Laura sejak tadi terus berjalan tak menentu, pandangannya ia edarkan berharap menemukan seseorang yang tengah ia cari, tapi batang hidungnya saja tak terlihat.Laura berada di lorong ips, Ezra memang anak IPS sementara Laura anak ipa, ia sekarang berada di depan pintu kelas Ezra, melihat ke arah dalam kelas tapi Ezra tak ada di sana juga."Amira," panggil Laura Pada teman sekelas Ezra yang Laura kenal.Amira yang merasa di panggil, mengalihkan tatapan dari buku yang sedang ia baca, lalu menatap ke arah depan di mana ada Laura yang sedang berdiri kikuk.Amira berdiri dan berjalan menghampiri Laura."Ada apa?" tanyanya Dingin."Ada Ezra gak?" tanya Laura."Kata temennya sih dia gak masuk,""Gue denger lo pacaran sama Alex, terus ngapain lo nyariin cowok lain, kegatelan amat jadi cewek," ucapannya sarkas lalu pergi menuju mejanya lagi."Enak aja bilang gue kegatelan," dumel Laura sambil pergi dari lorong ips."Kalau gue gatal tinggal garuk aja," ucapnya lagi sambil tangannya mengaruk tang
Pov AlexAlex menunggu dengan gelisah, ia sekarang berada di kantor polisi bersama Dimas, kotak merah yang tadi Alex bawa sedang di lakukan pengecekan sidik jari.Tak lama Dimas keluar menghampiri Alex dengan raut wajah kecewa."Gimana pa? Hasilnya udah keluar?" tanya Alex tak sabaran."Cuman ada sidik jari kamu sama papa! Kayanya orang itu pake sarung tangan," ucap Dimas lesu."Terus sekarang Gimana pa?" tanya Alex, yang juga di buat bingung oleh masalah ini."Sebenarnya kamu sama Laura punya masalah sama siapa sampai di teror seperti ini?" ucap Dimas yang malah balik bertanya."Gak ada! Seinget Alex, Alex gak pernah buat masalah sama siapapun," ucapnya meskipun ragu."Gak mungkin dong! Orang lain teror kalau kalian gak punya salah?" tuduh Dimas."Kok papa kaya nuduh aku gitu sih," ucap Alex tak terima matanya menatap tajam Dimas."Bukan nuduh Lex tapi....," ucap Dimas menggantung."Udahlah papa juga bingung," desah Dimas.Alex hanya diam tak berniat meladeni ucapan Dimas karena dia
Pov Laura Sekolah terlihat sepi hanya ada Laura yang berdiri di depan gerbang sekolah sambil menunggu angkot yang ia tuju datang tapi sejak 1 jam ia menunggu tak ada satu angkot pun lewat.Padahal sudah pukul 5 sore.Anita sudah memberinya uang pagi tadi untuk jajan dan ongkos pulang sekolah, jadi Laura tak perlu bingung ketika akan pulang.Sejak tadi Laura terus gelisah, karena di sebrang sana di sebuah warung yang sudah tutup di depannya ada sebuah motor, lelaki misterius memakai helm tengah memperhatikan sejak sejam yang lalu.Laura pikir ia tengah melihat ke arah lain, tapi saat helmnya di buka sebentar dan mekainya lagi, lelaki itu memakai masker dan matanya menatap Laura intens, meskipun Laura agak familiar dengan matanya yang tak terhalang apapun! Tapi untuk apa orang tersebut terus memperhatikannya sejak tadi seperti tak ada kerjaan lain saja.Laura memilih berjalan kaki sambil menunggu angkot atau ojeg lewat, tapi saat yang bersamaan motor tersebut mengikuti dari belakang de
Dengan tertatih-tatih Laura berjalan, Anita yang sedang berjalan akan ke kamarnya melihat Alex dan Laura yang datang dengan keadaan basah kuyup segera menghampiri mereka berdua."Kalian kehujanan?" tanya Anita.Padahal jelas-jelas mereka basah kuyup dan di luar hujan deras masih aja di tanya."Tunggu mama ambilin handuk kering buat kalian," ucap Anita, berjalan cepat ke arah kamar.Tak lama Anita keluar dengan dua handuk di tangannya."Ini handuknya," Anita memberikan handuk pada Laura dan Anita yang langsung mereka keringkan rambut mereka."Kenapa kehujanan sih Lex?" tanya Anita pada mereka berdua yang masih mengeringkan rambut."Emang gak neduh dulu? Nanti kalau Laura demam gimana? Kamu ini di suruh jagain Laura gak suka bener jagainnya," ucap Anita yang bertanya terus menerus, membuat Alex jengah."Laura, Laura, Laura! Laura terus Alex gak di tanyain ma," kesalnya dari kemarin Laura terus yang di khawatirin, bukannya Alex tak senang tapi ia seperti anak tiri, selalu Laura yang di u
Pov AlexAlex terus mengusap tanganya yang terasa dingin, dia baru sadar ketika ke luar tak memakai jaket atau celana panjang yang bisa menghangatkan tubuhnya.Apalagi hujan rintii-rimtik membuat dirinya seperti akan mati kedinginan, ia membayangkan Laura yang duduk di ruang tamu sambil menonton film kesukaannya juga beberapa cemilan dan teh hangat, sungguh beruntungnya Laura, sementara Alex yang anaknya sendiri malah di biarkan sendirian kedinginan.Alex menghentikan motornya ketika suda sampai di depan pintu rumah Mbok Doh"Permisi," teriak Alex sambil mengetuk pintu rumah yang bercat putih."Permisi," teriak Alex lagi ketika tak mendapat jawaban pun dari dalam rumah.Tak lama seorang wanita paruh baya ke luar, "Iya cari siapa?" tanya wanita paruh baya tersebut."Cari Mbok Doh nya ada?" "Saya sendiri, kamu siapa?" tanya Mbok Doh memperhatikan penampilan Alex, apa tak kedinginan dia memakai baju sependek itu?"Saya Alex," jawab Alex sambil tersenyum."Oh Alex, anaknya Anita, mau jem
Setelah kejadian kemarin tentang kaki Laura yang terkilir dan di tambah acara jambak-jambakan sampai teriak-teriakan, kini Laura sudah bisa berjalan meskipun pelan-pelan karena kakinya masih terasa sakit sedikit.Pagi ini Alex duduk di pinggir keranjangnya, perasaan bersalah karena telah membuat kaki Laura terkilir membuat dia terus kepikiran sampai tak bisa tidur.Apalagi tatapan sinis dari Laura membuat Alex bergidik ngeri di tambah Anita yang selalu mengompori.Membuat Alex benar-benar kesal dengan mamanya itu.Belum lagi Dimas yang menyeramahinya panjang lebar ketika sedang makan malam membuat nafsu makan Alex sekitika hilang."Belum jadi apa-apa aja udah bikin Laura celaka, gimana kalau udah jadi istri kamu dia?" ucap Dimas kala itu yang membuat Alex terus kepikiran.Kejam banget!Alex langsung bangkit dari duduknya ketika mendapatkan sebuah ide untuk membuat Laura senang.Ia pun mengambil jaket yang di gantung dan bergegas turun.Lalu pergi menggunakan motor barunya......Kare
Anita yang mendengar teriakan Laura segera berjalan cepat ke arah ruang tamu, ia melihat Laura yang sedang menangis sesegukan."Laura kenapa?" tanya Anita sambil melihat mereka satu persatu.Tapi tak ada yang berani bicara apalagi Alex yang diam seribu bahasa dan enggan untuk melihat Anita."Itu tante ikan Laura mati, di siram air panas oleh Alex," jelas Gretta.Anita langsung melihat ke arah aquarium di mana ikan tersebut mengambang serta keluar uap dari akuarium tersebut, lalu ia melihat ke arah gelas yang tadi mau di buat teh."Oh jadi kamu Alex yang ngambil air mama di dapur," marah Anita."Kamu itu ada aja ulahnya, liat nih Laura sampai nangis gini gara-gara kamu," omel Anita sambil menjewer telinga Alex kuat."Aahh sakit ma, sakit," ringis Alex, alih-alih melepaskan jewerannya Anita malah memutar telinga Alex."Aaaaaw," teriak Alex.Anita melepaskan jewerannya, Alex mengusap telinganya yang sakit serta perih, ia menatap Anita dongkol."Ucul harus di kubur terus malamnya harus ng
Pov AlexAlex menutup pintu dan duduk di kursi depan Dimas."Papa rasa yang ngelakuin ini, orang yang kemarin naruh kotak di depan rumah," ucap Dimas to the point, matanya menatap Alex serius."Dia emang orang yang sama pa," jawab Alex, kertas yang berisi foto dia dan Laura Alex berikan ke Dimas.Dimas mengambil kertas tersebut, matanya tajam, wajahnya memerah.Ini sudah kelewatan, mereka sampai nekat melakukan kejahatan di saat siang seperti ini, untung saja tak ada yang terluka."Siapa yang tau tentang kertas ini?" tanya Dimas."Semuanya, Laura yang nemuin ini," jelas Alex.Membuat wajah Dimas panik, "Mama kamu tau?" tanya Dimas.Alex menganggukan kepalanya, Dimas mendesah mendengar jawaban Alex, mau tidak mau Anita juga harus di beri tau tentang teror ini."Laura juga kayanya udah mulai curiga pa," jelas Alex, mengingat tadi di ruang tamu Laura terus memperhatikannya.BrakPintu terbuka lebar dengan sangar keras, terlihat Laura berdiri di ambang pintu dengan nafas naik turun."Sebe
Setelah perbincangan selesai, Burhan pamit. Ada pekerjaan di sekolah yang harus ia selesaikan, sementara Daniel tetap tinggal di kantor polisi. Masih ada seseorang yang harus ia temui—seseorang yang mungkin bisa memberinya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya.Daniel kini berada di ruang interogasi, duduk berhadapan dengan Ezra, seorang remaja yang tertangkap karena membantu Bianca, putri Daniel, dalam aksi kejahatan yang mencoreng nama keluarganya sekaligus membuatnya bingung.Daniel menatap Ezra dengan tatapan tajam, mencoba menembus lapisan kebingungan dan rasa bersalah yang terlihat di wajah anak itu. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya—apa alasan Ezra mau terlibat dalam kekacauan ini?“Aku nggak habis pikir, Ezra,” suara Daniel terdengar dingin dan tegas. “Kenapa kau mau membantu putriku melakukan hal seburuk itu? Kau tahu apa akibatnya, kan?”Ezra menunduk, kedua tangannya saling meremas dengan gelisah. Suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan.
Di ruangan sempit berukuran 3x3 itu, Bianca duduk tertunduk, meskipun sorot matanya tetap tajam dan penuh sinis. Di depannya, Daniel, ayahnya, duduk dengan wajah lelah dan frustrasi. Ia menatap putrinya dengan campuran kecewa dan marah yang sulit ia sembunyikan. "Kenapa sih, Bi? Kamu selalu susah dibilangin," ucap Daniel dengan nada penuh penyesalan. "Andai sejak awal kamu pilih ikut Papi ke luar negeri, kamu nggak bakal ada di sini sekarang." Bianca mendongak sedikit, bibirnya tersenyum dingin. "Dan hidup jadi boneka Papi di sana? Maaf, nggak tertarik," balasnya dengan nada sarkastik, meski suaranya terdengar lemah. Daniel mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menahan amarah. "Bianca, ini bukan soal kontrol atau apa yang kamu pikirkan. Ini soal masa depanmu. Kalau kamu dengar dari dulu, hidupmu nggak akan berantakan seperti ini!" Bianca menghela napas panjang, lalu membuang pandangannya ke dinding. "Berantakan? Hidupku berantakan karena aku yang pilih jalanku sendiri, b
Setelah Bu Arsy pergi lebih dulu, suasana di ruang kepala sekolah terasa lebih tenang, meskipun beban suasana masih terasa menggantung. Kini hanya ada Sinta, kepala sekolah, dan beberapa guru yang tetap duduk di tempat mereka masing-masing.Kepala sekolah akhirnya membuka suara, memecah keheningan. "Bu Sinta, saya tahu ini bukan situasi yang mudah, baik untuk Anda maupun untuk sekolah. Kami benar-benar menyesalkan apa yang terjadi, dan kami akan memastikan bahwa tidak ada lagi kejadian seperti ini di masa depan."Sinta mengangguk pelan, meskipun raut wajahnya masih terlihat tegang. "Apa yang saya inginkan hanyalah keadilan untuk Laura. Anak saya sudah menderita cukup banyak. Dan saya ingin memastikan bahwa Ezra mendapatkan hukuman yang setimpal. Jika sekolah bisa membantu proses ini, saya akan sangat menghargainya."Salah satu guru, Bu Endang, yang sebelumnya ikut berbicara, menatap Sinta dengan sorot mata penuh pengertian. "Bu Sinta, kami juga akan berusaha membantu Laura. Jika dia i
“Ya, memang seharusnya begitu, Pak Kepala Sekolah. Kasus Ezra ini sudah termasuk tindakan kriminal. Di usia dia yang seharusnya digunakan untuk belajar dan menjadi teladan, kenapa dia malah melakukan tindakan sekejam itu?” ujar Sinta dengan nada marah, meskipun berusaha mengendalikan emosinya. “Apalagi dia adalah ketua OSIS di SMA Harapan ini. Bukankah itu membuat segalanya semakin buruk? Bagaimana bisa seorang pemimpin siswa melakukan hal seperti ini?”Kepala sekolah mengangguk pelan, raut wajahnya penuh rasa bersalah. “Kami sangat menyesal atas apa yang terjadi, Bu Sinta. Mungkin Ezra khilaf hingga melakukan perbuatan tersebut. Tapi kami pastikan, sebagai pihak sekolah, kami akan mengambil langkah tegas. Ezra akan dikeluarkan dari sekolah ini,” katanya tegas.Ia melanjutkan, “Untuk Laura, kami ingin memastikan dia tahu bahwa dia adalah korban dan tidak bersalah dalam situasi ini. Kami akan memberikan dukungan penuh untuk membantunya kembali bersekolah di sini, jika itu menjadi keput
Jam menunjukkan pukul 9 pagi, Sinta sudah siap untuk pergi ke sekolah Laura, memenuhi panggilan dari kepala sekolah.“Kamu yakin gak mau ikut?” tanya Sinta lagi, untuk yang kesekian kalinya.“Gak, Bun. Buat apa Laura ikut,” jawab Laura sambil memandangi ibunya yang sibuk bersiap-siap.“Ya sudah, kalau kamu gak mau, Bunda berangkat sekarang,” ujar Sinta sambil mengambil tasnya dan melangkah menuju pintu.“Iya, Bun,” sahut Laura pelan, menatap punggung ibunya yang semakin menjauh...... Sesampainya di sekolah, waktu istirahat para siswa dan siswi tengah berlangsung. Sinta melangkah masuk dengan tubuh tegap, meskipun ia menyadari tatapan-tatapan penuh rasa ingin tahu yang tertuju padanya. Bisikan-bisikan dan hinaan terdengar samar dari arah kelompok siswa yang berkumpul, namun Sinta tetap melangkah tanpa goyah. Baginya, ucapan para remaja itu tak berarti apa-apa. Mereka hanya anak-anak yang belum mengerti apa-apa.Sudah beberapa kali ia datang ke sekolah ini, jadi Sinta tahu betul di ma
Pagi telah berlalu, dan Alex terbangun dari tidurnya karena dering ponsel yang memecah keheningan. Suara itu begitu mengganggu, membuatnya mengerutkan dahi dengan kesal.Dengan mata yang masih berat, Alex meraih ponselnya di meja samping tempat tidur. Tanpa melihat siapa yang menelepon, ia langsung menjawab dengan suara serak, "Halo?"Suara yang tak asing terdengar di seberang, nadanya terdengar tergesa-gesa. "Alex, lo udah liat berita yang lagi viral sekarang?"Alex mengernyit, mencoba memahami maksudnya. "Berita apa?" Ia melirik layar ponsel, baru menyadari nama Rafa tertera di sana."Mendingan lo buka Instagram sekarang," suruh Rafa dengan nada cemas yang sulit disembunyikan.Alex menghela napas berat, bingung sekaligus penasaran. Ia membuka aplikasi Instagram seperti yang diminta. Matanya membelalak saat melihat unggahan yang viral di Instagram. Judulnya jelas: "Terbongkar! Pelaku Kejahatan Terhadap Laura Akhirnya Terungkap."Alex mengusap wajahnya dengan gelisah. Ia memang beren
"Bunda," panggil Alex saat memasuki rumah Laura yang tampak sepi.Ia melihat ke sana kemari, tapi tak menemukan siapa pun di lantai bawah."Oh, kamu, Lex," sahut Sinta sambil keluar dari kamar."Sepi banget, Bun. Om ke mana?" tanya Alex penasaran."Ayah Laura ada pekerjaan mendadak di luar kota. Mungkin satu atau dua hari baru balik," jelas Sinta. "Kalau Laura, paling dia di kamarnya."Alex terkekeh kecil. "Aku tahu kok dia di kamar, tadi aku lihat dari jendela. Lucu banget, dia kelihatan salah tingkah pas ngintip."Kamu pasti jahilin Laura lagi, ya?" tuduh Sinta sambil melangkah mendekati Alex."Ah, Bunda, enggak kok. Cuma manggil doang," jawab Alex sambil terkekeh kecil, mencoba membela diri."Alex ke sini mau ngasih surat buat Bunda, dari sekolah. Ini panggilan untuk orang tua Laura," ucap Alex sambil menyerahkan surat tersebut kepada Sinta.Sinta menerima surat tersebut dan membacanya sekilas. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Alex dengan penuh rasa khawatir. "Ini tentang
Aku masuk ke dalam kamar dengan langkah gontai. Pintu kututup perlahan, tapi rasanya seperti ada beban berat yang mengunci semua energi di tubuhku. Aku duduk di sudut ranjang, memeluk lututku sendiri.Meskipun Ayah dan Bunda tadi memberikan dukungan penuh, aku tahu mereka pasti kecewa. Bagaimana tidak? Anak perempuan mereka yang diharapkan bisa menjadi kebanggaan malah menjadi beban. Aku bahkan tidak bisa bicara dengan pengacara tadi. Aku gagal lagi.Aku menunduk, menatap lantai kosong. Hidupku sudah hancur. Semua yang kubangun, semua yang kucita-citakan, rasanya sirna dalam sekejap. Masalah ini bukan hanya menghancurkan masa depanku, tapi juga mencoreng nama baik keluargaku.Air mata mulai jatuh tanpa bisa kuhentikan. Suara isakan kecil memenuhi keheningan kamar. Aku tahu Ayah dan Bunda mencoba menguatkanku, tapi aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Bagaimana mereka bisa bangga pada anak perempuan seperti aku—yang bahkan tidak punya keberanian untuk menghadapi semuanya?Aku merem
Sementara itu, di rumah Laura, suasana terasa canggung. Seorang pria berjas rapi, pengacara yang dipanggil oleh ayah Laura, duduk di ruang tamu bersama mereka. Ia membawa sebuah tas kerja dan setumpuk dokumen yang diletakkannya di atas meja.“Silakan diminum, Pak, tehnya,” ujar Sinta dengan senyum ramah sambil menyodorkan cangkir teh."Terima kasih, Bu," jawab pengacara itu sopan sebelum menyesap teh hangat tersebut.Namun, berbeda dengan kehangatan Sinta, Laura justru duduk di sudut sofa dengan kepala tertunduk. Jemarinya sibuk memainkan ujung sweater yang ia kenakan, mencerminkan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.Ayah Laura, yang duduk di sebelah pengacara itu, berdehem kecil, mencoba mencairkan suasana. “Jadi, Pak Adrian, bagaimana langkah awal yang bisa kita ambil untuk membantu Laura keluar dari masalah ini?”Adrian meletakkan cangkir tehnya, lalu membuka map di hadapannya. “Saya sudah membaca berkas-berkas yang Bapak kirimkan sebelumnya. Situasinya cukup rumit, tapi tida