kamu tak ingin aku ke neraka, Zi?” tanya lelaki itu yang menatapku tajam. Pandangannya kini menerobos ke indraku, seakan mencari tahu ke dalamannya di sana.“Iya, Om!”“Kenapa?”“Karena Om Zuan adalah suamiku. Aku tak ingin imamku ke neraka.”“Jika aku ke surga apa kamu tak keberatan. Hanum telah menungguku di sana, tak mungkin juga aku mengabaikannya.”Lelaki itu tersenyum penuh arti. Yang aku sendiri tak mampu memahaminya. Aku terhenyak. Jujur sakit mendengarnya. Namun bagaimanapun aku tak boleh terbawa alur perasaan kepadanya. Sesuai kesepakatan awal tak ada cinta di dalam rumah tangga ini.“Aku tak keberatan. Bagiku kebahagiaan Om Zuan sudah cukup untukku.”Aku menahan sesak dalam hatiku, Zi yang terlihat ceria dan selalu baik-baik saja, ternyata turut merasakan sakit ketika hatinya tergores.“Baiklah, aku tak ingin terseret ke neraka. Ingat, aku berangkat kerja bukan karena kamu, melainkan karena Hanum telah menungguku.”Aku menganggu

  • Terpaksa Akad   baby 21a

    Aku menatap Zi yang matanya begitu berbinar, berbeda sekali saat denganku yang selalu terlihat ketakutan, senyumnya mengembang sempurna begitu indah. Gadis kecil itu memang terlihat begitu menarik kala tersenyum. Sakit? Kenapa aku merasakan sakit melihat keadaan Zi seperti ini? Bukankah aku harus senang melihatnya bisa bahagia? Aliran darahku mengalir begitu cepat. Kurasakan panas dalam ubun-ubunku sepeti gunung yang ingin meledak, tanganku kini mengepal mencoba bertahan dengan rasa yang semakin menyiksaku. Ya. Melihat Zi tersenyum bahagia di pelukan orang lain, benar-benar membuatku tak nyaman. Harusnya aku lah yang membuatnya bahagia, bukan lelaki ingusan itu. Rasanya aku begitu menyesal telah menghadiri acara bakti sosial ini, harusnya aku tak mengindahkan pemberitahuan dan undangan. Walaupun aku adalah salah satu donatur kampus, harusnya aku lebih memilih mentransfer saja uangnya, dan tidak melihat pemandangan yang membuat emosiku kini labil. Zi terlihat melepaskan pelukannya, d

  • Terpaksa Akad   bab. 21b

    Aku benar-benar tak percaya dengan kalimat yang baru saja keluar dari bibir Zi, apakah ini puncak dari rasa lelahnya?“Kenapa kamu tanya sepeti itu?”Aku mencoba menjawab setenang mungkin. Meskipun hatiku kini terasa begitu mendidih.“Apa karena lelaki yang tadi pagi memelukmu?” tanyaku. Zi tak menjawab. Hanya membalasnya dengan senyuman yang mengartikan ya.“Di tanya itu jawab, Zi! “Ma-maaf, Om,” ucapnya terbata.“Berikan aku waktu 5 sampai 6 bulan. Setelah itu kamu bisa pergi sesuka hatimu, bahkan untuk menjalin hubungan dengan lelaki di kampusmu itupun terserah.”“Apa tidak terlalu lama, Om?”“ZI!”“Ma-maaf, Om!”“Baiklah satu bulan dari hari ini. Setelah itu kamu bebas mau apa saja. Tapi selama sebulan ini, aku tak ingin kamu dekat dengan lelaki itu.”“Maksudnya Aga, Om? Tapi –““Tak ada tapi, Zi! Ingat pesanku itu, jangan dekat dengan Aga ataupun lelaki lainnya. Oh ya, mulai besok kembali siapkan kopi panas untuk sarapanku, kembali buang menu susu saat sarapan.”Aku berdiri dan

  • Terpaksa Akad   bab. 22a

    Belum sempat aku menghampiri tubuh Om Zuan, kini pak rektor datang dan membawa Om Zuan pergi.“Zi, kenapa kamu bengong?” tanya Aga sambil menatapku. Aku melirik ke arah Tama, lagi-lagi ucapannya tempo lalu membuat ku merasa iba kepada Aga.“Aga kena kanker, Zi. Hidupnya di vonis dokter sudah tak lama lagi. Apalagi Aga seperti kehilangan semangat untuk hidup. Ia bahkan menolak semua pengobatan. Hanya kamu yang mampu membuat Aga semangat, bahkan aku kembali melihat sorotan binar dari mata Aga ketika menatapmu. Bantulah Aga untuk sembuh, setidaknya berikan ia kebahagiaan di waktu-waktu akhirnya.”Ucapan Tama saat itu benar-benar mengusikku. Aku hampir tak percaya mendengarnya. Aga yang terlihat terlalu ceria dan tersenyum itu ternyata memiliki kondisi kesehatan yang begitu memprihatinkan.“Zi, kamu mendengar suaraku kan?” tanya Aga sambil menggoyangkan bahuku“I-iya, Ga. Maaf.”“Seperti yang aku ucap tadi, aku tak ingin mendengar jawabanmu, Zi! Aku tak ingin mendengar penolakan mu. Aku h

  • Terpaksa Akad   bab. 22b

    “Bahan makanannya habis, Om.” Aku menggigit bibir bawahku, sedangkan mataku kupejamkan, takut melihat ekspresi marah lelaki di depanku.Aku kembali membuka mata, ketika kudengar suara tawa dari lelaki di depanku ini. Ia terkekeh bahkan sampai keluar air bening di sudut matanya. Sungguh terasa begitu aneh.“Ayo belanja. Aku antar,” ucap Om Zuan sambil merapikan jas nya.“Tapi, Om!”Aku masih ternganga, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.Tanpa basa-basi lelaki itu menggandeng tanganku dan membawaku masuk ke dalam mobilnya, memasangkan sabuk pengaman seperti biasanya dan ...Tatapan mata kami saling bertemu dengan jarak yang sangat dekat, deruan nafas Om Zuan benar-benar terasa hangat menghampiri wajahku, ditambah dengan aroma nafas yang terasa di indraku. Jantungku kembali berdesir dengan hebat, kenapa kamu terus saja membuat Zi jatuh cinta, Om? Maafkan Zi yang sepetinya tak ingin jauh dari Om Zuan, “Ma-maaf, Zi!” ucap Om Zuan dan kembali duduk di tempatnya.Benarkah aku t

  • Terpaksa Akad   bab. 23 a

    “Tambahkan lagi cabainya, Zi!” ucap Om Zuan sambil mengambilkan beberapa cabai dari kulkas.“Tapi, nanti Om Zuan kepedasan. Zi sudah banyak masukin cabai di bumbunya ini,” ucapku sambil mengulek bumbu yang sudah ku racik, beberapa butir bawang merah, bawang putih, dan beberapa cabe. “Aku memang suka pedas, sangat pedas.”Aku mendelik ke arah Om Zuan. “ Mulai kapan, Om? Aku bahkan tak pernah melihat Om Zuan mengambil sambal sedikit pun tiap kali makan.”“E, itu- aku mulai menyukai pedas sejak saat ini,” ucap Om Zuan sambil menggaruk kepalanya yang kuyakin tak gatal.“Ini semua, Om?” tanyaku heran sambil menatap cabai di atas meja.“Iya.”Aku memasukkan ke dalam cobek, kembali mengulek bumbu dan menghaluskannya. Entah, Om Zuan kesambet apa, dia mau membantu Zi masak malam ini.“Zi, aku ingin berbicara kepadamu. Penting,.”Aku begitu terkejut ketika ada tangan melingkari tubuhku, sedangkan suara manja itu terdengar begitu indah di dekat telinga.“Hm,” jawabku sambil tersenyum. Aku memas

  • Terpaksa Akad   bab. 23b

    “Pak Tejo, Pak Tejo...” teriakku.Pak Tejo dan simbokpun datang.“Pak, tolong antar Om Zuan ke rumah sakit!”“Tapi, Non.”“Buruan, Pak. Gak ada tapi-tapian. Ini darurat,” ucapku sambil menunjuk kunci mobil di atas meja.“Tejo gak bisa nyupir, Non,” ucap Simbok.Ya Allah Ya Robbi, kenapa anak buah Om Zuan payah sekali. Di sela rasa bingungku, ponsel Om Zuan berdering, Simbok dengan sigapnya mengambilkan benda tersebut dan memberikannya kepadaku, yang tengah duduk dengan memangku kepala Om Zuan.Tertulis nama “Mama” di layar pipih itu, aku tak mengindahkannya dan membiarkan panggilan itu berlalu begitu saja. Aku takut harus berbicara apa kepada Mama jika ia tahu kondisi Om Zuan sekarang.Kini aku meraih ponsel dalam sakuku, nama Rendra menjadi daftar pencarian, bergegas kutekan tombol hijau dalam panggilan tersebut.“Selamat malam, Nona Zi. Ada yang bisa saya bantu?”“Kesini sekarang, Ren! Om Zuan sedang sekarat.”Panggilan itu terputus dengan sepihak, sedangkan aku membawa tubuh Om Zu

Latest chapter

  • Terpaksa Akad   bab.36c

    Om Zuan terkekeh, dia menatapku begitu dalam. Begitupun aku yang seakan terkena magnet dari lelaki di depanku. Aku terus mendekat, sama sepetinya. Wajahnya masih tampak tampan, meskipun memang tak terlihat sempurna. Kini mulai kurasakan detak jantungku yang tak beraturan, serta hembusan hangat dari nafas Om Zuan.“Zuan, apa kamu di dalam?” terdengar teriakan mama dari balik pintu. “Tadi Zi datang, dan tiba-tiba Zi tak diketemukan. Mama ...”Mama tak melanjutkan kalimatnya ketika aku tengah membuka pintu, dilihatnya diriku dalam-dalam.“Kalian sudah bertemu?” Mama tampak terkejut melihatku yang berada di kamar ini, begitupun Rendra yang tengah berdiri di belakang Mama. “Kenapa kamu bodoh sekali dengan membawa Zi ke sini?” Om Zuan melempar sebuah pulpen ke tubuh Rendra.“Maaf, Tuan. Nona Zi memaksa. Nomor baru tuan Zuan pun tidak bisa dihubungi. dari sebelum ke sini, saya sudah memberi kabar.”“Kalian semua tahu, dan menipu ku mentah-mentah?” aku mengerucutkan bibirku. Ingin marah?

  • Terpaksa Akad   bab. 36b

    Aku perlahan melangkah, masuk ke dalam kamar asing tanpa ijin sang pemilik rumah. Semoga Mama tak mengetahui sikap nekat Zi, Ya Allah. Aku kembali mendekat kepada lelaki tersebut.“Ma, kenapa rame? Apa Rendra telfon kembali dan memberi kabar tentang Zi? “ ucap lelaki tersebut. Yang membuatku yakin kalau lelaki di depanku adalah Om Zuan.“Om.”Entah setan apa yang merasuki tubuhku, hingga aku memeluknya dari belakang. “Zi kangen, Om. Zi ....”Aku tersentak kaget ketika melihatnya. Bahkan tubuhku seakan terpental, menyisakan jarak beberapa meter. Matanya hanya satu. Karena yang satunya tertutup oleh kasa. Ia pun tak kalah kaget dariku. Ia menunduk, sekaan malu dengan keadaanya. “Om Zuan.” Aku kembali mendekatinya. Memastikan dengan apa yang baru saja kulihat.Ia memalingkan muka. Seakan tak ingin wajahnya terekspose dengan mata indahku.“Om Zuan, ini Zi.” Aku terus mendekat.“Siapa, Zi? Aku gak kenal!”Aku terus mendekat, kini tak menyisakan jarak dan kembali memeluknya dari belaka

  • Terpaksa Akad   bab. 36a

    Terima kasih yang sudah mampir di kisahnya Zi dan Zuan, mohon maaf jika ceritanya kurang berkenan. Happy reading ...🥀🥀🥀“Siapa, Ma?” tanyaku heran. “E... Itu, itu suami Mama, ayah tirinya Zuan.”Benarkah? Apa Mama berbohong kepada Zi.“Ma, kenapa Zi tidak dipersilahkan masuk?”“Astagfirullah, maafkan Mama, Zi.” Wanita teduh itu menggandengku, dan melewati pintu bersama, sedangkan Rendra terus saja mengekori, tetap dengan ponsel di tangannya.Rumah berdinding jati ini benar-benar rapi, tak banyak pernah-pernik, hanya beberapa foto yang keluarga yang tertempel di dinding. Aku menatap sekitar, dan tiba-tiba indraku mencium wangi Om Zuan di dalamnya.Apakah Om Zuan di sini? Ah, rasanya tidak mungkin.“Ini, Pak. Ada Zi. Istrinya Zuan.” Mama memperkenalkanku kepada lelaki paruh baya yang tengah memakai baju kerah batik serta celana hitam polos. Hah, lagi-lagi harapanku nihil. Aku berharap Om Zuan yang datang. Aku menjabat tangan, dan mencium punggung tangannya. Dan kini dibalas den

  • Terpaksa Akad   bab. 35b

    “Setidaknya sarapan dulu, Nona. Nanti bisa kembali tidur,” ucap Simbok yang andil bersuara. “Males, Mbok. Zi masih kenyang.”“Kenyang dari mana, Non? Semalam saja tidak makan malam.”Kini terdengar suara saling berbisik antara Simbok dan Rendra, entah apa yang mereka bicarakan. Aku masih terlalu malas untuk ke luar dari ruangan ini.“Nona Zi, katanya mau jenguk bunga. Jadi?” Terdengar suara Rendra yang membuat mataku berbinar. Aku bergegas membuka pintu itu, dan menjawabnya dengan anggukan. “Jadi, Ren. Sekarang ya.”Rendra tersenyum, sedangkan Simbok tampak menggelengkan kepala. “Diantar kalau Nona Zi sudah sarapan.”Hah, Aku membuang nafas kasar sambil menuju ke meja makan. “Kita makan bersama ya, Mbok, Ren.”Aku mengoleskan selai ke roti gandum di depanku. Memberikan mereka masing-masing satu potong untuk menemani sarapanku. Entah, setelah mendengar nama Bunga, aku sepeti memiliki kekuatan baru. Aku tak boleh menyerah dengan keadaan, aku Zi dan aku kuat. Aku harus sehat untuk ana

  • Terpaksa Akad   bab. 35a

    Rendra mengernyitkan dahinya ketika mendengar ucapanku. “Pusara Tuan Zuan, Nona?” “Iya, Ren. Aku mau menjenguk Om.”“E, itu, Non. Ada di sebelah sana.”Rendra menunjuk sebelah selatan. Kami berjalan mengikuti arahan Rendra, cukup jauh memang, karena tempat pemakaman ini lumayan besar. “Non, maaf. Hari ini ada rapat mendadak.” Rendra menunjukkan sebuah pesan dari ponselnya. Aku membaca pesan tersebut.[ Pak Rendra, tamu kita yang dari Jepang sudah datang. Bisakah ke kantor sekarang? ]“Kalau begitu antar saya saja ke pusara Om Zuan, Ren. Biar nanti saya pulang pakai taksi.”“Maaf, Non. Saya tidak berani. Saya diberi amanat Tuan Zuan untuk menjaga Nona Zi setelah beliau tidak ada. Apalagi hari sudah malam. Kita ke sini lain kali saja. “Aku mengangguk, sebenarnya setengah terpaksa meninggalkan tempat ini. Kenapa ada acara yang begitu mendadak? Ah, sudahlah. **“Malam ini mau makan apa, Non?” Simbok menatapku dengan khawatir, untuk saat ini ialah yang peduli kepadaku setelah Rendra

  • Terpaksa Akad   bab.34b

    “Assalamualaikum.” Terdengar suara panik dari wanita paruh baya yang kini mendekati kami, begitupun lelaki yang berada di sampingnya. “Tante, Paman.” Tama mencium punggung tangan mereka. Begitupun aku, yang mengekori kelakuan Tama.“Bagaimana keadaan anakku?” Tante itu mengikutiku, menatap Aga dari balik dinding kaca ini. “Aku pasrah dengan semua kehendakmu Ya Allah, jika memang Aga sudah harus tutup usia di waktu ini. Aku ikhlas, selama ia tak terus mengalami kesakitan.”Tante mengucapkannya lirih sambil berlinang air mata, dari sini aku belajar, puncak dari mencintai adalah mengikhlaskan. Mengikhlaskan orang yang dicintanya pergi selama itu adalah jalan yang terbaik. Sedangkan kini lelaki yang menjadi suaminya, merangkulnya erat memberi dukungan untuk kuat. “Kamu Zi?” tanya Tante yang kini menatap ke arahku. Sepertinya ia baru menyadari ada aku di sebelahnya. “Iya Tante.”“Senang bisa bertemu denganmu, Zi. Benar kata Aga kamu cantik.” Wanita itu kini mengembangkan senyum. “Ak

  • Terpaksa Akad   bab. 34a

    “Rendra.”Aku meneriaki lelaki itu sebelum berlalu. Ia menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap ke arahku.“Untuk apa kamu ke sini? Ada keperluan apa?”“Nona Zi. Bukankah hari ini Nona ada kelas pagi?” Lelaki itu kini berbalik tanya ke arahku, yang justru membuatku gemetaran.“Zi .. Zi ... Zi dikeluarkan dari kelas,” ucapku malu. ‘Ah, itu tidak penting. Bukankah di sini aku yang menjadi bosnya? ‘“Kenapa pertanyaanku tidak dijawab, Ren?”Lelaki itu tampak gugup, ia merapikan jas yang dikenakannya. “Saya menyampaikan amanat dari Tuan Zuan, Nona. Memberikan bantuan kepada yayasan.”“Tuan Zuan?”“Iya. Sebenarnya amanat ini sudah di sampaikan beberapa Minggu yang lalu, tapi belum sempat. Maafkan saya Nona Zi!” Aku mengangguk mengerti, dan mempersilahkan ia pergi. Aku yang tadinya memiliki.segudang harapan dengan kehidupan Om Zuan, kini kembali menelan pil kekecewaan. Kenapa kamu pergi, Om? Aku kembali ke ruang kelas, pintunya masih tertutup rapi, dengan suara dosen wanita yang m

  • Terpaksa Akad   bab.33b

    “Tentu, Nona Zi.”“Tolong nanti sepulang kuliah, antar Zi ke panti. Bunga pasti telah menunggu, pasalnya kami telah berjanji untuk mengadopsinya.”Meskipun Om Zuan sudah tak ada, aku ingin sekali tetap bersama gadis kecil itu. Semoga Ibu panti mengijinkan aku mengadopsi Bunga dialah yang akan selalu mengingatkan tentang Om Zuan. “Baik, Nona Zi.”**“Zi, baru lihat kamu. “ Aga mengekoriku setelah memasuki gerbang universitas. “Ada yang Rindu, nich.”Tama yang mengekori kami, tersenyum senang. “Om Zuan baru saja meninggal, Ga!” ucapku sembari duduk di salah satu bangku kelas, mataku yang kosong menatap papan putih yang tergantung di dinding dekat dosen.“Tukang ojek?”“Jangan pernah hina Om Zuan, Ga.”Sontak aku berucap dengan nada tinggi, ketika mendengar lelakiku itu dihina.“Ma-maaf, Zi. Saya kira aku bisa menghiburmu.”Aga menampakkan wajah menyesal, dan itu membuatku tak tega dan merasa bersalah. Tama yang duduk di sebelahnya mengedipkan mata, seakan memberi isyarat untuk memin

  • Terpaksa Akad   Bab. 33a

    Mentari yang terang, kini berubah menjadi gelap, apalagi mendung terus menyelimuti langit yang seakan mengetahui bagaimana hatiku saat ini. Tak ada cahaya dari bintang maupun bulan, yang ada hanya kegelapan dan kebisuan. Aku menatap meja kerja Om Zuan, tempat di mana aku selalu memandangnya sebelum tidur, berjibaku dengan tulisan dan laporan. “Om Zuan,” ucapku lirih ketika mendapatinya duduk di tempat yang sama. Beberapa detik kemudian Ia kembali berlalu begitu saja. Aku benar-benar menggila olehnya, lelaki yang mampu membuat hariku berwarna setiap harinya. “Om Zuan.” Aku kembali menatap lelaki itu yang kini terbaring di ranjang, bersebelahan denganku. Tangannya diangkat ke atas seperti biasa dan meninggalkan parfum khas dirinya. “Zi.”Suara panggilan itu membuat tubuh Om Zuan kembali menghilang, Wanita bergamis panjang dengan jilbab menjuntai telah berdiri di ambang pintu. “Maaf, Mama mengganggu istirahatmu. Bolehkan malam ini Mama bermalam denganmu?”Aku mengangguk, dan mempe

DMCA.com Protection Status